Chapter 21 - Sketsa

"Lagi dong, Za." ujar Fani yang memecah lamunanku.

"Apanya?" aku bertanya.

"Aku ga tau kamu ternyata jago nyanyi." ujar Tasya menatapku tak percaya.

"Mau nyanyi lagu apa? Aku cariin di youtube nih." ujar Fani.

Saat itu aku baru menyadari, kurasa senandung yang kupikir hanya bisa terdengar olehku sendiri juga terdengar oleh mereka. Aku enggan berkomentar, maka aku hanya tersenyum sebagai jawaban.

"Kamu udah pilih klub ekskul?" Zen bertanya dengan senyum lebar terkembang di bibirnya.

Aku hanya menggeleng karena tak berminat mengikuti klub apapun. Astro sudah memberitahuku semua klub di sekolah ini minggu lalu, tapi dengan semua pesanan website dan kewajiban membantu di toko Opa, kurasa aku tak akan memiliki waktu.

"Mau ikut klub musik? Bu Lastri pasti seneng kalau kamu join."

"Mm ... ga ikut klub ga pa-pa kan?"

"Aku ga ikut klub apa-apa sih." ujar Toro, yang segera mendapat tatapan tajam dari Zen.

"Kalau gitu aku ga bakal ikut klub apapun." ujarku sambil tersenyum. Aku merasa lega karena ada Toro hingga aku tak perlu merasa tak enak hati karena menolak tawaran Zen.

Zen terlihat kecewa dengan keputusanku, tapi tak mengatakan apapun lagi. Setelah itu Fani memaksaku menyanyikan satu lagu. Aku menyanggupinya dengan syarat kami menyanyi bersama, lalu kami kembali fokus dengan pekerjaan kami masing-masing.

Tepat jam setengah lima, kami memutuskan untuk pulang. Saat aku mengecek handphone, sudah ada pesan dari Astro sejak dua jam lalu. Dia berkata akan menungguku di mobil.

Tim dekorasi kelas kami keluar dari kelas bersama walau Zen berjalan di sisiku. Tasya mengunci pintu kelas untuk berjaga-jaga. Ternyata dia sudah mendapatkan izin dari Bu Gres untuk memegang kunci kelas selama seminggu ke depan.

"Mau aku anter pulang?" Zen bertanya padaku sebelum menuruni tangga.

"Ga usah Zen. Astro nunggu di mobil."

Zen mengangguk dan bertanya setelah hening cukup lama, "Kamu yakin kamu ga pacaran sama Astro?"

"Aku sama Astro emang ga pacaran kok. Kita deket karena udah lama main bareng."

Zen tak mengatakan apapun lagi setelahnya. Kami berjalan dalam diam hingga ke parkiran walau teman-teman kami yang lain sedang berbincang tentang apa yang akan mereka lakukan besok karena semua pekerjaan mendekorasi mereka sudah selesai.

Aku menemukan Astro sedang tertidur di dalam mobil dengan jendela sedikit terbuka saat sampai di parkiran. Aku berjalan memutar dan mencoba membuka pintu, ternyata tidak dikunci. Bagaimana jika terjadi sesuatu?

Aku masuk dan menyandarkan punggung pada pintu, lalu menaruh sisi kepalaku di bantal kecil yang menempel di punggung kursi. Aku memperhatikan Astro yang sedang menyilangkan kedua tangan di dada. Sepertinya dia benar-benar terlelap. Kurasa aku memutuskan akan menunggunya sebentar. Aku merasa kasihan padanya karena sudah begitu lama menungguku.

Jika aku memikirkan hubungan kami dari sisi yang berbeda, sepertinya aku dapat memahami pandangan orang lain yang mengira kami memiliki hubungan yang lebih dari sahabat. Sepanjang yang kuingat, aku memang selalu bersamanya di banyak waktu yang terlewat.

Aku mengeluarkan buku sketsa dan alat tulis, lalu memindahkan sosok Astro ke salah satu halamannya. Dengan banyak garis yang kuat dan dalam, sesuai dengan kepribadiannya yang lebih sering menyebalkan dan mengintimidasi. Namun dia pandai membawa diri, dia akan menjadi sosok yang lembut dan perhatian saat dibutuhkan.

Astro membuka mata saat aku menempelkan hasil sketsa di dashboard dekat dengan kemudi. Mungkin dia terbangun karena merasa ada yang mengganggu. Matanya menatapku lama dengan senyum menggodanya yang biasa sebelum akhirnya mengalihkan pandangan dan menemukan sketsa di dashboard.

"Aku cocok jadi model sketsa ya?" Astro bertanya walau sudah jelas dia sedang memuji dirinya sendiri. "Kamu boleh pakai aku jadi model kamu kalau mau."

Aku hanya menggeleng. Aku malas membalas kalimatnya yang mulai terasa menyebalkan, "Kelas kamu selesai dekor jam berapa?"

"Sekitar jam dua. Ga banyak yang dikerjain."

"Lain kali ga perlu nunggu aku."

"Ga bisa begitu. Opa ngasih aku kepercayaan buat jagain kamu. Aku harus pegang janjiku."

Aku hanya menatapnya dalam diam karena tak mampu memikirkan kalimat sanggahan apapun. Namun sepertinya aku memang harus mengakui dia memang tampan sekali.

