Chereads / SI KELINCI PUTIH / Chapter 14 - CHAPTER 14 : PULAU DEWATA

Chapter 14 - CHAPTER 14 : PULAU DEWATA

Dua jam setelah kepergian Obama kami tiba di sebuah pulau. Ini sangat berbeda dengan Young Java, sepertinya penduduk di sini menjaga ketat adat istiadat setempat. Bahkan tak ada bangunan tinggi layaknya gedung-gedung pencakar langit di Java.

Tapi aku salut dengan masyarakat di sini, menjaga alam dengan asri. Warganya pun ramah-ramah. Bahkan mereka menyapa kami yang merupakan orang asing yang baru saja turun dari kapal. Mungkin mereka sudah terbiasa kedatangan wisatawan. Lucunya kami ke sini untuk ujian bukan untuk berwisata.

Ujian yang sebenarnya akan dimulai dari sini. Entah lulus atau tidaknya tak bisa ditebak hanya kemampuan kami yang bisa menentukannya. Kami mulai berbaris rapi dan mendengarkan instruksi dari guru.

Ujian dilakukan dalam kurun waktu satu minggu. Kriteria penilaian adalah kecerdikan, kelincahan, dan ketahanan. Tiga kriteria itu mewakili pin yang akan diberikan antara lain: kera mewakili kecerdikan, kelinci mewakili kelincahan, dan kura-kura mewakili ketahanan. Oleh karena itu yang lolos pada ujian ini akan masuk ke dalam K-Class.

Rasa kemanusiaan dan persahabatan kalian akan diuji di sini. Masing-masing kelas harus mengambil lencana yang berada di tengah pulau—tepatnya di dalam tower. Kemudian membawanya kembali ke sini dalam kurun waktu maksimal satu minggu. Barangsiapa yang bisa menebak pin yang dibawa kelas lain, berhak mendapatkan pin tersebut. Bagi yang pinnya tertebak dinyatakan gagal secara individu. Otomatis orang yang berani mengambil pin memiliki keuntungan maupun resiko yang tinggi.

Kalian akan melewati rute yang ditentunkan dan dibagi dalam empat titik. Setiap melewati pos penjagaan akan mendapatkan reward 30 point. Semua alat komunikasi smartphone, tablet, radio akan disita selama proses ujian ini. Oke, sampai di sini ada yang ditanyakan?

"Bu guru… bukankah pin yang tersedia hanya ada tiga—sedangkan kelas terdiri dari kelas A sampai D, bukannya itu kurang adil jika satu kelas tidak mendapatkan pin?"

"bukankah sudah kukatakan tadi… kelas yang tidak mendapatkan pin dinyatakan gagal!"

Tertegun sejenak… dan tak ada yang bertanya lagi—bu guru mengakhiri penjelasannya. Kami pun berpencar untuk mengambil rute yang ditentukan. Ini bukan ujian yang mudah, susah untuk diprediksi hampir mendekati no presentasi keberhasilannya kecuali yang lain mau bekerja sama mungkin saja bisa mencapai 5% tidaak kurasa 10% pun sangat mungkin.

Apalagi jumlah murid dari masing-masing berbeda, akibat seleksi permain domba. Kini kelas D hanya tinggal 4 orang karena Obama kabur, kelas C sisa 10 orang, kelas B dengan 15 orang, terakhir yang menempati posisi paling atas kelas A hanya kehilangan 5 orang saja dari total 30 murid.

Dengan jumlah sebanyak itu kelas A kembali akan mendominasi permainan ini. Benteng besar yang kokoh penghalang bagi kami, takkan membiarkan kami memanjat sedikit pun.

Tapi apakah bisa 25 orang bekerja sama untuk satu tujuan apalagi, yang mengambil pin berkesempatan claim hak kepemilikan.

Sebaliknya kelas D tersisa empat orang apa mungkin bertahan. Pilihan terbaik adalah bekerja sama.

