"Sebentar saja… Terkadang kamu terlalu nyaman untuk menjadi musuhku." Bisik Dimas seraya mempererat pelukannya.
"Maka seharusnya kamu berhenti memusuhi ku."
"Tidak bisa, aku selalu cemburu setiap kali kamu dekat dengan orangtua ku."
Laura sedikit terkejut mendengar alasan Dimas membencinya, apa selama ini ia memang terlalu memanupuatif orangtuan Dimas sehingga ia merasa cemburu?
"Aku sama sekali tidak berniat merebut mereka dari mu."
"Tapi kenyataannya mereka selalu terlihat lebih menyayangimu dibandingkan dengan ku."
"Karena aku memperhatikan mereka tapi kamu menentang mereka. Mereka hanya jengkel tapi mereka akan selalu lebih menyayangimu…"
Percakapan ini membuat hati Dimas menghangat, perlahan ia melepaskan tangannya yang sebelumnya mengunci tubuh Laura.
"Pakai bajumu cepat sebelum aku kembali menjadi buas." Bisik Dimas, tangannya yang nakal dengan sengaja melepaskan tali jubah mandi tapi untung saja Laura dengan cepat memegangi jubahnya sebelum terlepas dan beranjak menjauh.
"Dasar srigala!" Cibir Laura sebelum akhirnya ia pergi melangkah menuju ruang ganti pakaiannya.
"Jangan lupa kunci pintunya, srigala ini terkadang sangat nakal."
"Tentu saja, aku sangat tahu keselamatan ku tidak terjamin dengan keberadaanmu disini sekarang." Teriak Laura dari dalam ruang ganti pakiaannya setelah mengunci pintunya rapat dan akhirnya ia bisa bernafas dengan lega karena tadi nyaris saja.
...
Laura sudah selelsai memakai baju, ia kemudian keluar dari kamarnya dan Dimas sudah menantinya di meja makan dengan semangkuk bubur bersamanya.
"Kamu belum pergi?" Tanya Laura sedikit terkejut karena Dimas masih berada di apartemennya.
"Aku masih belum mendapatkan yang aku inginkan."
"Apa? Aku?" Tanya Laura berpura-pura tidak mengerti sambil melangkah menuju meja makan tempat dimana Dimas berada sekarang.
"Jika kamu mengijinkan."
"Tidak akan pernah!"
Dimas kembali tersenyum, entah sudah berapa banyak senyuman yang Dimas perlihatkan hari ini tapi dia menjadi dua kali lebih tampan saat wajahnya tersenyum, andaikan saja dia terus seperti ini.
"Hanya satu?" Tanya Laura saat menyadari hanya ada satu mangkuk bubur di atas meja makannya sekaligus untuk menghentikan pikiran konyolnya yang berharap jika Dimas akan terus tersenyum seperti ini.
"Aku takut kamu menuduhku meracuni mu jadi sebaiknya kita makan bersama." Jawab Dimas setelah selesai menata meja makan.
Laura tersenyum tidak percaya, ini gila karena ia merasa seperti sedang di perhatikan oleh kekasihnya seberapapun kerasnya ia mencoba untuk menolaknya.
"Bilang saja jika kamu ingin makan semangkuk berdua dengan ku." Sepertinya rasa takut yang ia tunjukan saat di kamar tadi hanyalah sandiwara karena Laura dengan berani dan sengaja menggoda Dimas yang kini duduk di sebelahnya dan tidak lupa ia menyentuh dagu Dimas dengan jarinya.
"Jangan mulai lagi, aku tidak bisa bersabar terlalu banyak." Ucap Dimas memperingatkan sambil memberikan sebuah sendok kepada Laura tapi Laura tidak langsung menggunakan sendok itu, ia malah hanya memandanginya tanpa menyentuhnya.
"Apa yang kamu tunggu?" Dimas mulai tidak sabar karena ia juga sudah mulai lapar tapi Laura masih saja memandangi bubur buatannya seakan itu adalah semangkuk racun tikus.
