Sore hari pun tiba, di mana saatnya kami semua pulang ke rumah masing-masing. Namun, ada beberapa yang harus masih di sekolah karena kegiatan klub, piket, atau tugas lainnya. Kalau aku, waktunya pulang dan Avira melakukan piket.
Sebenarnya, aku ingin sekali mengikuti kegiatan klub, apalagi klub basket. Tapi, mengingat aku adalah pengurus asrama yang akan sibuk, jadi kuurungkan niat itu. Selain itu, hari ini aku harus belanja makan malam.
Sekarang, aku sedang berjalan di lorong. Tapi, langkahku terhenti karena ada seorang siswa berambut coklat pendek, iris mata biru, dan senyuman kecil terukir di wajahnya. Dia berdiri menghalangi jalanku sambil melipat kedua tangannya.
"Yo, Rifki," sapanya.
"… Dare?" responku dengan pertanyaan.
"Padahal kita teman satu kelas dan sempat tegur sapa."
"Ah… ma-maaf… Aku lupa, heheheh…" balasku malu.
"Tak apa, aku maklumi, karena kau selalu bermain dengan perempuan. Namaku Karuto Karaka, duduk di bangku kedua dekat jendela luar."
"Salam kenal, Karuto. Lalu, ada apa?"
"Langsung saja ke intinya. Karena aku tahu kau ada tugas nanti. Jadi, begini, aku akan membantumu menciptakan harem."
"… Bisa kau ulangi?"
"Aku akan membantumu menciptakan harem."
Aku mengorek-ngorek telingaku, memastikan tidak ada kotoran telinga. Ah, tidak ada. Yah, wajar saja, karena tadi pagi aku membersihkan telingaku. Jadi, apa yang kudengar tadi bukanlah kesalahan.
"APA?! Bentar, kenapa tiba-tiba kau bilang begitu?! Kita bahkan baru kenal beberapa detik, tapi kalau benar tadi aku menyapamu berarti baru beberapa jam!"
"Sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini, merepotkan sekali. Tapi, ini permintaan pacarku, tepatnya teman pacarku, ditambah sebuah ancaman. Pacarku akan memutuskanku bila tidak membantumu," jawabnya.
"Be-Begitu, ya…"
Kurasa aku tahu siapa pelakunya, tepatnya teman pacarnya itu. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan, bahkan melibatkan orang lain? Aku merasa kasihan kepada Karuto, karena terlibat oleh keinginan aneh kakakku… Ah, walau sebenarnya aku mengingankan ini, tapi aku tidak enak kalau ada yang terlibat begini.
"Dari yang kuamati tadi, kau sudah berada di rute Nayukami-chan dan Allyn. Selain itu, mulai memasuki rute Rain-senpai. Bagus juga."
"Ano… Maaf, merepotkanmu…" ucapku bingung mau bilang apa.
"Sudahlah, ini tidak merepotkanku. Malah, ini menyenangkan karena aku bisa menjadi tokoh pembantu hero. Aku bisa tertawa di bawah penderitaannya kalau mendapatkan fanservis yang membuatnya babak belur. Hahahaha!!"
"Padahal tadi dia bilang merepotkan… Dan kenapa sekarang malah jadi terlihat senang, sebegitu kesalnya, kah?" ucapku dalam hati.
"Nah, untuk melancarkan rencananya. Aku akan membantumu dengan mengatur momen yang pas setiap rute-nya. Selain itu, aku juga akan mengatur agar kau mendapatkan fanservis yang menyenangkan atau… yang mesum… hihihi."
"Ah… Ti-Tidak perlu sampai begitu…"
"Yah, pokoknya kalau kau butuh bantuan, bilang saja kepadaku." Karuto merogoh sakunya, lalu mengeluarkan handphonenya. "Nah, ayo kita tukar alamat e-mail."
"O-Oke…" Aku pun mengeluarkan handphoneku.
Untung sebelumnya aku diberitahu cara menyalakan infra merah untuk menukarkan alamat e-mail, jadi tidak perlu dengan cara dicatat. Setelah menyalakan infra merahnya, handphoneku didekatkan ke handphonenya. Lalu, terdengar suara 'tring', tanda alamat kami sudah saling diterima.
