Beberapa saat setelah aku kembali memasuki kamar, Aris masih terdiam disana. Mungkin dia terkejut dengan tindakanku yang tidak biasa.. yang tiba-tiba merespon ciumannya, namun sesaat kemudian mendorongnya dengan kasar untuk menjauh.
Saat itu Aris terlihat bingung. Dia ingin meminta penjelasan lebih jauh padaku, namun sepertinya harus ditunda karena aku segera menjawab panggilan teleponku itu dikamar.
Beberapa lama menunggu, namun tidak ada ucapan atau percakapan telepon yang terdengar dari dalam kamar. Lalu Aris pun memberanikan diri untuk mengajakku bicara.
"Lena.." sapanya sambil berdiri dibalik pintu
Sementara dikamar, aku begitu panik mendengar dia memanggilku.
"Ya Tuhan.. Apa yang harus kulakukan sekarang?" bisikku dalam hati
Sesaat aku menyesal telah melakukan tindakan itu padanya. Bagaimana kali ini aku harus menyangkalnya?
"Aku tidak mengira kau akan meresponku seperti tadi.. Apa kau masih memiliki perasaan padaku?" tanya Aris sambil tersenyum
"Lena.."
"Bisakah kau keluar sebentar? Aku membutuhkan jawabanmu disini.."
Aku masih diam tak bergeming.
"Lena.." panggil Aris kembali.
Kali ini dibarengi dengan upayanya yang membujukku untuk keluar kamar sambil mengetuk pintu. Aku semakin panik. Aku terus berpikir.. bagaimana aku harus memberikan jawaban padanya. Aku benar-benar bingung.
Apa aku benar-benar meresponnya karena aku masih memiliki perasaan padanya atau.. tapi bagaimana dengan Ryan. Aku sudah menerima lamarannya bukan? Kalau seandainya aku masih memiliki perasaan pada Aris, lalu kenapa aku menerima lamaran Ryan yang mengajakku rujuk.. Dan kenapa juga saat itu aku merespon ciuman Aris?
Aku terus terdiam didalam kamar, tanpa sekalipun merespon panggilannya. Sementara Aris, aku tidak tahu lagi. Dia sudah tidak lagi bersuara atau meminta penjelasan lebih jauh padaku, hingga tiba-tiba aku mendengar suara Ryan datang dan memanggilku.
"Sayaang..?" ucap Ryan begitu dia memasuki apartemen
Seketika itu aku pun langsung keluar kamar. Aku sempat terkejut mendapati Aris masih berdiri didepan pintu, tepatnya dihadapanku sekarang. Hampir saja aku menabraknya.
Sementara disisi lain, Ryan terlihat tidak senang melihat aku dan Aris yang saling berdiam diri dan bertatapan mata dihadapannya. Dia pun langsung menghampiri kami dan berniat untuk menghajar Aris.
"Mas Ryan..!" ucapku sambil menahan tangannya
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Ryan emosi pada Aris
"Tadi Mas Aris sempat beristirahat sebentar karena merasa tidak enak badan. Tidak ada apapun yang terjadi. Dia hanya sedang khawatir dan menunggu kabar dari Shina.." aku menjelaskan
Belum sempat Ryan berbicara atau menanyakan sesuatu kembali pada Aris, aku kembali berkata
"Mas Aris.. mungkin saat ini Shina sudah bisa dihubungi. Kau hubungi dia sekarang.." aku menyuruh Aris untuk segera pergi
"Tunggu dulu.." ucap Ryan
"Tapi Mas..?"
Saat itu aku tidak senang melihat sikap Ryan yang mencoba untuk menahan Aris lebih lama. Lalu Ryan pun tiba-tiba mendekatiku, sambil seolah mengendus-ngendus disekitar tubuhku..
"Syukurlah.. tidak ada bau pria brengsek disini. Aku senang melihat istriku menjaga dirinya untuk tidak dekat-dekat dengan seorang pecundang yang munafik.." ucap Ryan menyindir Aris
Lalu Ryan pun memelukku dan mencium keningku sambil seolah sengaja memperlihatkan kemesraan kami didepan Aris. Sementara Aris, dia masih terlihat diam ditempatnya, tanpa bersuara. Entahlah.. aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya saat itu. Aku hanya tidak berani menatap matanya.
