Chereads / Bara / Chapter 43 - A Tale of Two Brothers (2)

Chapter 43 - A Tale of Two Brothers (2)

Setelah malam itu, Haryo benar-benar pergi meninggalkan Ibu dan Adiknya. Bukan tanpa alasan, Haryo ingin mencoba peruntungannya di kota lain agar Ibu dan Adiknya bisa hidup lebih layak dari sebelumnya. Haryo menitipkan separuh uang pesangon yang ia terima dari pabrik tahu kepada tetangganya untuk diberikan pada Ibunya. Haryo pergi meninggalkan kota Solo dan mencoba peruntungan nasib di kota Semarang. Di Semarang Haryo mendapat kerja di sebuah pabrik gula. Upah yang diterimanya juga lebih besar daripada upahnya pada saat bekerja di pabrik tahu. Setiap bulan, Haryo mengirimkan uang untuk Ibunya dengan cara menitipkan pada temannya di Solo. Haryo juga menyisihkan sedikit dari upahnya untuk digunakan jika ada keperluan mendesak.

Setelah hampir dua tahun pergi, Haryo memutuskan untuk pulang sebentar ke Solo untuk menengok Ibu dan Adiknya. Begitu tiba dirumah, penghuni rumah tersebut sudah bukan Ibu dan Adiknya lagi. Haryo kelimpungan mencari keberadaan Ibu dan Adiknya. Haryo bertanya pada tetangga di sekitar rumah mereka. Para tetangga mengatakan Ibu dan Adiknya sudah lama pindah dari rumah tersebut karena diusir oleh pemilik rumah. Disitu Haryo mencelos dan bergegas mencari orang yang selama ini ia titipkan uang untuk diberikan pada Ibunya. Haryo teringat orang tersebut suka berjudi sabung ayam dan berpikir orang tersebut sudah memanfaatkan uang yang ia titipkan untuk kegemarannya tersebut. Setelah mencari kesana-kemari, Haryo menemukan orang tersebut sedang melakukan judi sabung ayam di pasar tidak jauh dari tempat tinggalnya. Tanpa basa-basi Haryo menghampiri orang tersebut dan langsung memukulnya.

"Asu!" umpat Haryo sambil memukul orang yang selama ini ia titipi uang untuk diberikan pada Ibunya.

Orang itu langsung terjerembab di tanah. Haryo kembali menghampiri orang tersebut dan berusaha untuk menyerangnya lagi.

"Sek, sek, sek," orang itu mengangkat tangannya dan meminta Haryo untuk berhenti mendekatinya. Haryo tidak menghiraukannya dan segera menindih badan orang tersebut.

Orang-orang yang ada disitu segera mengalihkan perhatiannya pada keributan yang terjadi ditengah-tengah mereka.

"Kemana uang yang aku titip sama kamu?" teriak Haryo sambil mencengkeram kerah baju orang tersebut.

"Uang opo toh?" orang tersebut mencoba berkilah.

Haryo mengencangkan cengkramannya pada kerah baju orang itu dan mengacungkan tinjunya.

"Berani berkilah?" ujarnya.

"Ini, lepas dulu," orang tersebut menepuk lengan Haryo yang mencengkeram kerah bajunya dan meminta Haryo untuk melepaskan cengkramannya.

Dengan kesal Haryo bangkit berdiri sambil tetap mencengkeram kerah baju orang tersebut. Orang yang sedang dicengkeram oleh Haryo mau tidak mau ikut berdiri. Orang-orang yang ada disekitar mereka tetap memperhatikan namun tidak berani untuk ikut campur. Haryo melepaskan cengkramannya. Pada saat Haryo sudah melepaskan cengkramannya, orang tersebut berusaha untuk lari. Dengan sigap Haryo menarik bajunya dan orang itu kembali terpelanting ke tanah. Orang itu kesakitan akibat bantingan Haryo, Haryo tidak tinggal diam dan kembali menindih badan orang tersebut.

"Berani kabur? mau mayat sampeyan saya jadiin umpan ayam?" Haryo mengancam sambil menatapnya dengan tatapan seperti hewan buas yang siap memangsa hewan buruannya kapan saja.

Mendengar ancaman yang dilontarkan Haryo, orang tersebut sadar Haryo sedang tidak bermain-main.

Haryo kembali berdiri, orang yang tadi ditindihnya ikut berdiri namun kali ini dia sudah takut dengan ancaman yang diberikan Haryo.

