Chereads / Menikah tapi benci / Chapter 13 - Rayuan dingin

Chapter 13 - Rayuan dingin

"Tapi dia bukan keluarga kita!"

Tapi Dimas memusnahkan kehangatan itu dengan sangat mudah, menarik ku kembali ke jurang kenyataan yang harus aku terima.

"Dimas…" TegurPratama dan entah sihir apa yang Pratama pakai karena Dimas langsung kembali ke tempatku dan duduk di tempat yang selalu menjadi tempatnya selama kami disini.

"Merasa di awang-awang hah?" Cibir Dimas kesal dan tentunya aku hanya menjawab dengan senyum menyebalkan yang akan membuat Dimas semakin merasa jengkel.

"Aku tidak akan membiarkanmu terus memanipulasi orangtua ku." Bisik Dimas saat ia memberikan suapan pertama dari bubur baru yang masih terasa sangat panas namun aku langsung menelannya meskipun lidah dan tenggorokan ku terasa terbakar tapi semua itu tidak se-menyakitkan apa yang aku rasakan karena merasa terpukul oleh tuduhan manipulasi yang Dimas sematkan kepadaku.

"Aku sudah kenyang…" Ucapku pelan dan tanpa minum aku langsung kembali berbaring.

"Kamu sengaja mempermainkan ku?" Pekik Dimas sedikit berteriak yang tentunya membuat Dita dan Pratama langsung menoleh kearah kami.

"Maaf…" Ucapku pelan dan sebelum kedua orangtua Dimas kembali memarahi Dimas, aku langsung berbicara. "Sebenarnya aku berniat pulang hari ini tapi karena buburnya terasa lezat aku jadi lupa jika aku sudah memesan taksi online untuk mengantarku pulang."

"Kenapa terburu-buru? Kamu masih belum pulih, Laura?" Tanya Dita yang terlihat khawatir dengan keputusanku yang mendadak ini.

"Aku sudah merasa sangat baik, lagipula aku bosan berada di ruangan ini terus."

"Kalau begitu kita pulang sekarang tapi kamu harus pulang ke rumah kami, okay?"

Tawaran Dita membuat Dimas langsung mengeratkan rahangnya, aku tahu Dimas baru akan beranjak bangun untuk protes tapi aku langsung menahannya.

"Udara dikampung ku terasa lebih segar."

"Jika kamu menginginkan udara segar, kita bisa menetap di villa yang ada di puncak kalau begitu." Pratama mencoba memberikan saran, mereka berdua terlihat tidak ingin melepaskan ku sementara Dimas sudah menatapku dengan sangat tajam seakan ia sedang mengutuk ku.

Tapi aku melakukan semua ini bukan karena takut akan Dimas, aku hanya tidak ingin merasakan perasaan jika aku sedang memanipulasi kebaikan Dita lagi karena perasaan itu sangat tidak mengenakkan dan terus membuatku tidak dapat bernafas.

"Sejujurnya aku merindukan kedua orangtuaku, mereka tidak bisa datang karena musim panen jadi aku ingin pulang mengunjungi mereka." Jawabku beralasan dan untung saja aku tahu jika di bulan ini jeruk di kebun milik keluargaku sedang panen walaupun aku tidak yakin jika itu memang alasan mereka tidak mengunjungi ku. Mereka bahkan tidak mengirimkan pesan apapun kepadaku padahal aku sudah mengatakan melalui pesan singkat jika aku mendonorkan ginjal ku dan menjalani operasi tapi mereka menghilang seakan aku memang sendirian di dunia ini.

Dita menghela nafas tanda kecewa, "Baiklah jika itu yang akan membuatmu pulih dengan lebih cepat tapi berjanjilah langsung temui mami saat kamu kembali."

Sejujurnya aku merasa sedih, aku ingin melihat Dita pulih seperti aku pulih, dia membuatku merasakan kehangatan seorang ibu yang jarang aku dapatkan dari ibuku sendiri tapi momok tentang manipulasi membuatku merasa takut.

Aku takut pada diriku sendiri, aku takut mungkin aku memang sedang memanipulasi keadaan ini.

"Dimas, kamu harus mengantarnya pulang."

"Tapi mi…" Dimas langsung protes tapi kali ini aku tidak menahannya, aku membiarkannya melangkah menghampiri ibunya.

"Laura tidak mungkin naik kendaraan umum sendirian disaat kondisinya masih belum pulih. Jadi sebaiknya kamu antar dia."

"Mengantarnya? Kenapa harus aku? Kan bisa menyuruh supir untuk mengantarnya?"

"Bagaimana bisa aku mempercayakan supir membawanya jauh ke luar kota? Aku lebih percaya padamu, Dimas…"

"Lebih percaya padaku atau mami memang lebih menyayanginya?"

"Dimas, please…"

***

Author POV

Laura sedkit terkejut ketika Dimas membanting pintu mobil dengan sangat keras. Laura tidak dapat melepaskan pandangannya dari ekspresi dingin yang Dimas tunjukan hingga terasa menusuk hati walaupun Dimas masih belum memasuki mobil dan dia tidak mengatakan apapun saat sudah duduk dibalik kursi pengemudi.

Semua ini terjadi bukan tanpa alasan tapi karena rasa cemburu yang Dimas rasakan karena melihat bagaimana cara kedua orangtuanya memperlakukan Laura sebelum berpamitan tadi.

