"Enak?" aku bertanya untuk menggoda Astro saat melihatnya kepedasan, tapi tetap melanjutkan makan.
Saat dia menukar makanannya denganku beberapa waktu lalu, aku tidak memperhatikan ekspresi makannya karena aku sedang merasa kesal. Sekarang aku tahu ternyata dia memang menyukainya.
Astro tersenyum lebar sekali walau senyumnya segera lenyap, "Tapi ga boleh sering-sering."
"Kenapa kamu pesen es semangka? Kayaknya kamu ga pernah pesen itu sebelumnya." aku bertanya sambil menurunkan kaleng dari kepala dan mulai menyendok kwetiau.
"Liat kamu minum itu kayaknya enak."
"Kita lagi tukeran selera atau gimana sih?" aku bertanya saat mengingat aroma samponya yang juga ingin kumiliki.
Astro menaikkan bahu, "Aku ga keberatan tukeran selera sama kamu. Selera kamu bagus."
Kalimatnya membuatku berpikir. Entah kenapa atau apakah aku hanya berpikir berlebihan, tapi sejak aku mengelus kepalanya di teras belakang, dia lebih terbuka dengan kalimat-kalimatnya. Sering terasa seperti dia sedang mengungkapkan ... astaga, bagaimana mungkin aku berpikir seperti itu?
Sepertinya aku benar-benar perlu menjernihkan pikiranku. Aku mengambil kaleng yang kupakai untuk meredakan sakit bekas terbentur dagunya, lalu kuletakkan di dahi. Aku sangat berharap bisa menghilangkan pikiran-pikiran aneh ini.
"Perasaan di situ tadi ga kena." ujar Astro dengan alis mengernyit mengganggu.
"Panas." ujarku mencoba memberi alasan dan melanjutkan aktivitas makanku.
"Iya sih. Weekend ini kamu mau ke toko?"
"Aku ada janji nge-date malem minggu ini." ujarku asal saja.
Astro menghentikan suapannya dan menatapku tajam, "Sama siapa?"
Aku mengangkat bahu dan tak menjawab pertanyaannya.
"Faza." dia memanggilku dengan nada serius dan membuatku menoleh padanya. Entah kenapa tatapan matanya terlihat menderita.
"Aku sama Mayang kan mau nginep di rumah Denada." ujarku sambil menurunkan kaleng dingin dari dahi karena ingin melihat ekspresinya lebih jelas.
Astro menyentil dahiku dengan kencang, "Jangan bercanda begitu. Aku ga suka."
Aku mengelus dahi yang disentil olehnya. Sebetulnya rasanya tak terlalu sakit, tapi entah kenapa hal itu terasa mengganggu. Aku tahu ada kegusaran dalam tatapan matanya walau dia tak mengatakan apapun lagi.
Kami menghabiskan makanan tepat saat bel berbunyi. Kami kembali ke lantai tiga bersama, tapi terasa seperti ada jarak yang baru terbuka. Astro mendiamkanku, sementara aku tak berusaha meredakan kekesalannya. Kami bahkan berpisah di persimpangan koridor begitu saja tanpa mengatakan apapun.
***
Beberapa hari setelahnya Astro tetap menjemputku ke sekolah, tapi kami hanya akan diam sampai sarapan kami habis. Kami menunggu bel berbunyi dengan menghabiskan waktu berkutat dengan diri kami sendiri sebelum beranjak ke kelas kami masing-masing.
Astro menghindari bertatap mata denganku dan berhenti mengajakku bicara. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana hingga tanpa sadar aku pun mendiamkannya. Kami bahkan berhenti saling berkirim pesan yang membuat kami tak saling bertemu saat jam istirahat tiba.
Mungkin aku terlalu berlebihan saat menggodanya dengan berkata aku memiliki kencan. Aku berkali-kali memikirkan hal itu, tapi bibirku selalu tak mampu mengatakan apapun saat sedang bersamanya. Ini terasa aneh sekali.
Hari sabtu tiba, aku sampai di rumah besar bercat putih berpadu biru lembut dengan desain Victorian di sebuah komplek villa. Aku keluar dari mobil, membuka pintu tengah, memakai ransel dan menenteng dua box brownies untuk sahabat-sahabatku.
"Makasih ya, Pak. Faza titip Opa sama Oma." ujarku pada Pak Said yang mengantar.
"Iya, Mbak Faza."
Aku menghampiri pintu kayu besar yang terbagi menjadi dua sisi, lalu mengetuk ornamen khusus berbentuk singa yang terpasang di sana. Tak lama, Nanny Tris muncul dan tersenyum simpul saat melihatku.
"Nona Denada ada di kamar. Mari." Nanny Tris mengajakku mengikutinya ke lantai dua. Tepat di mana kamar Denada berada. Nanny Tris mengetuk pintu dan Denada muncul tak lama setelahnya.
"Faza!" pekik Denada sambil memelukku erat. "Thank you, Nanny."
Nanny Tris mengangguk dan berlalu. Sedangkan Denada menggiringku masuk ke kamar dan menutup pintu.
Kamar ini masih sama seperti yang kuingat. Dua kali ukuran kamarku di rumah Opa, dengan banyak ukiran bergaya Victorian yang sesuai dengan desain rumah. Ada beberapa ornamen, furniture dan lukisan yang sudah berganti dengan yang baru. Namun ada tiara dan bunga lavender artifisial yang kubuat lima tahun lalu bertengger cantik di sebuah rak kaca yang tertempel di dinding. Aku senang Denada masih menyimpannya dengan baik.
Aku menghampiri Mayang yang duduk di sofa tepat di sebelah jendela yang mengarah ke balkon. Kami saling berpelukan, seolah sudah lama sekali tak bertemu.
"Aku udah niat mau seneng-seneng dua hari ini. Aku mau lupain semua hal yang berbau ujian." ujar Mayang penuh semangat.
"Gitu dong, May. Jangan dibawa stres nanti cepet keriput. Aku bawa brownies nih. Aku bikin dua sesuai janji." ujarku sambil menyodorkan paper bag berisi dua box brownies pada Denada.
"Iih kamu baik banget! Makasih ya." ujar Denada sambil membuka satu box brownies dan menyimpan yang lainnya di kulkas kecil yang berada di sudut kamar. "Kakian mau susu, soda atau yoghurt?"
"Susu." ujar Mayang.
"Aku mau yoghurt." ujarku.
Denada kembali dengan minuman pilihan kami dan ikut duduk di sofa di samping jendela. Kami mengambil sepotong brownies untuk diri kami masing-masing dan menggigitnya.
"Gimana persiapan ujian kalian?" aku bertanya setelah menelan brownies di mulutku.
"Bukannya baru beberapa menit lalu aku bilang aku ga mau mikirin ujian?" Mayang menegurku.
"Oh sorry. Aku refleks nanya." ujarku sambil tertawa.
Denada menggelengkan kepala, "Kamu bakal tau gimana rasanya ujian sekolah tahun depan."
Aku tak mengatakan apapun dan hanya tersenyum menyadari kebenaran di kalimatnya. Mungkin tahun depan aku sedang merasa tertekan memikirkan ujian dan semua cabang toko kain Opa yang kukelola.
"Gimana sekolah kamu? Lebih seru dibanding homeschooling?" Mayang bertanya padaku.
Aku berpikir dalam diam. Aku ragu-ragu bagaimana harus menceritakan kejadian yang baru-baru ini terjadi tanpa membuat mereka khawatir.
Haruskah aku menceritakan semuanya?
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-