Setelah berjalan lima ratus meter kelas C mulai masuk ke dalam hutan. Kami bersepuluh memutuskan memasang tali pengaman supaya tak terpisah. Urutan paling depan terntu saja ketua kelas—aku takkan meragukan kemampuannya sebagai porter di sini. Yang menjadi masalah adalah stamina tiap orang berbeda-beda. Apa bisa kami sampai lebih dahulu? Tiddaakk—kami harus sampai lebih dulu apa pun yang terjadi.

semak demi semak kita lewati bersama, pepohonan yang tinggi ini menghalangi sinarnya. Kami hanya bisa mengandalkan kompas yang dibawa ketua. Siang ini begitu pengap meskipun di dalam hutan. Apa benar tidak apa-apa kami menyusuri hutan ini?

Bagaimana jika binatang buas menyerang kami? Apalagi ular berbisa… bisa gawat, bahkan dewa kematian bisa menjemput kami. Ide bagus terikat dengan tali ini memperkecil kemungkinan kami diserang hewan buas, karena kami bisa menjaga satu sama lain.

Hauuss.. hauuss… sekali tenggorokanku mulai kering. Bibirku pecah-pecah, ini dehidrasi yang cukup serius. Untunglah seseorang mengusulkan untuk mencari sungai… apapun itu aku membutuhkan air.

Menyusuri jalan setapak dengan keringat yang sudah terkuras ini, kami tiba di sebuah sungai. Tanpa pikir panjang… aku meminum seteguk air dari telapak tanganku ini.

Setidaknya timbul perselisihan yang tak penting di sini. Yaaa… anak-anak manja pasti akan kesulitan hidup di hutan rimba seperti ini. Bahkan minum di sungai saja, takut keracunan. Begitu menggelikan-aku tertawa didalam hati… anak perkotaan sepertimu takkan pernah menemukan sungai sejernih ini. Hanya limbah pabrik yang kau temui di sana—pantas saja kau takut keracunan.

Setelah membawa persediaan air kami-melanjutkan perjalanan. Sekitar sepuluh meter kami bersimpati pada sebuah pura. Tak salah lagi… ini adalah awal dari rintangan yang ada, apakah yang menunggu kami di sini.

Seseorang membaca tulisan di dekat gapura bertuliskan… (hidup adalah fana, nafsu adalah sumber kesesatan, api suci akan membakarmu—harum baunya). Di samping tulisan itu terdapat sebuah patung yang ditutupi payung kuning dan memakai kain kotak-kotak seperti pola papan catur.

Aku begitu terganggu dengan hal ini… lantas aku menarik napas sembari melihat awan.

Anak-anak yang lain juga penasaran dan berusaha mencari tau, misteri dibalik tulisan ini. Beberapa anak bahkan berani masuk ke dalam pura. Perlu diketahui bahwa pura adalah tempat pemujaan—dan tak sembarang orang boleh masuk ke dalamnya.

Sesegera mungkin aku memperingatkan yang lain supaya berhati-hati memasuki pura… karena itu adalah tempat yang sakral.

Aku berusaha mencari petunjuk ke arah sebaliknya, tanpa kusadari aku memegang dagu ini dengan sangat serius. Kata-kata tersebut berputar-putar di kepalaku, dan terngiang di gendang telinga ini. Apa makna dibalik semua ini?

"bagaimana menurutmu Alice?" tanya Ringgo

"kurasa aku mulai menemukan petunjuk… tapi masih khawatir dengan kata api ini—apakah sebuah penghukuman?"

"mungkin saja begitu! Jika diperhatikan dari awal, sejak masuk dalam pulau ini bukankah aneh tak ada sama sekali bangunan yang menjulang? Apa masyarakat setempat terlalu primitif? Bukankah ini era modern?"

"Ahhh benar jugaaa!" selintas kata-kata Ringgo memperkuat hipotesisku. Aku kembali ke pura berlari secepat yang kubisa, memutari bangunan-bangunan bebatuan ini.

