Ryan dan Mama begitu terkejut mendengar ucapanku barusan. Sebenarnya saat itu, aku tidak mengira kalau Mama ternyata juga ada disana. Aku tidak menyadarinya. Aku jadi tidak enak telah mengatakan itu semua didepannya.
Kemudian, respon mereka berdua ketika aku meminta untuk berpisah dari Ryan
"Sayang..?" ucap Ryan seolah tak terima
"Lena..!!" Mama pun turut tidak senang mendengarnya
"Aku sudah mempertimbangkannya. Mungkin perpisahan adalah yang terbaik untuk kita berdua, Mas."
"Maafkan aku kalau aku menginginkan seperti ini. Aku terlalu lelah menghadapimu.. menghadapi semuanya.. serta tuduhanmu itu. Aku hanya tidak menyangka bahwa selama ini.. belasan tahun yang kita lalui bersama dalam pernikahan kita.. itu tidak berarti apa-apa."
"Jujur, aku sangat-sangat kecewa terhadap sikapmu. Kau mengira aku sengaja mengungkit masalah perceraian ini karena Aris. Karena aku menginginkan untuk kembali bersama dengannya. Mungkin memang benar, aku masih memikirkan Aris hingga saat ini. Terlebih lagi ketika dia telah mengungkapkan semua perasaannya itu padaku. Hanya saja aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk bisa kembali dengannya dan meninggalkanmu.."
"Aku hanya tidak habis berpikir, bagaimana bisa kau menuduhku seperti itu. Mengataiku picik.."
"Dan satu hal lagi yang membuatku sangat kecewa padamu adalah pada saat kau lebih memilih Shina dan mengabaikanku sendirian disana.."
"Kau mungkin tidak tahu.. aku sempat pingsan waktu itu. Aku mengira saat itu kau marah karena aku telah membohongimu dengan tidak berkata jujur bahwa sebelumnya aku sedang berada diapartemen hanya berduaan saja dengan Aris. Tidak kusangka kau akan terus mengabaikan semua panggilan dan pesanku itu. Bahkan, hingga semalaman.. dan lebih memilih untuk tinggal berdua saja dengan Shina disini.."
"Aku benar-benar kecewa sama kamu, Mas. Aku benci kamu!!! " ucapku menjelaskan sambil menangis
"Sayang maafin aku.." Ryan benar-benar menyesal dan merasa bersalah.
Saat itu dia hendak memelukku kembali, tapi aku kembali menolak dan menepis tangannya dengan kasar.
"Lena Sayang, apa kau sadar dengan apa yang baru saja kau ucapkan? Perceraian itu tidak bisa diputuskan secara gegabah.. Terutama saat emosimu tidak stabil seperti ini." Mama memberiku nasihat
"Maafkan Lena Ma.. tapi Lena tidak mau lagi berhubungan dengannya. Lena muak.. Lena benci..!"
"Sayang..?" Ryan masih memohon dan terlihat frustasi
Kali ini Ryan terlihat benar-benar menyesali perbuatannya. Dia terus menerus memohon permohonan maafnya padaku, tapi aku sudah kebal dengan semua permohonan maafnya itu.
"Aku nyesel udah lakuin itu semua ke kamu. Aku minta maaf Sayang.." ucap Ryan kembali memohon
"Kamu boleh pukul aku, tampar aku, atau apapun. Kamu boleh lampiaskan semua rasa kekesalanmu itu padaku, tapi aku mohon.. kamu jangan minta kita untuk bercerai. Aku gak mau pisah dari kamu.."
"Sayang, aku mohon.. Maafin aku.. Aku benar-benar menyesal.. Aku minta maaf.." Ryan, dia tiba-tiba ikut menangis sambil berlutut dihadapanku.
Pada saat itu, tiba-tiba suara panggilan telponku berbunyi. Aku sempat terkejut karena ternyata itu dari Papa. Dengan cepat aku berusaha menjauhkan diri dari Ryan dan juga Mama, kemudian menyeka air mataku dan langsung berusaha senormal mungkin untuk menjawab panggilannya.
"Pa..?" ucapku menjawab dengan nada parau
"Lena kamu dimana?" tanya Papa setengah berteriak
"Lena saat ini ada di luar Pa."
"Apa kau sedang bersama ibu mertuamu? Kalian pergi kemana pagi-pagi seperti ini tanpa berpamitan padaku?" ucap Papa tidak senang
"Maafkan Lena, Pa. Tadi kami terburu-buru pergi. Dan Lena juga tidak tega untuk membangunkan Papa karena.." saat itu tiba-tiba saja Ryan mengambil handphoneku
"Ryan sedang ada dipuncak bersama Mama dan juga Lena. Maaf kalau jadi mengkhawatirkan Papa.."
"Mama dan Lena tadi kemari untuk menjemput Ryan disini. Ryan yang meminta mereka. Maaf kalau mereka berdua pergi tanpa berpamitan pada Papa.." ucap Ryan menjelaskan dengan tiba-tiba
"Apa semuanya baik-baik saja Ryan? Kau tidak sedang bertengkar dengan Lena disana kan?" tanya Papa kembali
"Iya Pa. Kami bertiga baik-baik saja disini. Kami bertiga akan pulang ke rumah Papa sekarang."