Setelah Ryan melepaskan pelukannya, dia kembali berkata
"Sayang katakan, siapa pria yang paling kau cintai didunia ini selain Oka dan Ayahmu itu?"
Sambil sesaat menatap Aris, aku pun menjawab
"Mas.. Ry-an.." ucapku meragu
"Kalau tidak, bagaimana bisa aku menerima Mas kembali.." aku mengucapkan hal itu sambil memalingkan wajahku dari Aris
Ryan tersenyum behagia mendengar jawabanku itu. Sementara Aris, dia langsung berlalu begitu saja. Begitu aku melihatnya berjalan, raut wajahnya datar tanpa ekspresi. Apa dia kecewa mendengar jawabanku tadi? Belum sempat aku melihatnya menghilang dari balik pintu, Ryan pun segera menarikku untuk masuk ke dalam kamar.
Ditempat lain, saat itu Shina masih terdiam diatas kasur dikediaman Lucy, setelah Ryan mengantarkannya kesana. Dia telah menuangkan rasa kekesalan dan kekecewaannya itu. Bahkan dia juga sempat menampar Lucy untuk melampiaskan amarahnya.
"Aku tahu kau sangat kesal dan kecewa padaku, tapi Shina.. kau tidak bisa terus menerus berada disini. Kau mempunyai seorang bayi yang perlu diurus.." ucap Lucy
"Juga Aris.. Kasihan dia pasti cemas menunggumu di Rumah Sakit sendirian. Apa kau juga tidak mengkhawatirkannya?" Lucy mencoba membujuk Shina untuk tidak menerus terlarut dalam perasaan sedih dan kecewa.
"Shinaaa.." panggil Lucy kembali
Shina saat itu masih menangis. Dia menangis tanpa bersuara.
"Shina maafkan aku.." ucap Lucy kembali sambil memegang tangannya
Shina masih tidak mau meresponnya. Bahkan dia langsung menghempas kasar tangan Lucy begitu Lucy menyentuhnya.
"Apa kau mau aku meminta tolong pada Ryan untuk membawa Rani dan bayimu kemari?"
"Kumohon Shina bicaralah.. aku akan semakin merasa bersalah jika kau terus mendiamkanku seperti ini.. "
"Shina.."
Lama menunggu tetapi Shina masih tidak mau diajak berkomunikasi, maka Lucy pun kembali keluar kamar sambil menghubungi Ryan.
Sementara itu, di kamar kami di apartemen.. aku dan Ryan
"Kalian berdua benar gak ngelakuin apa-apa?" tanya Ryan sinis padaku
Aku begitu terkejut saat itu. Lalu dengan panik, aku pun kembali menjawab
"Bu-.. bukannya Mas sudah membuktikannya secara langsung tadi?"
Aku lalu sengaja mendekatkan tubuhku pada Ryan, seolah menyuruh Ryan mengendus-ngendusnya seperti tadi.
"Terus ngapain tadi kamu main tatap-tatapan gitu didepan pintu sama Aris? Kamu masih baper sama dia? Masih ada perasaan kamu sama dia?"
"Kamu kan tahu, aku paling gak suka lihat kamu berdua-duan kayak tadi.. apalagi sama si brengsek itu. Kenapa kamu tadi ngebiarin dia disini? ucap Ryan marah
"Ohh.. Kalau aku gak boleh terus Mas boleh gitu sama Shina berdua-duan disini.."
"Apa sih? Aku kan udah bilang, Shina itu tadi pingsan.."
"Terus apa bedanya sama situasi aku sama Aris.."
"Ya jelas bedalah, Aris itu brengsek. Dia itu pria licik dan munafik.. Penuh dengan tipu muslihat."
"Mas..!"
"Apa? Kamu mau belain dia lagi sekarang? Terus aja belain.. Kenapa gak kamu kejar tuh sekalian atau susul si Aris itu.."
Kesal mendengar jawaban seperti itu, lalu aku pun pergi meninggalkan Ryan keluar kamar. Ryan yang tersadar pun kembali mengejarku.
"Sayang.. Sayaangg.. Tunggu..!"
"Sayang.. Aku minta maaf.." ucap Ryan kembali begitu dia meraih tanganku.
