Aku terkejut melihat penampilan Ryan yang babak belur seperti itu. Wajahnya penuh dengan luka, begitu pula dengan bajunya yang kotor dan berantakan. Meskipun awalnya aku ingin mengabaikannya dengan langsung masuk kembali kedalam dan menutup pintunya, tetapi.. melihatnya dengan kondisi seperti ini, aku jadi tidak tega.
"Mas baik-baik saja? Kenapa bisa seperti ini Mas? Apa yang terjadi? Mas habis berkelahi dengan siapa?" tanyaku begitu khawatir
Ryan tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya tersenyum. Kemudian aku pun mempersilahkannya masuk kedalam dan mencoba untuk mengobati lukanya.
Saat itu Ryan terlihat begitu bahagia melihatku yang begitu telaten merawat luka-lukanya. Sambil sesekali dia meringis menahan rasa sakit ketika aku menaruh salep itu diwajahnya, dia terlihat menatapku dalam, dari jarak yang sangat dekat.
"Aku senang.. sepertinya aku memilih keputusan yang tepat dengan datang kemari."
"Makasih ya Sayang. Walaupun dalam kondisi kamu yang sekarang (kita yang sudah berpisah), kamu tetap mau ngelakuin ini sama aku." ucap Ryan tersenyum menatapku
"Kalau seperti ini, aku jadi semangat lagi nih untuk bisa membuatmu kembali menjadi istriku. Tidak peduli bagaimanapun caranya.. aku harus terus berjuang sampai kamu mau kembali padaku.." ucap Ryan sungguh-sungguh sambil menatapku.
Saat itu aku langsung menghentikan apa yang sedang kulakukan itu padanya. Aku kemudian berdiri dan langsung pergi meninggalkannya.
"Sayang, kamu mau kemana?" tanya Ryan seraya mengikutiku ke dalam
"Aku mau mengambil minuman didapur. Mas mau teh anget?" tanyaku menawarkan padanya
Namun saat itu reaksi Ryan,
"Sayang aku bisa pinjam kasurmu sebentar. Kepalaku agak pusing.. aku mau beristirahat sebentar disini."
Tanpa menunggu jawaban dariku, Ryan dengan sendirinya pergi dan masuk kedalam kamar.
Dan ketika aku selesai membuatkan teh untuknya,
"Apa yang Mas lakukan?" tanyaku terkejut saat melihat Ryan sudah melepaskan pakaiannya
"Sayang, kenapa kamu gak pakai AC dikamar ini. Panas banget.. Aku gerah.. Gimana aku bisa tidur kalau begini.."
"Memangnya aku pernah bilang untuk mengizinkan Mas tidur disini? Selesai Mas menghabiskan minumannya, Mas harus segera pergi dari sini.." ucapku yang membuat Ryan tidak senang
Saat itu tiba-tiba saja Ryan,
"Akhhh.. Aaakkhhh.. Akkhh.." Ryan meringis kesakitan sambil memegang kepalanya
"Mas.. Mas.. Mas kenapa?" tanyaku panik sambil mendekat dan duduk ditepi ranjang dekat dengannya.
Melihatku yang duduk seperti itu, Ryan tidak melewatkan kesempatannya untuk langsung menaruh kepalanya yang kesakitan itu di atas pangkuanku.
"Ahhh... Begini jauh lebih baik." ucapnya ketika dia berhasil mendaratkan kepalanya dipangkuanku
Aku yang tahu bahwa sakit kepalanya itu hanya pura-pura saja, kemudian mencoba untuk bangkit
"Yah.. jangan bangun dong Sayang. Kepalaku beneran lagi sakit ini.."
"Paha kamu itu enak banget. Lebih empuk dan nyaman dari semua bantal yang pernah aku coba yang ada didunia ini.."
"Masih sakit kayak gini, kamu masih bisa aja ngegombal.. Aku tahu, pasti kamu pura-pura kan Mas? Kepalamu itu sebenarnya tidak sakit.."
"Sebentar saja Sayang.. sebentar saja kamu biarin aku tidur seperti ini. Aku janji, begitu aku tertidur pulas nanti dan terbangun, aku akan langsung pergi dari sini. Tapi sebelum itu, izinin aku untuk seperti ini sama kamu ya?" ucapnya memelas sambil memohon padaku
Akhirnya, mau tak mau aku pun mengikuti keinginannya. Tidak lupa dia juga menyuruh tanganku untuk terus mengusap-ngusap lembut kepalanya, sambil dia mencoba berusaha memejamkan matanya untuk tertidur.
Suasana menjadi hening saat itu, hingga tiba-tiba aku mendengar Ryan kembali berkata
"Seandainya waktu bisa berhenti sekarang.. atau aku mati, aku rasa aku bisa mati dengan tenang. Aku bahagia karena aku bisa berada disini sama kamu. Tidur dipangkuanmu.." ucap Ryan sambil masih memejamkan matanya
"Huhs!! Mas gak boleh ngomong kayak gitu ahh.. Mas gak boleh ngomong mati-mati kayak gitu. Aku gak suka dengernya.." ucapku tidak senang
"Jadi kamu gak suka kalau aku mati?" tanya Ryan tiba-tiba membuka matanya
Aku hanya terdiam, tidak menjawabnya. Aku masih mengusap-ngusap lembut rambutnya.
