Chapter 3 - Apa yang diinginkan lelaki itu?

Alona perlahan berdiri, berjalan dengan langkah gontai. Kakinya terasa sakit saat berjalan. Pergelangan kakinya terkena goresan Vas Bunga. Alona tidak menyadari hal Itu.

"Huuuees....!" Alona mengerenyitkan keningnya saat menyentuh goresan di pergelangan kakinya.

Perlahan Alona melangkahkan kakinya menyusuri setiap anak tangga menuju kamarnya di lantai dua. Langkah kakinya terasa lebih lambat dari biasanya.

"Ceklek...." Pintu kamar terbuka, Alona segera masuk ke kamarnya. Merebahkan tubuhnya yang sudah terasa kaku, seperti tertimpah bangunan 10 lantai.

Alona, memikirkan baju apa yang akan ia kenakan untuk menemui laki-laki itu. Alona bangun dari tempat tidurnya menuju lemari pakaian.

Gaun hitam panjang ia raih, kemudian ia letakkan di atas kasur. Gaun itu memperlihatkan bahu dan tulang selangka nya yang menonjol. Bagian bawah gaun itu terdapat potongan yang membelah sampai di bawah lutut, belahannya akan terbuka ketika ia berjalan dan memperlihatakan kaki jenjangnya.

Alona melepas semua pakaiannya saat ini, lalu ia pergi ke kamar mandi. Alona memutar kran shower yang menempel di dinding kamar mandi itu. Air yang sejuk menguyur dan membasahi seluruh tubuh Alona. Rasanya seperti meminum jus di siang hari yang sangat cepat menghilangkan rasa dahaga.

Setelah selesai mandi Alona bersiap-siap. Mulai dari merapihkan tatanan rambutnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Rambut bagian kiri dan kanan nya ia kepang air terjun, kepangan kedua sisi itu ia ikat kebelakang, bentuknya menyerupai bentuk hati jika dilihat dari belakang. Poni tipis di keningnya menambah kesan manis. Ia terlihat seperti gadis yang tak bersalah. Riasan natural di pipi dan sekitar area matanya membuat nya terlihat menawan. Bibirnya yang tipis terlihat mengoda dengan lipstick berwarna sedikit terang.

Jam 18.30 Alona memesan taxi online.

Sepanjang perjalanan Alona memikirkan apa yang diinginkan lelaki itu. Hatinya resah!.

Jari-jemarinya ia gerakan,mengepal pahanya. Gerakan itu terus diulangi berkali-kali. Butuh waktu dua puluh menit untuk samapi di Hotel.

Sopir taxi memarkir mobil di depan pintu utama Hotel.

"Dek..., sudah sampai!."

Suara sopir taxi menyadarkan lamunanya yang panjang.

"Trima kasih, Pak...." Alona menjawab sopir itu, lalu ia segera turun dan masuk ke Hotel. Alona menuju ke meja resepsionis dan memberikan kartu yang diberikan lelaki itu.

Wanita yang berdiri di depannya tersenyum angun kepada Alona. Senyumnya sangat sumringah. Alona membalas senyum wanita itu, senyum simpul dengan rasa enggan.

"Nona..., kamar mu ada di lantai 30, pelayan kami akan mengantarkan anda sampai tujuan.

"Hem..."

Alona mengikuti pelayan pria itu. Pakaiannya sangat rapih. Ia mengenakan kemeja berwana putih berompi hitam dan berdasi kupu-kupu. Rambutnya tertata sangat klimis. Raut wajahnya menenangkan setiap mata memandang. Senyum simpul diwajahnya menambah nilai ketampanan pelayan itu.

Alona tidak menyadari jika ia sudah berada didalam lift.

"Ting..."

Pintu lift terbuka. Pelayan itu menyadarkan Alona dari pikirannya yang kalut.

"Nona..., kita sudah sampai."