"Mas, aku tuh capek sama sikap kamu yang kayak gini terus.. Kita ini belum resmi rujuk, tapi kamu kembali nunjukkin sikap kamu yang paling aku benci.." ucapku kesal sambil menghempas tangannya
"Iya, aku minta maaf Sayang. Aku khilaf.. Aku janji ini yang terakhir. Tapi kamu juga harus nunjukkin ke aku, kalau kamu harus mau untuk gak deket-deket lagi sama si Aris.. Aku paling gak bisa lihat kamu berdua-duan sama dia. Kali ini kamu juga harus ngertiin aku dong.." Ryan mencoba memegang tanganku kembali
"Entah kenapa tiap lihat Aris aku tuh bawaannya emosi. Aku gak suka. Dia itu tuh.. munafik, penuh kepalsuan.."
"Bilangnya cinta sama Shina, peduli, care.. tapi apa. Yang aku lihat dia masih ngejar-ngejar kamu. Masih aja berusaha buat ngerebut kamu dari aku. Munafik!"
Mendengar Ryan berkata seperti itu, seolah dia seperti sedang menyindir diriku. Mungkin yang dimaksud Ryan bukan hanya Aris tapi juga aku. Aku yang munafik..
Sesaat aku merasa bersalah karena telah mengkhianati dirinya juga. Bagaimana ya reaksi Ryan, seandainya dia tahu aku merespon ciuman Aris seperti tadi. Apa dia akan membenciku? Aku yang masih melamun memikirkan semuanya tiba-tiba terkejut saat Ryan tiba-tiba mengajakku untuk kembali bertemu Mamanya.
"Kamu ikut aku.. sekarang kita ketempat Mama." ajaknya sambil menarikku keluar
"Ta.. tapi Mas.." aku mencoba menahannya
"Kamu harus bantu aku minta maaf sama Mama. Sekalian kita clear-in semua masalahnya. Masalah aku, Shina, Rani, termasuk masalah kamu sama Aris juga. Bantu aku buat kita buktiin ke Mama kalau kita bisa melalui semuanya. Dan semuanya akan baik-baik saja, bahkan setelah kita nikah lagi nanti.. "
Dengan berat hati, aku pun terpaksa mengikuti keinginannya. Walaupun aku tidak yakin bagaimana caranya aku bisa membujuk Mama, tapi setidaknya aku mencoba memantapkan hati dan pikiranku bahwa memang benar keputusan yang kubuat ini adalah yang terbaik. Kembali lagi bersama Ryan dan memulai semuanya lagi dari awal. Ryan adalah ayah dari anakku Oka, jadi memang sepatutnya aku kembali rujuk dengannya.. demi kebahagiaan Oka juga.
Saat memikirkannya, entah kenapa tiba-tiba terbesit bayangan Aris disana. Tiba-tiba muncul gambaran saat aku membalas ciuman Aris tadi.
"Ya Tuhan.. Kenapa aku bisa tiba-tiba kepikiran seperti ini? Ini tidak benar.." ucapku mengutuk diriku sendiri dalam hati
"Kamu kenapa?" tanya Ryan tiba-tiba karena melihatku seperti orang linglung sambil memegangi kepalaku
"Nggak Mas. Aku gak apa-apa.."
"Kalau kamu gak enak badan, gak apa-apa. Aku anterin kamu dulu ke dokter. Besok aja kita ke tempat Mama."
"Gak usah Mas. Gak apa-apa.. Kita kesana sekarang aja."
"Kamu yakin?"
Aku pun mengangguk menjawabnya.
Dan ketika kita baru melangkahkan kaki keluar, handphone Ryan tiba-tiba berdering. Itu panggilan dari Lucy. Dan Ryan pun segara mengangkatnya.
"Ryan.."
"Iya Lucy, ada apa? Apa Shina baik-baik saja?"
"Dia masih mengurung dirinya sendiri dikamar, tidak mau diajak bicara. Aku khawatir.."
"Ryan, bisakah aku minta tolong padamu. Tolong bawakan Rani dan bayinya kemari. Mungkin dengan melihat anak-anaknya disekitarnya, kondisinya akan menjadi lebih baik.. Aku mohon padamu Ryan, bisa kau jemput Rani dan juga bayinya Shina.."
