Chereads / Menikah tapi benci / Chapter 31 - Hanya aku yang berhak melukaimu

Chapter 31 - Hanya aku yang berhak melukaimu

Laura berlari sekencang mungkin sambil menangis tanpa memperdulikan apapun di sekitarnya termasuk Dimas yang berlari dibelakangnya. Laura terus berlari menaiki tangga, mengabaikan rasa sakit di tubuhnya sampai akhirnya ia tiba di atap perushaan, tempat sepi yang tidak pernah di kunjungi oleh siapapun termasuk dirinya.

Ini adalah kali pertama Laura menapakan kakinya di tempat ini karena ia sama sekali tidak memiliki tujuan untuk menyembunyikan kesedihannya. Perlahan kakinya melangkah ketepian pembatas, hatinya masih terluka karena ucapan Dimas yang selalu menuduhnya memanipulasi orangtuanya dan luka itu semakin besar karena pertengkarannya dengan Wisnu.

"Kenapa, kenapa kalian semua begitu kejam padaku?" Tangisan Laura terdengar semakin kencang tepat saat Dimas sampai di atap.

Dimas begitu terkejut karena melihat Luara sudah berada di tepi pagar pembatas, tubuhnya terlihat gontai dan gadis itu perlahan berpegangan pada pagar pembatas, tanpa membuang waktu Dimas segera berlari menghampiri Laura dan memeluknya dari belakang.

"Apa yang kamu lakukan? Bukannya kita sudah sepakat kalau kamu hanya boleh mati jika aku yang membunuh mu?"

Tubuh Laura lunglai, pelukan Dimas membuatnya semakin lemah sampai ia tidak mampu untuk meronta meminta Dimas melepaskannya.

"Jangan terluka, aku mohon..." Bisik Dimas, tanpa sadar air metanya ikut menetes. Tanpa melepaskan sedikitpun pelukannya, Dimas memutar tubuh Laura agar ia dapat menatap wajah Laura.

"Aku sudah melakukan segalanya tapi kenapa aku masih di perlakukan sama?"

Ekspesi Laura serta suaranya yang tidak berdaya membuat Dimas tidak dapat mengatakan apapun selain memeluknya lebih erat lagi.

"Kenapa sedikitpun tidak ada yang berubah? Harusnya aku mati saja waktu itu, harusnya bukan di jalan raya tapi sekalian saja masuk jurang atau tenggelam di laut, atau ke rel kereta api, atau dimanapun itu asal aku tidak ada lagi sini sekarang."

Ucapan Laura mengingatkan Dimas akan kecelakaan yang pernah Laura alami, apakah saat itu ia mencoba bunuh diri? Tapi Wendy bilang Laura sengaja merekayasa kecelakaan itu demi mendapatkan simpati darinya?

"Aku pikir aku sudah berubah, aku pikir aku akan menang..."

Laura tertawa getir dan perlahan melepaskan pelukan Dimas, "Aku..."

"Dimas, aku..."

Air mata Laura kembali menetes dan perlahan Laura melangkah mundur, wajahnya sudah terlihat sangat pucat.

"Hey, maki saja aku... jika kamu merasa sesak, keluarkan saja dan marahi aku." Ucap Dimas, ia menahan tangan Laura agar Laura tidak melangkah menjauh darinya. "Kamu membenci ku kan, pukul saja aku, jangan seperti ini, kamu membuatku sulit menunjukan kebencianku sekarang."

"Dimas aku lelah."

"Maka kemarilah, bersandar padaku!"

"Aku ingin menyerah."

"Jangan, aku belum puas menyakiti mu."

Perlahan Dima menarik tubu. Laura agar jarak diantara mereka menghilang.

"Tunjukan kebencian mu, aku rindu..."

Ucap Dimas dengan lembut.

"Aku malu," Gumam Laura pelan seraya melepaskan tangan Dimas.

"Kenapa malu, kita sudah sering mempermalukan satu sama lain kan?"

"Aku menyedihkan sekarang."

"Apa perlu aku menghajarnya?"

Laura mengangkat pandangannnya, apa Dimas menyaksikan pertengkarannya dengan Wisnu?

"Kamu menguping?"

"Aku tidak mendengar semuanya kecuali saat dia berteriak dan kamu menamparnya."

"Harusnya kamu datang dan pukul dia."

"Apa boleh aku memukul kakak mu."

"Kamu sudah pernah melakukannya dulu kan."

"Benar, dia sangat mengganggu."

Percakapan ini membuat Laura sedikit merasa lebih baik hingga ia sedikit tersenyum.

"Aku akan menghajrnya sekarang? Berani sekali dia membuatmu menangis padahal itu adalah tugas ku!"

Meskipun wajahnya masih di penuhi air mata tapi tapi Laura perlahan tertawa, walaupun itu adalah tawa getir.

"Ayo..."

Dimas mengulurkan tangannya berharap jika Laura akan menyambut tangannya karena wanita itu hanya diam menatapnya penuh tanya.