"Kalau begitu, sampai jumpa besok." Karuto pun pergi melewatiku.
Aku masih terdiam untuk mencerna baik-baik apa yang terjadi tadi dan memikirkan betapa seriusnya kakakku ini melakukan rencana yang kuinginkan, tapi dengan cara yang tidak kuinginkan. Kalau, dipikirkan kembali, untungnya yang dipaksa membantu sudah punya pacar. Kalau tidak, aku merasa kasihan sekali…
Sekarang aku sudah di luar gedung sekolah, berjalan menuju gerbang sekolah. Setelah mau ke luar gerbang, langkahku terhenti karena seseorang memanggilku dari belakang. Saat berbalik, aku melihat siswi senoirku yang tidak asing.
"Selamat sore, Sakaki-san," sapaku.
"So-Sore…" balasnya.
"Ada apa?"
"Eto… na-nanti malam setelah makan malam, apa kau ada acara?"
"Enggak ada."
"Bi-Bisa kau datang ke kamarku?"
Seketika, otakku memikirkan hal yang… sedikit berbau mesum. "Bi-Bisa… Eh, ke-kenapa? Me-Memangnya ada apa?!" tanyaku sedikit panik.
"Su-Sudahlah, nanti kau akan tahu," jawabnya dengan sedikit gerak-gerik malu yang berhasil membuat pikiranku sedikit aneh. "Nanti malam jangan lupa datang ke kamarku langsung." Kemudian, Sakaki-san pergi menuju gedung sekolah, meninggalkan diriku yang masih mencerna baik-baik maksud ajakannya tadi.
Seorang gadis mengajak laki-laki ke kamarnya, apalagi malam-malam… Ah, aku tahu! Mungkin Sasaki-san ingin mengajariku soal pelajaran di sekolah atau mungkin ingin curhat tentang masalah percintaan. Kalau kemungkinan kedua benar, dia pasti benar-benar membutuhkan pendapat seorang laki-laki. Mungkin juga dia akan menyuruhku membantu untuk latihan pdkt-nya, misalnya berpegangan tangan, berpelukan, dan…
"Woi, kenapa ujung-ujungnya ke sana lagi?!!" teriakku kesal dengan otakku. "Mana ada latihan pdkt langsung ke sana?!!"
"Menyapa. Selama sore, Kiki-kun."
"Selamat sore. Eh, Aozora?!" kagetku tersadar dari pikiran aneh. "Ke-Kenapa kau ada di sini?"
Aku bisa melihat Aozora dengan seragam berwarna putih lengan panjang, rompi tak berlengan menutupi bagian depan seragamnya berwarna coklat, dasi kupu-kupu kuning, dan roknya coklat kotak-kotak dengan garis hitam.
"Menjawab. Aku datang untuk menjemputmu, karena hari ini kita akan belanja bahan makan malam. Bertanya. Kenapa tadi Kiki-kun teriak-teriak?"
"Eh, ah… Lupakan sa-" Kalimatku terhenti karena menyadari seorang gadis yang memakai seragam sama seperti Aozora, berdiri di belakang Aozora dengan tatapan tajam ke arahku. "Ke-Kenapa Tetsuna-san ada di sini?" tanyaku sedikit ketakutan.
"Menjawab. Tentu saja karena Takanashi-chan juga bertugas membeli makan malam hari ini. Bertanya. Apa Kiki-kun lupa?"
"Eh, ah, i-iya… aku lupa…"
"Mengajak. Kalau begitu, ayo kita pergi."
Kami pun pergi menuju toko yang dimaksud Aozora. Selama perjalanan, tidak ada percakapan. Sebenarnya bisa saja aku mengajak bicara Aozora, terlebih dia gadis yang baik dan enak diajak bicara walau bicaranya cukup unik. Tapi, kalau saja Tetsuna-san tidak menatapku tajam dari belakang dan mengeluarkan aura mengerikan pasti perjalanan ini tidak akan sunyi.
Sesampainya di toko, aku diminta tolong membawa trolley sekaligus membawa belanjaannya. Sedangkan mereka berdua memilih bahan makan malamnya. Aku terus mengikuti mereka berdua yang berbincang dan berdebat kecil tentang bahan makan malamnya.
