Akhirnya setelah sekian lama hidup di negara ini, hari ini pun tiba. Hari di mana aku harus menghadapi kenyataan yang sebagian orang pasti pernah mengalaminya. Hari di mana pikiran seseorang diuji dengan tekanan. Yah, hari ujian tengah semester sebentar lagi tiba.
Sejujurnya, kalau ini di negaraku, aku bisa tenang menghadapi hari-harinya bahkan tahu-tahu sudah selesai ujiannya. Tapi kali ini, karena berada di negara yang berbeda sistem belajarnya. Mau-tak mau aku harus menghadapi masa tekanan yang baru. Bahkan tidak ada pengumuman di hari-hari sebelumnya dari guru mata pelajaran tersebut, makanya aku lengah.
"Yah tinggal belajar saja, apa susahnya?" ucap Karuto.
"Kalau semudah itu, sejak dulu aku sudah menjadi rangking pertama terus," balasku. "Selain itu, memangnya kau sudah mempersiapkan diri?"
"Tentu saja, karena nanti malam aku dan pacarku akan belajar bersama."
"Enaknya… aku juga ingin."
"Kau tinggal minta saja ke Nayukami-san atau Airi-san."
"Kalau semudah itu, aku pasti akan melakukannya…"
"Kalau begitu, aku pulang duluan. Kau mau latihan di ruang klub drama bersama Sasaki-senpai, kan?"
"Begitulah."
"Selamat berjuang."
Karuto pun ke luar kelas meninggalkan aku yang masih membereskan peralatan belajarku. Setelah selesai, aku pun keluar. Saat di luar, aku langsung dihampiri oleh Sasaki-san yang kebetulan datang menjemputku. Selain itu, di sisi lain entah sejak kapan seorang anak kecil yang terobsesi akan pertarungan dari imajinasinya sudah berdiri jauh di sana.
"Aku datang untuk menculik tuan putri dari tanganmu, Pangeran!" ucap Yosino sambil menghunuskan pedang kayunya. "Serahkan dia kepadaku!"
Jadi alurnya ganti lagi? Ah, wajar karena yang berada di dekatku bukan Rain-san. Tapi, apa-apaan maksudnya aku yang jadi pangeran? Bisa gawat kalau Sasaki-san berpikir yang tidak-tidak.
"Bersiaplah!"
Lalu Yosino berlari ke arahku sambil mengangkat pedang kayunya. Karena aku ingin cepat selesai, jadi aku putuskan untuk berlari ke arahnya juga. Saat kami hampir berhadapan, Yosino mengayunkan pedangnya secara vertikal. Aku pun langsung melompat sambil meluncurkan tendangan ke samping untuk menangkis pedang kayunya. Berhasil, pedangnya terlepas dari tangannya dan terpental cukup jauh ke samping. Kemudian aku meluncurkan pukulan tepat ke wajahnya, tapi langsung aku hentikan saat di depan batang hidungnya.
"Kali ini kau masih bisa bersama dengan tuan putri, tapi di lain waktu aku pasti akan merebutnya darimu. Camkan itu!" ucap Yosino.
Kemudian dia mengambil pedang kayunya, dan pergi begitu saja. Aku pun berjalan mendekati Sasaki-san. Awalnya aku berpikir reaksi pertamanya adalah mempertanyakan soal pertarungan dan tingkah aneh sang kepala sekolah. Tapi, ternyata reaksinya adalah reaksi kedua Rain-san setelah mengalami hal itu.
"Kenapa kau malah mengalahkannya?!" tanyanya keras sambil mengguncang-guncang tubuhku. "Seharusnya kau membiarkannya membawaku tadi!!" lanjutnya kesal.
"Ah itu… aku memang sengaja melakukan itu. Coba kau pikir, kalau dia menang dengan mudah. Apakah dia akan senang?"
Sasaki-san menghentikan mengguncang-guncang tubuhku. "Apa maksudmu?"
"Tadi kau lihat wajahnya serius, kan? Kalau aku tidak serius melawannya, dia tidak akan senang mendapatkan kemenangan bohongan. Selain itu, kalau dia mendapatkanmu begitu saja. Apa kau senang dengan sensasi yang didapatkan oleh seorang shota dengan mudah?"
"Be-Benar juga…" ucap Sasaki-san sambil berpose berpikir. "Ternyata kau paham juga. Kau pasti seorang lolicon. Ah, iya, terima kasih banyak, Rifki-kun!" senangnya sambil menjabat tanganku.
Ternyata alasan itu benar-benar ampuh. Yah, untung saja Rain-san mau mengungkapkan perasaannya waktu itu. Jadi, aku tidak perlu mendapatkan ceramahan panjang karena berhasil menggagalkan perebutan Sasaki-san dari seorang shota.
"Oh iya, kapan latihannya dimulai, Sasaki-san?" tanyaku.
"Ah, iya! Kita harus segera pergi!" Sasaki¬-san tiba-tiba memegang tanganku dan membawaku pergi.
