Pak Angga memandangi bayangan Pak Haryo dan Pak Agus dari kaca spion mobilnya yang perlahan menjauhi area pemakaman. Tidak banyak kata yang terucap hanya tatapan nanar ketika melihat siluet keduanya semakin menjauh. Dalam tatapannya ada kerinduan sekaligus kemarahan yang sampai saat ini belum bisa ia padamkan.
"Bapak mau langsung ke bandara atau mau kembali ke hotel?" tanya supir yang mengantarnya.
"Kita kembali ke hotel, saya ada janji dengan seseorang," Pak Angga melirik jam tangannya, "Tolong agak ngebut," perintahnya pada supir yang mengantarnya. Dirinya sudah hampir terlambat datang ke pertemuan dengan salah satu koleganya.
****
Malam setelah pemakaman Ibunya, Angga duduk sendiri di serambi rumah sewaan yang belum lama ia tempati bersama Ibunya. Memorinya melayang mengingat dua tahun terakhir hidupnya bersama dengan Ibunya. Setelah keributan yang terjadi diantara mereka bertiga, Kakaknya benar-benar pergi meninggalkan rumah. Namun pada pagi hari setelah keributan tersebut, seorang tetangga mendatangi rumah mereka dan memberikan uang titipan dari Haryo. Meskipun berat, Ibu tetap menerima uang itu karena sadar dirinya belum punya pekerjaan untuk menghasilkan uang. Setelah tetangga mereka meninggalkan rumah, Ibu terduduk sendiri diruang depan. Angga yang sedari tadi mengintip dari tirai kamarnya, keluar dari dalam kamar dan menghampiri Ibunya. Angga kemudian duduk disebelah ibunya dan menggenggam tangannya. Ibu menoleh dan menatap mata Angga.
"Mas mu masih peduli pada kita, tapi Ibu janji ini adalah yang terakhir," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Angga mempererat genggaman tangannya.
"Sekarang biarkan saya membantu Bu," ujar Angga.
Ibu menyeka air mata yang hampir jatuh di pipinya dan membelai wajah Angga lembut.
"Ibu tidak akan membiarkan kamu berhenti sekolah," ucap Ibu.
Sekali lagi Angga merasa tidak berdaya.
"Saya juga bisa seperti Mas Haryo yang membantu keluarga ini," batin Angga.
Angga memaksakan senyum pada Ibunya. Tidak banyak yang bisa dia lakukan selain menuruti kemauan Ibunya.
"Eh, ini sudah jam berapa? Bukannya ini waktunya kamu berangkat sekolah? Kamu kok belum pakai seragam?" Ibu melihat Angga belum mengenakan seragam sekolahnya.
"Saya ganti seragam dulu ya Bu," Angga tersenyum sebelum kembali beranjak ke kamarnya.
Ibu melangkah ke dapur dan membuka tudung saji. Masih ada sisa makanan. Makanan yang seharusnya mereka makan bertiga semalam. Ibu kembali terisak memikirkan Haryo yang semalam pergi tanpa sempat memakan makan malamnya. Sambil terisak, Ibu kembali menghangatkan makanan tersebut agar bisa dimakan Angga sebelum berangkat ke sekolah.
"Saya berangkat dulu bu!" teriak Angga dari ruang depan.
"Kamu ndak makan dulu, ibu sudah hangatkan makanannya," Ibu balas berteriak dari dapur.
"Tidak sempat,"
"Tunggu sebentar," Ibu buru-buru memasukkan makanan yang sudah dihangatkannya ke dalam rantang makanan dan bergegas menghampiri Angga yang masih berada di ruang depan.
"Ini, buat makan kamu nanti," Ibu memberikan makanan tersebut pada Angga.
"Ibu bagaimana?"
"Ndak usah pikirkan Ibu, yang penting buat kamu dulu biar kamu bisa konsentrasi di sekolah,"
Dengan berat hari Angga menerima bekal makan yang sudah disiapkan Ibunya.
"Kalau gitu saya berangkat dulu Bu," Angga mencium tangan Ibunya dan kemudian berangkat ke sekolah.
Sepanjang perjalanan ke sekolah, Angga memikirkan apa yang akan terjadi padanya di sekolah setelah kejadian kemarin. Kemarin Haryo menampar dan memaksanya pulang di hadapan teman-temannya. Kejadian itu bisa menjadi bahan olok-olok disekolahnya. Angga memandangi gerbang sekolahnya yang sudah semakin mendekat. Dengan berat, Angga menghela napas dan menyiapkan dirinya untuk menghadapi teman-temannya. Setibanya di kelas, Angga merasa seisi kelas memandang kearahnya. Seorang teman memanggil namanya.
