Aku terus menyusuri lorong apartemen dengan perasaan sedih, kecewa, dan menyesal.. Ingin rasanya aku berbalik kembali. Aku berharap seandainya saja Ryan yang datang mengejarku sekarang, maka aku akan langsung mengatakan padanya bahwa aku ingin kembali.. tetapi bahkan sampai pintu lift dilantai itu terbuka, Ryan sama sekali tidak datang mengejarku. Aku terus menangis didalam lift.. meluapkan emosi kesedihanku, hingga pada saat lift sudah tiba dilantai lobi.. kakiku terasa berat, seolah aku tidak ingin melangkah keluar dari sana.
Sementara ditempat lain, saat itu Oka baru saja pulang sekolah. Kami tidak
sempat berpapasan, karena Oka menaiki lift tersebut dari lantai basement dibawah, ditempat dimana dia memarkirkan motornya.
Oka yang baru tiba diunitnya, dikejutkan oleh ulah Ryan yang membuat apartemen menjadi berantakan dengan pecahan-pecahan kaca botol minumannya yang dibanting dilantai. Tidak sampai disitu, tangannya juga terlihat berdarah saat itu, sehingga mengotori lantai yang penuh dengan beling pecahan-pecahan kaca tersebut.
"Papa..?" ucap Oka panik seraya pergi mendekat ke arahnya
"Papa kenapa Pa?" tanya Oka kembali sambil berusaha memegang tangan Ryan yang berdarah
Tanpa menjawab pertanyaan Oka, Ryan langsung berlalu masuk ke dalam kamar meninggalkan Oka sendirian disana. Oka yang kebingungan, kemudian langsung menelponku.
"Halo Ma..?" sapa Oka begitu aku menjawab panggilannya
"Iya Sayang.."
"Mama dimana sekarang? Bisa Mama ke apartemen? Papa.. Papa habis banting semua botol-botol minumannya disini Ma. Berantakan semua disini.. Kasihan Papa, mungkin Papa sedang dalam masalah. Mama bisa kan datang kesini buat nenangin Papa.."
Aku sungguh terkejut saat itu. Maksudku, masa gara-gara hal itu Ryan sampai melakukan semua ini. Tanpa berpikir panjang, aku pun segara kembali kesana.
Setibanya aku diunit kami,
"Ma.. itu Papa dikamar tuh. Oka takut nanti Papa buat yang aneh-aneh dengan nyakitin dirinya sendiri disana.." ucap Oka panik
Kemudian aku segera kekamar,
"Mas.." sapaku sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar
"Mas, boleh aku masuk?" tanyaku kembali sambil membuka pintu
Ternyata pintunya tidak dikunci dan aku pun kemudian masuk kedalam. Aku terkejut melihat kondisi Ryan, seperti seseorang yang sedang mengalami depresi berat. Ekspresi dingin, tatapannya kosong.. kemudian aku pun pergi mendekatinya.
"Mas Ryan.." ucapku kembali sambil mencoba duduk disampingnya
Ryan, dia tiba-tiba lalu menangis. Saat itu dia terus mengusap airmata di wajahnya menggunakan tangannya yang terluka (berdarah). Aku sungguh sedih melihatnya.
Untuk pertama kali, aku melihat sisi Ryan yang berbeda dari biasanya. Memang, ini bukan pertama kali aku melihat Ryan menangis.. Akan tetapi, tangisannya kali ini benar-benar berbeda.. ekspresinya itu membuatku tersadar bahwa Ryan telah mengalami sesuatu yang membuatnya merasa sangat terpukul. Karena tidak tega, aku pun lalu memeluknya. Aku semakin mengeratkan pelukanku padanya, sambil mengusap-ngusap lembut punggungnya.. untuk membuatnya tenang.
"Maafkan aku Mas.. Maafkan aku.." ucapku sambil menangis memeluknya
Ryan hanya terdiam. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membalas ucapanku, tetapi dia masih terlihat menangis. Cukup lama kami terdiam dalam kondisi itu, sampai akhirnya kondisi Ryan benar-benar stabil. Ryan kemudian membuatku melepaskan pelukanku padanya.
"Mas gak apa-apa?" tanyaku sambil menatap wajahnya yang sendu
"Aku gak apa-apa.. Maaf sudah membuatmu cemas. Tapi kamu bisa pulang sekarang.." ucap Ryan tiba-tiba yang membuatku terkejut
"Aku minta maaf Mas.. Aku tidak bermaksud menyakitimu dengan perkataanku sebelumnya.. Aku.." belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Ryan tiba-tiba berdiri dan pergi meninggalkanku keluar kamar.
Aku pun kemudian menyusulnya. Ternyata saat itu Ryan, dia membereskan semua pecahan-pecahan botol kaca yang dihancurkannya tadi. Lalu,
"Loh Pa.. Ini biar Oka saja yang beresin. Papa istirahat dikamar saja sama Mama. Ini tinggal di bagian sini saja kok.."
