"Laura lagi! Apa dia sudah memiliki setengah hatimu sehingga kamu merasa aku pantas mendapatkan tamparan karena aku menamparnya lebih dulu?" Sergah Wendy dengan nada bicara yang semakin tinggi.
"Bukan begitu sayang…" Ucap Dimas mencoba menjelaskan.
"Memang seperti itu yang aku rasakan!" Teriak Wendy geram.
Dimas hanya bisa menyeka wajahnya dengan kedua tangannya karena merasa lelah dengan pertengkaran tidak berujung ini.
"Kamu bilang jika kamu tidak mencintainya…" Ucap Wendy lagi, dia bukannya bertanya tapi terlihat seperti sedang menuntut pengakuan dosa yang Dimas perbuat padanya dan itu membuat Dimas menjadi kesal.
"Aku memang tidak mencintainya!" Teriak Dimas tidak kalah kencang.
"Bullshit!"
Dimas belum sempat berbicara untuk membantah tuduhan Wendy saat ponselnya kembali berdering. Dimas kemudian melangkah menjauh untuk mengangkat panggilan telepon itu tapi Wendy dengan cepat menarik ponsel Dimas dan membantingnya ke lantai hingga hancur.
"Apa yang kamu lakukan?" Teriak Dimas geram.
"Apa telepon itu lebih penting daripada hubungan kita? Kenapa kamu harus menjauh saat menerima panggilan telepon itu? Apa kamu takut aku mendengar percakapanmu dengan jalang mu itu, begitu?"
"Jalang?"
"Iya, jalang! Siapa lagi jika bukan jalang yang menelepon mu!"
"ITU IBUKU!" Dimas berteriak semakin kencang dan membuat Wendy seketika terdiam.
"Ibuku yang baru saja meneleponku dan sekarang dia sedang berada di rumah sakit! Kamu puas!"
Tanpa menunggu Wendy menanggapi ucapannya, Dimas langsung melangkah pergi keluar dari penthouse Wendy dan mengabaikan panggilan Wendy walaupun Wendy memanggilnya dan mencoba menahan langkahnya namun Dimas telah lebih dulu memasuki lift lalu menutup pintu lift dengan cepat sebelum Wendy berhasil menggapainya.
***
Pertengkarannya dengan Wendy membuat Dimas tidak bisa menyembunyikan ekspresi kesalnya ketika ia memasuki ruangan ibunya yang masih melakukan perawatan pemulihan pasca operasi.
Tapi perasaan kesal itu berubah menjadi kegelisahan saat ia melihat ekspresi kedua orangtuanya yang terlihat sedang menahan marah. Tiba-tiba saja ia kembali teringat akan perlakuannya kepada Laura, Dimas berpikir jika Laura mungkin sudah mengadukan tindakannya kepada kedua orangtuanya.
"Ada apa?" Tanya Dimas dengan hati-hati.
"Apa kamu mengantarkan Laura sampai ke rumahnya?" Tanya Dita tanpa berbasa-basi.
Dimas tidak langsung menjawab, ia bersumpah akan membunuh Laura jika gadis itu benar-benar mengadukan tindakannya kepada kedua orangtuanya. "Memangnya kenapa?" Tanya Dimas yang mencoba untuk tenang.
"Lalu kenapa Laura tidak bisa dihubungi sejak kemarin? Apa desanya begitu terpencil hingga tidak ada sinyal disana?"
Syukurlah…
Dimas menyembunyikan rasa leganya sekaligus kegembiraannya karena ternyata Laura sepertinya telah mengikuti ucapannya yang menyuruhnya untuk menghilang dari keluarganya, uang memang bisa melakukan segalanya.
"Itu benar, desanya sangat jauh dan terpencil."
Dita menghela nafas berat, ekspresinya langsung berganti dan terlihat jelas jika ia menahan tangisnya sekarang.
"Dia akan kembali saat pulih, mami tenang saja." Dimas melangkah mendekat dan memeluk Dita untuk menenangkannya. Ia tidak ingin jika kondisi kesehatan ibunya kembali memburuk.