"Sayang.. apa kamu masih punya perasaan sama aku?" tanya Ryan kembali yang membuatku terkejut
"Seandainya iya, aku bakalan seneng banget-banget, tapi.. disisi lain aku juga merasa bersalah sama kamu. Aku tahu aku egois mengharapkan kamu bisa kembali sama aku dan bisa terus mencintaiku.. Sementara aku, aku masih saja melukai perasaanmu dengan masih memikirkan perasaan bersalahku pada Shina.."
Saat itu, Ryan tiba-tiba bangkit dan berdiri. Lalu dia pun mengambil kemejanya dan mengenakannya kembali.
"Aku rasa aku harus pergi sekarang. Terima kasih untuk perawatan luka dan juga sudah mau menjadi bantalku tadi.. Aku pamit dulu.." ucap Ryan tersenyum
Saat itu Ryan tiba-tiba
"Maaf Sayang, tapi aku akan tetap berusaha untuk bisa membuatmu kembali lagi sama aku. Kamu tahu aku masih sangat membutuhkanmu.." dan Ryan pun pergi keluar kamar
Baru beberapa langkah Ryan keluar dari kamar, aku kembali memanggilnya
"Mas.."
Ryan terkejut mendengarku, lalu dia menghentikan langkahnya. Kemudian,
"Besok lusa aku akan ke apartemen menemani Oka disana. Aku hanya ingin memberitahu Mas, siapa tahu Mas juga ingin menemui Oka disana.." ucapku malu-malu sambil sesekali memalingkan mataku dari tatapannya
Ryan yang mendengarku berkata seperti itu kemudian tersenyum.
"Mulai malam ini aku juga akan kembali tinggal diapartemen. Jadi, kapan pun kamu datang, aku akan tetap berada disana kok.." jawab Ryan tersenyum
"Ihh.. memangnya siapa yang bilang aku mau ke apartemen untuk menemuimu. Aku hanya bilang bahwa aku akan kesana untuk Oka kan.."
"Oka atau Papanya sama saja kan. Lagipula wajah kita berdua itu mirip.."
"Tapi setidaknya Oka tidak menyebalkan seperti Papanya.." balasku
"Biarpun nyebelin tapi aku juga kan ngangenin.." goda Ryan kembali yang berhasil membuatku tersenyum
Hingga kemudian, ketika dia akan benar-benar keluar dari rumahku, aku kembali memanggilnya.
"Mas Ryan.." panggilku
"Belum apa-apa aja, ada yang udah kangen.." ucap Ryan kembali tersenyum
"Iihh PD.. Aku cuma mau minta Mas buat minum tehnya. Sudah capek-capek aku buat, malah dianggurin gitu aja."
"Oh, iya aku lupa.. Maaf ya Sayang!" dan Ryan pun lalu duduk dan meneguk habis tehnya.
"Makasih ya. Tehnya enak banget. Sesuai sama seleraku.. sama kayak yang buat." ucap Ryan sambil mengedipkan sebelah matanya
"Udah sana.." aku mencoba mengusirnya
"Yakin gak mau manggil aku lagi nanti? Aku pikir kamu bakal manggil aku lagi buat ajak aku nginep disini.. Kalau begitu aku benar-benar pamit nih.."
"Ya sudah sana pulang.."
"Ihh.. Kok kamu ngusir aku gitu sih Sayang.." ucapnya sedih
Aku pun tersenyum dan Ryan pun berjalan menuju pintu. Namun, saat itu dia tiba-tiba kembali berbalik padaku sambil berkata
"Gak ada pelukan atau goodbye kiss gitu sebelum aku pergi?" goda Ryan kembali
"Kalau ku cubit perutnya Mas mau?"
Ryan lalu tersenyum mendengar tawaranku itu. Kemudian,
"Kalau begitu aku pergi dulu ya. Sampai bertemu lusa nanti diapartemen. Jaga diri kamu baik-baik.. Aku sayang kamu.." Dan Ryan pun benar-benar pergi kali ini.
Tanpa Ryan sadari, saat itu Roy tetap mengikutinya sampai Ryan kembali ke apartemen. Dia tidak mengira bahwa aku dan Ryan akan tinggal terpisah seperti ini.
Dan, hal lain yang lebih membuatnya terkejut adalah ketika dia mengetahui bahwa Shina dan Aris sudah tidak tinggal di apartemennya itu lagi menjadi tetangga kami.
Saat itu Roy kemudian
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka berempat? Ryan dan Lena tinggal terpisah, lalu Lena berjalan dengan Aris.. Kemudian aku melihat Aris dan Ryan yang bertengkar seperti itu.."
"Ngomong-ngomong dimana Shina? Aku tidak melihatnya berada disekitar mereka.. Dia juga sudah lama sekali keluar dari industri hiburan kan? Apa dia juga sudah berpisah dengan Aris?"
Roy terus mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi diantara kami berempat.