Sepulang dari kediaman pak haryo, damar segera masuk kedalam ruang kerjanya. Damar mengeluarkan amplop coklat pemberian bara. Dipandanginya amplop coklat dihadapannya. Meskipun lelah, damar kemudian membuka amplop coklat tersebut dan mulai melihat isinya satu-persatu. Selain berisi laporan keuangan MG Group sepuluh tahun lalu, pada amplop tersebut juga bara memberikan bukti transaksi perbankan. Bukti transaksi tersebut yang mengusik perhatian damar, karena terdapat beberapa nama petinggi perusahaan dan juga pejabat negara. Sedangkan untuk laporan keuangan, damar akan membandingkannya dengan laporan keuangan yang tersimpan pada penyimpanan perusahaan. Damar menutupi wajahnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Batin damar.
****
Kimmy memandangi foto pemberian bara. Kimmy merasa familiar dengan latar belakang foto tersebut. Kimmy memperhatikan dengan seksama orang-orang yang ada pada foto tersebut.
"Tunggu dulu," Kimmy berkata pada dirinya sendiri.
"Bukannya ini mama." Kimmy terfokus pada foto seorang wanita yang terlihat seperti sedang tidak sengaja melintas ketika foto tersebut diambil. Pada foto tersebut, wanita itu sedang bersama dengan seorang pria. Wajah pria tersebut tidak terlihat karena membelakangi kamera, akan tetapi kimmy yakin pria tersebut bukan papanya. Mamanya tidak pernah tersenyum sebahagia itu jika bersama papanya.
"Ini mama sama siapa?" Batin kimmy.
Kimmy kemudian membongkar foto-foto yang lain, Harapannya ia akan menemukan foto dimana wajah pria yang bersama mamanya dapat terlihat lebih jelas. Harapannya terkabul. Kimmy menemukan foto dimana wajah pria tersebut terlihat lebih jelas.
"Om mahesa." Kimmy terheran-heran dengan apa yang dilihatnya.
"Ngapain mama jalan bareng om mahesa?" Kimmy terdiam. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan irasional tentang foto tersebut.
****
Bara dan Pak haryo mengobrol santai diruang keluarga selepas kimmy dan damar pulang dari kediaman pak haryo. Ada sesuatu yang mengganjal bagi bara setelah menerima email dari MG group.
"Ada yang sedikit mengusik pikiran saya daritadi siang?" Tanya bara pada Pak haryo.
"Apa yang mengusik kamu?"
"Eyang sudah menghubungi kepala HRD?"
Pak haryo terheran-heran dengan pertanyaan bara.
"Kenapa? Kamu penasaran dengan si biang onar itu?"
"Bukan, saya penasaran, saya lolos tahap kedua karena memang saya lolos atau karena eyang yang sudah menghubungi kepala HRD."
"Menurut kamu, kenapa saya bersedia untuk menjamin kamu tetap diterima sebagai pegawai magang?"
Bara mengangkat bahu mendengar pertanyaan Pak haryo.
"Itu karena saya sudah tahu hasil test kamu bahkan sebelum kamu terima email hari ini." Pak haryo menjawab pertanyaan yang dia ajukan untuk bara.
"Eyang sudah tahu hasilnya?"
"Yep."
"Jadi itu bukan karena eyang yang sudah menghubungi kepala HRD?"
Pak haryo menggeleng.
"Itu seratus persen hasil usaha kamu, saya berencana menggunakan kekuasaan saya jika kamu tidak lolos tes, tapi nyatanya kamu lolos dengan usaha kamu sendiri." Ujarnya.
"Terus untuk test ketiga ini gimana? Apa eyang akan menghubungi kepala HRD?"
"Tidak, jaminan itu akan saya gunakan jika memang diperlukan, kenapa? Kamu mulai ragu dengan kemampuan kamu?"
Bara terdiam sejenak.
"Kamu harus yakin sama kemampuan kamu, meskipun saya sudah memberikan jaminan untuk kamu, namun saya tidak akan semudah itu menggunakannya, saya akan membiarkan kamu berusaha terlebih dahulu, jaminan itu hanya akan digunakan jika memang diperlukan, tapi sejauh ini saya yakin kamu belum memerlukannya." Ujar Pak haryo.
Bara tersenyum lega. Ternyata Pak haryo belum menggunakan kekuasaannya untuk meloloskan dirinya. Janji pak haryo yang akan menjaminnya sejenak membuat bara ragu dengan kemampuannya yang sebenarnya.
"Kamu kerjakan saja soal test kamu tanpa memikirkan jaminan yang saya berikan, anggap saja jaminan itu tidak ada."
