Chereads / My New Neighbour / Chapter 234 - Keraguan Aris

Chapter 234 - Keraguan Aris

"Mas Ryan..?!!" ucapku marah, tidak senang

"Kenapa Mas bisa menjawab telepon Shina? Apa yang sedang kalian berdua lakukan disana?"

"Sayang.. sayang.. dengarin aku. Aku tidak melakukan apapun dengan Shina disini." jawab Ryan menjelasakan

"Lalu kenapa handphone Mas mati tadi? Aku mencoba menghubungi Mas beberapa kali tapi Mas tidak menjawabnya. Terus tiba-tiba sekarang aku menghubungi Shina lalu Mas menjawabnya..

"Sebenarnya Mas ada dimana sekarang? Kenapa Mas bisa menjawab telepon Shina??!"

"Sayang, kamu dengerin aku dulu. Shina pingsan.."

"Pingsan?" tanyaku terkejut

"Iya.." jawab Ryan

"Kita sekarang ada di apartemen." ucap Ryan kembali

"Apartemen??"

"Iya. Apartemen kita.."

"Mas bawa Shina ke apartemen??!" ucapku marah sambil menaikkan intonasi suara

"Sayang, kamu jangan marah dulu dong. Aku beneran gak lakuin apa-apa sama Shina disini. Tadi itu dia tiba-tiba pingsan.."

"Kalau pingsan kenapa gak bawa ke Rumah Sakit tapi malah ke apartemen? Mas sengaja mau berdua-duaan sama Shina disana sama kayak kejadian di Villa Puncak waktu itu?"

"Nggak Sayang.. Nggak. Kamu dengerin aku dulu.."

"Kenapa handphone Mas pakai mati segala. Mas sengaja kan ngelakuin ini.." aku belum selesai mengungkapkan semua kekesalanku pada Ryan, tiba-tiba mendengar bunyi bel pintu apartemen

Dan, ketika Ryan membuka pintunya

*Buggh.. (Ryan dihajar oleh Aris)

"Brengsek kau Ryan.." ucap Aris marah dan penuh emosi

"Hei.. Apa-apaan kau Aris.." ucap Ryan tidak terima

Saat itu terjadilah perkelahian antara Aris dan Ryan diapartemen.. karena sambungan telepon belum terputus, jadi aku bisa mendengar dengan jelas semua percakapan mereka.

"Kau seharusnya bisa membelanya.. juga Ibumu itu.. Apa belum puas kalian berdua merusak hidupnya, hah? Apa perlu Ibumu itu sampai memberitahukan kebenaran mengenai anak kandungnya.. Kalian sekeluarga benar-benar tidak punya perasaan.." ucap Aris marah sambil mencengkram baju Ryan

"Perasaan? Kau masih bisa bicara mengenai perasaan disini. Sekarang aku tanya padamu, apa kau benar-benar mempunyai perasaan padanya? Aku masih ingat dengan jelas ucapanmu yang terakhir, saat kau bilang kau hanya berpura-pura amnesia untuk membuat Lena menjauh.. Dasar munafik! Aku tahu kau masih mempunyai perasaan pada Lena. Lalu apa gunanya kau membahas mengenai perasaan disini?"

"Brengsek.." Aris kembali menghajar Ryan

Ryan yang tidak terima pun kembali membalasnya.. hingga tiba-tiba tanpa mereka sadari Shina sudah tersadar disana sambil menatap ke arah mereka berdua yang sedang bertengkar. Dan ketika Aris melihat Shina, dia pun langsung menghentikan perkelahiannya.

"Shina.." ucapnya khawatir sambil menuju kearahnya

"Kau tidak apa-apa? Apa ada bagian tubuhmu yang sakit?" tanya Aris kembali sambil memegangi tubuhnya

Shina menepis tangan Aris.

"Apa kau telah mengetahuinya?" tanya Shina tiba-tiba pada Aris

"Aku ingin kau menjawabnya dengan jujur.. Apa kau telah mengetahui bahwa Rani itu bukan putri kandungku?"

Saat itu Aris terlihat sedikit melirik ke arah Ryan, hingga akhirnya menjawab

"Maafkan aku.." ucap Aris merasa bersalah

*Plaakk..  (satu tamparan Shina keras untuk Aris)

"Aku bisa mengerti kalau Ryan yang membohongiku, tapi kau Aris.." ucap Shina dengan nada sedih, kecewa sambil menangis memandang Aris

"Aku hanya tidak ingin membuatmu terluka.. Saat itu aku tidak memberitahukannya padamu karena tidak ingin melihatmu kecewa. Aku tidak mau melihatmu menderita karena harus kembali mengenang masa lalu pahitmu bersama dengan Ryan dulu.."