Entah kenapa, tiba-tiba Tetsuna-san memisahkan diri dari kami. Aku memilih tidak menghiraukannya, karena dengan begitu aku bisa berbincang nyaman dengan Aozora. Dengan perlahan, aku mulai mendekati Aozora.
"Apa menu makan malamnya?" tanyaku untuk memulai pembicaraan.
"Menjawab. Omelet, rebusan daging, dan udang bumbu spesial. Memberitahu. Kita juga akan membeli bahan makan untuk sarapan nanti, yaitu salad."
"Tunggu, tadi kau bilang 'udang bumbu spesial'? Seperti apa itu?"
"Menjawab. Itu adalah menu andalan buatan Aki-chan."
"Aki-chan? Oh, Aki-chan itu yang memakai topeng?"
"Membenarkan. Benar sekali."
Aku baru ingat, kalau enggak salah siswa tingkat pertama yang populer itu juga bernama 'Ookamoto'. Kebetulan sekali. Tapi, aku tidak tahu apakah itu nama depan atau marga-nya. Kalau itu marga-nya, jadi benar-benar kebetulan sekali atau bisa saja mereka saudara.
Hendak aku ingin melanjutkan pembicaraan ini, tapi sebuah sentuhan runcing terasa sedikit sakit dan mengejutkan di punggung, berhasil menghentikan niatku secara mendadak. Seketika, jantungku berdegup dengan kencang, rasanya seperti mau copot. Dengan gemetar takut, aku berbalik badan. Betapa terkejutnya aku melihat Tetsuna-san menodongkan pisau ke arahku, dengan tatapan datar terlihat mengerikan. Walau masih tersarung oleh sarungnya, tetap saja itu menakutkan. Rasanya dia ingin membunuhku.
"Berterima kasih. Terima kasih sudah membawakannya, Tanakashi-chan," ucap Aozora menyadarkanku dari rasa takut ini.
"Eh, ke-kenapa kau berterima kasih?! Dan untuk apa pisau itu?!" kagetku.
"Menjawab. Tentu saja untuk mengganti salah satu pisau yang sudah patah. Bertanya. Apa kau lupa, Kiki-kun?"
"Eh, ah… aku lupa… hehehehe," balasku malu.
Kami pun melanjutkan membeli bahan makan malam dan sarapan. Oh iya, kenapa tadi dia menusukku dengan pisau itu? Apa dia ingin memberitahuku kalau dia menemukannya? Kenapa tidak memanggilku saja atau menyentuhku untuk memberitahu dia ada di belakangku, tapi malah memilih cara ekstrim begitu? Apa mungkin dia masih belum terbiasa denganku sekaligus masih membenciku?
"Memberitahu. Aku ada urusan dulu, kalian tunggu di sini."
"Eh, urusan apa?"
"Kesal. Kiki-kun, tidak baik menanyakan hal itu kepada perempuan."
Kemudian Aozora pergi begitu saja, meninggalkan kami berdua yang berada di etalase bagian bahan makanan. Akibat itu, aku merasa lebih tegang dibanding sebelumnya, bahkan rasanya aura yang dikeluarkan Tetsuna-san lebih besar dibanding saat ada Aozora.
Kalau begini terus, aku bisa ikut membencinya. Jadi, aku putuskan untuk mencoba bicara dengannya. "Eto… Tetsuna-san, apa kau sekelas dengan Aozora?"
Dia tidak menjawab, tapi tetap menatapku tajam… tepatnya kurang tajam dari sebelumnya.
"… Ah, besok kau kebagian membuat sarapan, kan? Apa yang akan kau buat?"
Tetsuna-san masih tidak menjawab, tapi ada sedikit perubahan dari raut wajahnya. Dia terlihat seperti menahan malunya, terbukti dari wajahnya yang memerah dan sedikit tegang, berbanding balik dengan ekpresi sebelumnya.
"A-Apa kau baik-baik saja?"
"A-A-Aku baik-baik saja…"
Akhirnya Tetsuna-san menjawab juga. Tapi, kenapa jawabannya terdengar pelan sambil memalingkan wajahnya. Selain itu, dia jadi imut daripada mengerikan. Sosoknya berubah seratus delapan puluh derajat dari yang tadi.
"Oh iya, tadi, kenapa kau menatapku dengan raut mengerikan?" tanyaku memberanikan diri.