"Maaf Lucy, bukannya aku tidak mau membantu.. ada hal penting yang harus kulakukan saat ini. Kenapa kau tidak mencoba menghubungi Aris saja?"
"Aku hanya meminta tolong padamu. Tidak bisakah kau membantunya sekali ini lagi? Masalah Rani itu berhubungan dengan masa lalumu Ryan. Aris tidak ada sangkut pautnya disini.. dia hanya Ayah pengganti.."
"Tapi Lucy, aku.."
"Ada apa Mas? Shina kenapa?" tanyaku tiba-tiba
"Lucy memintaku untuk mengantarkan Rani dan bayinya Shina kesana. Kamu kan tahu, ada urusan yang lebih penting yang harus kita selesaikan hari ini.. Aku gak mungkin bisa nganter Rani dan bayinya Shina kesana." jawab Ryan
"Tidak apa-apa Mas. Antarkan saja.. Kasihan Shina."
"Tapi Sayang..? Kita harus meluruskan masalah kita sama Mama."
"Setelah itu kan bisa. Mas antarkan saja Rani dan bayinya Shina dulu.."
"Tapi Sayang..?" Ryan masih keberatan
"Mas.. antara Rani, Mas dan Shina masih ada sangkut pautnya. Lebih baik Mas selesaikan urusan ini dulu.."
"Sangkut paut apanya? Aku udah ngelakuin semua hal yang bisa kulakuin ke mereka. Aku gak mau terlibat lagi.. Masalah Rani dan Shina itu udah masa lalu aku Sayang. Sekarang aku mau menata masa depan aku sama kamu (sebisa mungkin menjauh dari semua hal yang berkaitan dengan mereka).. Aku mau nebus semua kesalahan yang dulu udah aku perbuat waktu itu sama kamu.."
"Iya, aku tahu.. tapi tidak ada salahnya kan Mas lakuin hal ini sekali lagi?"
"Bukannya seharusnya kamu seneng aku jaga jarak sama Shina.. Waktu tadi direstoran, kan kamu gak seneng aku masih ngejar-ngejar dia. Terus juga waktu kamu telpon aku berkali-kali tapi handphone aku mati.. Kamu juga emosi waktu tahu aku menjawab handphone Shina dan waktu aku temani Shina yang pingsan di apartemen ini.."
Aku hanya tersenyum mendengar semua perkataan Ryan. Sambil ku pegang tangannya, aku mencoba menjelaskan bahwa sekarang itu tidak masalah bagiku. Kemudian, Ryan yang telah mengerti maksudku pun menjawab,
"Yaudah, aku jemput Rani dan bayinya Shina sekarang, tapi kamu juga harus ikut sama aku. Aku gak mau kamu salah paham lagi atau ngambek kayak tadi.."
"Makasih ya Mas.." ucapku sambil tersenyum
"Kamu harus tahu, demi kamu nih aku lakuin semua ini.."
"Iya, paham kok aku. Makanya aku bilang makasih sama kamu."
"Cuma makasih doang?"
Saat itu aku bingung. Lalu, sesaat kemuadian
"Ohh.."
*Cup (aku mengecup singkat bibir Ryan)
Namun ternyata, respon Ryan malah
"Bukan itu. Kamu nanti malam nginep disini bareng aku.."
"Eh ralat, bukan hanya nanti malam, tapi seterusnya dan selama-lamanya.." ucap Ryan kembali sambil tersenyum nakal menggodaku
Saat itu aku merasa perasaan bersalah yang teramat dalam. Bagaimana aku bisa mengkhianatinya dengan mencium Aris seperti tadi. Padahal selama ini Ryan tidak pernah sekalipun mengkhianatiku. Semuanya dilakukan karena keadaan yang memaksanya.. tanpa pernah sekalipun dia mengkhianati cintanya. Ya, dia hanya mencintaiku. Tidak ada yang lain dihatinya, tetapi.. kenapa aku malah menduakannya. Kenapa aku tidak bisa menghilangkan Aris sepenuhnya dari hatiku? Kenapa?
Aris.. Kira-kira apa yang sedang dilakukannya sekarang? Apa dia sudah mencoba menghubungi Shina? Apa nanti dia juga ada disana, ditempat Shina..?