Aku sudah berada di ruangan ku ketika Dimas melangkah begitu saja seakan aku tidak ada dan langsung memasuki ruangan ayahnya. Tapi siapa perduli dengan tegur sapa darinya, dia hanya pria brengsek berhati dingin yang kejam!
Tapi sejujurnya aku ingin tahu apa yang terjadi di dalam tapi sayangnya ruangan Pratama kedap suara, mungkin karena itu juga ia tidak mendengar suara pertengkaran ku dengan Dimas tadi padahal ruangan ku berada tepat di sebelah ruangannya.
Aku terus menoleh kearah pintu, rasa penasaran membuatku ingin sekali menerobos masuk tapi aku tidak memiliki alasan apapun karena tidak ada yang memberikan laporan kepadaku.
Aku baru akan menelepon bagian keuangan untuk meminta laporan agar aku bisa memiliki alasan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi semalam tapi Dimas sudah lebih dulu keluar dari ruangan Pratama.
Ia menoleh ke arahku dan melihatku dengan tajam, wajahnya merah padam dan dokumen miliknya sudah berada di dalam genggamannya.
Aku yakin jika Dimas baru saja di marahi oleh ayah.
"Kenapa kamu tersenyum?" Tanyanya menghampiriku.
"Karena kamu tampan." Jawabku dengan santai.
Ia menyipitkan kedua matanya dengan sinis sebelum akhirnya pergi.
"Tapi bodoh..." lanjut ku sambil tertawa.
Aku baru akan kembali fokus pada layar laptopku saat seseorang kembali membuka pintu ruangan ku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan siapa lagi jika bukan Dimas orangnya tapi ada yang berbeda darinya.
Ia membawa kotak obat di tangannya.
"Obati luka mu!" Ucap Dimas dengan dingin setelah meletakan kota obat di atas meja ku.
Aku baru menyadari jika darah di jariku sudah mengering dan kini terasa perih sehingga aku beranjak bangun dari kursi ku.
"Mau kemana kamu?" Tanya Dimas saat aku melewatinya begitu saja.
"Mencuci tanganku, apalagi?" Jawabku dengan ketus.
"Cepatlah..."
Aku menatapnya dengan sinis sebelum melangkah keluar dari ruangan ku.
"Dia bertingkah seakan di menungguku!" Gumam ku kesal sambil mencuci tanganku tapi darahnya malah keluar lagi dan terasa semakin perih.
"Dimas sialan!" Aku mengumpat kesal sambil meringis dan terus mencuci tangan ku sambil berharap darahnya akan berhenti.
"Kenapa sangat lama?"
Aku menoleh saat mendengar suara Dimas dan betapa terkejutnya aku melihatnya memasuki toilet wanita dan membuat beberapa pegawai yang sedang berada di toilet untuk merapikan riasan mereka langsung pergi meninggalkan kami berdua.
"Apa kamu gila?" Tanyaku marah tapi dia sepertinya sudah kebal dengan kata-kata caci maki yang sudah biasa aku lontarkan kepadanya. Ia malah menatapku sebelum akhirnya menarik tanganku sehingga ia dapat melihatnya lebih dekat.
"Sakit ya? Maafkan aku..."
Hah? Apa aku berhalusinasi sekarang?
"Tahan sebentar..."
Aku tertegun ketika Dimas membantuku mencuci tanganku lalu menahan darah yang masih mengalir di jariku dengan tissue dan membawaku keluar dari toilet tanpa melepaskan tanganku.
Dan sekarang kami kembali menjadi pusat perhatian sehingga aku langsung menarik tanganku.
"Ada apa denganmu?" Tanyaku dengan nada suara yang sedikit pelan agar tidak ada yang mendengar percakapan kami.
"Maafkan aku..."
Apa aku sedang bermimpi?
Apa ini halusinasi?
Seorang Dimas Dirgantara meminta maaf? Kepadaku? Seriously?
Aku masih ingat bagaimana caranya menatapku tadi dan sekarang dia terlihat seperti pria hangat yang selalu menjadi pemeran utama dalam sebuah novel, pria yang dulu membuatku jatuh cinta dengan mudah.
"Jangan gila, Dimas!" Aku melangkah begitu saja meninggalkannya dan mengabaikan permohonan maafnya begitu saja karena aku tidak ingin goyah hanya karena sikapnya yang mendadak hangat tapi Dimas dengan cepat menyusul langkah ku dan menarik ku ke dalam ruangannya.
"Rani, tolong aku ..." Aku berbisik saat melewati ruangan Rani, sekretaris Dimas yang cukup akrab denganku tapi dia malah memalingkan wajahnya setelah membuat isyarat maaf tanda jika ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongku.
"Ini bukan ruangan ku." Ucapku saat Dimas memintaku duduk di sofa sambil beranjak bangun namun Dimas kembali mendorong tubuhku hingga aku kembali jatuh duduk.
"Dimas!" Aku mulai kesal sekarang tapi Dimas tidak menghiraukan ucapanku sama sekali.
"Jika kamu coba-coba kabur maka aku akan mencium mu di depan ayahku!" Ucapnya mengancam ku sambil terus berkutat dengan kotak yang terlihat seperti tempat penyimpanan obat dan berdiri membelakangi ku.