Aku bisa melihat wajahnya semakin memerah. Sepertinya dia semakin menahan rasa malu, tapi memangnya ini memalukan? Kalau aku memintanya membuka baju, baru itu memalukan.
"I-Itu bukan urusanmu!!" jawabnya lantang sambil menodongkan kembali pisau yang dibawanya.
"Ba-Baiklah, maafkan aku!!" balasku spontan mengangkat kedua tangan.
"Meminta maaf. Maaf membuat kalian menunggu," ucap Aozora yang sudah ada di dekat kami. "Senang. Sepertinya kalian sudah mulai akrab."
"Ba-Bagian mana yang menurutmu 'akrab' itu?!" protesku masih mengangkat kedua tangan.
***
"A-A…A-Aku tidak ingin berpisah denganmu!! Aku ingin bersama denganmu!!" ungkap keras Sasaki-san.
Aku hanya bisa terkejut mendengar itu. Mulutku belum bisa mengeluarkan suara, ungkapannya berhasil membuatku terdiam.
"Ta-Tapi… apa daya, kita harus berpisah. Aku punya jalan hidupku sendiri, begitu juga denganmu."
Aku masih terdiam. Benar katanya, kita memiliki jalan masing-masing.
"Selamat tinggal, Monaco."
Aku berjalan mendekatinya untuk mencegahnya.
"Tidak, kau tidak boleh mengikutiku! Kau harus pergi! Kita tidak bisa bersama lagi!!"
Walau diperingati begitu, aku tetap tidak bisa melepaskannya. Jadi, aku tetap mengikutinya.
"Kau tidak mengerti, kita tidak bisa bersama lagi!! Kau harus pergi! Pergilah, Monaco!!"
Kali ini, tiba-tiba dia berlari. Aku tidak bisa berlari untuk mengejarnya, karena rasa sakit di dalam hatiku. Jadi, aku putuskan untuk memanggilnya agar dia berhenti.
"Guk!"
"Ahhh, cut!!" potong Sasaki-san sambil berbalik ke arahku. "Seharusnya suaramu lebih terdengar sedih, bukannya seperti kesal!!"
"Bagaimana aku bisa terdengar sedih, kalau kau tiba-tiba menyuruhku melakukan sebuah peran drama. Terlebih, menjadi anjing?!" protes kerasku. "Selain itu, aku belum pernah memerankan anjing dan punya anjing, jadi mana aku tahu yang terdengar sedih atau tidaknya!!"
Biar kujelaskan. Setelah makan malam hari ini, sesuai janjiku kepada Sasaki-san, aku akan datang ke kamarnya. Awalnya jantungku berdegup kencang dan pikiranku kembali memikirkan aneh-aneh, tapi semua itu kandas setelah dia memberiku sebuah teks tebal. Ditambah, dia menyuruhku menjadi peran anjing dan harus memakai kostum anjing!
"Seharusnya kau bersyukur, karena aku menyuruhmu memainkan peran yang tidak merepotkan!"
"Iya, memang. Aku hanya cukup menghapal di mana bagianku berbicara, terlebih bicaraku cukup 'guk' saja. Tapi, kenapa meminta tolong kepadaku, bukannya kepada teman klub drama?! Aku bukan orang yang suka bermain drama!" protesku lagi yang masih posisi merangkak seperti anjing.
"Kami kekurangan peran, semua anggota klub drama sudah mendapatkan tugasnya. Selain itu, pertunjukkan dramanya akan dilaksanakan sebentar lagi. Jadi, aku putuskan kau yang menjadi peran anjing, supaya aku bisa berlatih denganmu setiap hari. Sudahlah, jangan banyak protes, kita latihan lagi!"
"Oke-oke."
"Ke-Kenapa kau tersenyum?!"
"Aku senang saja, karena dengan begini kau mempercayaiku. Terima kasih."
Seketika, wajah Sasaki-san memerah, lalu memalingkannya. "Jangan salah paham!! Kau itu tidak mengikuti klub apapun dan kau memang cocok menjadi anjing!!"
Kalimatnya cukup menyakitkan, tapi aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Karena, dengan begini aku bisa dekat dengan Sasaki-san.
Bentar, apa jangan-jangan aku ini masokis?