Chereads / Ayah Tiriku Idolaku / Chapter 13 - Part 13 : Pamit

Chapter 13 - Part 13 : Pamit

Bang Aldo, sahabat masa kecilku yang penuh dengan kisah petualangan seru. Tak hanya teman bermain dalam artian yang sesungguhnya, tetapi juga teman berbagi rasa kasih dan juga sayang. Bersamanya, aku merasakan kehangatan pelukan seorang kakak laki-laki yang selalu aku idamkan. Perhatian dan pengertiannya benar-benar membuatku nyaman. Walaupun pada akhirnya kenyamanan itu terusik dengan adanya setitik rasa. Rasa yang bersumber dari nafsu yang membara. Sejalan dengan pendewasaan diri, ada pergolakan jiwa yang membakar gelora asmara. Asmara terlarang yang mustinya tak pernah ada.

Kedatangan Bang Aldo memang membuka kenangan lama. Masa indah saat aku bersamanya. Hari-hari yang penuh canda tawa. Bergembira mengisi lembaran kehidupanku yang haus akan belaian seorang ayah. Dan dari Bang Aldo-lah aku bisa meredam dahaga. Hingga menimbulkan benih-benih cinta yang tak terduga. Cinta tak biasa. Cinta yang hadir dari persepsi gila. Karena adanya keterbatasan logika. Aku ingin melupakan cinta itu sejalan dengan bertambahnya usia. Meski tak mudah, tapi aku harus terus mencoba. Aku tahu ini akan terasa sangat sulit, karena harus menghempaskan belenggu cinta pertama. Cinta rumit yang membuat batin menjerit.

''Bang Aldo ...'' ujarku saat kami duduk termangu di ruang tamu.

''Ya ...'' sahut Bang Aldo pelan.

''Sekian lama kita tak berjumpa, Vivo pikir Abang sudah melupakan semuanya ...''

''Bagaimana mungkin gue melupakan kenangan terindah masa kecil kita, Vo ...''

''Vivo ingin melupakan itu semua, Bang ...''

''Kenapa?'' Bang Aldo menampakan kerutan di jidatnya.

''Entahlah ...'' Aku menggeleng.

''Lo tidak suka sama gue lagi, Vo?'' tanya Bang Aldo dengan nada heran.

''Bukan, Bukan begitu, Bang ...'' jawabku sambil menggeleng tegas.

''Terus?''

''Vivo tidak mau kita terjerat lebih jauh, Bang!''

''Apa lo sudah menyukai laki-laki lain, Vo?'' tanya Bang Aldo lagi.

''Tidak ...'' timpalku.

''Jujurlah, Vo!''

''Tidak, Bang! Sungguh ... Vivo hanya tidak ingin menjadi seorang __'' Aku menghentikan ucapanku sejenak.

''Apa?'' Bang Aldo mengeryit tajam.

''Vivo tidak mau jadi homo, Bang!''

''Hehehe ... gue juga bukan homo, Vo ... tapi gue sayang sama lo!''

Aku jadi tertegun. Kutatap bola mata Bang Aldo yang tampak berbinar-binar. Mata itu seolah berbicara yang sejujurnya. Dan aku jadi terpedaya. Lemah. Tak mampu mencerna maknanya.

''Gue juga punya pacar cewek, Vo ... tapi gue tak bisa berpaling dari lo ...'' Bang Aldo mendekati aku, lalu ia memelukku dan mencium keningku. Mesra. Penuh rasa. Namun semua itu membuatku jadi merana. Entahlah, aku tidak tahu. Aku harus bersikap bagaimana?

Aku terdiam sambil memandang wajah Bang Aldo dengan seksama. Mimiknya tak pernah berubah. Selalu memancarkan gelombang bahagia yang meneduhkan. Aku tak bisa mengelak, jauh di dalam lubuk hatiku masih tersimpan segumpal rasa. Untuknya.

Aku perlahan diam-diam menyandandarkan kepalaku di atas bahu Bang Aldo. Ada kedamaian yang menyilmuti segenap jiwaku saat ia membelai dan mengusap lembut kepalaku. Rasanya masih sama. Seperti dulu. Tentram. Nyaman.

''Bang Aldo, aku juga menyayangimu,'' gumanku dalam hati karena aku tak berani untuk mengutarakannya langsung. Biarlah aku memendamnya sendiri. Dan kuharap Bang Aldo dapat memahaminya tanpa perlu merasa terkungkung.

Pukul 19.20 WIB.

Bang Aldo pamit. Ia akan pergi merantau ke kota Jakarta lagi. Mengais rejeki hingga waktu yang tak pasti. Ia pergi dan membawa kembali kenangan kami. __Selamat jalan, Abang. Semoga selamat sampai tujuan. Do'aku mengiringi di setiap perjalananmu. Kuharap kau akan mendapatkan kesuksesan dalam karier dan juga percintaanmu. Semangat!

''Kriiing .... Kriiing ... Kriiing!''

Nada dering ponselku berdering. Ada sebuah panggilan suara dari ibuku. Langsung saja aku mengangkat panggilannya.

''Halo, Assalamualaikum, Ibu ...'' sapaku.

''Waalaikumsalam, Vivo ...'' sahut Ibu dari seberang sana.

''Ada apa, Bu?''

''Kamu lagi ngapain? ''

Aku diam saja, karena aku tahu ibu akan berkata apa.

''Kamu sudah makan? Sudah belajar? Jangan tidur larut malam, ya?''

Aku masih diam.

''Halo, Vivo ... kamu dengerin Ibu gak sih, Nak?''

''Ya, Bu ... Vivo dengar!''

''Kenapa kamu tidak jawab pertanyaan Ibu?''

''Pertanyaan ibu monoton ... dan akhir percakapan ini, Ibu akan bilang, 'Maaf, Nak ... Ibu tidak bisa pulang malam ini. Jangan lupa kunci jendela dan pintunya!', iya, 'kan?''

''...'' Sejenak suasana jadi hening.

''Vivo ... kamu marah pada Ibu?'' tanya Ibu dengan nada penuh kecemasan.

''Tidak, Bu ... Vivo tidak pernah marah pada Ibu. Meskipun Ibu jarang pulang ke rumah.''

''Vivo ... kelak kau akan mengerti, Nak!''

''Iya, Bu ... Vivo pasti mengerti.''

''Ibu sayang kamu, Nak!''

Aku terdiam.

Tut ... Tut ... Tut ... aku mengakhiri panggilan telepon ini. Sedikit ada rasa dongkol. Karena sudah sekian kali Ibu melakukan hal seperti ini. Beliau tidak pulang ke rumah alasannya cari tambahan rupiah. Entah, dia pergi kemana? Pergi sama siapa? Bobo di mana? Bobo sama siapa? Sendiri atau sama pria?