Mobil Zen memasuki halaman rumah saat hari sudah gelap. Aku melirik jam di lengan, pukul 18.32.
Dari dalam mobil aku melihat tiga orang di teras depan. Opa dan Ayah sedang duduk di kursi, sedangkan Astro berdiri menyandarkan punggung di kusen pintu. Entah bagaimana, tiba-tiba aku mendapatkan firasat buruk karena sepertinya mereka menungguku pulang sejak tadi.
"Kamu ikut turun ya, Zen. Aku kenalin ke opaku. Mm ... yang duduk di sebelah Opa itu ayahnya Astro."
Zen mengangguk. Aku tahu tatapan matanya tertuju ke Astro, dengan sedikit kekesalan yang tak mampu disembunyikan.
Kami turun dari mobil sesaat kemudian dan menghampiri teras. Opa, Astro dan ayahnya menatap kami berdua yang datang mendekat. Ada sesuatu di tatapan mereka yang tak kumengerti, walau sikap mereka terlihat baik-baik saja.
"Maaf ya Opa, Faza pulangnya kemaleman. Tadi nganter temen-temen yang lain dulu." ujarku sambil menyalami dan mencium tangan Opa, lalu melakukan hal yang sama pada Ayah.
Tak lama setelah aku dan Astro melakukan perjalanan bersama, ayah dan ibu Astro memintaku memanggil mereka dengan sebutan Ayah dan Ibu. Mereka berkata mereka sudah menganggapku seperti anak mereka. Aku menyanggupinya walau tetap merasa sungkan dan selalu menjaga sikap di sekitar mereka.
"Ini Zen. Temen sekelas Faza." aku berusaha menjelaskan keberadaan Zen.
Zen menyalami Opa dan Ayah bergantian, lalu memperkenalkan dirinya sendiri.
"Makasih ya udah nganter." ujarku. Entah kenapa, tapi aku berharap Zen segera pergi karena aku menyadari Astro menatapku tajam sejak tadi. Aku benar-benar merasakan firasat buruk.
"Maaf ya nganternya telat. Kamu jadi sampai rumah kemaleman. Saya pamit ya, Opa, Om." ujar Zen sambil menyalami Opa dan Ayah. Dia bertemu tatap dengan Astro sebelum berbalik dan pergi. Sementara aku menunggunya menyalakan mobil dan menghilang dari halaman.
"Faza masuk ya, Opa, Ayah. Mau mandi dulu." ujarku. Aku berjalan masuk setelah melihat Opa dan Ayah mengangguk.
Aku mengabaikan Astro, tapi Astro mengikutiku di belakang dan memanggilku dengan suara tertahan. Aku tahu dia menahan diri untuk tak bersikap tidak sopan di sekitar Opa dan ayahnya.
"Faza, tunggu." Astro memanggilku untuk yang entah keberapa kalinya.
Entah kenapa tenggorokanku terasa tercekat dan ingin sekali minum. Alih-alih masuk ke kamar, aku justru melanjutkan langkah menuju dapur. Aku mengamit gelas, membuka kulkas, menuang air dingin, dan meneguknya dengan cepat.
"Kamu ngehindarin aku?" Astro bertanya sambil menaruh tangann di sudut pintu kulkas.
"Ga kok." ujarku sambil mendorong pintu kulkas agar tangannya menjauh dariku, lalu berbalik tanpa menatapnya.
"Kenapa kamu ga angkat telponku?"
"Kamu nelpon?" aku bertanya sambil berlalu ke teras belakang karena merasa Opa akan mendengar pembicaraan kami andai kami tetap berada di dapur.
"Kamu bahkan ga cek hape kamu."
Astro benar. Setelah aku menemukan cincin pemberian darinya, aku lupa untuk mengecek handphone lagi. Saat aku menemui teman-temanku di mobil, aku sudah terlalu sibuk dengan mereka.
"Ada apa nelpon?" aku bertanya sambi menutup pintu dapur saat Astro sudah mengikutiku ke teras belakang.
"Opa minta aku jemput kamu, tapi kamu ga ada kabar." tepat setelah Astro mengatakannya, kami duduk di kursi panjang.
