Chereads / Fell in LOVE with a CRIMINAL / Chapter 18 - Bab 18. Misi Menjenguk Earl [2]

Chapter 18 - Bab 18. Misi Menjenguk Earl [2]

"Kita tidak punya banyak waktu. Hanya saja karena disini Earl adalah kunci penting penyelidikan, pasti tim mereka akan sering berkunjung di waktu yang tidak menentu." Ujar Jason menjelaskan sambil berfokus pada komputer di hadapannya. Arthur mengangguk dan langsung menyelinap keluar ruangan. Sedangkan Jason menetap disana untuk mengarahkan Arthur.

'Kau harus ke lantai dua bagian barat.' Jason memberikan pengarahan pada Arthur.

Arthur pun segera sampai lobby utama di lantai bawah dan memilih untuk menaiki tangga darurat. Tetapi berharap untuk lebih memiliki ruang, Arthur harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa seluruh personil militer disana semua menggunakan tangga.

Arthur berkali-kali bersinggungan dengan beberapa militer lain dan berusaha terlihat biasa saja. Kenyataannya bahwa, penggunaan lift hanya ditujukan untuk pasien dan beberapa perwira tinggi yang berpangkat tinggi pula atau beberapa anggota keluarga militer.

'Kau bisa langsung mencari kamar Rosemary tiga setelah melewati lorong di sebelah kirimu.'  Jason mengawasi Arthur lewat CCTV. Baru saja ia mengamati, pintu kamar Earl terbuka dan keluarlah dua sosok pria yang tidak Jason kenal.

'Sembunyi. Tim mereka baru saja keluar dari kamar Earl.'

Arthur langsung menyelinap masuk ke dalam bilik kamar kosong. Dan ia mendengarkan langkah sepatu menggema di lorong itu dan melewati kamar Arthur.

"Bukankah ini seperti konspirasi? Sejujurnya aku harus melakukan apa ketika dugaanku sebelumnya benar. Kau membantahku dan menghapus spekulasiku karena nyatanya memang bajingan itu ada apa-apa dengan Earl." Tom memutar matanya malas mendengar penuturan Duke.

"Ya ya ya. Dan aku kalah kali ini."

Mereka berdua berjalan santai melewati koridor rumah sakit dan Arthur berjalan dengan tenang di lorong itu setelah mereka pergi. 

'Jadi? Kau si bajingan yang dimaksud mereka?' Jason bertanya dengan iseng karena seseorang mengatai Arthur bajingan tepat di depan hidungnya. 

"Hubungi aku jika sesuatu terjadi." Arthur langsung memutus sambungan teleponnya. Malas meladeni ocehan Jason.

Ia dengan cueknya langsung melepas earphone nya lalu berjalan menuju kamar inap Earl. Mendengar suara Jason membuatnya pusing karena seharian ia telah menerima segunung edukasi yang tidak berfaedah sama sekali dari anak buahnya itu.

Kakinya sedikit berjalan agak cepat dan meraih gagang pintu kamar Earl. Ia membukanya dan langsung terdiam begitu mendapati sebuah todongan pistol ke arahnya. Earl mengetahui itu. Sayangnya Arthur tidak takut sama sekali dan justru ia malah senang melihat ternyata Earl baik-baik saja.

"Sepertinya kau jauh lebih baik dari dugaanku." Arthur memasuki ruangan tanpa ragu. Earl tersenyum sinis sebelum ia melemparkan sebuah buku tebal ke arahnya.

Brakk!

"Sambutan yang lumayan." Kata Arthur memuji Earl.

Ini bukan tentang bagaimana pandangan mereka bertemu. Tetapi tentang bagaimana mereka saling menebak untuk masa yang akan datang. Bukan menebak semata, namun penuh perhitungan dengan logika.

Earl disana, setengah berbaring menatap Arthur begitu keji. Wajahnya memerah begitu marah melihat kedatangan Arthur ke kamarnya. Entah apalagi yang bisa Earl lempar pada Arthur mengingat sisa tongkat besi penyangga kantung infusnya saja yang tersisa.

"Pergi. Jangan perlihatkan wajahmu di depanku. Dasar brengsek!" Makinya kasar.

Arthur tersenyum kecil. Ia mengambil buku tebal bertuliskan ensiklopedia perang dunia kedua dan membawanya lalu memberikannya kembali pada Earl. Senyumnya yang menawan sama sekali tidak membuat sosok Earl jatuh cinta padanya.

Sebaliknya, yang diperlihatkannya hanya sebuah senyum bengis dengan tangan yang berusaha mencopot tiang infusnya. Arthur dalam hati merasa lega melihat Earl baik-baik saja. Walaupun harus merasakan sakit karena melihat kondisi Earl saat ini.

Disibaknya selimut yang menutupi kaki Earl. Membuat sang empunya selimut melotot tidak karuan. Dipikirnya siapa orang ini sembarangan sekali membuka selimut orang. Earl langsung mengambil dengan kasar selimut ditangan Arthur dan kemudian memukul tangan itu dengan kuat.