"Ayo ikut," orang tersebut meminta Haryo untuk mengikutinya.

"Kemana?" tanya Haryo.

"Udah ikut aja,"

"Awas sampeyan kalau coba-coba nipu saya lagi," Haryo kembali mengancam.

"Iyo, aku tahu," ujar orang tersebut, "Kakak karo Adik podo wae, podo edane," orang tersebut melanjutkan perkataannya dengan berbisik.

Haryo akhirnya mengikuti orang tersebut. Mereka pergi dengan menaiki becak dan kemudian tiba di salah satu rumah sakit.

"Ngapain kita kerumah sakit?" tanya Haryo begitu mereka tiba dirumah sakit.

"Wes, ojo banyak tanya, ikut wae, bayar becaknya,"

Haryo menjadi sedikit kesal karena orang itu memintanya untuk membayar ongkos mereka naik becak. Namun Haryo tetap membayarnya.

Setelahnya mereka berjalan masuk kedalam rumah sakit dan menuju salah satu bangsal yang ada disana. Orang tersebut membawa Haryo ke salah satu ranjang yang ada di sudut ruangan. Haryo tidak dapat membendung perasaannya ketika melihat wanita yang sedang terbaring di ranjang tersebut.

"Ibu," Haryo segera menghampiri wanita yang sedang terbaring lemah di ranjang tersebut.

Wanita itu menoleh kearah Haryo yang sudah bersimpuh di sebelah ranjangnya. Matanya memancarkan kerinduan yang amat sangat pada putra sulungnya itu. Haryo segera memeluk Ibu dan tersedu.

"Maafkan Ibu, Mas" ujar Ibu lirih.

"Ndak Bu, saya yang harusnya minta maaf,"

"Kamu sehat Mas?"

Haryo menggangguk tanpa melepaskan pelukan dari Ibunya.

"Kenapa Ibu sampai begini?" tanya Haryo sambil sesenggukan.

Haryo tidak menyadari Angga sudah berdiri dibelakangnya.

"Semua ini gara-gara Mas yang pergi dari rumah," teriak Angga dari belakang.

Haryo mengenal suara itu, Haryo melepaskan pelukan dari Ibunya dan menoleh. Angga sudah berdiri disana dan menatapnya dengan penuh kebencian.

"Mas tahu Ibu sedang sakit, tapi Mas tetap pergi dari rumah, buat apa Mas kembali lagi kesini?" Angga meluapkan kemarahannya.

"Sudah Angga," Ibu meminta Angga untuk meredam amarahnya.

"Maafin mas," hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulut Haryo.

Angga yang kesal kemudian memilih untuk keluar dari bangsal tempat ibunya dirawat. Kalau bukan karena Ibunya, mungkin Angga sudah melepaskan bogem mentahnya pada Haryo. Tidak peduli bahwa Haryo adalah kakaknya. Orang yang tadi datang bersama Haryo merasa tidak enak sudah melihat yang terjadi diantara keluarga mereka dan memilih untuk keluar.

Haryo hendak menyusul Angga keluar, namun Ibu menahannya.

"Biarkan Angga sendiri dulu, dia juga sudah melalui masa-masa sulit."

Haryo menuruti permintaan Ibunya untuk tidak menyusul Angga. Haryo menggenggam erat tangan Ibunya dan bersimpuh di samping tempat tidur.

"Saya benar-benar minta maaf Bu, keegoisan saya membuat Ibu dan Angga menderita," ucap Haryo sambil terisak.

"Yang penting sekarang kamu sudah kembali, Ibu titip Angga sama kamu, cuma kamu yang dia punya, selama ini dia juga sangat merindukan kamu," Ibu membelai lembut kepala Haryo sementara Haryo masih terisak mengingat keputusan egoisnya meninggalkan rumah malam itu.

Ibu terus membelai kepala Haryo sampai Haryo bisa mengendalikan dirinya. Perlahan Haryo mengangkat wajahnya dan memandangi wajah Ibunya.

"Saya janji akan selalu menjaga Angga, Ibu tidak perlu khawatir," ucapnya sambil menatap Ibu.

"Ibu percaya kamu bisa melakukan itu," Ibu mengangguk dan tersenyum pada Haryo.

Angga melihat pemandangan Ibu dan Kakaknya dari balik pintu bangsal rawat Ibunya. Orang yang tadi mengantar Haryo kerumah sakit ikut mengintip dari balik pintu dan berulang kali dia melihat Angga mengusap air matanya. Orang itu menepuk bahu Angga.