Tanpa menjawab Oka, Ryan masih terus membereskannya disana, hingga tiba-tiba aku menghentikam gerakannya dengan memegang tangannya itu.
"Aku obati tanganmu dulu Mas.."
Ryan kemudian menepisnya.
"Aku bisa obati sendiri.." ucapnya dingin sambil berusaha menyingkirkan tanganku dari tangannya
Ryan kemudian bangkit. Dia lalu menuju ke arah dapur, mengambil kembali botol minumannya, lalu (seolah sengaja) meminumnya didepanku.
"Oka.. Kau antarkan segera Mamamu pulang.."
"Tapi Pa? Kenapa bukan Papa yang anterin? Biar Oka yang beres-beres disini, Papa anterin Mama.."
"Cepat kau antarkan!!!" ucap Ryan marah membentak kasar
Saat itu aku sedih. Tiba-tiba air mataku kembali mengalir dengan deras. Keberadaanku disana seolah tidak diharapkan olehnya. Akan tetapi, aku tidak menyerah. Aku berusaha melawan rasa enggan dan gengsiku dangan tetap berusaha meluruskan keinginanku sebelumnya. Aku ingin menarik semua kata-kataku kembali. Aku ingin bilang bahwa aku ingin kembali pedanya.
"Mas.." ucapku seraya mendekat
Saat itu aku berusaha menyingkirkan botol minuman yang ada ditangannya, tetapi tidak berhasil. Ryan kembali menepis tanganku dengan cepat.
"Aku tidak butuh belas kasihanmu disini! Perhatian palsumu itu.. Kalau kau memang ingin kita tetap seperti ini, lebih baik jaga jarak. Jangan seolah-olah bersikap manis dengan membuat orang lain salah paham dan mengira bahwa kau sebenarnya tulus mencintai mereka, padahal tidak.."
"Kalau aku bilang, aku ingin kita kembali bersama seperti dulu.." ucapku membantahnya
Ryan lalu tersenyum sinis.
"Kau pikir aku akan percaya dengan ucapanmu barusan?"
"Sebelumnya kau bilang padaku bahwa kau tidak ingin kita kembali bersama. Lalu kau tiba-tiba datang kemari dan melihat semua ini.. kau bilang kau ingin kita kembali lagi seperti dulu? Apa kau memandang perasaanku begitu rendah, sehingga kau pikir dengan mudahnya aku akan menerima semua keputusanmu itu, meskipun tidak dengan tulus?" ucap Ryan tidak senang
"Oka, sebaiknya kau bawa Mamamu kembali sebelum aku melakukan tindakan lebih gila lagi disini.." ucap Ryan dingin
"Mas.. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Aku minta maaf karena aku tidak jujur padamu sebelumnya.."
"Saat itu aku takut.. Aku begitu khawatir kau akan kecewa padaku.. karena sebelumnya kau mengungkit soal masalah Roy.. Aku tidak ingin mendengar ungkapan kekecewaanmu lebih jauh padaku. Oleh karena itu, aku memilih menjauh untuk menghindar sambil mengatakan semua itu padamu.."
"Perasaanku yang sebenarnya.. aku ingin kita kembali bersama seperti dulu lagi Mas.. menjadi keluarga utuh.. berperan menjadi orang tua bagi anak kita, Oka.."
Ryan terdiam. Saat itu aku bingung membaca ekspresi diwajahnya.
"Mas, tidak bisakah aku menarik ucapanku kembali dan kita kembali bersama seperti dulu?"
"Apa kau sungguh-sungguh?" tanyanya masih meragukanku
Aku pun kemudian mengangguk menjawabnya.
Aku mendekatinya, berusaha untuk kembali merebut minuman yang ada ditangannya.
"Apa yang membuatmu yakin ingin kembali padaku? Aku tahu hatimu hanya setengah-setengah. Kamu masih mencintai Aris kan?"
"Mas.." bantahku
"Katakan padaku ya atau tidak? Aku tidak butuh penjelasan yang lain.." ucap Ryan kembali meminta jawaban
Aku pun kembali terdiam, lalu kemudian menjawab
"Maafkan aku.." jawabku
"Bukannya aku setengah-setengah mencintaimu Mas. Aku hanya tidak bisa menghilangkan semua perasaanku pada Aris.. perasaan bersalahku padanya.."
Saat itu Ryan kemudian meletakkan kembali botol minumannya diatas meja dan langsung pergi keluar unit, meninggalkan kami semua disana. Kemudian respon Oka saat itu,
"Ma..?" seolah dia tidak terima mendengar jawabanku itu yang mengatakan bahwa aku masih memiliki perasaan terhadap Aris
Lalu Oka pun pergi keluar menyusul Ryan disana.