"Aku merasa akan segera pingsan karena bubur ini terasa tidak nyata."
"Bubur ini sangat lezat dan nyata, aku akan membuktikannya." Dimas yang sudah tidak sabar kemudian memakan suapan pertama dari bubur buatannya dengan ekspresi senang sekaligus bangga.
"Lihatlah, ini sangat lezat, aku tidak bohong."
"Bagaiamana dengan sendoknya?"
"Ada apa dengan sendoknya?"
"Astaga, tidak ada apa-apa pada sendok itu."
"Aku kan hanya antisipasi, siapa tahu kamu masih ingin meracuniku."
Dimas sudah tidak tahan lagi, ia kemudian menarik sendok itu dari tangan Laura lalu dengan cepat ia menyuapi Laura dengan sendok yang sebelumnya ia pakai.
"Dasar jorok!" Keluh Laura setelah menelan bubur itu habis.
"Jorok?"
"Mengapa kamu menyuapiku dengan sendok bekas mu?"
"Siapa yang menuduhku memberikan racun pada sendok bersih yang seharusnya kamu pakai untuk makan sekarang?"
Laura terdiam sejenak karena kalah beragumentasi dengan Dimas. "Tetap saja salivamu…" Mendadak Laura menghentikan ucapannya dan Dimas langsung dapat menebak apa yang membuat Laura mendadak diam.
"Salivaku kenapa?"
"Tidak, siapa yang membicarakan saliva mu? Aku hanya bilang tidak suka kacangnya." Ucap Laura mengelak. "Cepatlah, aku sudah sangat lapar." Lanjutnya yang dengan sengaja mengalihkan pembicaraan agar ia bisa menghilangkan sedikit kegugupannya.
"Wajah mu memerah…" Goda Dimas sambil menyuapi Laura.
Laura kemudian menyentuh wajahnya, "Apa aku demam?" Ucapnya berpura-pura bingung padahal ia tahu dengan jelas apa penyebabnya.
"Mungkin?" Ucap Dimas sambil menaikan sebelah alisnya dan menyeringai lalu sedetik kemudian ia menyentuh wajah Laura dan menahannya dengan kedua tangannya agar Laura tetap menghadap ke arahnya.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Laura dengan suara yang tidak begitu jelas sambil berusaha melepaskan tangan Dimas dari wajahnya.
"Aku akan memeriksa apa kamu benar-benar demam atau tidak." Jawab Dimas dan sedetik kemudian ia berhasil mendaratkan bibirnya tepat dipermukaan bibir Laura.
"Benar demam ternyata, aku akan mengobatinya agar kamu tidak lagi demam."
Kedua mata Laura membulat sempurna, Dimas sama sekali tidak membiarkannya lepas karena ia terus memegangi wajahnya saat kembali menciumnya namun kali ini bukan hanya sekedar kecupan karena ciuman ini terasa menuntut.
Seperti gadis bodoh yang polos dan tidak pernah berciuman, tubuh Laura diam mematung, ia bahkan mengepalkan kedua tangannya untuk menahan kegugupannya.
Kemana semua rasa benci itu pergi?
Selalu saja seperti ini! Kelemahanku selalu sama yaitu sentuhannya, aku ingin menjerit meminta tolong tapi ciuman ini terasa manis dan aku menikmatinya.
"Hei, jangan diam saja…"
Laura semakin tertegun ketika Dimas tiba-tiba saja melepaskan ciumannya hanya untuk sekedar protes tapi suara Dimas terdengar sangat lembut dan mampu menyihirnya dengan sangat cepat karena ia kembali diam saat Dimas menciumnya lagi dan seperti permintaan Dimas, ia membalas ciuman bodoh yang terjadi begitu saja tanpa alasan yang jelas dengan hubungan rumit yang mengikat mereka.
"Berani sekali kamu menciumnya setelah apa yang sudah kamu lakukan kepadanya!"
Laura begitu terkejut saat tubuh Dimas tertarik dengan begitu cepat dan sekarang Dimas sudah tersungkur di lantai dengan luka robek di sudut bibirnya.
***