"Ayo, kamu harus melihat sendiri saat aku menghajarnya."

"Jangan buat dia mati ya..."

"Sekarat boleh?"

"Boleh!" Jawab Laura yang akhirnya menyambut uluran tangan Dimas dan membiarkannya menggandengnya.

...

"Harusnya kita naik lift." Keluh Laura yang merasa tubuhnya semakin lemas karena harus menuruni banyak anak tangga.

"Kita akan naik lift di lantai berikutnya. Seharusnya kamu bilang sejak tadi."

"Kamu kan yang menuntunku!"

"Tapi tadi kamu berlari naik tangga, aku pikir kamu suka naik tangga."

"Itukan karena aku sedang kalut."

"Jadi gak terasa lelah?"

"Lelah sih..."

Dimas tersenyum, perdebatan ini jauh lebih baik daripada harus melihat Laura menangis tidak berdaya.

"Dimas, ayo istirahat sebentar..." Ucap Laura yang langsung menghentikan langkahnya dan melepaskan tanggannya lalu berpegangan pada pagar tangga.

"Kamu baik-baik saja? Apa bekas luka operasimu sakit lagi?"

Laura menggelengkan kepalanya, "Aku hanya sedikit..."

"Laura!!!"

Dimas berteriak saat tubuh Laura tiba-tiba saja terjatuh, untung saja ia tepat waktu menari tubuh Laura sehingga tubuh Laura tidak tergelincir di tangga.

"Laura... Kamu mendengarku, Laura? Laura!"

Tanpa pikir panjang Dimas mengangkat tubuh Laura dan menggendongnya. Ia berlari menuruni anak tangga hingga sampai di depan pintu darurat lalu membawa Laura memasuki lift.

Untung saja lift degan cepat turun ke lantai paling bawah tapi itu sama sekali tidak mengurangi kepanikan Dimas. Ia berlari mengabaikan siapapun yang memanggilnya termasuk Wendy yang baru saja tiba di loby berniat untuk bertemu dengannya dan meminta kejelasan dari apa yang Laura katakan tapi pemandangan Dimas yang berlari sambil menggendong Laura yang terlihat pingsan membuatnya sangat terkejut.

"Dimas! Dimas!" Wendy terus memanggil sambil berlari berusaha menyusul tapi Dimas tetap mengabaikannya, ia berlari menuju mobil yang sudah di siapkan oleh pihak keamanan begitu melihat Dimas keluar dari lift dengan menggendong Laura yang pingsan.

"Cepat ke rumah sakit sekarang!" Teriak Dimas pada supir dan mobil seketika melaju meninggalkan Wendy di belakang yang masih berteriak memanggil.

Dimas sangat cemas, ia tidak menghiraukan apapun termasuk suara ponselnya yang terus berdering. Wajah Laura yang pucat serta tubhnya yang terasa dingin membuat DImas panik, ia terus memeluk Laura erat dalam dekapannya berharap jika hangat tubuhnya dapat menyadarkan Laura.

***

Dimas menunggu dengan gelisah saat dokter memeriksa keadaan Laura sementara tangannya terus menggenggam tangan Laura.

"Apa luka bekas operasinya kambuh lagi?" Tanya Dimas segera setelah dokter selesai memeriksa Laura.

"Luka bekas operasinya memang sudah sembuh tapi dia masih harus menjalani perawatan karena ia hanya hidup dengan satu ginjal sekarang. Dia tidak boleh terlalu kelelahan."

Dimas menyesal sekarang, tidak seharusnya ia membiarkan Laura berlari menaiki tangga menuju atap perusahaan padahal gedung perusahaannya sangat tinggi.

"Terima kasih, dok..."

Dimas duduk lemas sekarang, ia tidak bisa tenang karena Laura masih belum juga sadar tapi dering ponselnya yang sejak tadi berdering membuat Dimas akhirnya memutuskan untuk melihat siapa yang meneleponnya.

"Kamu ingin putus dengan ku?"

Pertanyaan itu langsung masuk ke telinga Dimas begitu ia mengangkat telepon dari Wendy.

"Apa yang kamu bicarakan?" Tanya Dimas dengan nada marah, rasa khawatirnya kepada Laura membuatnya menjadi emosional.

Sudah sejak terakhir kali mereka bertengkar dan Wendy tidak pernah menghubunginya begitu juga dengannya, ia memang sengaja supaya Wendy sadar jika perbuatannya salah dan seharusnya ia minta maaf sekarang bukan malah kembali mengajaknya bertengkar.

"Kamu sungguh akan menikah dengannya?"

"Apa yang kamu bicarakan?"

"Kenapa kamu terus meneriaki ku? Aku bertanya apa kamu sungguh akan menikah dengan Laura?"

"Sudahlah, ini bukan waktunya bertengkar. Aku akan menghubungi mu lagi nanti!"

Tanpa ragu Dimas langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia kesal karena Wendy masih terus saja cemburu buta padahal ia sudah menjelaskannya waktu itu.

...