Chereads / My New Neighbour / Chapter 195 - Ungkapan Kekesalan

Chapter 195 - Ungkapan Kekesalan

Saat itu di Rumah Sakit, Aris dan Mama

"Telponnya dimatikan..?" tanya Mama

"Mungkin saat ini Lena masih marah pada Ryan. Besok pagi Ibu bisa mencobanya kembali.."

"Bagaimana kalau dia benar-benar marah dan berniat ingin bercerai dari Ryan??" ucap Mama panik

"Ibu tenang saja. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi."

"Kau gampang bicara seperti itu, tapi bagaimana kalau kenyataannya tidak berjalan sesuai harapanmu? Apa aku bisa menuntutmu untuk hal ini, hah??" tanya Mama kembali marah

"Akan saya usahakan. Apapun itu akan saya lakukan Bu.. agar jangan sampai mereka berdua bercerai.. Besok pagi saya akan menemui Lena dan membicarakan masalah ini."

"Kau mau bertemu Lena?" ucap Mama tidak senang

"Tidak usah. Kau tidak perlu menemuinya. Biar aku saja.." ucap Mama kembali

"Siapa yang tahu apa kau benar-benar melakukannya atau tidak. Bisa saja kau mengambil kesempatan ini untuk memperbaiki hubunganmu kembali dengan Lena.." gumam Mama pelan

Sebenarnya Aris, dia mendengar perkataan Mama barusan. Hanya saja dia mencoba untuk menerimanya karena bagaimanapun masalah ini bisa terjadi semua karena dirinya.

Dengan ekspresi datarnya itu, akhirnya Aris memilih untuk pamit pada Mama. Namun sebelum Aris pergi, Mama sempat menanyakan nomor telponnya. Mungkin untuk berjaga-jaga, jika suatu saat dia membutuhkan bantuannya.

Pada pagi harinya di kamar rawat Ryan, Mama dikejutkan oleh Ryan yang tiba-tiba menghilang dari ranjangnya. Mama yang panik kemudian memanggil semua perawat yang ada di lantai tersebut untuk menanyakan keberadaan Ryan. Mama terlihat marah sekali saat itu, bahkan Mama berniat ingin menuntut Rumah Sakit tersebut karena membiarkan seorang pasien yang sedang masa perawatan keluar begitu saja dari sana. Setelah puas melampiaskan semua emosinya di Rumah Sakit, akhirnya Mama menelpon Ryan.. tapi Ryan tidak menjawabnya. Berkali-kali Mama berusaha menghubunginya, tetapi Ryan tetap tidak mau menjawabnya.

Mama yang kesal dengan ulah Ryan, akhirnya memutuskan untuk mencari Ryan di rumah Papa. Dan begitu tiba disana, Mama terkejut melihat ada bendera kuning, terop, dan beberapa kursi yang terjajar rapi disana.

"Bi, ini.." ucap Mama lemah, seperti sedang menyaksikan peristiwa yang tidak diharapkannya akan terjadi.

"Tuan besar telah pergi meninggalkan kita semua, Nya. Kemarin siang sekitar pukul 2, dia menghembuskan nafas terakhirnya disini.." jelas Bi Siti

Saat itu Mama terlihat lemas dan seperti akan terjatuh, hingga Bi Siti akhirnya berhasil membantu menopang tubuhnya.

"Lena.. Dimana Lena..?" tanya Mama kembali

"Ibu Lena sudah pergi dari tadi pagi-pagi sekali. Kasihan dia Nya.. dari kemarin dia terus menerus mengurung dirinya dikamar Tuan. Tidak mau makan, minum.. sarapan juga. Bahkan, acara pengajian juga Ibu memilih untuk tidak keluar kamar. Jadi terpaksa saya dan Pak Asep yang menemani dan mendampingi para tamu yang datang melayat Tuan.." ucap Bi Siti menjelaskan

Saat itu, Mama kembali mengambil handphone dari tasnya dan menghubungiku. Handphoneku masih mati dan tidak aktif. Lalu, Mama mencoba menghubungi Ryan kembali.. Ryan juga handphonenya telah mati. Mama yang terlihat khawatir dan panik,

"Apa Ibu Lena ada bilang dia mau pergi kemana?"

