Chereads / Ayah Tiriku Idolaku / Chapter 14 - Part 14 : Ancaman

Chapter 14 - Part 14 : Ancaman

Ibu pulang pagi sekitar pukul 06.00 WIB. Aku tidak tahu beliau pulang diantar oleh siapa. Saat aku membukakan pintu untuknya, aku hanya melihat beliau sendirian saja. Tak ada percakapan di antara kami, karena Ibu langsung masuk ke ruang kamarnya dan tertidur lagi. Aku tidak berani mengganggunya. Beliau tampak kelelahan. Dan aku membiarkannya.

Aku hanya masuk ke kamar mandi. Di ruangan ini aku melampiaskan semua rasa kegundahan hati. Sedih dan sepi. Aku menangis dalam kebisuan, mengalirkan bulir air mata pilu yang berjatuhan. Seperti tetesan air hujan yang membasahi kaca. Lara dan terluka. Jiwaku hampa. Nestapa.

Puas menguras air mata. Aku mandi. Kemudian menyiapkan sarapan sendiri. Segelas susu coklat hangat dan sepotong roti. Usai makan. Aku mengemasi perlengkapan sekolah, lalu berangkat. Setelah sebelumnya aku melongok ke kamar Ibu. Beliau masih tenggelam di dunia mimpi. Matanya terpejam. Tubuhnya lunglai menempel kain seprei. Tangannya memeluk guling. Mulutnya terkatup tak bergeming. Senyap. Hanya suara hembusan napasnya yang terdengar terangsur-angsur. Mendengkur.

Well, aku meninggalkan Ibu, tanpa pamit. Karena aku tidak ingin mengganggu ketenangan tidurnya. Biarlah beliau menikmati masa istirahatnya. Biasanya beliau akan terbangun saat Jam di dinding menunjuk angka 10. Saat itu beliau akan bergegas mandi, lalu berdandan dan bersiap-siap bekerja. Jaga konter pulsa bersama karyawannya, Mbak Sus.

Beberapa menit telah berlalu. Dan aku telah sampai di sebuah gedung, tempat di mana aku mencari ilmu. Aku berjalan menyusuri koridor dengan langkah yang menggebu. Aku tak sendiri, karena sudah banyak para siswa yang sudah bersilweran memenuhi tempat ini. Mereka tampak berseri-seri. Memasang wajah semringah penuh rasa suka cita. Tak ada kesedihan ataupun duka nestapa. Bahagia seolah tak pernah memiliki masalah.

Oppo

''Vivo ...'' seru seseorang dari arah belakangku. Aku mengenal suaranya. Tanpa perlu mendongak ke arahnya aku sudah tahu. Itu pasti produksi pita suara dari si Oppo. Karena hanya dia seorang yang memiliki ciri khas suara serak-serak basah.

''Halo ... Bro!'' Oppo menepuk pundakku. Aku hanya melirik ke arahnya.

''Hei ... kenapa mata lo, Bro? Kok memerah? Habis nangis, ya?'' Pekik Oppo saat ia memperhatikan kondisi mataku yang memang membengkak kemerahan.

''Tidak!'' elakku.

''Terus kenapa?'' Oppo mulai kepo.

''Tadi di jalan gue kelilipan!'' terangku.

''Masa' kelilipan sampai bengkak.''

''Ya, tadi kemasukan kumbang kecil gitu sih.'' Aku terpaksa mengarang cerita. Berbohong sedikit.

''Oohh ...'' Oppo mengangguk pelan.

''Hehehe ...'' Aku berusaha memasang wajah ceria untuk melabuhi dia. Aku tidak mau dia mengetahui hal yang sebenarnya. Cukup aku saja yang tahu.

Oppo merangkul bahuku, kemudian kami berdua berjingkat bersama menuju ke ruang kelas kami. Namun di tengah jalan, ada beberapa kakak kelas yang menghadang kami. Mereka membusungkan dada dan memasang wajah garang. Menampakan kesombongan dan kekuasaan. Seperti para bodyguard.

''Hai ... siapa di antara kalian yang bernama Oppo?'' ujar salah satu dari mereka dengan suara yang tegas dan keras setengah berteriak. Membentak.

Aku dan Oppo jadi saling berpandangan. Merasa heran dan bertanya-tanya. Karena kami tak pernah mengenal mereka selain sebagai kakak kelas.

''Gue Oppo ... emang kenapa?'' jawab Oppo.

''Oh, jadi lo yang bernama Oppo!'' cetus cowok berbadan tegap itu sembari berjalan menghampiri Oppo.

''Iya, kenapa, Kak?''

''Gue peringatkan lo, ya ... jangan ganggu Motorola. Bila lo tidak ingin berurusan dengan gue!''

''Maksudnya?''

''Motorola itu pacar gue. Jadi bila lo gangguin dia, gue tidak akan segan-segan menghajar lo, ingat itu!''

''Hah?''

''Masih belum mengerti?''

''Hahaha ... siapa lo, berani ngancem-ngancem sama gue!''

''Hmmm ... nyali lo gede juga, ya!''

''Gue bukan anak kecil yang langsung menciut hanya karena gertakan lo!''

''Hehehe ... gue tidak ingin berantem sama lo, gue cuma mau ingetin lo aja, Boy ... jangan main-main dengan gue kalau lo tidak ingin menyesal!'' cowok yang nametag di dadanya tertulis nama Sony itu menepuk pipi Oppo.

Sony

''Turuti saja omongan gue, bila lo tidak ingin wajah mulus lo ini hancur dan berakhir di rumah sakit!'' bisik Sony di kuping Oppo.

''Hmmm ...'' Oppo bersingut, tangannya mengepal menahan geram.

Sony dan teman-temannya mundur, lalu tanpa banyak bicara lagi mereka membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Oppo dan aku.

''Huh ... mereka pikir gue takut apa dengan ancaman mereka ... Anjing!'' gerutu Oppo setelah kepergian mereka.

Aku mendekati Oppo dan mengusap bahunya, ''Oppo ... sabar, ya!'' ucapku menenangkan sahabatku ini.

''Gue akan melawan mereka yang sok jagoan itu ... cuiihhh!'' pekik Oppo kesal.

''Udah-udah ... jangan pikirkan omongan mereka!'' Aku merangkul bahu Oppo dan mengajakknya berjalan kembali ke arah ruang kelas kami.