Bara berjalan mondar-mandir didalam toilet MG Group setelah keluar dari ruang tes.
"Itu tadi ngomong gue apa bego," batin Bara sambil mengacak-acak rambutnya.
Sesaat Bara merasa emosional setelah berhadapan langsung dengan Pak Bima yang adalah Pamannya sendiri. Namun setelah menjawab pertanyaan Pak Bima dengan langsung mengkonfrontasinya, tiba-tiba Bara sedikit menyesal dengan apa yang diucapkannya.
Tiba-tiba ponsel Bara berdering, Pak haryo menelponnya.
"Iya, Eyang," Bara menjawab telpon dari Pak Haryo.
"Oke, saya kesana," Bara mematikan ponselnya kembali.
Bara kemudian merapikan rambutnya yang acak-acakan dan membasuh wajahnya sedikit agar terlihat lebih segar.
Bara keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju ruangan Pak Haryo. Pak Haryo meminta Bara untuk segera menemuinya. Bara berpapasan dengan beberapa pegawai MG Group ketika sedang menuju ruangan Pak Haryo. Bara mencoba bersikap ramah dengan melemparkan sedikit senyuman. Bara mengetuk pintu ruangan Pak Haryo dan kemudian membukanya.
Pak Haryo sudah berada didalam bersama dengan asisten pribadinya Pak Agus. Bara duduk di sofa yang ada didalam ruangan Pak Haryo selagi menunggu Pak Haryo yang sedang menelpon.
"Mas Bara tadi hebat presentasinya," bisik Pak Agus.
"Apalagi pas bagian Mas Bara menghampiri Pak Bima," Pak Agus melanjutkan perkataannya.
"Makasih Pak," Bara tersenyum kikuk mendengar ucapan Pak Agus. Di dalam hatinya Bara agak menyesali saat dimana dirinya menghampiri langsung Pak Bima.
"Eh, kok Pak Agus tahu?" pikir Bara keheranan.
Pak Haryo selesai menelpon dan segera menghampiri Bara.
"Eyang bangga sekali sama kamu," ujar Pak Haryo dengan senyum yang terkembang.
"Itu bukan apa-apa kok, saya cuma menjelaskan apa yang sudah saya pelajari," timpal Bara.
"Sepertinya ada yang kebakaran gara-gara ucapan kamu,"
"Maksud Eyang?"
"Angga, Bima, ekspresi mereka berubah drastis saat kamu bilang kamu mencium bau busuk disini,"
"Eyang tahu darimana?"
"Kamu ngga sadar kalau ruang tes itu diawasi?"
Bara menggeleng, "Saya pikir cuma cctv biasa."
"Saya bersama Angga menonton presentasi kamu tadi, dan saya benar-benar senang dengan apa yang kamu ucapkan, sudah waktunya kamu ambil alih permainan ini," ujar Pak Haryo.
Pak Haryo memberi isyarat pada Pak Agus untuk memberikan sesuatu pada Bara. Pak Agus mengerti isyarat Pak Haryo dan memberikan sebuah flashdisk kepada Bara.
"Apa ini?" tanya Bara sambil menerima flashdisk pemberian Pak Agus.
"Kalau kamu mau memulai sesuatu, kamu harus mempersiapkannya dengan matang, dan itu bisa menjadi bekal untuk kamu," ujar Pak Haryo.
Bara terheran-heran dengan perkataan Pak Haryo dan menatap Pak Haryo penuh tanya.
Pak Haryo mengangguk, "Itu hasil penyelidikan singkat saya, selama ini saya hanya berfokus untuk menemukan kamu, saya rasa sudah saatnya kamu mengambil alih permainan ini,"
"Kenapa Eyang tidak melanjutkan penyelidikannya? Eyang lebih punya kuasa disini," tanya Bara.
"Saya terlalu takut menghadapi kebenaran," ujar Pak Haryo pelan. Ingatannya melayang pada masa muda yang dia habiskan untuk membangun MG Group.
*****
"Bapak!" teriak Haryo begitu masuk kedalam lumbung padi milik keluarga mereka.