Pelayan itu menunjukan arah kamar kepada Alona. Sebelum pergi pelayan itu mengangakat kedua tangannya, seperti salam penyembahan kepada Sang Dewi dengan sedikit mengangguk kan kepalanya.

Alona mengepalkan tangannya, menahan keresahan hati dan jiwanya. Jantungnya berdetak sangat kuat, memompa ke segala arah seakan-akan ingin keluar dari tubuhnya.

Alona menempelkan kartu kamarnya. Kemudian kamar itu terbuka.

"Ceklek...."

Wangi kamar itu membuat Alona terpesona hingga tanpa sadar Alona sudah masuk ke Kamar itu. Wanginya membuat badan Alona yang tegang menjadi rilexs. Wangi Vanilla bercampur wangi bunga membuat kamar itu seperti di padang rumput hijau yang dipenuhi bunga- bunga, menyejukan hati yang memandangnya.

Alona memandang setiap inci di dalam kamar itu, lampu menyala otomatis mengunakan sensor gerak. Ruangan itu hening, seperti tak berpenghuni. Kamar itu memiliki tiga kamar, ruang tamu yang luas, serta dapur yang megah.

Di balik tirai ada jendela kaca memperlihatkan pemandangan yang indah, di depan tirai itu terdapat dua kursi ayun dengan meja di tengah, letaknya diantara kedua kursi itu.

Lukisan kuno dan modern terpajang disetiap sisi dinding, lukisan itu seperti sedang bersaing memamerkan ke indahannya. Pernak-pernik tersusun rapih didalam lemari ruangan tamu itu.

Alona terus menyusuri Kamar Hotel yang megah dengan tipe kamarnya presidntial suite. Banyak kamar, di dalam kamar. Tinggal di sini seperti halnya tinggal di rumah sendiri.

Kaki Alona berhenti di depan tirai transparan. Tirai itu terbuat dari kayu dan diukir dengan sangat indah. Tirai itu memisahkan ruang tamu dan ruang kerja.

Pria itu duduk di kursi dan didepannya ada meja bertumpukan buku-buku. Pria itu menatap layar monitor komputer yang sedang menyalah. Alona tidak tahu apa yang di lakukan pria itu.

Samar-samar terdengar suara ketikkan pada komputer itu. Pandanganya sangat serius menatap layar monitor. Ia mngerjapkan matanya sesekalai, bulu matanya lentik, alisnya tebal seperti diukir.

Ruangan tempat pria itu duduk minim pencahayaan ditambah ada tirai yang menghalangi pandangan Alona, membuat lelaki itu tak terlihat dengan jelas. Meskipun tidak terlihat jelas, dari bayangan cahaya yang menyinari pria itu dapat dipastikan bahwa ia pria tampan dan gagah. Alona tidak menyadari sudah berapa lama ia memperhatikan Pria itu.

Apakah pria itu memiliki phobia cahaya terang? "Heliophobia?!."

Tentu saja itu sangat lucu, jika seseroang separti dia memiliki ketakutan akan cahaya!.

"Bagiku itu sangat konyaol !." Celetuk Alona dalam hati.

Pikiran Alona masih berputar-putar memikirkan bahwa lelaki itu memiliki heliophobia. Lampu di ruangan itu tiba-tiba mati lalu berganti dengan cahaya yang remang-remang.

Kaki Alona bergetar, bulu kuduk nya merinding ketika ia menyadari bahwa lampu mendadak padam. Alona berjalan mendekati dinding, mencari saklar lampu.

" Tak...tak...tak...." Suara langkah kaki terdengar di belakang Alona, semakin lama suara itu semakin mendekat kearahnya.

"Si-si-siapa itu!?"

"Eeeh....!"

"Eeem..., eem..., eem....!"

Mulut Alona di bekap mengunakan tangan. Alona kesulitan untuk berterik meminta tolong. Tubuhnya di pegang sangat kuat, tidak ada ruang untuk memberontak.

"Sssssssscht...!"