Chereads / TELABOH / Chapter 9 - Mudik

Chapter 9 - Mudik

Untuk merayakan kesehatannya, nenek mengajak Lanai pulang ke desa. Kebetulan sekali saat itu libur sekolah. Pengumuman kelulusan masih dua minggu lagi, jadi mereka memiliki cukup waktu untuk berlibur ke desa. Dua hari menempuh perjalanan pulang kini tidak lagi menyiksa. Di sepanjang perjalanan ternyata banyak sekali pemandangan indah. Tak bosan-bosan Lanai memandanginya. Pohon, semak ilalang, bangunan-bangunan, rumah penduduk, semuanya nampak terasa indah di mata Lanai. Padahal dulu ia tidak pernah merasakan hal serupa, yang ada pemandangan hitam pekat.

Ketika Chevrolet tua itu tiba di Menggala, perahu milik ayah sudah menunggu di pinggir sungai di dermaga kota tua Menggala. Ayah nampak mengemudikan langsung perahu dengan merek Jujur Harapan. Nampak ikut bersamanya, kerabat jauh ayahnya. Lanai ingat itu Mang Bujang. Saat Lanai tiba, ayah langsung mendekapnya erat. Tubuh mungilnya diangkat ayah tinggi-tinggi seolah ia ingin mengatakan kepada dunia anakku terlahir kembali.

Kami tidak lama bersandar di dermaga itu. Bangunan rumah berjejer rapi membelakangi sungai, orang-orang duduk di teras belakang menjadi sasaran lambaian tangan Lanai. Ia sangat bahagia. Nampak anak-anak kecil bermain di sungai, meloncat dari atas rumah ke dalam air yang mengalir deras. Pemandangan itu membuat Lanai ingat teman-temannya di desa.

Banyak sekali yang diceritakan Lanai kepada ayah. Bisingnya suara mesin perahu tidak menghalangi niatnya untuk bercerita. Sekolahnya, guru-gurunya, teman-teman hingga wajah dingin dokter Didi, semua cerita itu dicurahkannya bak dongeng kepada ayah. Ia sangat rindu dengan lelaki berkulit hitam ini. Di mata Lanai, ayahnya memang luar biasa. Celotehnya itu baru terhenti menjelang malam. Matanya tidak bisa diajak kompromi. Lanai akhirnya tertidur beralaskan tikar di dalam perahu.

Ia tidak tahu sudah berapa lama terlelap. Ketika matanya terbuka, sinar matahari mulai menerangi wajahnya. Ayah masih mengemudi perahu, sementara nenek nampak menyiapkan makanan. Aroma masakan menggelitik hidungnya membuat perutnya keroncongan. Ayah kemudian memperlambat perahu. Kemudi diarahkan ke pinggir sungai.

"Sebentar lagi kita masuk ke Sungai Sidang. Kalian makanlah duluan. Aku akan memperlambat laju perahu!" Suara ayah tegas dan lantang disilir angin kencang.

"Aku mau makan bersama ayah dan nenek. Biarlah kemudi Mang Bujang yang jalankan," ujarnya memohon.

Mendengar permintaan Lanai, nenek menganggukkan kepala. Tak kuasa ayah menolak keinginan keduanya. Ia lalu meninggalkan kemudi dan ikut bersama kami. Masakan yang dihidangkan nenek adalah pindang ikan toman, ikan asin dan sambal. Dengan cekatan Lanai mengambilkan piring untuk ayahnya dan menuangkan nasi di piring itu. Ia lalu menyodorkannya kepada ayahnya. Tiga makhluk dari tiga generasi itu menyantap masakan dengan lahap. Sesekali mata Lanai melirik ayahnya yang menyantap makanan dengan cepat. Perahu tetap melaju perlahan seolah tidak mau ketinggalan dalam mengiringi kebahagiaan mereka.

Hari menjelang malam, perahu ayah akhirnya tiba juga di dermaga desa. Teriakan kakak memecah keheningan. "Lanai telah tiba. Ibu cepat kemari!"

Perahu ayahnya sandar di belakang rumah mereka. Rumah berukuran besar yang terbuat dari kayu itu mendadak ramai oleh kerabat. Letih usai menempuh perjalanan panjang terbayarkan sudah dengan kehadiran handai tolan. Si bungsu yang mulanya malu-malu dengan kehadiran kakak perempuannya yang belum pernah dilihatnya tersebut, lama kelamaan berani juga mendekat.

Rasanya letih itu terbayarkan lunas hari ini.

Tidak banyak perubahan di desa ini. Surau masih ada di ujung desa. Rumah-rumah penduduk masih sama, tidak ada bangunan baru. Semuanya rumah panggung memiliki tiang terbuat dari kayu. Fungsinya untuk mencegah air luapan sungai masuk ke dalam rumah sewaktu musim hujan tiba.

*****