"Hahahaa.. hahahaaa.." Shina terlihat tertawa getir

"Rupanya selama ini aku benar-benar keliru. Aku begitu bodoh sehingga tidak bisa membedakan dengan jelas mana perasaan cinta dan juga perasaan kasihan.." ucap Shina sambil masih tertawa

"Shina, maafkan aku.."

"Tidak usah minta maaf. Aku muak mendengarkan semua permintaan maafmu itu.."

"Lagipula ini semua salahku. Aku yang begitu bodoh. Aku mengira bahwa selama ini kau benar-benar mencintaiku.. Semua perhatian dan kasih sayangmu itu.. ternyata semua itu hanyalah rasa iba yang ku kira cinta.. Benar-benar bodoh.."

"Tidak Shina, aku tidak.." Aris yang belum mengutarakan maksud perkataannya tiba-tiba dipotong oleh Shina

"Aku rasa aku benar-benar haus akan kasih sayang. Aku begitu mendambakan kehadiran seseorang yang bisa memberiku perhatian dan juga cinta, baik untuk diriku sendiri maupun anakku.. tapi semuanya hanyalah palsu, bahkan anakku sekalipun bukan anak kandungku.."

"Shina.." (ucap Ryan dan Aris berbarengan)

"Terima kasih kepada kalian berdua pria brengsek yang sudah membukakan mataku, sehingga aku bisa mengerti perbedaan jelas mengenai rasa cinta juga empati.."

"Aku harap seandainya waktu bisa diputar, aku tidak akan pernah mau berurusan dengan kalian lagi dihidupku.." dan Shina pun pergi meninggalkan unit kami dengan air mata yang jatuh bercucuran

Aris kembali mengejarnya, namun Ryan menahannya.

"Biarkan dia sendiri.." ucap Ryan sambil menghalau Aris menggunakan tangannya untuk tidak mengejar Shina

"Aku tahu.. saat ini yang dia butuhkan hanyalah ketenangan. Jadi jangan mengejarnya.."

Setelah berhasil mengurungkan niat Aris untuk tidak mengejar Shina, Ryan pun pergi meninggalkan apartemen untuk menyusul Shina. Sementara Aris, dia tenggelam oleh rasa bersalahnya pada Shina. Dia masih terdiam diapartemen kami sampai pada saat kedatanganku kesana.

"Mas Aris?" ucapku bingung

"Dimana Mas Ryan dan Shina?"

Aris hanya terdiam, tidak menjawabnya. Dia masih terduduk dikursi sofa

"Mas Aris?" sapaku kembali sambil mendekat

Aku baru menyadari bahwa Aris sepertinya kabur dari rumah sakit untuk datang kemari. Dia terlihat masih mengenakan pakaian pasien yang dilapisi oleh jaketnya saat itu. Sebenarnya aku ingin keluar meninggalkannya di apartemen, hingga tiba-tiba Aris bersuara

"Aku adalah pria brengsek. Aku bahkan tidak tahu isi hatiku sendiri. Entah itu rasa iba, kasihan, atau cinta.. aku tidak bisa mengenalinya dengan jelas.."

Aris kembali terdiam. Mungkin menunggu jawaban dariku atas semua pernyataannya tadi. Aku kemudian menatapnya, namun Aris masih menundukkan pandangannya. Aku kemudian mengurungkan niatku untuk pergi meninggalkannya sendirian diapartemen.

"Mas Aris.." sapaku

"Tidak ada pria brengsek yang memikirkan dirinya sendiri sebagai pria brengsek.."

"Setahuku Mas Aris itu orang baik. Seorang pria yang bertanggung jawab, dewasa, juga dapat diandalkan.. Mungkin Shina membutuhkan waktu sedikit lagi untuk bisa memahami semua sifatmu ini Mas.. bahwa kau telah benar-benar mencintainya.."

Saat itu Aris tiba-tiba menatapku, membuatku grogi.. membuatku tiba-tiba kehilangan semua kata-kata yang akan kuucapkan padanya.

"Lena.."

"Apa benar aku (telah) mencintai Shina?" tanyanya kembali sambil menatap mataku dalam

"Ini bukan hanya sekedar rasa iba atau kasihan seperti yang dikatakannya kan? Aku ingin kau menjelaskannya padaku.. Tolong jelaskan mengenai perasanku ini padanya Lena.. sebab aku tidak tahu. Aku sendiri bingung perasaan apa yang sedang kurasakan.." ucap Aris sambil tiba-tiba memegang tanganku

Saat itu aku bingung. Aku tidak tahu bagaimana harus merespon perkataannya. Aku kemudian tersenyum canggung karena merasa terintimidasi oleh tatapan matanya. Namun disisi lain, Aris kembali berkata

"Tapi kenapa pada saat itu Ryan mengatakan aku masih mencintaimu? Menurutnya aku masih memiliki perasaan padamu (bukan Shina).."