Bi Siti menggeleng seraya menjawab

"Tidak. Ibu hanya bilang ingin mengurus sesuatu dan dia langsung pergi begitu saja.."

Mama kembali membuka ponselnya menghubungi Heru. Tidak hanya Heru, tapi semua orang yang bisa dihubunginya saat itu dihubunginya. Mereka semua diminta untuk mencari keberadaan aku dan juga Ryan.

Sementara itu, di tempat lain di sekolah Oka.. Saat itu aku hendak pamit pada anakku. Selain itu, aku juga ingin memberikan semua kartu pemberian Ryan itu padanya. Setidaknya dengan kartu-kartu itu, Oka dapat memenuhi semua kebutuhannya selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Satu tahun.. Tidak. Aku tidak mungkin pergi meninggalkannya selama itu kan. Tapi paling tidak semua kartu-kartu ini bisa memenuhi semua kebutuhannya sampai tahun depan. Lagi pula, anakku Oka juga tidak boros seperti aku. Aku yakin dia bisa mengatur semua pengeluarannya dengan bijak.

Aku dari pagi sekali, setengah enam sudah menunggunya di gerbang sekolahnya. Aku sengaja tidak menemuinya di apartemen karena khawatir akan bertemu Ryan, Aris, atau pun Shina disana. Entahlah.. saat itu yang ada dipikiranku, aku hanya ingin menghindar dari orang-orang itu. Mungkin tidak hanya mereka, tapi semua orang. Handphoneku juga sudah kutinggal dirumah Papa. Aku berpikir aku akan pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri. Meskipun aku tidak tahu kemana aku akan pergi.. Tapi aku pergi untuk menata hidupku kembali. Hidupku seorang diri.. tanpa Papa dan juga Ryan.

Seketika itu, air mataku kembali turun mengenang dua orang itu. Papa dan juga Ryan.. Mereka berdua.. orang-orang yang sangat ku sayang dihidupku. Kenapa mereka berdua meninggalkanku..?

"Papa.. Kenapa Papa pergi secepat ini Pa? Lena belum siap.. Lena masih membutuhkan Papa untuk menghadapi semua ini.." ucapku dalam hati sambil mengeluarkan air mata.

Dan juga Mas Ryan.. Bagaimana kondisinya sekarang? Apa dia sudah sadar? Apa yang sedang dia lakukan? Meskipun aku sangat ingin tahu dan masih merindukannya, tapi aku berusaha melawan kehendak hatiku untuk tidak menemuinya. Aku masih belum siap dengan semuanya. Terlebih saat dia berkata langsung padaku nanti bahwa dia akan memilih kembali pada Shina dan menceraikanku. Aku sungguh tidak siap mendengarkanmu mengatakan itu semua Mas..? Aku terus menangis sambil memikirkan itu semua.. hingga setelah beberapa saat menunggu sambil duduk diterotoar, seseorang tiba-tiba datang manyapaku.

"Tante..?" ucap Rani

Seketika itu aku lalu menyeka air mataku dan mencoba tersenyum untuk membalas sapaannya.

"Hai Rani..!" balasku mencoba menghilangkan kesedihan dan dukaku saat itu.

"Tante kenapa bisa duduk disini? Tante tidak apa-apa?" tanya Rani kembali

"Tante tidak apa-apa Sayang. Kamu baru datang ke sekolah? Ngomong-ngomong Oka mana? Kalian tidak berangkat ke sekolah bersama?"

"Oka.. sepertinya hari ini tidak bisa masuk sekolah."

Aku begitu terkejut mendengar Rani berkata seperti itu. Aku yang panik kemudian,

"Oka kenapa? Apa dia sakit?? Apa dia baik-baik saja Rani?" tanyaku cemas

"Oka dia baik-baik saja Tante.. Dia tidak sakit. Hanya saja.."

"Kenapa?" tanyaku memotong tidak sabaran

"Hanya saja tadi ada Papa Ry.. Ehh, maksud Rani Om Ryan datang ke apartemen dan Oka tidak masuk sekolah hari ini untuk menemaninya. Oka bilang Papanya itu baru keluar dari Rumah Sakit dan kondisinya tidak sehat. Bahkan dia juga sempat cerita, kalau Papanya sempat mengalami kecelakaan dan sepertinya.." Rani tiba-tiba menghentikan kata-katanya.