"Angga!"
Angga menoleh ragu-ragu.
"Apa-apaan kamu, pulang kamu sekarang," ucap temannya mengikuti kata-kata yang diucapkan Haryo ketika memaksa Angga pulang kemarin.
Temannya kemudian tertawa dan diikuti oleh tawa teman-temannya yang lain. Angga menunduk malu.
"Sial," batinnya.
Hari ini dirinya harus bersabar menerima ejekan yang terus dilontarkan teman-temannya. Selain ejekan yang akan dihadapinya, Angga sebetulnya lebih takut menghadapi senior yang akan menagih uang padanya. Kemarin dia tidak sempat menerima uang dari anak-anak yang ia mintai uang karena kadung ketahuan oleh Haryo. Pada saat jam istirahat siang, apa yang ditakutinya terjadi. Seorang senior datang ke kelasnya dan langsung merangkulnya untuk dibawa menemui senior-senior yang lain. Sebelum pergi, Angga melirik teman-temannya yang kemarin juga ikut bersama dengan dirinya. Tidak ada yang mereka lakukan, mereka hanya menunduk seolah tidak melihat apa pun. Tiba dihadapan senior yang lain, dengan ketakutan Angga berdiri menghadapi para senior itu sendirian. Salah seorang senior mulai meminta uang yang harus Angga setorkan pada mereka.
"Saya ngga dapat uang," ucap Angga pelan.
"Kamu ngomong apa?" Senior itu membungkukkan badannya dan mendekatkan telinganya pada wajah Angga, "Coba bicara yang kencang," ucapnya.
"Saya ngga dapat uang," Angga kembali mengulangi ucapannya dengan sedikit lebih keras.
Senior itu kembali berdiri tegak dan memandangi Angga yang masih tertunduk.
"Berdiri yang tegak," pintanya pada Angga.
Angga yang semula menunduk mulai mengangkat wajahnya untuk berhadapan dengan senior itu. Pada saat Angga mengangkat wajahnya, senior itu langsung memukulnya tepat di perut. Angga refleks memegangi perutnya yang kesakitan.
"Berdiri lagi yang tegak," senior itu meminta Angga untuk kembali berdiri tegak. Dengan menahan sakit Angga kembali berdiri tegak. Senior itu kembali memukulnya beberapa kali. Senior itu baru menghentikan pukulannya setelah Angga tidak sanggup berdiri lagi. Setelah itu, dia langsung menyuruh Angga untuk kembali ke kelasnya.
"Hei," senior itu kembali memanggil Angga.
Angga menoleh dengan takut-takut.
"Besok kamu harus setoran dua kali lipat, ingat itu," ucap seniornya dengan nada mengancam.
Angga hanya bisa mengangguk pelan.
"Sudah, pergi sana," Senior itu kembali menyuruhnya untuk pergi.
Angga pergi sambil memegangi perutnya yang sakit akibat pukulan seniornya. Dari kejauhan Angga bisa mendengar senior-senior itu tertawa.
Sekembalinya di kelas, Angga segera duduk di kursinya dan hendak memakan bekal yang sudah dibawakan oleh Ibunya. Namun salah seorang temannya yang baru saja masuk ke kelas dengan sengaja menyenggol bekal tersebut hingga bekal itu jatuh ke lantai. Setelah menjatuhkan bekal milik Angga, temannya langsung duduk dikursinya dan tertawa melihat Angga yang sedang merangkak untuk membereskan bekal miliknya. Sementara temannya yang lain, hanya menyaksikan sambil ikut tertawa pelan. Angga memandangi bekal pemberian Ibunya yang sudah jatuh ke lantai. Angga tahu, demi membawakan bekal untuknya, Ibunya rela menahan lapar. Sementara seorang teman dengan kurang ajarnya sengaja menjatuhkan bekal itu. Angga mengepalkan tangannya menahan amarah. Angga sudah berpikir untuk langsung menghampiri anak tersebut dan memukulnya, namun dia memilih untuk mengendalikan amarahnya. Jika, dia meledak di sekolah, Ibunya yang akan kesulitan. Dengan berat hati Angga membuang bekal pemberian Ibunya ke tempat sampah.
"Ini semua karena Mas Haryo," batin Angga.