"Kalau gitu saya sudah lega." Bara bangkit berdiri.
"Kamu mau kemana?" Tanya pak haryo.
"Saya mau kembali keruang kerja."
"Ini sudah larut loh."
"Tanggung, sedikit lagi saya selesai mengerjakan studi kasusnya."
"Ya sudah kalau begitu, kalau sudah selesai cepat istirahat, besok kamu ada janji untuk konsultasi kan."
"Yes bos." Bara berjalan kembali menuju ruang kerja.
Paka haryo hanya geleng-geleng kepala melihat semangat bara untuk menyelesaikan studi kasus yang diberikan pihak MG Group. Pak haryo pun segera beranjak dari ruang keluarga dan menuju kamarnya untuk beristirahat.
****
Seseorang mengetuk pintu ruang kerja damar. Damar buru-buru merapikan berkas-berkas pemberian bara. Damar terkejut karena yang muncul dari balik pintu adalah papanya.
"Tumben papa malam-malam kesini?" Tanyanya.
"Papa mau menginap disini, kamu ngga keberatan kan?"
"Ya ngga lah, masa saya keberatan papa mau menginap disini."
"Kamu sendiri kenapa masih bekerja?"
"Saya sama kimmy habis bertemu bara."
Ekspresi Pak bima mengeras mendengar nama bara.
"Untuk apa kamu bertemu bara?"
"Cuma sekedar makan bersama, waktu saya kesana juga ada eyang haryo, mungkin kapan-kapan kita bisa sama-sama kesana, sudah lama kan kita tidak berkumpul selain diruang rapat." Usul damar.
"Boleh, sepertinya keluarga kita memang harus sering-sering bertemu, apalagi bara juga sudah kembali, papa juga kangen sama anak itu."
"Bara semakin mirip dengan om mahesa."
Mendengar damar menyebut nama mahesa membuat Pak bima mengepalkan tangannya. Nama mahesa selalu membuat darahnya mendidih.
"Tentu saja mereka mirip." Pak bima berusaha menanggapinya dengan santai.
"Ya sudah, papa mau istirahat dulu." Ujar pak bima.
Pak bima hendak berjalan keluar dari ruang kerja damar, sebelum matanya tertuju pada sesuatu dilantai. Pak bima memungut sebuah foto yang tergeletak dilantai tidak jauh dari meja kerja damar. Pak bima memandanginya foto yang ada ditangannya sejenak. Begitu mengenali objek yang ada didalam foto tersebut, tangan pak bima bergetar.
"Ada apa pa?" Damar menghampiri Pak bima yang terpaku ditengah ruang kerjanya.
"Darimana kamu dapat ini?" Tanya pak bima sambil menunjukkan foto yang sedang dipegangnya.
Damar panik begitu menyadari Pak bima sedang memegang foto yang diberikan bara padanya. Pasti foto itu tidak sengaja terjatuh pada saat damar merapikan berkas-berkas pemberian bara. Damar berusaha tetap tenang menjawab pertanyaan pak bima.
"Oh itu, mungkin itu milik eyang haryo atau milik bara, sepertinya ngga sengaja kebawa sama saya."
"Punya bara kamu bilang?" Tanya Pak bima. Ekspresinya terlihat ketakutan.
Damar hanya mengangguk. Damar kemudian mengambil foto itu dari pak bima.
"Biar nanti saya kembalikan pada mereka."
Pak bima tidak melawan ketika damar merebut foto itu dari tangannya. Damar bisa melihat tangan pak bima yang gemetar setelah foto itu diambil olehnya.
"Damar." Pak bima menyebut nama damar. Tatapan matanya kosong ketika menyebut nama damar.
"Ya,"
"Apa kamu bersedia melakukan apa pun untuk mengamankan posisi kamu saat ini?" Pak bima menatap damar sungguh-sungguh.
"Maksud papa?"
"Apa kamu mau melakukan apa saja demi semua yang kamu miliki saat ini?"
Damar mencerna maksud perkataan pak bima.
"Tentu saja, karena itu untuk masa depan saya nanti," Jawab damar.
"Bagus, kalau begitu papa tidak akan ragu-ragu lagi kali ini."
Pak bima berjalan menuju pintu ruang kerja damar.
"Tunggu pa!"
Pak bima menghentikan langkahnya dan menoleh pada damar.
"Apa yang mau papa lakukan?" Tanya damar pada pak bima.
"Kamu tenang saja, semua yang saya lakukan itu demi kelangsungan keluarga kita." Ucap pak bima tenang.
