Chereads / Menikah tapi benci / Chapter 30 - Muak

Chapter 30 - Muak

"Jika benci adalah bahasa mu menyatakan cinta, maka teruslah berusaha, aku tidak akan mudah lagi hancur seperti sebelumnya."

"Sial, dia sangat menawan saat mengatakan itu." Dimas mengusap wajahnya dengan kedua tangannya saat bayangan Laura kembali muncul di pikirannya. Sejak tadi ia berusaha menghindari Laura, sorot matanya terlihat sangat seksi dan bahkan bibirnya yang tidak sedang tersenyum itu terlihat sensual. Wanita itu adalah bahaya yang sangat besar, setiap dia menunjukkan kebenciannya setiap itu juga Dimas ingin menariknya dan menguasainya.

"Ini hanya bagian dari naluri ku." Sekali lagi Dimas meyakinkan dirinya jika ketertarikannya kepada Laura semua bukan karena cinta. "Mustahil jika benci adalah bahasa lain dari cinta, jika itu benar maka sudah lama aku menikahimu."

Mengelak dan mengelak, ia berusaha dengan sangat keras tapi wajah Laura kembali muncul dalam pikirannya hanya saja kali ini membuat hatinya merasa tidak nyaman.

"Dimas! Aku membencimu selayaknya kamu membenci ku, sebanyak kamu ingin menyakitiku, tapi tolong jangan paksa aku untuk membenci orangtua mu!"

"Kenapa dia memasang ekspresi itu?" Dimas mengeratkan rahangnya, wajah sedih Laura sangat mengganggunya, ini keterlaluan karena membuat merasa bersalah.

"Kenapa dia bersikap seperti itu? Mereka orangtua ku lalu apa hak mu menginginkan kasih sayang dari mereka?"

"Padahal aku sudah menghilang tapi kenapa masih saja mencariku?"

"Padahal hanya mereka satu-satunya yang membuatku merasa disayangi."

"Apa dia berniat untuk kabur lagi?"

Dimas sudah tidak tahan lagi, ia segera beranjak bangun dan bergegas pergi bertepatan dengan Rini yang datang membawakan makan siang untuknya.

"Pak, ini makan siang Anda."

"Letakan saja di meja."

Dimas tidak menoleh sama sekali, langkah kakinya tidak bisa terkontrol. Ia berjalan sangat cepat hingga ia kembali menjadi pusat perhatian, sayangnya perhatian Dimas saat ini hanya terfokus pada Laura. Ia ingin segera menemui gadis itu dan memastikan jika Laura tidak berusaha kabur lagi.

Tanpa membuang waktu, Dimas segera melangkah menuju ruangan Laura tapi ia tidak ada di ruangannya jadi ia segera mencari Laura di ruangan ayahnya.

"Ada apa?" Tanya Pratama yang melmihat ekspresi cemas Dimas tapi Dimas tidak menjawab, ia hanya melihat ke setiap sudut ruangan dan memastikan jika Laura juga tidak ada di ruangan ayahnya.

Dimas kemudian melangkah keluar, ia melihat arlojinya yang masih menunjukan jam makan siang, mungkin saja Laura sedang pergi makan siang tapi Dimas sama sekali tidak dapat tenang jika ia tidak memastikan langsung dengan mata kepalanya sendiri jika Laura memang sedang makan siang.

"Kemana dia pergi? Kenapa dia tidak menjawab telepon ku? Sialan, harusnya aku tidak membuatnya menangis sampai seperti itu!"

Laura merasa ada sedikit kepuasan setelah membalas tamparan Wendy sebelumnya walaupun dengan segelas kopi dingin, tapi da sesuatu yang mengganjal pikirannya yang membuatnya cemas hingga terus mengigiti kukunya. "Apa yang kamu lakukan, Laura? Bisa-bisanya aku berkata seperti itu, aku calon istri? Seprtinya kemarahanku kepada Dimas membuatku jadi bodoh." Laura terus mendumal pada rinya sendiri, awalanya ia memang sengaja mengatakan hal itu hanya ingin membuat Wendy kesal dan akhirnya ia bertengkar dengan Dimas tapi bagaimana jika Dimas malah melamar Wendy untuk membuktikan omongannya salah? "Mau di taruh dimana wajah ini" jika itu benar-benar terjadi, Laura sungguh menyesali tindakannya.

Laura menghela nafas berat, pikirannya sangat kacau hingga membuatnya tidak sadar jika ia sudah berada di tempat parkir perusahaanya sekarang padahal ia berjalan kaki ke café, untuk apa ia harus ada di tempat parkir jika ia bisa langsung masuk lewat loby.

"Kepalaku seakan mau meledak." Keluh Laura sambil mengacak-acak rambutnya.

"Kamu baik-baik saja?"

Laura mengangkat pandangannya saat seseorang tiba-tiba bertanya, ia sungguh bodoh, dua kali lebih bodoh karena berjongkok di tengah-tengah tempat parkir seperti ini.

"Kamu sakit? Kamu mau ke rumah sakit?"

"Wisnu…"

Laura sangat terkejut melihat Wisnu yang saat ini juga ikut berjongkok dan perlahan membantunya untuk bangun.