Sepulang sekolah, Angga langsung bergegas meninggalkan sekolah. Angga merencanakan sesuatu untuk membalas teman yang tadi sudah menjatuhkan bekal pemberian Ibunya. Angga menunggu agak jauh dari gerbang sekolah untuk mengikuti temannya pulang. Angga terus mengikuti temannya dari belakang, ketika temannya sudah seorang diri, Angga sudah bersiap untuk menyerangnya. Angga langsung menyerangnya dengan mencekik leher temannya menggunakan tali sepatu yang sengaja ia lepaskan sambil menyeret temannya ke sebuah semak-semak di pinggir area persawahan. Ketika tiba di semak, Angga melepaskan tali sepatu yang melilit leher temannya dan menendangnya sampai jatuh ke tanah. Temannya tidak mampu melawan karena masih mencoba mengatur napasnya. Melihat temannya yang masih kesulitan bernapas, Angga tidak membuang waktu dan segera menindih tubuhnya.
"Ampun," temannya memohon sambil mengatupkan kedua tangan di depan wajahnya.
Angga menatapnya dengan tatapan jijik dan menamparnya dengan kencang.
"Kemana perginya jagoan yang tadi?" ujar Angga dingin sambil bolak-balik menampar temannya.
"Ampun Ngga!" temannya mulai menangis.
Angga menghentikan tamparannya. Angga mendekatkan wajahnya ke wajah temannya yang sudah ketakutan.
"Kamu salah main-main sama saya," ujar Angga dingin.
"Sekarang saya ampuni, mulai besok kamu harus setor ke saya, paham?" Angga melanjutkan kata-katanya.
Temannya mengangguk sambil ketakutan.
"Ngomong yang kencang, sekencang kamu mengolok saya disekolah tadi,"
"Paham," ucap temannya dengan nada bergetar.
Angga bangkit berdiri sambil memeriksa saku celana temannya.
"Ini saya ambil, awas kalau sampai kamu ngadu ke orang tua kamu," Angga menunjukkan uang yang diambilnya dari saku celana teman yang sudah dia serang.
Temannya hanya bisa mengangguk sambil ketakutan. Angga kemudian pergi meninggalkannya begitu saja.
Angga kembali kerumah dan tidak menemukan Ibunya disana. Angga kemudian bertanya pada tetangga tentang keberadaan Ibunya. Tetangga mereka mengatakan, Ibunya pergi tidak lama setelah Angga berangkat sekolah namun mereka tidak mengetahui kemana Ibunya pergi. Seperti orang gila, Angga mencari Ibunya kesana-kemari. Hingga akhirnya dia tiba dipasar dan tidak sengaja melihat Ibunya sedang menjadi kuli angkut. Hati Angga mencelos melihat pemandangan Ibunya yang dengan tubuh kurusnya bolak-balik mengangkat karung berisi sayuran. Ibunya melihat Angga yang sedang menatapnya dari kejauhan. Ibu meletakkan karung yang sedang ia panggul dan melambaikan tangannya pada Angga sambil tersenyum. Saat itu juga Angga ingin menangis melihat Ibu yang masih sanggup tersenyum padanya. Angga balas tersenyum dan berlari kearah Ibu untuk membantunya.
****
"Bengong mikirin apa kamu?" Haryo tiba-tiba sudah duduk disebelah Angga.
Angga berniat untuk kembali beranjak ke kamar Ibunya, namun Haryo segera menahan tangan Angga.
"Mas minta maaf," ujar Haryo.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan," ucap Angga dingin.
"Mas tahu keputusan Mas untuk pergi pada malam itu adalah keputusan yang salah,"
Angga memandangi Haryo.
"Kalau Mas tahu itu salah, lalu kenapa Mas tetap pergi dari rumah?" tanya Angga.
Haryo terdiam mendengar pertanyaan Angga.
"Mas tahu kondisi Ibu sudah lemah saat itu, tapi Mas tetap pergi," Angga tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
"Maafkan Mas," ujar Haryo lirih.
"Mas pikir hanya dengan minta maaf bisa menghidupkan Ibu lagi? Ibu sudah meninggal dan itu gara-gara keegoisan Mas," teriak Angga.
"Mas ngga akan tahu betapa sakitnya hati saya setiap kali melihat Ibu berpura-pura kuat dihadapan saya," ucap Angga bergetar.
Haryo terisak. Dadanya sesak dengan kata-kata yang diucapkan oleh Angga. Haryo melepaskan genggamannya pada lengan Angga dan Angga langsung pergi meninggalkan Haryo seorang diri di serambi rumah.