"Apakah benar seperti itu? Apa menurutmu aku masih mencintaimu?" tanya kembali sambil melepaskan tanganku dan menundukkan pandangannya

Jujur, aku merasa tegang dan panik. Ini masalah hatinya, tapi kenapa dia malah menanyakannya padaku? Apa dia sedang meminta persetujuanku untuk menyampaikan perasaannya? Walaupun aku berharap dia masih memiliki perasaan cinta yang akan membuatku merasa senang, tapi..

*Brugh.. (Aris tiba-tiba terjatuh saat hendak berdiri)

"Mas Aris.. Mas Aris.. Mas Aris tidak apa-apa?" tanyaku panik sambil memeganginya

Aris terlihat meringis menahan sakit. Aku yang hendak pergi meninggalkannya untuk mencari bantuan.. untuk membawanya kembali ke Rumah Sakit, namun tiba-tiba tangan Aris menahanku.

"Jangan.." ucapnya masih menahan sakit

"Aku tidak mau ke Rumah Sakit sekarang.. Jangan panggilkan dokter atau siapapun.."

"Tapi lukamu itu.. Bukankah Mas Aris seharusnya masih dirawat di Rumah Sakit?"

"Tidak apa-apa Lena. Aku hanya merasa lelah. Mungkin kau bisa membantuku dengan memberikanku segelas air.. Aku merasa haus sekali.."

Aku lalu pergi ke dapur mengambil air untuknya. Dan begitu aku kembali, Aris seperti sudah tertidur diatas sofa sambil terduduk dengan kepala tersender ke belakang sofa. Aku melihat matanya terpejam.

"Mas Aris.." sapaku pelan

Aris tidak membuka matanya. Terlihat sekali seperti perkataannya tadi bahwa dia merasa sangat lelah saat ini. Aku lalu menaruh telapak tanganku dikeningnya untuk mengukur suhu tubuhnya. Ternyata tidak panas. Syukurlah..

Untuk sementara aku membiarkan Aris tertidur disana, sementara aku mengambil handphoneku untuk menghubungi Ryan dan juga Shina. Ryan handphonenya masih mati dan tidak terhubung, sedangkan Shina dia tidak mau menjawab panggilannya. Aku merasa frustasi. Aku merasa kesal dengan Mas Ryan.

Aku kemudian keluar untuk mengecek keadaan Aris. Dia masih tertidur ditempatnya. Kasihan sekali, pikirku. Luka yang dialaminya yang membuatnya harus menahan semua kesakitan itu terjadi karena diriku. Sekarang ditambah masalah Shina dan Rani..

Aku terus memandangi wajahnya yang tertidur.. mengingat sepertinya dulu-dulu aku juga sering memandanginya seperti ini pada saat kami masih pacaran dulu.

Aris.. dia terbiasa tertidur dimanapun. Dibangku, dimeja, ditaman.. Satu hal yang kutahu dia menyukai tempat yang tenang. Kalau dulu semasa kuliah, selain kegiatan kampus dan belajarnya itu, dia banyak melakukan kerja part time. Jadi terkadang disela-sela aktivitasnya yang padat itu, kapanpun ada tempat kosong dan tenang, dia pasti akan tertidur disana.. contohnya seperti sekarang. Aku menyukai saat memandang wajahnya yang sedang tertidur seperti ini. Terutama melihat bentuk mata dan alisnya ketika matanya terpejam.

Tanpa sadar aku menyentuh alisnya, sama seperti kebiasaanku dulu pada saat melihatnya tertidur. Aku terus menyentuhnya hingga ke bagian alis sebelahnya kemudian membuat tulisan "Ok"  dikeningnya menggunakan jariku itu (untuk mengatakan padanya bahwa segala sesuatunya akan berjalan baik-baik saja) seperti kebiasaanku dulu.. hingga tiba-tiba Aris terbangun dan berkata

"Apa kau juga akan mengecup kening dan pipiku ini jika aku masih belum terbangun?"

Sungguh aku sangat merasa malu saat itu. Memang dulu-dulu aku terbiasa melalukan hal seperti itu untuk menggoda dan membangunkannya.

"Lena.." ucapnya kembali memanggilku

Aku pun kemudian memperbaiki posisi berdiriku (agak sedikit menjauh darinya).

"Aa.. Aku baru ingat kalau aku harus menghubungi Oka sekarang.. Sebaiknya aku mengambil handphoneku dikamar." lalu aku pun segera berlari ke kamar meninggalkannya, tanpa aku sadari ternyata handphoneku itu ada didekatnya (diatas meja).

Aku masih saja terdiam didalam kamar. Aku sungguh malu. Aku berniat tidak akan keluar kamar, sampai Aris pergi meninggalkan apartemen ini. Namun tiba-tiba,

*Kring.. Kringg.. Kriiiingg.. (suara handphoneku berdering)