"Dasar mata keranjang. Tidak sopan!" Omelnya keras.

Arthur melihat dengan mata kepalanya sendiri kaki putih bak porselen itu terbalut kain yang membungkusnya seperti roti gulung. Belum lagi ketika matanya mengarah pada kedua paha Earl. Hatinya seperti teriris.

Earl hanya bisa mengerjap tidak karuan disana saat sosok kriminal melihat sekujur tubuhnya yang penuh luka. Earl malu tentu saja, karena tubuhnya yang sangat tidak layak untuk di tatap sangat tajam oleh pria.

"Bisakah kau singkirkan tanganmu? Kau menyibaknya saja sudah membuatku merasakan sakit hingga ujung rambutku. Jangan coba-coba menyentuhnya."

Earl menatap tajam tangan Arthur yang hendak menyentuh pahanya. Ketika tangan itu terhenti dan beralih pada mata itu. Sorot mata Arthur sangat sulit untuk Earl terjemahkan apa yang ada di dalam pikirannya.

"Apakah sesakit itu?" Tanya Arthur begitu polos. Earl memutar matanya kesal. Demi tuhan, jika tidak sakit mungkin Earl akan tetap berjalan seperti zombie walaupun kedua kakinya patah sekalipun.

"Kenapa? Kau ingin merasakannya juga? Kau penasaran bagaimana rasanya bukan?" Tanya Earl begitu mencemooh.

Dan Arthur hanya terfokus pada perut Earl. Matanya terasa memanas seperti lonjakan amarah yang ia tahan mati-matian. Bukan, bukan karena lantunan indah dari syair kejam yang Earl keluarkan. Hanya melihat baju rumah sakit berwarna biru muda itu telah mampu membuatnya hilang arah karena Arthur tahu, seberapa parah luka dibalik baju itu.

"...." Dan Arthur juga tidak bisa mengeluarkan beberapa patah kata untuk membalas pertanyaan sarkas Earl.

"Pergilah! Melihatmu hanya membuat lukaku semakin sakit. Tidak ada bagian tubuhku yang layak untuk dilihat. Kau lihat sendiri bukan? Seberapa mengenaskannya aku. Aku bahkan tidak bisa menghitung seberapa banyak lukaku saat ini. " Earl tertawa begitu garing. Apakah Arthur kemari hanya untuk melihat, betapa menyedihkannya dirinya?

"Boleh aku melihat luka diperutmu?" Tanya Arthur lagi.

Earl mengerutkan alisnya kuat. Ini adalah waktu istirahatnya. Dan tolonglah, Earl sudah cukup kesakitan karena refleksnya melemparkan buku di atas meja kecilnya karena memihat sosok Arthur yang langsung membuat emosinya meletus tiba-tiba.

"Tidak! Kau tidak bisa melihatnya. Pergilah!"

Earl mendorong tubuh Arthur agar menjauh dari ranjangnya. Tetapi pria yang bahkan menatapnya dengan pandangan yang bahkan Earl tidak ingin melihatnya. Earl tidak ingin belas kasihan, sungguh.

Namun ketika Earl semakin memberontak, kepalanya berdenyut begitu sakit karena terlalu banyak meluapkan emosinya. Aliran darah di kepalanya langsung otomatis meningkat dan membuat Earl tidak bisa menahan untuk tidak mendesis kesakitan.

"Earl? Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?" Arthur bertanya dengan nada khawatirnya.

Arthur langsung menahan dirinya untuk tidak langsung panik. Dengan segera ia menekan remot ranjangnya agar Earl sedikit lebih terlentang dan terbaring. Karena bagaimanapun juga, ia tidak bisa langsung tidur dalam keadaan terlentang sepenuhnya mengingat pendarahan di kepalanya.

Earl sedikit merasa nyaman ketika ia mencoba merilekskan sedikit kepalanya pada bantal itu. Arthur mengusap lembut kepala Earl. Menatapnya tepat pada mata yang masih terpejam erat. Berusaha menahan sakit. Arthur tidak tahu harus melakukan apa. Terlebih ketika Earl tidak menunjukkan reaksi tenang karena kepalanya masih saja berdenyut sakit.

"Istirahatlah, Earl." Kata Arthur begitu lembut.

Ia mengecup dahi Earl yang kemudian tatapan mereka bertemu secara tak sengaja. Earl disana, walaupun keringat dingin terlihat berkilau di pelipis matanya, tak menyurutkan mata emerald yang indah itu saat mereka saling tatap.

Arthur menarik dirinya. Tidak ingin melihat Earl tersiksa karena kehadirannya yang membuat beban pikirannya bertambah. Setidaknya, ia tahu kondisi Earl saat ini dan telah memastikan bahwa Earl mendapatkan perawatan dan penanganan yang tepat disini.