Haryo berdiam diri cukup lama di serambi rumah untuk mengendalikan perasaannya. Setelah tenang, Haryo kembali mencoba mengajak Angga berbicara. Haryo mengetuk pintu kamar Ibunya beberapa kali. Namun Angga tidak menjawabnya sama sekali. Haryo akhirnya pasrah dan memilih untuk dilantai sambil bersandar pada pintu kamar Ibunya.
"Saya sudah berjanji pada Ibu untuk menjaga kamu," Haryo mulai berbicara sendiri.
"Kamu suka atau tidak, saya yang akan mengurus kamu mulai saat ini,"
Angga mendengarkan diam-diam dari dalam kamar.
"Saya ada sedikit uang yang bisa digunakan untuk memulai usaha, saya janji akan membuat hidup kita berdua lebih baik, setidaknya biarkan saya menebus kesalahan saya pada kalian berdua," Haryo terus melanjutkan monolognya.
Angga tahu selama ini Ibu selalu menerima titipan uang dari Haryo namun Ibu malah meminta rekan haryo yang mengantar uang tersebut untuk menyimpannya jika suatu saat Haryo membutuhkan uang.
Angga perlahan membuka pintu kamarnya. Menyadari pintu dibelakangnya mulai bergerak, Haryo segera bangkit berdiri. Angga membuka lebar pintu tersebut. Haryo langsung memeluk Angga yang sudah bersedia membukakan pintu untuknya. Angga bergeming meskipun Haryo memeluknya. Kemarahannya pada Haryo sudah terlanjur mengakar dihatinya. Angga membuka pintunya bukan karena dia memaafkan Haryo, namun lebih karena dia harus berada didekat Haryo jika dia ingin Haryo merasakan apa yang sudah dia rasakan. Angga menantikan saat dimana dirinya membalaskan kemarahannya pada Haryo.
****
Pak Angga bertemu dengan beberapa koleganya yang berasal dari kalangan pejabat kota. Semua yang menemuinya adalah orang-orang yang sanggup melakukan apa pun demi uang. Orang yang memasang wajah baik saat sedang menginginkan dukungan namun ketika berhadapan dengan uang mereka akan lupa dengan topeng kebaikan itu. Dan Pak Angga sangat lihai menggunakan orang-orang macam ini untuk memuluskan rencananya. Pak Angga sengaja mendukung mereka agar bisa melakukan apa yang dia minta dan jika mereka menolak, Pak Angga sudah memiliki bukti-bukti kelakuan busuk mereka semua.
"Kalian semua sudah tahu kan apa yang harus kalian lakukan," ujar Pak Angga.
"Tentu saja, apa pernah kita mengecewakan Bapak," timpal salah seorang koleganya.
"Bagus kalau begitu, suruh anak buah kalian tunggu aba-aba dari saya,"
"Tapi Pak, apa ini ndak terlalu berlebihan,"
"Apa yang kamu takutkan?"
"Kalau masyarakat yang terkena imbasnya menuntut ganti rugi bagaimana?"
"Sejak kapan kalian peduli dengan masyarakat, bukannya kalian cuma peduli pada uang?" Pak Angga kembali bertanya.
"Kalau pun ada kerusakan, kalian akan menyerahkannya pada kontraktor yang bekerja sama dengan kalian kan, kalian tetap terima uang kan? Sudahlah, tidak usah sok suci dihadapan saya," ujar Pak Angga.
Tidak ada yang berani menyanggah ucapan Pak Angga karena memang seperti itulah keadaannya.
"Ingat, kalian bisa sampai seperti sekarang itu karena dukungan saya, saya bisa kapan pun menarik dukungan saya dan menjatuhkan kalian ke lubang yang sama dengan tikus got," Pak Angga menekankan kata-katanya.
"Bapak kapan mau eksekusinya?" tanya salah seorang diantara koleganya.
"Saya harus memastikan beberapa hal terlebih dahulu, kalian tunggu saja perintah dari saya," jawab Pak Angga.
"Baik Pak."
"Kalau begitu saya pamit dulu, kalian nikmati saja makan-makannya, tagihannya biar diurus asisten saya," Pak Angga langsung pergi meninggalkan para koleganya. Selepas Pak Angga pergi, mereka mulai bisa mengendurkan bahunya. Mereka tahu Pak Angga tidak pernah hanya sekedar mengancam.
****