"Bagaimana aku bisa tenang jika putriku tidak bisa dihubungi. Dia masih belum pulih."
Mendengar Dita menyebut Laura sebagai putrinya membuat rasa cemburu itu kembali muncul.
"Dia bukanlah putri mami…" Gumam Dimas pelan tapi Dita masih bisa mendengarnya.
"Itu benar, sangat sulit memintanya untuk selalu ada bersama kita."
Dimas tersenyum senang karena akhirnya ibunya sadar jika Laura seharunya tidak berada disekitar mereka.
***
Laura baru saja keluar dari dalam kamar mandi saat ia melihat Jesica sedang mengacak-acak kopernya.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Laura menghampiri dan Jesica langsung menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuhnya.
"Aku hanya melihat-lihat…" Jawab Jesica yang terlihat tidak merasa bersalah sama sekali.
"Apa yang kamu sembunyikan? Cepat kembalikan?" Pinta Laura dengan tegas namun ia masih menekan nada suaranya agar terdengar pelan.
"Aku tidak menyembunyikan apapun." Jawab Jesica yang masih tidak mau menunjukan kedua tangannya padahal terlihat dengan sangat jelas jika ia menyembunyikan sesuatu di balik tubuhnya.
"Jesica, jangan uji kesabaran ku…"
Jesica tertawa tidak percaya mendengar apa yang Laura katakana, ia kemudian melemparkan gaun yang ia sembunyikan dibalik tubuhnya ke lantai lalu menginjak-injaknya.
"Apa yang kamu lakukan, Jesica!" Laura tidak dapat mengendalikan kemarahannya lagi karena melihat gaun yang Jesica injak-injak adalah gaun pemberian dari Dita sehingga ia langsung mendorong tubuh Jesica hingga ia terjatuh.
"Auch!!!" suara ringisan Jesica terdengar hingga keluar membuat Melani langsung memasuki kamar Laura tanpa permisi.
"Apa yang kamu lakukan pada putri ku!" Teriak Melani yang langsung mendorong Laura hingga ia terjatuh lalu membantu Jesica untuk bangun.
"Dia mendorong ku bu, lihatlah… Keningku berdarah!" Ucap Jesica sambil menangis dan menunjukan keningnya yang terluka akibat benturan dengan meja.
"Dia menginjak-injak gaun ku, bu!" Laura tentunya tidak hanya diam, ia mencoba menjelaskan sambil menahan rasa sakit di bekas luka operasinya.
"Aku hanya melihat-lihat, tapi dia meneriaki ku seakan aku ini adalah pencuri! Apa aku salah jika aku melihat gaun milik kakak ku yang katanya sangat menyayangiku ini!" Jesica semakin provokatif membuat Melani langsung melangkah mendekati Laura dan menamparnya dengan kencang.
"Beraninya kamu menuduh Jesica mencuri! Pakaian bagus yang kamu kenakan mungkin hanya pemberian pria tua yang menjadikanmu simpanannya!"
Air mata Laura menetes begitu saja, bukan karena rasa sakit akibat tamparan yang ibunya lakukan melainkan karena ucapannya yang begitu kejam menuduhnya sebagai seorang wanita selingkuhan.
"Bagaimana bisa ibu menuduhku seperti itu? Aku mendapatkan semua yang aku miliki atas kerja kerasku sendiri bukan hasil melacur!" Teriak Laura yang sudah tidak mampu lagi memendam rasa sakit hatinya.
"Lalu kenapa kamu pulang kesini? Kamu sudah sukses kan? Kenapa kamu pulang jika kerja kerasmu bisa menghidupi mu?"
Laura tercengang mendengar perkataan ibunya yang sangat menyakitkan itu, tubuhnya bergetar tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Apa aku tidak boleh pulang ke rumah orangtua ku sendiri? Apa aku tidak boleh kembali ke keluargaku sendiri? Kenapa? Kenapa ibu berkata seakan aku bukanlah bagian dari keluarga ini?"
"Ada apa dengan kalian semua?" Rudy datang dan seketika semua langsung terdiam.
...