"Laura… Laura!"
Dimas membuka kedua matanya secara perlahan saat mendengar suara yang membuatnya terbangun dan baru lah ia sadar jika pagi telah tiba dan punggungnya terasa nyeri akibat ia tidur sambil duduk bersandar di balkon serta rasa dingin yang menusuk tubuhnya akibat embun.
"Hei, buka pintunya!" Teriak Dimas, tubuhnya menggigil kedinginan tapi ia tidak melupakan kekesalannya pada Laura yang sudah dengan berani menguncinya di balkon semalaman.
"Hei, apa kamu tuli?!" Teriak Dimas sekali lagi, ia bahkan menendang pintu penyekat dengan sangat kencang dan betapa terkejutnya ia melihat Wisnu keluar dari dalam kamar Laura.
"Apa yang kamu lakukan disitu?" Tanya Dimas dan Wisnu secara bersamaan, mereka sama-sama tidak menduga akan bertemu kembali dalam situasi tidak mengenakan ini.
Dimas mengira jika Wisnu tidur sekamar dengan Laura sementara Wisnu mengira Dimas sengaja bersembunyi di balkon agar bisa mengintip Laura.
Dengan marah Wisnu membuka pintu balkon dan langsung mencengkram kerah baju Dimas. "Kenapa kamu bisa ada disini?" Tanya Wisnu, matanya menatap tajam, ia siap memukul Dimas sekarang juga.
"Harusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan di kamar Laura?" Dimas balik bertanya, sorot matanya tidak kalah tajam, ia bahkan mendorong tuubuh Wisnu hingga tubuh Wisnu terhempas membentur pintu.
"Kalian sudah sangat dewasa, bagaimana bisa kalian tidur di kamar yang sama!"
"Itu urusan kami!"
Dimas tidak dapat menerimanya jika ada pria lain yang lebih dekat dengan Laura daripada dirinya meskipun itu adalah kakak Laura sekalipun. Justru Dimas merasa ada yang berbeda dari cara Wisnu marah padanya dan caranya menatap Laura kemarin. Itu jelas bukan rasa khawatir seorang kakak kepada adik perempuannya tapi cemburu antara seorang pria kepada seorang wanita.
"Aku tidak perduli apapun hubunganmu dengan Laura, dia tidak akan pernah aku lepaskan."
"Aku tidak akan membiarkanmu mendekati Laura."
"Sayangnya Laura tergila-gila padaku!"
Dimas menyeringai, ia tersenyum penuh kemenangan saat mengatakan kalimat yang membuat wajah Wisnu pucat seketika. Ia kemudian melepaskan kerah baju Wisnu lalu melangkah pergi dan sebelum itu ia mengambil secarik surat 'menyebalkan' yang Laura tempelkan di pintu balkon saat meninggalkannya semalam. Ia tidak ingin surat konyol ini membuat Wisnu menertawakannya.
…
Amarah yang memenuhi dada Dimas tidak juga reda, seharusnya ia dapat mengatur emosinya tapi segala hal yang bersangkutan dengan Laura membuatnya berkali-kali lipat menjadi lebih emosional.
Ia jelas membenci gadis itu tapi ia juga tidak bisa membayangkan Laura berbagi senyuman dengan pria lain. Wisnu bahkan mengetahui sandi apartemennya! Sudah berapa kali pria itu menyelinap masuk dan langsung menerobos ke dalam kamar Laura?
"Sial!" Tidak ada yang bisa Dimas lakukan selain mengumpat apalagi saat ia tidak bisa menghubungi Laura dan yang membuatnya semakin kesal saat ia teringat jika Laura meninggalkan ponselnya di rumah orangtuanya . Wanita itu bahkan meminjam uang karena dompetnya juga tertinggal, lalu bagaimana Laura bisa pergi? Kemana dia pergi tanpa memiliki sepeserpun uang bahkan seseorang yang bisa ia hubungi?
"Sudah jam berapa sekarang?" Dimas melihat kearah arlojinya, masih jam tujuh pagi. Apa ia harus mengecek ke kantor?
"Oh Tuhan, aku bisa gila karenanya!"