***

Keesokan harinya, aku meminta Pak Said mengantarku ke sekolah. Aku membawa kain selebar 4 x 2 meter yang akan kugunakan untuk menutup lukisan agar tak ada yang melihat hasil lukisan itu sampai hari sabtu tiba.

Aku menemukan Tasya, Reno, dan Zen saat memasuki kelas. Fani, Siska dan Toro sudah menyelesaikan semua pekerjaan mereka kemarin hingga mereka terbebas dari tugas. Sebetulnya Tasya juga sudah menyelesaikan bagiannya, tapi dia berbaik hati menemaniku dan berniat akan membantu apapun jika dibutuhkan.

Lukisan kami hanya perlu dipoles dengan berbagai detail dan diberi penekanan warna agar lebih hidup. Bekerja bersama Zen terasa menyenangkan, membuat lukisan itu selesai dengan sempurna tepat jam satu siang.

"Kita tunggu kering dulu. Nanti ditutup aja biar jadi kejutan." ujarku sambil menatap lukisan yang masih basah. Aku merasa puas saat melihat ekspresi tercengang di wajah Tasya dan Reno.

"Kayaknya kita bisa jadi tim yang hebat." ujar Zen yang tersenyum lebar padaku.

"Thank you, Zen."

"Makasih juga atas kesempatannya."

"Okay. Sekarang gimana kalau kita rayain?" Reno memberi usul.

"Mau nonton? Ada film superhero baru rilis hari ini." Tasya menimpali.

"Aku ikut aja sih, tapi Faza pasti ditungguin Astro kan?" Zen bertanya walau ada nada kecewa yang kutangkap dari suaranya.

"Ga kok. Aku dianter supir hari ini. Aku juga belum bilang mau dijemput jam berapa." ujarku.

"Jadi kamu bisa ikut?" Zen bertanya untuk memastikan. Aku hanya mengangguk dan entah kenapa sepertinya dia senang sekali.

Kami segera membereskan barang-barang yang tercecer di seluruh kelas dan membersihkannya, lalu menutup lukisan setelah catnya kering. Tasya mengunci kelas dan kami bersama-sama turun ke parkiran motor. Tasya tak begitu percaya diri saat ditawari menumpang di motor trek milik Zen dan memilih menumpang di motor Reno yang matic. Aku tak keberatan menumpang di motor yang manapun. Aku cukup bersyukur karena jok penumpang motor Zen tidak terlalu tinggi.

Kami sampai di sebuah pusat perbelanjaan setengah jam setelahnya dan memutuskan untuk makan siang di restoran yang menyajikan makanan korea pilihan Tasya. Menurutku tempat ini bagus dan aroma masakannya menggugah selera.

"Sebentar, foto makanannya dulu." ujar Reno sesaat setelah makanan kami datang.

"Faza foto bareng yuk." ujar Tasya yang langsung memakai fitur selfie dan menarikku ke sisinya. Aku hanya memberi senyum yang paling biasa saat Tasya mengambil foto karena aku merasa canggung.

"Tolong jangan di upload di sosmed manapun ya." ujarku ragu-ragu.

"Kenapa?"

"Ga pa-pa. Aku cuma ... ga begitu suka."

"Hmm, oke deh. Ini aku simpen di hapeku aja."

Aku hanya mengangguk untuk menanggapi. Walau Zen dan Reno terlihat bingung saat melihat sikapku, kurasa aku akan mengabaikannya saja.

Setelah menghabiskan makanan, kami menuju bioskop. Sesuai saran Tasya, kami memilih film superhero lokal yang baru saja rilis. Kami membeli dua box popcorn, satu untuk Reno dan Zen, satunya untukku dan Tasya, juga satu minuman untuk diri kami masing-masing.

Kami memilih tempat duduk di deret tengah. Reno di ujung, Zen di sebelahnya, lalu aku dan Tasya. Kami sangat menikmati film itu karena ternyata tak kalah dari tokoh superhero luar negeri. Plot ceritanya juga matang dan tak mudah ditebak. Zen dan Reno bahkan sempat mendapatkan teguran dari pengunjung yang lain karena berisik saat mengomentari beberapa adegan.

Hari sudah sangat sore saat kami keluar dari bioskop. Aku melirik ke jam di lengan, pukul 17.22.

"Kita ke sana yuk." ujar Reno sambil menunjuk ke sebuah arena permainan yang besar.

"Kalian masih mau lanjut main?" aku bertanya karena terkejut.

"Mumpung masih di sini, Za. Lagian belum malem kok." ujar Reno dengan santai.

"Aku pulang duluan ya kalau gitu."

"Mau aku anter?" Zen menawarkan diri, yang entah kenapa mengingatkanku pada Astro.

"Ga usah, Zen. Aku naik taksi online aja. Makasih ya udah ngajak main."

"Gratis loh nebeng sama Zen." Reno berkomentar.

Aku menggeleng, "Aku ga mau ngerepotin."

"Beneran mau pulang, Za?" Tasya bertanya dengan nada menyayangkan di suaranya.

"Iya, kalau kemaleman nanti aku pasti dicariin. Aku duluan ya. Have fun." ujarku sambil melambaikan tangan pada mereka dan berlalu.

Aku tahu situasi ini aneh sekali. Aku terlihat sedang seperti meninggalkan mereka begitu saja, bukan?

=======

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte

Novel ini TIDAK DICETAK.

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!

Regards,

-nou-