Aku menyandarkan punggung pada punggung kursi dan mengedarkan pandangan ke deretan pohon di ujung sana untuk menghindari tatapannya, "Kan aku udah bilang kamu ga usah jemput. Ada Zen yang nganter."
"Opa minta aku yang jemput kamu."
"Aku baik-baik aja kok dianter Zen."
"Jadi kamu lebih milih Zen?"
"Milih apa?" aku bertanya karena tak mengerti apa maksud ucapannya.
"Kenapa ga natap mataku dari tadi?" alih-alih menjawab Astro justru memberiku pertanyaan.
"Ga ada apa-apa kok." ujarku asal saja.
Mana mungkin aku mengatakan padanya jika menatapnya akan membuatku mengingat aroma green tea yang sepanjang hari ini menggangguku? Namun di sudut mataku, Astro menaikkan kaki dan bersila menghadap ke arahku. Dia menatapku tanpa mengatakan apapun.
Aku mengeluarkan handphone untuk mengalihkan pikiran. Namun ternyata ada 8 panggilan tak terjawab dan 31 pesan tak terbaca, semua darinya. Tiba-tiba saja aku memahami aku baru saja membuat kesalahan. Seharusnya aku lebih menunjukkan permintaan maaf pada Opa dan Ayah saat sampai beberapa waktu lalu. Sepertinya aku juga baru saja membuat pandangan mereka pada Zen menjadi buruk.
"Aku ada bikin salah ke kamu?" Astro bertanya.
"Ga ada." aku menjawabnya dengan jujur.
"Trus kamu kenapa? Kamu ga biasanya begini."
Aku tak menemukan kalimat apapun untuk menjawab pertanyaannya. Aku pun tahu aku tak biasanya bersikap seperti ini. Aku sendiri bertanya-tanya kenapa.
Astro menghela napas dan menggeser tubuh maju ke arahku, lalu menaruh dahi di bahuku, "Diem dulu sebentar."
Aku menahan napas karena dia terlalu dekat. Aroma green tea yang menguar dari rambutnya menari bebas di hidungku, membuat sesuatu di dadaku terasa asing. Saat kuharap dia hanya akan bersandar beberapa menit, dia justru bersandar lama sekali hingga membuatku tak tahan untuk terus mengabaikannya, "Kamu kenapa?"
"Aku ga ngerti."
Entah bagaimana tanganku terasa bergerak sendiri dan menyentuh rambutnya yang terasa lembut di sela jariku. Aku membelai rambutnya selama beberapa lama. Aroma green tea menguar lebih kuat dan aku menikmati aromanya untuk diriku sendiri.
Aah kurasa aku baru saja melewati batasan kami.
"Kalau Zen minta kamu jadi pacarnya, kamu mau terima?" Astro bertanya.
"Aku ga punya waktu buat itu. Kamu kan tau aku harus bantu Opa ngurusin toko. Aku juga punya bisnisku sendiri." ujarku sambil terus membelai rambutnya. Entah kenapa tanganku rasanya tak ingin lepas darinya. Aku bahkan mulai berpikir mungkin akan menyenangkan jika memiliki seekor kucing yang bisa kubelai setiap waktu.
Astro mengangkat kepala dari bahuku dan aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Entah bagaimana, tapi dia terlihat jauh lebih baik.
"Kamu pakai sampo apa? Aku suka." aku bertanya. Kupikir, mungkin jika aku memakai aroma yang sama, aku bisa menghilangkan halusinasiku padanya.
Astro tersenyum lebar sekali, "Ini pertama kalinya aku biarin perempuan pegang kepalaku. Aku suka, tapi ga boleh. Kalau kamu mau pegang kepalaku lagi kamu harus nunggu."
Aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya. Apakah dia ingin aku meminta maaf karena sudah memegang rambutnya sembarangan? Namun bukankah dia baru saja berkata dia menyukainya?
"Aku mau piara kucing aja buat aku belai-belai. Kamu terlalu nyebelin jadi manusia." ujarku karena entah kenapa dia seperti sedang sengaja membuatku kesal.
Anehnya, dia justru tertawa. Tawa yang membuatnya terlihat semakin tampan di mataku dan meninggalkan sesuatu di dalam dadaku terasa aneh sekali. Aku bahkan tak yakin akan mampu menjelaskannya pada diriku sendiri.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-