"Makasih yo Gus, udah bawa Mas kemari," ujar Angga ketika Agus menepuk bahunya.

"Yo sama-sama, kalau ngga dibawa kemari, bisa-bisa aku yang habis dipukulin sama Mas-mu," ujar Agus.

Angga tersenyum simpul.

Didalam hatinya, Angga sangat merindukan sosok Kakak yang selalu diidolakannya itu. Namun, ia memilih untuk mengabaikan perasaannya.

****

Haryo dan Angga kembali dari pemakaman Ibu mereka. Angga langsung masuk kedalam kamar Ibunya dan mengunci dirinya disana. Sementara Haryo masih menerima tamu yang ingin mengucapkan bela sungkawa. Setelah tidak ada lagi tamu yang berkunjung, Haryo mencoba mengajak bicara Angga. Tidak ada jawaban dari dalam kamar, Haryo hanya mendengar suara isakan.

"Maafkan Mas," ujar Haryo lirih dari balik pintu.

Haryo akhirnya memutuskan untuk membiarkan Angga sendiri dan memilih untuk duduk sendiri di serambi rumah sewaan mereka. Disaat sedang duduk sendiri sambil menyesap rokok kretek miliknya, Agus datang dan duduk disebelahnya.

"Ini punyamu," Agus memberikan sebuah amplop putih pada Haryo.

"Opo iki?" tanya Haryo sambil membuka amplop tersebut.

Haryo terkejut begitu melihat isi amplop tersebut ternyata adalah uang.

"Itu uang yang selama ini kamu kirim, setiap aku antar ke Ibumu, dia malah suruh aku simpan uang itu, katanya takut kamu kekurangan uang," terang Agus.

Haryo tertegun. Jadi selama ini uang itu memang sampai ke tangan Ibunya, namun Ibunya malah meminta Agus untuk menyimpannya kembali untuk Haryo.

"Kamu tahu kondisi Ibu tapi kenapa kamu ndak kasih tahu ke saya sebelumnya?" tanya Haryo sedikit terisak.

"Ibumu yang minta, katanya dia ndak mau bikin kamu repot," jawab Agus.

Mendengar jawaban Agus, Haryo tidak dapat lagi membendung tangisnya. Haryo menangis keras sambil memukul-mukul dadanya yang terasa sesak setelah mengetahui apa dilakukan Ibu untuknya. Agus yang berada disebelahnya juga ikut merasa sesak melihat Haryo yang menangis pilu disampingnya.

****

Pak Haryo tiba di Solo, dia bergegas pergi ke pemakaman tempat kedua orang tuanya dimakamkan.

"Setelah dari makam, kita mau langsung pulang atau Bapak mau tinggal dulu disini?" tanya Pak Agus.

"Sudahlah, disini cuma ada kita berdua, ndak usah kaku begitu," ujar Pak Haryo pada Pak Agus.

Pak Agus melirik dari kaca spion dan tersenyum.

"Sudah kebiasaan soalnya," ujarnya.

"Angga juga datang hari ini?" Pak Agus lanjut bertanya pada Pak Haryo.

"Entahlah, sudah beberapa kali dia tidak datang kesini," jawab Pak Haryo.

Hari ini adalah hari peringatan kematian Ibu mereka. Hari ini juga yang menjadi ujung tombak perubahan bagi Pak Haryo.

"Kalau waktu itu uang yang dititip Ibu, kamu pakai buat judi, mungkin saya ngga bisa mulai usaha sampai bisa jadi seperti sekarang ini," ujar Pak Haryo.

Pak Agus yang mendengar ucapan Pak Haryo tertawa pelan.

"Biarpun saya dulu suka judi, tapi saya ngga akan sampai berbuat seperti itu, saya masih inget dosa," timpal Pak Agus.

"Inget dosa tapi hobinya judi," sindir Pak Haryo.

"Asal kamu tahu, dulu kalau saya menang, saya selalu ngisi kotak amal di masjid,"

"Kalau kamu kalah?"

"Saya main lagi sampai menang,"

Pak Haryo dan Pak Agus tertawa bersamaan.

Pemandangan diluar mobil mulai berganti dengan deretan makam-makam tua yang berjejer rapi. Mereka sudah hampir tiba. Pak Agus memarkirkan mobil yang mereka tumpangi tidak jauh dari gerbang masuk area pemakaman. Begitu mobil sudah terparkir, Pak Haryo segera turun dari dalam mobil. Pak Agus ikut turun sambil membuka payung untuk Pak Haryo. Keduanya kemudian menatap sebuah mobil Mercedes Benz hitam yang sudah terparkir disana.

