Chereads / TELABOH / Chapter 4 - Sendang di sekolah baru

Chapter 4 - Sendang di sekolah baru

Di sekolah yang baru, sebagai murid pindahan, aku perlu waktu untuk beradaptasi dengan teman-teman. Tak banyak cerita di sekolah baru itu. Muridnya pun tidak sebanyak sekolah terdahulu. Sekolahnya pun hanya bagian depannya saja yang  di pagari beton,  sedangkan di samping kiri dan kanannya dipagari tumbuhan yang usianya menurut taksiranku sudah cukup tua.

Di samping kelasku, ada sendang kecil yang terus berair. Kami menyebutnya bilik. Untuk menuju ke sana harus menelusuri jalan setapak yang licin dan curam. Jaraknya hanya kira-kira seratus meter dari bangunan sekolah. Sendang itu terbentuk dari akar pohon tua dan airnya sejuk sekali. Aku sering turun ke sana hanya untuk sekedar mencuci muka.

Biasanya, pada hari Jum'at,  ada sisa-sisa sesajian yang diletakkan di sana. Kembang tujuh rupa, beras ketan dan uang logam dibungkus daun pisang setengah terbuka. Semua sesaji itu diletakkan di pinggir air. Uang logam itulah yang biasanya jadi incaran kami. Siapa cepat, dia dapat.

Entah siapa yang meletakkan sesaji itu. Namun karena uang logamnya, tempat itu seminggu sekali selalu diburu. Sudah jadi kebiasaan di antara kami, siapa yang mendapat uang logam sesaji, harus mengucapkan terima kasih. Caranya bermacam-macam. Ada yang membungkukkan badannya, ada yang menempelkan kedua tangan membentuk salam, ada pula yang hanya mengucapkan terima kasih.

Sendang kecil yang magis itu tetap terjaga keasriannya. Tidak ada siswa yang berani buang air di sana. Alasannya, takut kesambet makhluk halus penghuni sendang. Pernah waktu itu, Deasy, murid kelas 3.C, tiba-tiba menjerit histeris. Ia kesurupan di dalam kelas. Tangannya menunjuk ke arah sendang, mulutnya menceracau tak jelas. Sontak seisi sekolah panik.

Beruntung ada Pak Sugeng. Dengan cekatan dimintanya para murid untuk membaca ayat kursi, sembari diusapkannya minyak angin di hidung korban kesurupan. Lima belas menit kemudian, siswi tersebut siuman.

Ada banyak versi cerita yang beredar setelah itu. Beberapa sumber menjelaskan penyebab peristiwa kesurupan itu karena Deasy buang air kecil di Sendang. Ada lagi yang bilang karena Deasy pacaran di Sendang. Ada lagi yang menjelaskan Deasy bicara kurang pantas di sana. Berita soal penyebab kesurupan itu terus berkembang, sementara Deasy sendiri bungkam tak mau berkomentar.

Yang aku tahu memang Deasy suka bicara asal, sekenanya, semau gue. Ia memang periang dan suka ngobrol berjam-jam. Sejak kejadian itu, kami kerap bercengkrama. Setelah dekat dengannya, aku punya kesimpulan, peristiwa kesurupan itu pasti karena ia bicara asal tentang sendang yang dipercaya masyarakat sekitar memiliki kekuatan magis itu. Beberapa kali aku berusaha menginterograsinya, namun Deasy selalu bungkam. Jadi terpaksa kutarik kesimpulan sendiri.

Terinspirasi dengan peristiwa magis itu, aku yang sangat yakin dengan nalar dan fikiranku, tertantang untuk membuktikannya. Ada beberapa cara yang bisa kulakukan untuk membuktikan cerita seram tentang sedang kecil yang menurutku hanya isapan jempol yang tidak jelas kebenarannya. Caranya antara lain mengencingi air di sendang itu, bahkan aku sempat berfikir lebih ekstrem lagi, buang hajat di sana. lalu bicara kotor  atau langsung menantang makhluk halus penunggu sendang. Setelah kutimbang-timbang, aku akhirnya memilih cara yang pertama.

Pemilihan hari untuk pembuktian keberadaan makhluk gaib di sendang, telah aku putuskan. Hari Jum'at setelah pelajaran olahraga atau sekitar pukul sepuluh pagi. Seusai pelajaran olahraga, kami biasanya mendapat waktu untuk beristirahat. Di sela waktu itulah, rencananya aku ingin melaksanakan niatku.

Otak kananku yang berisi fikiran-fikiran rasional terus mendorongku untuk segera melakukan itu, sementara otak kiriku yang berisi fikiran liar juga tidak menghalanginya. Maka secara diam-diam, aku mendatangi sendang itu bahkan sebelum pelajaran praktek senam kesegaran jasmani itu selesai. Dengan alasan ingin buang air, aku mendapat izin dari Pak Sugeng, guru olahraga bertubuh atletis itu.

Waktu tempuh dari lapangan praktek olahraga menuju sendang yang berjarak seratus meter, menjadi lebih singkat karena kuseret langkahku setengah berlari. Tiba di tujuan, tidak lagi kutoleh kanan kiri, langsung kukencingi air di sendang yang banyak ditutupi belukar dan rumput perdu itu. Suara air bergemericik langsung terdengar, aku berdebar menanti kelanjutannya. Tiba-tiba terdengar teriakan keras, jantungku seakan berhenti.

"Hei, siapa kamu, berani-beraninya mengencingi sendang ini." Suara itu sontak mengejutkanku. Bulu kudukku berdiri, terbayang olehku penampakan hantu berwajah seram. Suara itu kemudian terdengar lagi.

"Besar juga nyali kamu, ya!"

Dari balik pepohonan yang tertutup rumput perdu itu kulihat seorang lelaki bertubuh pendek dan berbadan kekar memakai baju kaos tak berlengan dengan kain yang masih melintang di dadanya.

"Kamu tidak lihat kalau saya sedang mengambil air untuk minum," suaranya besar dan garang.

Terkejut aku seketika, rupa itu aku kenal. Dia adalah Bang Mat Nuh, penjaga sekolah. Ia memang tinggal di mess yang berada di belakang sekolah. Tampangnya yang sangar dan pembawaannya yang tidak pernah tersenyum itu, membuat ia ditakuti para siswa. Melihat penampakannya, aku langsung pilih langkah seribu. Masih kudengar umpatannya dan sempat kulirik ia masih mengepalkan tinjunya ke arahku.

*****