…
Dimas datang lebih pagi dari biasanya, itu karena ia langsung bergegas ke kantor tanpa pulang lebih dulu dan berharap Laura tidur di kantor semalam. Tanpa membuang waktu ia berlari ke ruangan Laura dan tidak ada siapapun disana. Ia kemudian mencari Laura di ruang asistenya karena biasanya Laura selalu memberikan tugas kepada para asistennya sebelum ia berdiam di ruangannya.
"Dimana Laura?" Tanya Dimas tanpa basa-basi kepada tiga orang asisten Laura yang langsung saling memandang bingung karena tidak seperti biasanya Dimas yang selalu rapih dan tenang tiba-tiba datang mencari Laura dengan penampilan kacau seperti orang yang baru saja patah hati dan mencari Laura seperti seorang yang memang sengaja kabur.
"Ibu Laura masih cuti." Jawab salah satu asisten Laura dengan gugup karena takut Dimas akan marah, dia terkenal sensitive jika itu menyangkut tentang Laura. Bahkan rumor sudah menyebar luas tentang hubungan misterius antara Laura dan Dimas.
"Kemana perginya dia?" Dimas bergumam, ia terlihat frustasi yang membuat para asisten Laura semakin yakin dengan kebenaran rumor itu.
"Apa yang kamu lakukan disini?"
Dimas menoleh mendengar suara ayahnya, ia langsung memalingkan wajah dan bergegas pergi tanpa menjawab pertanyaan ayahnya itu.
Pratama hanya bisa menghela nafas berat lalu bertanya pada asisten Laura. "Apa yang dia lakukan disini?"
"Pak Dimas mencari ibu Laura."
"Cepat cari tahu dimana keberadaan Laura." Bisik Pratama satu dari dua pengawalnya. Ia yakin jika Dimas sudah mencari Laura disini tandanya Laura tidak ada di apartemennya.
…
Laura menghiang dia menciptakan kekacauan besar diperusahaan.
Pratama dan Dimas sibuk mencarinya hingga mengabaikan pekerjaan mereka dan itu membuat Rini merasa ikut bersalah.
"Sampai kapan kamu mau bersembunyi?" Tanya Rini sepulang kerja pada Laura yang selama ini menumpang di rumahnya. Awalnya ia terkejut kenapa Laura jam dua pagi berada di depan apartemennya, ia terlihat kacau bahkan tidak mampu membayar taksinya.
"Apa kamu terganggu karena aku disini?"
"Bukan begitu, Ra…"
Rini tentunya tidak ingin menambah kesedihan yang sepertinya sedang berteman dekat dengan Laura, tapi ia juga merasa sikap Laura yang bersembunyi sekarang juga tidak benar.
"Aku seneng kamu ada disini, misal kamu mau tinggal disini juga aku gak masalah. Tapi seenggaknya kembali keperusahaan. Kalau kamu mau berhenti kamu harus buat surat mengunduran diri yang jelas. Kamu gak bisa menggantung mereka semua apalagi Dimas, dia keliatan putus asa." Ucap Rini menyarankan, sebagai sekretaris Dimas, ia cukup direpotkan dengan sikap Dimas yang semakin buruk karena Laura mendadak menghilang walaupun ia tidak tahu hubungan apa sebenanrnya yang terjadi antara Dimas dan Laura. Seperti rahasia umum, semua orang mengetahui kedekatan mereka tapi tidak ada kepastian hubungan apa sebenarnya yang mengikat Laura dan Dimas bahkan Pratama juga ikut terlihat kacau.
"Entah lah, aku senang kalau dia menderita." Jawab Laura tanpa semangat, sorot matanya terlihat kosong. Ia selalu dihantui oleh predikat manipulatif yang disematkkan oleh Dimas kepadanya. Itu membuatnya tidak pantas berada dimanapun terlebih orangtuanya benar-benar tidak mencarinya, itu membuatnya dua kli lebih menderita sekarang.
"Tapi yang aku lihat kamu juga menderita."
Laura terdiam, ia memilih untuk menarik selimutnya lebih tinggi tanda jika ia ingin tidur dan akhirnya Rini hanya bisa meninggalkannya.
…