Dia lalu memelankan suaranya sambil berbisik ditelingaku,

"Oka bilang Papanya baru saja kabur diam-diam dari Rumah Sakit karena pada saat itu Om Ryan masih memakai baju pasien.."

"Tante jangan bilang siapa-siapa ya. Oka menyuruh Rani untuk tidak menceritakan ini pada siapapun, termasuk Neneknya.." ucap Rani melanjutkan

Aku begitu shock mendengar penjelasan dari Rani tadi. Mas Ryan kabur dari Rumah Sakit?? Bagaimana bisa? Dia itu kan sedang terluka  pasca mengalami kecelakaan. Apa dia keluar untuk mencariku? pikirku merasa kasihan padanya.

Namun, pada saat aku menatap Rani kembali aku jadi mengingat Shina. Entah kenapa hal itu membuat hatiku sakit. Mungkin Mas Ryan memilih untuk kabur ke apartemen agar bisa lebih dekat dengan Shina. Benar juga.. Kalau dia mencariku harusnya dia mencariku ke Rumah Papa bukannya apartemen, pikirku sedih.

Rani kembali memanggilku.

"Tante.. Tante mau bertemu Oka?" tanya Rani kembali

"Tante kan bisa pulang ke apartemen untuk bertemu Oka dan Om Ryan disana.." ucap Rani kembali

Namun saat itu aku memilih untuk menjawab

"Rani.. Tante tidak bisa pulang sekarang. Ada sesuatu yang mau Tante urus.."

"Sebenarnya Tante mau menitipkan ini pada Oka.." sambil aku memberikan dompet yang berisi kartu-kartu tersebut pada Rani.

"Tante mungkin akan pulang telat dan agak malam.. Rani kan pulang sebelum itu, jadi Rani saja nanti yang berikan ini pada Oka ya.."

Rani mengangguk menyetujuinya. Dan setelah memberikan dompet itu pada Rani, aku pun pamit pergi.

Namun, ada satu hal yang aku tidak tahu bahwa ternyata pada saat itu Aris menelpon Rani. Dia mengkhawatirkan putrinya yang pergi sekolah sendiri menggunakan transportasi online. Untuk mengecek apakah putrinya itu baik-baik saja dan telah sampai disekolahnya dengan selamat, Aris menghubunginya. Tentu saja Rani menceritakan semuanya bahwa dia bertemu denganku dan aku menitipkan sebuah dompet untuk Oka. Kemudian Aris meminta Rani untuk menahanku agar aku tidak beranjak pergi dari sana. Kebetulan saat itu aku masih menunggu ojek mobil yang datang menjemputku (belum beranjak dari tempat itu), Rani tiba-tiba datang kembali menghampiriku

"Tante.." sapa Rani memanggilku

"Rani?" aku terkejut Rani tiba-tiba menghampiriku

"Sebenarnya Rani.."

"Ada apa Sayang?" tanyaku khawatir

"Rani lapar.. Tante keberatan tidak kalau menemani Rani sarapan?"

"Memangnya Rani tidak sarapan tadi ke sekolah?"

Rani menggeleng seraya menjawab tidak. Saat itu Rani terlihat seperti berbohong. Aku tahu.. hanya saja aku tidak tahu kalau Aris yang menyuruhnya berkata seperti itu untuk menahanku lebih lama bersama dengannya. Aku kira Rani tidak suka untuk mengikuti jam pelajaran olahraga pertama dikelasnya karena pada saat itu dirinya terlihat mengenakan pakaian olahraganya.

Aku menerima ajakannya karena kebetulan aku juga sangat lapar. Aku baru ingat kalau dari kemarin aku belum makan apa-apa.

"Rani mau makan apa?"

"Terserah Tante.." jawab Rani yang membuatku semakin yakin bahwa dia memang benar-benar tidak ingin masuk jam pelajaran olahraganya saat itu.