"Tapi setidaknya saya harus tahu apa yang mau papa lakukan," Damar merasa inilah momen yang tepat baginya untuk mengulik sedikit tentang rahasia yang disembunyikan papa dan eyangnya.
"Kamu tidak perlu mengetahuinya untuk saat ini, tapi untuk saat ini yang harus kamu ingat adalah kehadiran bara bisa sangat berbahaya bagi keluarga kita."
"Kenapa saya harus mengkhawatirkan bara, bara juga bagian dari keluarga kita."
"Foto yang kamu pegang itu, itu bisa menjadi senjata untuk mengancurkan keluarga kita dalam sekejap."
"Apa maksud papa? Siapa orang-orang di foto itu? Kenapa hanya dengan selembar foto bisa menghancurkan keluarga kita?" Damar memberondong Pak bima dengan pertanyaan tentang orang-orang yang ada didalam foto tersebut.
"Sebaiknya kamu tidak perlu tahu lebih jauh tentang orang-orang didalam foto tersebut."
"Apa ini juga ada kaitannya dengan kecelakaan yang dialami bara?" Selidik damar.
Pak bima terdiam dan menatap damar yang sedang menatapnya dengan tatapan penuh selidik. Damar tidak bisa memahami ekspresi Pak bima. Pak bima menatapnya dengan tatapan yang kosong.
"Jawab pertanyaan saya, apa ini ada hubungannya dengan kecelakaan om dan tante?" Damar kembali mengulang pertanyaannya. Kali ini dengan penuh penekanan.
Pak bima tertunduk lesu dan mengangguk pelan.
"Papa mohon, kamu jangan terlibat lebih jauh dari ini." Ujar Pak bima pelan.
Ekspresi damar berubah tidak percaya. Damar menggeleng.
"Ngga, kita semua sudah terlibat dalam hal ini." Ujar damar.
"Tolong damar, ikuti permintaan papa kali ini saja, anggap saja kamu tidak tahu tentang foto itu." Pak bima frustasi mendengar ucapan damar.
"Ngga, selama ini saya sudah terlalu sering mengikuti papa dan eyang, kali ini saya akan melakukan keinginan saya sendiri." Damar membentak Pak bima.
"Jangan membuat ini menjadi sulit, damar." Pak bima memohon pada damar.
"Lantas apa yang mau papa lakukan kalau saya tidak mau mengikuti keinginan papa?" Tantang damar.
"Sudahlah, kita bicarakan ini lain waktu." Pak bima pergi meninggalkan ruang kerja damar dengan langkah yang gontai.
Damar melorot dikursinya. Ternyata semua ini memang berkaitan dengan kecelakaan yang terjadi sepuluh tahun silam.
****
Pak ketut berjalan-jalan di sepanjang pantai tidak jauh dari kediamannya. Berjalan ditengah kesunyian dengan hanya ditemani suara deburan ombak, membuat hatinya tenang.
"Belum cukup mandi cahaya bulannya?" Tanya seorang wanita yang mengikutinya.
Pak ketut menoleh.
"Sejak kapan kamu mengikuti saya?" Tanyanya.
"Sejak kamu mengendap-endap keluar dari rumahmu sendiri."
Pak ketut terkekeh.
"Suasana hati kamu sedang bagus rupanya." Ujar pak ketut pada wanita yang kini berdiri disebelahnya.
Wanita tersebut tiba-tiba duduk. Tatapan matanya jauh menyeberangi lautan luas dihadapannya. Wanita itu menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya.
"Belum pernah saya merasa setenang ini." Ujar wanita itu tanpa memalingkan wajahnya dari lautan.
Pak ketut kemudian ikut duduk disebelahnya. Pak ketut mengangkat satu tangannya di udara. Dia ingin merasakan kemana arah angin berhembus malam ini.
"Sepertinya arah angin sudah berubah." Ucap pak ketut.
"Apa itu tandanya saya harus bersiap untuk berkarya lagi?" Tanya wanita disebelahnya.
"Tentu saja, saya yakin karya kamu kali ini akan mengejutkan banyak orang."
"Baiklah kalau begitu." Wanita tersebut bangkit dari duduknya.
"Jangan terlalu lama disini, angin laut tidak baik untuk laki-laki setua kamu." Ujarnya sebelum pergi meninggalkan pak ketut sendirian dipinggir pantai.
Pak ketut hanya tersenyum mendengar ucapan wanita itu dan memandangi wanita yang pergi berbalik meninggalkannya sendirian ditepi pantai. Pak ketut kembali mengalihkan perhatiannya pada hamparan laut lepas dihadapannya.
"Musim akan segera berganti." Batin Pak ketut.
****