Kala itu hujan menyelimuti kota Solo, Haryo berdiri terpaku melihat Bapaknya sudah meregang nyawa dengan cara gantung diri di lumbung padi milik keluarga mereka. Tidak sanggup terlilit hutang akibat ditipu rekan bisnisnya, membuat bapaknya memilih untuk mengakhiri hidupnya. Meninggalkan istri, dua orang anak dan hutang yang menumpuk. Sementara rekan bisnisnya seperti hilang ditelan bumi dengan membawa uang milik keluarga mereka. Keluarga mereka yang mulanya serba berkecukupan mendadak menjadi serba kekurangan. Dengan sisa benda berharga yang masih dimiliki, keluarga yang ditinggalkan berusaha bertahan hidup. Sampai akhirnya rumah peninggalan ayah mereka terpaksa mereka jual. Sebagai anak sulung, Haryo berusaha memenuhi kebutuhan ibu dan adiknya dengan bekerja serabutan. Melihat keadaan Ibu mereka yang mulai sakit-sakitan karena terus dirundung pilu kehilangan Suami tercintanya dengan cara yang kejam, akhirnya Haryo yang kala itu hampir menyelesaikan sekolahnya di bangku SMA memutuskan untuk keluar dari sekolahnya dan memilih untuk bekerja di pabrik tahu. Angga yang kala itu baru duduk di bangku SMA ingin mengikuti jejak Haryo untuk berhenti bersekolah dan membantu keuangan keluarga mereka, namun Haryo melarangnya. Haryo meminta Angga untuk tetap bersekolah. Haryo bekerja siang malam tanpa mengenal lelah untuk membiayai Ibu dan Adiknya. Harapannya agar Adiknya bisa mendapat pendidikan yang tinggi hingga bisa memiliki pekerjaan yang lebih baik daripada dirinya.
Suatu ketika, pabrik tahu tempat Haryo bekerja bangkrut. Puluhan karyawannya terkena PHK termasuk Haryo. Haryo pulang ke rumah dalam keadaan kalut memikirkan bagaimana keluarga mereka akan bertahan dengan uang pesangon yang tidak seberapa ini. Ditengah jalan, Haryo melihat sekumpulan anak-anak seusia Angga sedang berkumpul di sudut gang sempit. Beberapa anak berbaris dengan wajah tertunduk takut. Sementara yang lainnya meminta uang secara paksa. Haryo memperhatikan anak-anak yang sedang meminta uang, dia mengenali salah satu diantara mereka.
"Angga!" panggilnya.
Angga menoleh dan melihat Haryo yang sedang berjalan menghampirinya. Dengan penuh emosi, Haryo menampar Angga dihadapan teman-temannya. Angga memegangi pipinya yang panas akibat tamparan Haryo.
"Apa-apaan kamu, pulang kamu sekarang!" Haryo menyeret Angga pergi meninggalkan teman-temannya.
Sesampainya di rumah, Haryo menghajar Angga habis-habisan.
"Saya sudah mati-matian membiayai sekolah kamu, tapi lihat kelakuan kamu," teriak Haryo.
"Saya tidak minta Mas untuk membiayai sekolah saya, Mas sendiri yang meminta saya tetap sekolah," Angga melawan apa yang dikatakan Haryo padanya.
"Tapi bukan kelakuan seperti tadi yang saya harapkan saat saya meminta kamu tetap sekolah."
"Mas pikir saya mau bertindak seperti tadi, saya juga korban, kalau saya tidak melakukan itu saya yang akan dihajar."
"Omong kosong, sudah ketahuan masih beralasan."
Mendengar kedua putranya sedang ribut-ribut, akhirnya Ibu mereka bangkit dari ranjangnya. Dengan susah payah dia berjalan menghampiri kedua putranya yang sedang adu mulut.
"Ada apa ini, Mas?" tanya ibunya lirih pada Haryo.
"Dia," Haryo menunjuk wajah Angga, "Saya cuma minta dia melanjutkan sekolah agar dia bisa memperbaiki kehidupan keluarga kita, nyatanya bocah tengik ini malah berlagak jadi jagoan dengan meminta uang pada anak-anak lain," lanjut Haryo.
Angga menepis jemari Haryo yang sedang menunjuk wajahnya, " Saya sudah bilang itu bukan kemauan saya."
"Tidak usah beralasan kamu," Haryo kembali berusaha untuk menampar wajah Angga, namun Ibu mereka menghalanginya.
"Apa benar itu Angga?" tanya Ibu pada Angga.
Angga terdiam dan menundukkan kepalanya.
"Jawab pertanyaan Ibu, jangan diam saja, katakan apa yang kamu lakukan tadi," tantang Haryo pada Angga yang sedang tertunduk.
Mendengar perkataan Haryo, Angga kembali mengangkat kepalanya dan menatap Haryo dengan penuh amarah.
"Iya, saya meminta uang pada anak-anak itu, puas?" Angga tidak berteriak, namun nada bicara Angga terdengar seperti kecewa dengan kakaknya yang tidak mempercayainya.
Ibunya menghela napas mendengar pengakuan Angga. Ibu bisa merasakan getaran dalam pengakuan Angga.
"Ibu tahu keadaan kita saat ini sulit, tapi setidaknya kita jangan berbuat hal semacam itu, Angga." Ibu membelai lembut lengan Angga.