"Apa yang kamu lakukan disini?" Tanya Laura bingung tapi bukan menjawab Wisnu malah menariknya ke dalam pelukannya dan memeluknya erat.

"Kamu sangat marah padaku sampai bersembunyi seperti ini? Aku lega karena bisa bertemu dengan mu lagi."

Pelukan ini terasa hangat, Laura dapat merasakan jika tubuh Wisnu gemetaran. Apa dia sungguh khawatir?

Selayaknya seorang kakak yang khawatir kepada adiknya, apa rasa sayang ini tulus? Laura bertanya-tanya tanpa berani membalas pelukan Wisnu.

Tanpa Laura ketahui jika Dimas baru saja tiba di tempat parkir dan langsung menghentikan langkahnya begitu melihat seorang pria memeluk Laura dengan sangat erat.

Dimas melangkah mendekat, ia ingin memastikan siapa pria yang telah berani memeluk Laura dan Laura sama sekali tidak terlihat keberatan akan hal itu.

"Aku pergi mencarimu ke apartemen mu tapi kamu tidak ada dan beberapa hari yang lalu apartemen itu sudah di tempati oleh orang lain. Aku hampir gila karena khawatir sesuatu yang buruk terjadi padamu. Kenapa kamu menghilang dan tidak menghubungi ku?" Wisnu terus bertanya tanpa melepaskan pelukannya.

"Kenapa kamu pergi sendirian?" Wisnu kembali bertanya, suaranya sudah terdengar bergetar dan tidak lama setelah itu Laura merasakan bahunya perlahan basah.

"Kamu menangis?" Laura akhirnya bicara seraya melepaskan pelukan Wisnu.

"Kenapa kamu menangis?" Tanya Laura lagi.

"Aku takut tidak akan bisa bertemu dengan mu lagi."

"Kenapa?"

"Kamu sangat marah padaku saat itu dan aku memang sudah memiliki banyak kesalahan padamu, aku takut aku tidak memiliki kesempatan untuk memperbaikinya."

Laura kembali diam, ia hanya diam dan menatap Wisnu seakan mencari kebenaran dari ucapannya.

"Kamu tidak ingin pulang?"

"Jadi tujuanmu datang mencariku untuk mengajak ku pulang?"

"Aku hanya ingin kita selalu berdekatan, aku tidak ingin kamu merasa sendirian lagi."

Ucapan Wisnu bukannya menghangatkan tapi membuat hati Laura semakin tersayat, ia berusha untuk menahan tangisnya dan berkata,

"Kamu tinggal dimana sekarang?"

"Di rumah bos ku."

Wisnu begitu terkejut saat Laura mengatakan ia tinggal dengan bosnya, itu berarti ia juga tinggal bersama Dimas. Kemarahan langsung membumbung memenuhi jantungnya.

"Pulanglah dengan ku."

"Apa kamu tahu kenapa aku pergi dari rumah?"

"Aku tahu ayah dan ibu keras padamu, tapi aku janji itu tidak akan terulang lagi."

"Sudahlah Wisnu, kamu tidak cocok berbicara dengan lembut padaku, katakan saja jabatan apa yang kamu inginkan sampai kamu mendadak berubah?"

"Apa maksud mu?"

Wisnu tidak mengerti apa yang di maksud oleh Laura tapi itu justru membuat Laura merasa muak, "aku pergi karena ayah dan ibu memintaku untuk mewujudkan impian mu dan Jesica. Mereka memintaku meminta imbalan pada bos ku, mereka menyuruhku memanipulasi kebaikan mereka demi kalian, aku sudah tahu… Aku sudah tahu kamu hanya sedang berakting jadi aku mohon berhentilah. AKU MUAK!"

"Aku sama sekali tidak mengerti apapun yang kamu ucapkan, Mimpi apa? Jabatan apa yang kamu maksud?" Wisnu menjawab dengan nada suara yang tidak kalah kencang, ia terlihat sangat marah sekarang membuat tangisan Laura semakin kencang. "Apa aku begitu buruk dimata mu? Kenapa sedikitpun kamu tidak percaya padaku padahal kita tumbuh besar bersama, Laura!"

Wisnu kemudian mencengkram kedua lengan Laura dengan kencang dan menatapnya tajam.

"Mereka hanyalah orang asing, bagaimana bisa kamu tinggal bersama mereka?"

"Karena sekalipun kamu tidak pernah memperlakukan ku dengan baik, sekalipun kalian tidak pernah memperlakukan ku seperti keluarga! Orang yang kamu sebut sebagai orang asing adalah orang yang memperlakukan ku seperti keluarga. Sesuatu yang tidak pernah kalian berikan kepadaku karena sekalipun kamu tidak pernah memperlakukan ku dengan baik,SEKALIPUN KALIAN TIDAK PERNAH MEMPERLAKUKAN KU SEPERTI KELUARGA!"

"KARENA KAMU MEMANG BUKAN…"

"Plak!" Tamparan keras mendarat di pipi Wisnu hingga Wisnu terdiam seketika.

"Tega sekali kamu…" Tukas Laura sebelum berlari pergi meninggalkan Wisnu yang masih terpaku di tempatnya dan menangis menyesali pertengkaran mereka.

….