"Aku akan memberikan mu cek, pergilah kemanapun kamu mau dan jangan pernah muncul dihadapan kedua orangtua ku lagi." Ucap Dimas setelah menyalakan mesin mobilnya dan mengendarai mobilnya keluar dari tempat parkir rumah sakit.

"Berapa nominalnya?" Tanya Laura yang terdengar tanpa keraguan sedikitpun membuat Dimas menyeringai. "Akhirnya kamu menunjukan wajah aslimu…" Komentar Dimas sambil tersenyum meskipun itu bukanlah sebuah senyuman yang ramah.

Laura menoleh dan membalas senyuman Dimas, "Wajahku memang asli, aku tidak pernah melakukan operasi di wajahku yang cantik ini, sayang…"

"Berhentilah berbicara seperti itu, kamu membuatku ingin muntah!"

"Aku suka melihatmu kesakitan!"

Laura mulai lagi! Itu adalah yang ada di dalam pikiran Dimas sehingga ia langsung menghentikan laju mobilnya secara mendadak dan membuat tubuh Laura sedikit terdorong dan luka bekas operasinya yang masih belum pulih kembali terasa nyeri sehingga membuat Laura meringis menahan sakit.

"Kamu ingin membunuh ku?" Pekik Laura geram.

"Kenapa kamu marah? Siapa yang memintamu memberikan ginjalmu kepada ibu ku? Jika kamu kesakitan itu sama sekali bukan tanggung jawabku, lagipula… Aku suka membuatmu kesakitan!" Sahut Dimas yang juga berteriak tapi di akhir kalimatnya ia berbisik tepat di telinga Laura dan itu terdengar sangat menakutkan.

"Selain bodoh kamu juga tidak kreatif, jangan meniru ucapan ku… itu sama sekali tidak terdengar bagus saat kamu yang mengucapkanya." Meskipun hati Laura terasa seperti tercekik namun ia tetap menunjukan senyumannya, ia sama sekali tidak menunjukan kegentaran sedikitpun.

Laura memperhatikan bagaimana rahang Dimas mengeras, kemarahannya terlihat nyaris menuju puncaknya sehingga Laura berpura-pura membetulkan posisi duduknya agar terlepas dari tekanan Dimas.

"Cepatlah nyalakan mesinnya, aku sudah muak berlama-lama dengan mu." Ucap Laura dengan dingin.

"Memangnya siapa yang ingin mengantarmu?"

Laura hanya bisa tertawa keki tanda tidak percaya jika Dimas sepertinya berniat memintanya turun di tengah jalan seperti ini di saat kondisinya masih sangat lemah.

"Turunlah…"

Laura menggigit bibir bawahnya untuk meredam emosinya yang harus ia tahan karena ia tidak bisa berteriak terlalu kencang karena luka operasinya masih terasa nyeri dan akan semakin terasa sakit jika ia harus menarik urat dan meneriaki Dimas.

"Apa kamu gila?"

"Aku gila beberapa hari ini karena harus merawatmu jadi hari ini aku harus mengembalikan kewarasanku, karena itu cepatlah turun dari mobil ku sebelum aku menarikmu keluar dengan paksa."

"Kamu akan menyesali semua ini!" Laura menatap Dimas tajam sebelum akhirnya keluar dari dalam mobil Dimas dan berjalan menjauh tanpa menoleh ke belakang.

"Heh!"

Bukan Laura, tapi Heh!

Laura hanya bisa menarik nafas dalam dan menoleh ketika mendengar suara Dimas yang memanggilnya. Terlihat Dimas menyeringai dan melangkah menghampirinya dengan ekspresi yang membuat Laura merasa ingin muntah sekarang juga.

"Apa? Kamu ingin memohon agar aku kembali masuk kedalam mobil mu?"

Dimas hanya tersenyum mendengar ucapan Laura, ia kemudian menyentuh wajah Laura dan merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan karena hembusan angin yang cukup kencang.

Laura sungguh tidak mengerti mengapa Dimas tiba-tiba saja membelai wajahnya lalu menyentuh tangannya dan memperhatikan telapak tangannya untuk beberapa saat.

Mungkinkah Dimas menyesali perbuatannya kepadaku?

Apa dia berubah secepat ini?

Laura tidak bisa sedikitpun melepaskan sorot mata Dimas yang tidak dapat ia terka, kejengkelan yang ia rasakan beberapa detik yang lalu perlahan-lahan hilang mungkin baru saja tertiup angin yang berhembus saat Dimas datang dan menatapnya seperti ini.

"Pulanglah dan jangan pernah kembali lagi."

Secepat ucapan yang Dimas katakan dan secepat itu juga ia meletakan sebuah cek tepat di tangan Laura membuat Laura hanya bisa tertegun memperhatikan langkah kaki Dimas yang dengan pasti meninggalkannya.

Setelah mobil yang dikendarai Dimas melaju pergi barulah Laura tersadar jika ia baru saja terjebak oleh sentuhan murahan yang Dimas berikan kepadanya dan membuatnya berakhir menyedihkan seperti ini.

Laura sudah tidak perduli dengan orang-orang yang mungkin akan menganggapnya gila karena ia tertawa sendirian di pinggir jalan dengan cek di tangannya yang langsung ia remas kemudian melemparkannya dengan kasar kesembarang arah tanpa melihat nominal yang tertera dalam cek yang diberikan oleh Dimas kepadanya.

...