"Sepertinya Angga sudah datang," ujar Pak Haryo.

Pak Haryo kemudian melangkah menuju makam Ibunya dengan Pak Agus berjalan disampingnya sambil memayunginya. Dari kejauhan Pak Haryo melihat Pak Angga yang sedang mencabuti rumput liar yang tumbuh diatas makam Ibunya. Pak Haryo mempercepat langkahnya. Begitu tiba di makam Ibunya, Pak Haryo segera membantu Pak Angga untuk membersihkan rumput liar yang ada disana.

"Tumben, Mas datang terlambat," ujar Pak Angga sambil mencabuti rumput liar.

"Agus sudah tidak sekencang dulu bawa mobilnya," jawab Pak Haryo sambil melirik kearah Pak Agus.

Pak Angga bangkit berdiri dan menyapa Pak Agus.

"Kamu sudah makin tua Gus?" sindir Pak Angga.

Pak Agus hanya tersenyum menanggapi.

"Kalian berdua tahu apa kesamaan kalian?" tanya Pak Agus pada Pak Haryo dan Pak Angga.

Keduanya menghentikan pekerjaannya mencabuti rumput liar dan menatap Pak Agus sambil menggeleng.

"Kalian ini sukanya meledek saya," ujar Pak Agus.

Keduanya tertawa pelan mendengar ucapan Pak Agus.

Setelah selesai mencabuti rumput liar yang ada diatas makam, mereka bertiga berdoa bersama. Hanya pada saat seperti ini Pak Haryo dan Pak Angga terlihat seperti kakak adik pada umumnya. Selesai berdoa mereka berjalan bersama menuju pintu gerbang tempat mobil mereka diparkirkan. Pak Angga berbasa-basi sedikit dan kemudian pergi meninggalkan Pak Haryo dan Pak Agus.

"Dualitas kepribadiannya memang luar biasa," komentar Pak Agus yang melihat Pak Angga langsung pergi meninggalkan mereka.

"Biar bagaimana pun saya sudah berjanji pada Ibu untuk menjaga dia," ujar Pak Haryo sambil memandangi mobil Pak Angga yang pergi meninggalkan gerbang area pemakaman.

"Karena itu kamu menyerahkan hasil penyelidikannya pada Bara?" tanya Pak Agus.

Pak Haryo mengangguk, "Saya tidak bisa menghancurkan monster yang sudah saya besarkan sendiri, sudah cukup saya melukai hatinya saat itu,"

"Tapi perbuatannya yang menusuk kamu dari belakang juga sudah keterlaluan,"

"Biar saya anggap itu sebagai karma yang harus saya tanggung karena sudah menelantarkan Ibu dan Adik saya,"

"Saya ndak ngerti sama jalan pikiranmu,"

"Karma untuk saya sudah saya tanggung, sekarang waktunya Angga bersiap untuk menerima karma atas perbuatannya pada Bara,"

"Maksudnya?" tanya Pak Agus bingung dengan maksud kata-kata yang diucapkan Pak Haryo.

"Hidup ini bisa berjalan seimbang karena hukum tabur tuai, secara tidak langsung apa yang kamu tabur suatu saat akan kamu tuai hasilnya, baik atau buruk akan menerima hasilnya suatu hari nanti, entah itu di dunia atau di alam baka nanti, setiap orang akan mendapat ganjaran atas setiap perbuatannya," ujar Pak Haryo.

Pak Agus hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan Pak Haryo, "Kamu sepertinya sudah semakin tua," ujarnya.

Pak Haryo tertawa dan memukul pelan lengan Pak Agus.

"Ayo kita pergi," Pak Haryo mengajak Pak Agus untuk segera pergi dari area pemakaman tersebut.

"Kita mampir makan sate kere dulu, aku wes laper," ujar Pak Agus sambil membukakan pintu mobil untuk Pak Haryo.

"Apa saja yang kamu mau," Pak Haryo masuk kedalam mobil.

Pak Agus bergegas ikut masuk kedalam mobil, perutnya yang keroncongan sudah tidak sabar untuk menikmati beberapa porsi sate kere. Kendaraan yang mereka tumpangi segera pergi meninggalkan area pemakaman dan menuju warung sate kere langganan mereka di kota Solo.

****