Lalu aku pun mengajak Rani berjalan disekitar lingkungan dekat sekolahnya. Akhirnya, setelah berjalan beberapa saat kami menemukan tukang bubur yang sedang mangkal didekat gang. Dan aku pun mengajaknya untuk makan bubur.

"Tante juga suka bubur?" tanya Rani tiba-tiba saat kami sedang makan disana

"Sama dengan Ayah berarti.."

"Kalau Rani, Rani suka bubur buatan Ayah dan juga Nasi gorengnya.."

"Iya. Bubur dan Nasi goreng buatan Ayahmu memang enak."

"Tante pernah mencobanya?"

"Iya.. tapi sudah lama sekali. Saat Tante masih kuliah bersama Ayahmu dulu.."

Saat itu tiba-tiba saja Aris muncul dihadapan kami dan membuatku terkejut. Tidak hanya Aris, tapi ada Mas Ryan juga disana. Sontak saja aku refleks langsung berdiri dari tempat dudukku pada saat mereka mendekat dan menghampiri kami.

"Maafin Rani Tante.." ucap Rani merasa bersalah karena telah membohongiku.

Saat itu Rani langsung menghampiri Aris yang ada diddepannya. Dan Aris pun lalu menyuruhnya untuk pergi kembali kesekolah.

"Sayang.." sapa Ryan padaku

"Aku minta maaf. Ini semua tidak seperti yang kamu kira.. Aku bisa jelasin semuanya.."

"Aku tidak bermaksud untuk menceraikanmu Sayang, aku hanya.."

"Cukup!!! Aku tidak butuh penjelasan apapun darimu Mas. Mas mau kita bercerai kan? Baik. Aku tidak keberatan. Bahkan aku sudah meminta tolong pada Mas Heru agar mengurus semua proses perceraian kita dengan cepat."

"Mas ingin kembali lagi pada Shina.. ingin memberikan bunga dan hadiah-hadiah itu padanya.. ingin bermalam bersama dengannya di Villa.. atau bahkan menyuruh para bodyguard-bodyguard itu untuk menjaganya 24 jam seharian penuh, aku tidak peduli!! Yang aku ingin.. Mas jangan pernah lagi memintaku untuk kembali lagi padamu karena aku tidak akan pernah mau!!"

"Dengar Sayang, masalah bunga dan hadiah-hadiah itu bisa aku jelasin semuanya. Aku.."

"Aris.. Maaf sebelumnya kalau waktu itu aku tidak sempat membalas perasaanmu. Mungkin setelah perceraianku nanti, aku akan memikirkan kembali tentang hubungan kita.." ucapku dengan sengaja pada Aris untuk membuat Ryan kesal

"Sayang..?" respon Ryan tidak senang

"Aku tahu kau masih memiliki perasaan padaku. Pada saat kau menciumku dilorong waktu itu.. aku menyadarinya kau ternyata masih mencintaiku.."

"Apa..? Menciummu?!! " ucap Ryan marah sambil menaikkan intonasi suaranya

Seketika itu dia pun langsung menghajar Aris. Tidak hanya sekali atau dua kali tapi berkali-kali dia melayangkan tinjunya pada Aris.. tapi anehnya Aris tidak berusaha untuk membalasnya sehingga membuatku merasa bersalah padanya.

"Mas Ryann, cukup!! Jangan menghajarnya.."

"Mas Ryan?!!!" aku berusaha melerainya tapi sia-sia

"Kalau kau menghajar Aris lagi, maka aku tidak akan pernah menemuimu lagi seumur hidupku. Aku berjanji, aku benar-benar tidak mau bertemu denganmu lagi Mas..!"

Dan seketika itu Ryan pun langsung menghentikannya.

Saat itu aku lalu menghampiri Aris,

"Mas Aris kau tidak apa-apa? Maafkan aku Mas.. Aku.." aku menghentikan kata-kataku karena ada tatapan Ryan menusuk kearahku, yang seolah tidak senang melihatku begitu perhatian pada Aris

"Lebih baik kita pergi dari sini dan mengobati lukamu.." ucapku kembali sambil memegang lengan Aris

Dan akhirnya aku dan Aris pergi meninggalkan Ryan dengan semua emosi dan amarah yang hanya bisa dipendamnya didalam hati.