Inilah pertama kalinya aku berpegangan tangan dengan perempuan, selain dari keluarga. Inginya sih pengalaman pertamaku ini saat bergandengan tangan dengan pacar, terlebih awal-awalnya karena malu-malu. Tapi, begini juga lumayan.
***
Di pagi hari sabtu ini, aku sudah berdiri di depan pintu kamar seorang gadis salah satu penghuni asrama. Bersama dengan beberapa peralatan tulis, buku tulis, dan buku paket. Yah, walau sebelumnya aku sudah sarapan, tapi entah kenapa tiba-tiba rasanya aku lapar lagi setelah tiba di depan pintu ini. Ini usul dari Gadis-chan dan Avira. Kata mereka, lebih baik aku belajar dibantu oleh Takahashi Shiina. Gadis bertubuh kecil yang memiliki IQ 200.
Aku langsung mengetuk daun pintu. "Permisi, Takahashi-san. Ini aku, Rifki Kiki."
Kemudian terdengar sedikit suara ribut dari dalam, lalu tak lama kemudian pintu terbuka. "Kau sudah datang, lama sekali!" kesal Takahashi-san.
"Eh, ya… tadi aku harus membersihkan per-"
"Sudahlah, cepat masuk!"
Aku langsung masuk ke kamar Takahashi-san. Dapat dilihat suasana kamarnya sederhana dan rapih sekali, bahkan wangi juga. Tidak terlalu banyak kosmetik, sepertinya dia tidak terlalu peduli dengan hal begituan. Selain itu, yang kulihat banyak sekali buku-buku di rak terjajar dengan rapih.
"Hei, berhentilah melihat-lihat kamar seorang gadis!" peringatnya setelah menutup pintu.
"Ma-Maaf!"
"Hah… kalau saja kau bukan adik Intan-san, aku pasti tidak mau membantumu belajar," ucap Takahashi-san sambil berjalan ke meja di atas karpet bulu. "Ayo, cepat duduk!"
Dengan tegang, aku duduk di seberangnya. Sebuah sensasi lembut di kaki langsung aku dapatkan, ternyata karpet ini bukan hanya kelihatannya saja lembut, tapi memang benar-benar lembut dan nyaman.
Kemudian, aku menyimpan semua yang kubawa ke atas meja kecil itu. Hari ini aku akan belajar yang paling sulit selama aku sekolah, yaitu MTK dan sejarah. Selain itu, karena aku pindah negara. Tentu sejarah yang kupelajari berbeda, jadi aku harus memulai dari awal dan tingkatannya lebih sulit dibanding MTK. Itulah kenapa aku memutuskan dua pelajaran itu yang diutamakan.
"Mohon bantuannya!" ucapku.
"Apa yang akan kau pelajari pertama?" tanyanya.
"MTK."
"Nah, kalau begitu kau kerjakan saja semua soal-soal yang ada di buku paket sesuai materi yang dipelajari di sekolah semampumu. Soal yang sulitnya dibiarkan saja dulu, supaya kau fokus saat aku mengajarkannya," terang Takahashi-san.
"Baik!"
Aku pun langsung mengerjakan soalnya. Pertama-tama aku mengerjakan soal-soal MTK. Yah, kendala yang sering aku hadapi adalah mencari rumus yang sesuai. Tapi, hal yang paling menyebalkan di saat aku sudah mendapatkan rumusnya, yaitu menghitungnya sampai beranak, tapi hasilnya tidak ada di pilihan. Saat dilihat ulang, tidak ada kesalahan. Tapi, setelah dibanding dengan teman yang benar, ternyata kesalahannya di hitungan dan itu di bagian tengahnya. Sungguh menyebalkan!
Maka dari itu, aku mulai mempelajari cara mengatasi kesalahanku itu dengan menghitung ulang setelah mendapatkan hasilnya. Yah, walau masih saja akhirnya salah, tapi presentasi salah perhitungan jadi lebih kecil dibanding salah rumus.
Akhirnya selesai sudah semua soal yang aku bisa kerjakan, tinggal aku perlihatkan dan menanyakan soal yang belum aku bisa. "Ini, Takahashi-san," ucapku sambil menyodorkan bukuku.
Takahashi-san menerimanya dan langsung melihatnya. Dia melihat semuanya dengan cepat, layaknya membaca koran yang beritanya membosankan. Setelah selesai melihat, dia menuliskan sesuatu ke buku catatanku. Kemudian dia menyodorkannya kepadaku.
"Ternyata kau lumayan pintar juga, tidak ada kesalahan dalam pengerjaan yang kau kerjakan. Baiklah, dengarkan baik-baik, aku akan mengajarkan semua yang kau tidak pahami."
Takahashi-san pun memberikan penjelasan rumus di soal yang bagiku sulit. Dia menjelaskannya dengan pelan dan mudah dipahami, jadi akunya nyaman mendengar setiap penjelasan pelajaran yang selalu membuatku sakit kepala ini.