"Maaf, Bu." Angga mulai menitikkan air mata mendengar ucapan lembut ibunya.
"Kemana perginya jagoan yang tadi," sindir Haryo.
"Sudahlah Mas, kita kan bisa bahas ini baik-baik," Ibunya meminta pada Haryo untuk tidak melanjutkan perselisihan keduanya.
"Angga, ayo minta maaf sama Mas-mu." Ibu meminta Angga untuk meminta maaf pada Haryo.
Angga menggeleng.
Haryo yang melihat Angga tidak mau meminta maaf padanya kembali baik pitam.
"Dasar tidak tahu diri," Haryo hendak kembali memukul Angga.
Ibu yang kembali mencoba menengahi justru didorong oleh Haryo yang sudah gelap mata. Haryo kembali memukuli Angga.
"Kamu pikir, kamu bisa makan, tinggal, dan sekolah itu karena siapa?" Haryo terus memukuli Angga sampai Angga tersungkur dilantai.
"Semua karena pengorbanan saya," teriak Haryo.
Angga menahan pukulan Haryo yang membabi buta.
"HENTIKAN!" teriak Ibu dari arah belakang.
Haryo perlahan menghentikan pukulannya dan bangkit berdiri meninggalkan Angga yang masih meringkuk dilantai.
Ibu berjalan ke arah Haryo dan, "Plak!" Ibu menampar pipi Haryo.
Haryo memegangi pipinya yang ditampar oleh ibunya dan memandang wajah ibunya tidak percaya.
"Dia yang berbuat salah, kenapa malah saya ditampar?" tanya Haryo tidak percaya.
"Adik kamu memang salah, tapi perbuatan kamu sudah keterlaluan, Angga bahkan tidak melawan waktu kamu pukuli," bentak Ibu.
Angga bangkit berdiri dan memeganggi lengan Ibunya.
"Kenapa Ibu selalu membela Angga, Saya yang sudah banyak berkorban untuk keluarga ini, bukan dia," ujar Haryo lirih.
"Tidak ada yang memaksa kamu untuk berkorban, semua itu keputusan yang kamu ambil sendiri."
"Itu karena saya merasa bertanggung jawab atas keluarga kita setelah Bapak meninggal, kalau bukan saya, siapa lagi yang akan menghidupi keluarga kita?"
"Mulai saat ini, Ibu yang akan mengambil semua tanggung jawab itu, kamu tidak perlu lagi repot-repot berkorban untuk kita berdua."
Haryo terdiam mendengar ucapan ibunya.
"Baik kalau begitu." Tanpa berkata-kata Haryo keluar dari rumah. Dirinya masih dikuasai amarah karena merasa ibunya terlalu bersikap lemah jika berurusan dengan Angga.
Melihat Haryo yang keluar dari rumah tanpa mengucap sepatah kata pun, Ibu melorot di lantai dan mulai menangis menyesali kata-kata yang diucapkan pada putra sulungnya itu. Ibu sadar Haryo sudah banyak berkorban untuk keluarga mereka, jika bukan karena pengorbanan Haryo, mereka tidak akan sanggup melewati masa-masa sulit itu. Angga memeluk erat ibunya yang menangisi kepergian Haryo. Pandangannya tertuju pada punggung Haryo yang pergi meninggalkan mereka.
*****
Pak Haryo memandangi hujan rintik-rintik dari dalam mobilnya. Hujan selalu mengingatkannya dengan kematian Bapaknya puluhan tahun lalu. Pemandangan menyeramkan itu tidak bisa hilang dari ingatannya.
"Begitu banyak peristiwa buruk saat hujan," ujar Pak Haryo pelan.
Pak Haryo membuka sedikit kaca jendela mobilnya dan meresapi aroma petrikor yang muncul pada saat hujan. Hujan selalu menjadi pintu untuk membuka sebuah kenangan. Tidak hanya kenangan baik, kenangan buruk pun bisa hadir saat hujan. Orang-orang yang teringat kenangan baik akan menyambut turunnya hujan dengan senyum yang merekah, bahkan meski menangis pun mereka akan menangis bahagia. Berbeda ceritanya jika hujan membawa mereka mengingat kenangan buruk, mereka akan berharap hujan segera berhenti agar tidak kembali mengingat kenangan buruk itu. Tidak jarang mereka menangis pilu saat hujan.
Pak Haryo kembali menutup kaca jendela mobilnya dan menyeka matanya yang memerah. Kenangan buruk itu selalu hadir kala dirinya memandangi hujan.
"Tolong siapkan penerbangan saya ke Solo besok," ucap Pak Haryo pada Pak Agus.
"Baik Pak," jawab Pak Agus.
Pak Haryo memejamkan matanya.
"Tidak ada gunanya terus menyesal," pikirnya.
****