Empat hari kemudian ayah dan ibunya tiba di rumah sakit. Tergopoh-gopoh langkah kaki kedua sosok yang Lanai cintai itu menuju bangsal tempatnya dirawat. ibu langsung berlari memeluknya, ada rasa hangat di hati Lanai. Peluk cium ibu yang selama ini ia rindukan.
"Bagaimana kondisimu, Nak," tanya ibu cemas. Dilepaskannya pelukan hangat itu, sebagai gantinya dibelainya rambut putrinya yang kini tengah sekarat tersebut.
"Kondisi kesehatanku seperti kemarin-kemarin, Bu," ujarnya tegar.
Sementara ayahnya duduk di kursi yang ada di sisi tubuh Lanai. Nenek hanya memandangi saja peristiwa yang membuat hatinya remuk redam.
Tidak banyak yang bisa diserapnya dari obrolan kedua orang tuanya itu dengan nenek. Matanya masih berkunang-kunang, penglihatan belum sempurna. Pengaruh obat mungkin membuatnya terus terkulai dan tertidur.
Ibu tidur di rumah sakit, sementara ayah pulang ke rumah di Wayhalim. Tengah malam, ia terbangun menghampiri sosok tubuh kecil anaknya, mengelusnya sambil bercucuran air mata. Lanai sebenarnya waktu itu terjaga, namun karena takut ibunya bertambah khawatir akan kesehatannya, ia memilih pura-pura terlelap.
"Anakku, andaikan umurmu tinggal satu tahun lagi seperti yang dikatakan dokter tadi, aku ikhlas. Tapi ibu dan ayahmu tidak akan berhenti mengupayakan pengobatanmu sekuat tenaga kami," ratap ibu pilu.
Mendengar ratapan ibu, air mata Lanai tidak bisa tertahan. Tetes-tetes bening air kesedihan itu meleleh dari kedua bola matanya. Ibu yang melihat anaknya menangis, langsung merengkuh tubuh kecil itu. Kedua ibu dan anak tersebut saling berpelukan dengan cucuran air mata.
Sepekan menjalani perawatan, Lanai diizinkan pulang. Ayah, ibu dan nenek membawanya pulang ke rumah di Wayhalim. Peristiwa langka itu sungguh menyenangkan hatinya. Selama bertahun-tahun, Lanai rindu dekapan ibu dan ayah. Meski tubuhnya masih lemah, aura di wajahnya yang masih pucat itu terpancar keluar.
Tiba di rumah, mereka terlibat obrolan santai. Pertanyaan akan khabar kakak dan adiknya terus terlontar dari Lanai dan mendominasi obrolan. Ya, Lanai merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Kakak laki-lakinya yang tertua tamat SMA dan kini bekerja di sebuah perusahaan di kampungnya. Sedangkan Kakak perempuannya yang kedua masih kelas enam sekolah dasar, usianya hanya terpaut satu tahun dengan Lanai. Sementara kedua adiknya laki-laki berusia enam tahun dan empat tahun. Semua kakak dan adiknya tinggal di kampung bersama ayah dan ibu.
Lanai bahkan lupa wajah adiknya yang terkecil. Maklum, saat ia ke kota, adik terbungsunya itu masih bayi dan masih dalam gendongan ibu. Sejak di kota menjalani pengobatan, Lanai belum pernah pulang ke kampungnya. Perjalanan jauh menuju kampung halamannya itu dikhawatirkan dapat menurunkan kesehatan Lanai. Adik tidak memiliki photo. Sangat sulit sekali untuk mencari tukang photo di kampung. Mendengar cerita ibu tentang kenakalan adiknya itu, sudah cukup untuk mengurangi kangen akan kampung halamannya.
Ayah dan ibu hanya dua hari tinggal di rumah. Saat berpamitan pulang, banyak sekali pesan yang ibu tinggalkan.
"Obat harus diminum, istirahat yang cukup, tidak boleh banyak bermain, harus banyak berdoa, belajar yang tekun, jangan nakal, harus membantu nenek....," suara ibu haru tetapi tegas. Kendati ia terus berbicara seperti kicau burung, hanya kesedihan yang dirasakan Lanai.
"Ibu, ayah, aku pasti ingat pesan kalian berdua. Aku pasti kangen dengan ibu dan ayah. Aku..., ingin ikut pulang ke kampung," ujarnya terbata-bata.
"Kamu tidak boleh ke kampung dulu, ayah dan ibu juga kakak dan adik kamu semua merindukan kamu, Lanai. Akan tetapi kesehatanmu adalah hal yang utama. Kamu harus sembuh agar kita bisa berkumpul bersama-sama lagi di kampung," tegas ayahnya pelan namun langsung mematahkan keinginan Lanai untuk ikut pulang.
Sendiri lagi Lanai memandangi langit-langit kamar tidurnya. Gadis kecil yang malang itu masih rindu ayah, ibu, kakak dan adik-adiknya. Namun semakin kuat keinginan untuk meraih bayangan mereka, semakin tak kuasa ia menahan kesedihan. Akhirnya ia pasrah. Disimpannya kerinduan yang membuncah itu dalam-dalam.
Malam ini, kembali ia tafakur dalam doa-doanya. Tak terhitung lagi telah berapa ratus kali ia bersujud dalam tahajud memohon doa kepada Yang Tak Berwujud. Dalam khusuknya, Lanai berkata kepada kemalangan itu, "Aku punya Tuhan yang menyayangiku!"
Penyakitnya membuat ia semakin dekat dengan Tuhan. Lanai yakin penderitaannya ini akan berhasil ia lewati. Ya, Lanai sangat yakin semua ini akan berakhir dan ia keluar sebagai pemenang. Terbayang di lamunannya seraut wajah anak laki-laki kerempeng itu – ia tersenyum –engkau pahlawan yang menguatkan keyakinanku, begitu bisik hatinya.
Tanpa Lanai sadari nama Mahali telah terpartri dalam hatinya. Kendati tidak banyak yang ia ketahui soal anak laki-laki itu, namun yang ada dalam benaknya Mahali sangat peduli dengan keadaannya. Semakin ia mencoba lari menghindar, semakin kuat bayangan anak laki-laki itu mengejar lamunannya.
"Mungkin suatu saat nanti aku bisa berlindung di balik teduh matanya. Mungkin nanti aku bisa lebih mengenal dirinya," tak sadar kata-kata itu terlontar dari bibirnya mengakhiri lamunan indah itu. "Suatu saat mungkin ia melupakanku, tetapi aku, aku…., aku sangat yakin akan tetap terkenang oleh bayangannya," desis Lanai perlahan.
Seolah tersadar akan bayangan semu itu, Lanai berusaha tidak lagi dikuasai alam bawah sadarnya. Saat itu Lanai terjaga bangkit dan berhasil menempatkan alam sadarnya mendominasi fikiran jernihnya. Detik ini, keyakinannya menggila. Semua kesusahan tidak akan bisa mengalahkan dirinya. Semua itu hanya tanda-tanda alam untuk sebuah ujian menuju kesuksesan. Jika dirinya bisa melewati semua ujian itu – ia akan naik kelas – keyakinan itu memotivasi keinginannya. Malam ini dalam lelap pulasnya ia terjaga – tak lagi berangan menjadi pengumpul dari serpih-serpih asa yang tercerai berai – namun menjaga asa dari serpih-serpih malang yang terbuang.