Aku benar-benar tidak menyangkanya, padahal Takahashi-san itu lebih muda dariku. Dia yang masih berada di SMP tingkat ketiga, tapi bisa mengerjakan soal-soal SMA tingkat kedua, bahkan dia sampai loncat kelas. Tapi kenapa dia hanya loncat kelas sampai SMP tingkat ketiga? Padahal bisa saja dia meloncat ke SMA tingkat dua. Yah, mungkin saja karena umurnya masih muda sekali walau pintar akan aneh kalau dia berada di tingkatan SMA.
Di sisi lain, harga diriku terinjak-injak secara tidak langsung. Yah, ini juga karena salahku yang tidak cerdas, tapi tetap saja ini menyakitkan… Ahhh, dia sungguh luar biasa!
"Hei, kau mendengarku, tidak?!" kesal Takahashi-san menghentikan penjelasan materi.
"Eh, ah… aku dengar!"
"Kalau begitu, kerjakan semua soal sesuai yang sudah aku jelaskan!"
"Baik!"
Setelah menghadapi soal-soal MTK yang bisa membunuhku ini, kami pun istirahat. Padahal Takahashi-san menjelaskannya tidak terlalu cepat dan enak, tapi tetap saja akhirnya kepalaku terasa terbakar. Apakah segitu mengerikannya pelajaran yang penuh rumus ini, ya?
"Terima kasih atas bantuannya, Takahashi-san," ucapku sambil menjatuhkan kepalaku di meja.
"Payah, padahal baru saja kita belajar empat jam. Kau sudah melemah begitu," ucap Takahashi-san. "Aku akan mengambil minuman dulu."
"Eh, tidak perlu," cegahku sambil mengangkat kepalaku. "Tidak usah repot-repot."
"Asal kau tahu saja, aku memang tidak mau melakukan ini. Tapi karena kau adik Intan-san, jadinya aku harus membuatmu senyaman mungkin selama aku mengajar. Jangan salah paham!"
Setelah mengucapkan kalimat yang terkesan tsundere, Takahashi-san ke luar kamar. Sedangkan aku kembali menidurkan kepalaku di meja kecil yang ada di hadapanku. Setelah beberapa saat, Takahashi-san kembali sambil membawa dua gelas dan teko besar berisi teh di atas nampan.
"Hei, apa kau benar-benar adik Intan-san?" tanya tiba-tiba Takahashi-san saat selesai menyimpan dua gelas beserta teko ke atas meja.
"Ke-Kenapa tiba-tiba kau menanyakan itu?" tanyaku balik melihat dia menuangkan teh ke gelasku.
"Habisnya kau tidak secerdas Intan-san."
"I-Itu tidak ada hubungannya… Tapi, memang benar aku ini bukanlah adik kandungnya. Jadi, wajar saja kalau aku tidak secerdas Onee-chan. Oh iya, Takahashi-san. Kau luar biasa sekali!"
Tiba-tiba dia menyeburkan teh yang baru saja dia minum. "Ke-Kenapa tiba-tiba kau mengatakan itu?!" ucapnya dengan tempo cepat. "A-Apa kau menggombal?!"
"Bukan-bukan, aku tidak bermaksud begitu. Hanya saja aku berpikir kau memang benar-benar luar biasa sekali, kau yang lebih muda dariku bisa lebih pintar dariku."
"Itu karena kau saja yang terlalu bodoh! Seharusnya kau belajar yang giat!"
"Hahaha, kau benar, Takahashi-san…"
"Panggil saja aku Shiina."
"Eh, kenapa tiba-tiba?"
"Jangan banyak protes! Aku juga akan memanggilmu Kiki-san!"
"Oke, Shiina."
Entah apa yang terjadi, tapi aku senang dia terbuka denganku. Benar-benar hal yang mengejutkan dari seorang jenius kecil ini.
"Aku tidak kecil, aku hanya telat tumbuh!!"
"Eh, apa yang kupikirkan tadi kau bisa dengar?"
"Kau mengucapkannya dengan jelas, bakaaaa!!"
"Ma-Maaf… aku ti-"
"Cepat kerjakan semua soal pelajaran sejarah tanpa melihat buku! Kerjakan semua soal yang ada di buku paket!!" perintahnya dengan nada kesal.
"Si-Siap, Shiina-sensei!"
Dengan cepat aku mengerjakan soal-soal sejarah, tanpa berani melihat catatan dari bukuku atau buku paket. Hasilnya, aku berhenti di soal pertama sambil berusaha keras mencari jawabannya di kepalaku.
"Hahhhhh… kau tidak bisa mengerjakan soal itu?! Itu adalah pelajaran anak SD! Seharusnya kau bisa mengerjakannya dalam kurang waktu sedetik!"
Mana mungkin hal itu bisa terjadi!! Terlebih saat aku SD, aku belum ada di Jepang!!
Kenapa ini bisa terjadi?! Kenapa dia berubah menjadi guru yang mengerikan?! Kembalilah menjadi guru yang menyenangkan seperti tadi!!
"Kau harus bisa menyelesaikan semua soal yang ada di buku paket selama satu jam, tanpa melihat catatan!!"
"Tidaaaakkkkk!!!"