Sejenak terpikir olehku bagaimana orang-orang zaman dahulu bisa merekatkan bebatuan ini menjadi bagunan? Bukankah dulu belum ada semen? Tidak seperti sekarang jika ingin membangun rumah bisa memakai batu bata dan semen.

"semuanya cepat keluar dari pura!"

Aku ingin berteriak sekencang mungkin layaknya seoran penyelamat-malah tersedak. Untungnya ada Rose di sekitar sini yang bisa diandalkan dan orang yang tepat terbiasa bicara di depan umum.

Sedetik kami terlambat memperingatkan semua orang. Leo memang ceroboh—rasa penasaran membawa dirinya ke pawon. Terlebih lagi dia naik ke tempat pemujaan. Pura biasanya terdiri dari tiga ruang. Pertama adalah latar, kedua pawon, dan ketiga tempat pemujaan.

Bahkan orang normal pun tak ingin orang asing masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Logika ini berlaku pula di pura ini, Leo tak punya sopan-santun ia terjebak, menaiki tangga pemujaan berarti harus memiliki hati yang suci, jika memiliki nafsu akan tersesat kemudian dibakar api suci.

Entah apa yang terjadi di dalam, jeritan Leo telah dipastikan. Sesuatu pasti terjadi. Anak yang alin mulai berteriak ketakutan—bergegas aku dan Rose masuk ke dalam untuk memastikan.

Di ruang pemujaan seperti ada sesuatu yang melayang. Kami tak bisa berlari dengan cepat—anak tangga ini sungguh menghambat.

"Arrrgghhh… Tolonnggg" teriakan seseorang.

Aku mulai menyipitkan mata untuk memperjelas apa yang terjadi. Benda melayang itu menyerang Leo hingga tersungkur ke tanah.

Ketua kelas berusaha membela Leo, mengacungkan bambu kuning untuk mengusirnya.

Mana mungkin hal seperti itu ada di dunia ini. Aku belum pernah melihatnya—ini adalah hukuman dewa.

Aku menyuruh Rose untuk menengankan mereka berdua. Diriku sendiri mengambil tindakan.

Api dibalas api—kunyalakan korek api ini.

BAAKKAARR

BAAKKAARR

Cepatlah menyala… dasar tengik! Asap mulai keluar dari ranting, bau harum sudah mulai tercium. Kubawa bunga semangkok di tepi, berlari ke depan mereka.

"semuanya berlututlah!"

Tanpa pikir rasional mereka menuruti kata-kataku dan mengikuti gerakanku. Segera aku memasang dupa di dekat patung ini dan menaburi bunga. Lalu aku menupukkan kedua telapak tanganku menjadi satu—tanpa berkata apa-apa lagi.

LEAK… aku pikir hanya sebuah mitos dari masyarakat setempat. Aku pun juga tak percaya akan hal-hal mistis, setelah aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku. Leak benar-benar mengingkari rasional-ku, di tengah kehidupan modern saat ini hal-hal mistik tentu saja sudah ditinggalkan.

Mungkin kepercayaan yang kuat dari masyarakat di sini, bisa mewujudkan Leak itu sendiri sehingga ia hadir menampakkan diri. Detak jantungku benar-bennar tak karuan, semoga tak terjadi apa-apa, aku memberanikan diri membuka sebelah mata.

Terlihat dua bara api mengitari Leak di atas kami membawanya ke langit. Aku menelan ludah, menghembuskan nafas lega karena kepergiannya. Hilangnya penampakan Leak dan bara api di langiit meyakinkaku untuk bertindak.

Menuruni anak tangga satu-satunya jalan keluar dari sini, sambil memastikan tak ada anak lainnya yang masih berada di dalam pura. Semunya telah berkumpul di depan gapura.

Sejenak kami memikirkan apa yang terjadi, dan bagaimana langkah selanjutnya.

Burung-burung mulai berkicau—senja sudah menjemput pertanda rembulan mulai bekerja. Akhirnya, kami sepakat untuk bermalam di sini, yaa… tepatnya di depan pura. Menuju malam yang agresif nan mencekam.