"Dan membuatmu kembali menerima tamparan?" Aku menjawab dengan menantang karena itu yang terakhir kali Dimas dapatkan saat ia pertama kali memaksa menciumku.
"Kenapa ayahku harus menamparku jika kamu menikmati ciumanku? Aku yakin setelah itu ayahku akan memandang mu dengan cara lain... Seperti aku memandang mu selama ini. Sangat menjijikkan."
Dia selalu saja bermulut tajam.
"Menjijikkan tapi kamu terus mendatangiku!"
Ia menoleh dan menyeringai, "Itu pesona mu... Pesona seorang jalang yang selalu membuat pria brengsek seperti ku tertarik."
"Sayangnya aku bukan jalang tapi aku tidak akan meragukan ucapan mu yang menyebut dirimu sebagai pria brengsek karena kamu memang brengsek."
Dimas hanya menyeringai lalu duduk di sebelahku membawa obat serta plester agar darahku berhenti mengalir.
"Pelan-pelan bodoh!" Ucapku sambil meringis ketika Dimas mulai mengoleskan obat di jariku.
"Semua ini tidak akan terjadi jika kamu menyerahkan cincin ku begitu aku memintanya."
"Siapa suruh kamu meninggalkannya."
Sepertinya Dimas mulai lelah berkutat dengan perdebatan tentang cincin jadi ia tidak menanggapi ucapan ku dan berfokus pada jariku.
"Gaji mu besar, jika kamu ingin cincin kamu bisa beli dengan uang mu sendiri."
"Bagaimana ya, aku inginnya kamu yang belikan..."
"Tidak akan pernah..."
"Maka jangan main-main denganku."
Dimas langsung mengangkat pandangannya setelah mendengar kalimat berakhir yang aku ucapkan.
"Apa tindakan ku membuatmu terus jatuh cinta padaku?" Tanya Dimas, terlihat ada kebanggaan dari nada bicaranya saat bertanya.
"Menurut mu aku jatuh cinta padamu?"
"Aku dapat merasakannya..." Dimas tersenyum tipis sambil memasangkan plester di jariku.
"Kamu cukup percaya diri..." Aku bersandar sambil melihat plester itu melingkar di jariku menggantikan cincin berlian yang sebelumnya bertengger di sana.
Dimas kemudian duduk di sebelahku dan menyesap kopinya dengan tenang.
"Pergilah, aku sudah selesai mengobati lukamu dan bilang pada sugar Daddy-mu itu jika aku sudah melakukan perintahnya."
Secepat memutar telapak tangan, sikap Dimas berganti dengan sangat cepat. Kehangatan dan senyuman itu kembali menghilang dari dirinya dan hatiku kembali terasa seperti telah di tusuk meskipun sebelumnya pembicaraan kami masih saling merendahkan tapi setidaknya Dimas tidak seperti sekarang kembali menjadi pria dingin yang angkuh! Aku sungguh tidak suka itu.
"Jadi ayahmu yang menyuruhmu mengobati ku dan meminta maaf?" Tanpa perduli jika Dimas sudah mengusirku, aku masih tetap duduk disebelahnya.
"Jadi dia benar sugar Daddy-mu?" Tanya Dimas seraya mencondongkan tubuhnya dan menatapku.
"Apa kamu cemburu?" Tanyaku tanpa gentar sedikitpun, aku tersenyum tipis menatap Dimas dan tentunya sesekali melihat ke arah bibirnya agar Dimas goyah. Harus aku akui jika aku hanya berpura-pura takut saat Dimas menyeret ku ke dalam ruangannya agar aku tidak terlihat seperti wanita yang senang mendapatkan perhatian dari atasanku karena dengan begitu aku tidak perlu mendapatkan cibiran seperti yang tadi pagi aku dapatkan ketika aku dengan sengaja mempertontonkan kissmark di leherku, aku memang bodoh tadi tapi tidak sekarang karena aku yakin banyak orang yang penasaran kenapa Dimas menyeret ku ke ruangannya dan mereka pasti sedang mencoba mengintip sekarang.
"Pikir mu orangtuaku akan lebih menyayangi mu? Aku adalah putra mereka satu-satunya, Laura... Kamu tidak akan bisa menggantikan posisiku di mata mereka berdua."
Aku hanya tersenyum lalu menyeka sisa kopi di sudut bibir Dimas.
"Well honey, kita lihat saja malam ini..."
Aku langsung pergi meninggalkannya dan sesuai dugaan ku jika banyak yang mencoba menguping dan juga mengintip kami termasuk Rani dan mereka langsung pura-pura sibuk dan pergi menjauh saat aku keluar.
Aku sangat marah, terlalu marah sehingga aku ingin sekali menangis.
Sekali lagi aku hampir tertipu dengan sikap hangat yang Dimas lakukan kepadaku. Seharusnya aku tahu sejak awal jika Dimas tidak akan mungkin mau meminta maaf tanpa paksaan, harusnya aku sadar bagaimana dia bersikap kasar kepadaku tadi jadi bagaimana mungkin ia tiba-tiba mau mengobati luka ku tanpa ada yang menekannya?
....