"Bisa aku bicara dengan Lena?" tanya Papa kembali
Ryan lalu memberikan telponnya padaku.
"Sayang, apa semuanya baik-baik saja? Kau tidak bertengkar dengan Ryan kan?"
"Iya Pa. Kami baik-baik saja disini.."
Saat itu Ryan kembali mengambil handphonenya.
"Paaa.." ucap Ryan kembali
"Apa boleh nanti Ryan dan Lena untuk sementara waktu tinggal dirumah Papa? Nanti Ryan dan Lena akan menempati kamar Lena diatas. Lena bilang dia ingin tinggal dirumah bersama Papa untuk sementara waktu.." ucap Ryan kembali yang berhasil membuatku terkejut dan melotot ke arahnya
"Iya tidak masalah. Justru Papa senang kalau kalian berdua memutuskan untuk tinggal disini bersama Papa."
"Kalau begitu mulai nanti malam kami akan menginap dirumah Papa ya?" tanya Ryan kembali memastikan
"Iya.." jawab Papa senang
"Kalau begitu Ryan tutup dulu telponnya ya Pa. Sampai jumpa nanti dirumah.."
"Iya Ryan. Kalian hati-hati.." Dan Ryan pun langsung menutup panggilannya.
Sesaat kemudian,
"Apa yang Mas lakukan?" tanyaku tidak senang pada Ryan sambil mengambil handphoneku kembali
"Aku hanya melakukan sesuatu yang seharusnya aku lakukan. Menyelamatkan rumah tangga kita.." jawab Ryan
"Jangan Mas pikir aku akan berubah pikiran setelah mendengar semua hal yang kau ucapkan tadi pada Papa. Aku hanya tidak ingin Papa terkejut dan menjadi shock dengan keputusan yang akan kuambil itu."
"Jadi kau tidak mau memberi tahu Papa bahwa kau ingin bercerai dariku?" tanya Ryan kembali memastikan
Saat itu aku terdiam, berusaha menahan ekspresiku. Tentu saja aku tidak akan memberitahukan masalah ini kepada Papa. Aku hanya tidak ingin membuatnya khawatir. Nanti yang ada penyakit jantungnya kambuh lagi. Maksudku, mungkin nanti setelah kita benar-benar resmi bercerai dan pengadilan sudah menetapkan keputusannya, baru perlahan-lahan aku akan menceritakan semuanya pada Papa mengenai perceraianku itu.
"Ayo kita pulang! Papa pasti sudah tidak sabar menanti kita dirumah." ajak Ryan padaku sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya.
Aku yang masih kesal dangannya memilih langsung jalan tanpa menghiraukan uluran tangannya itu.
Sesampainya kami di Villa, aku memilih untuk menaiki mobil Mama, berusaha menghindar darinya. Namun tiba-tiba Ryan, dia ikut duduk disebalahku. Aku yang tidak senang dengan hal itu kemudian pindah dan duduk didepan. Ryan pun ikut pindah duduk didepan. Saat aku kembali akan pindah duduk dikursi belakang, Ryan tiba-tiba berkata padaku
"Segitu sebel dan bencinya kamu sama aku, sampai-sampai kamu menolak untuk duduk disebalahku.." ucap Ryan menggerutu
"Aku hanya tidak ingin membuat Papa salah paham dan mengira kita sedang bertengkar nanti. Tidak apa-apa kalau kamu mau duduk dibelakang sama Mama, tapi nanti pada saat akan mendekati rumah kamu bisa pindah duduk kembali didepan disampingku.."
Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak jadi pindah. Ryan terlihat sedikit tersenyum saat itu.
Sepenjang perjalanan aku hanya duduk terdiam disampingnya sambil memalingkan wajahku. Tanpa berkata-kata atau menjawab pertanyaannya yang sesekali atau dua kali ditanyakannya padaku. Bahkan, ketika dia berusaha membuatku tertawa dengan lelucon yang dibuatnya itu, aku sama sekali tidak meresponnya. Aku masih kesal dengannya. Tidak. Aku membencinya..
Ditempat lain diapartemen Aris, terlihat Shina yang baru kembali. Dia memasuki kamarnya dan melihat sekelilingnya, tidak ada yang berubah. Kemudian dia kembali mengecek lemari pakaian. Dia melihat semua baju-baju Aris masih ada disana, lengkap. Bahkan, semua baju yang dulunya sudah dia pindahkan saat dirinya pergi meninggalkan apartemen kini telah berada disana lagi. Shina merasa lega.
Dia kemudian terduduk di kasur sambil melamun memikirkan kira-kira hal apa yang akan disampaikan Aris nanti padanya. Dia begitu gelisah dan cemas seharian menunggu Aris disana. Memikirkan tindakan apa yang seharusnya dia lakukan, jika ternyata Aris benar-benar ingin meminta berpisah darinya.
Saat itu, Shina tiba-tiba mengingat janin yang ada didalam kandungannya. Dia kemudian menitikkan air matanya. Sambil memegang perutnya itu dia berkata
"Kenapa setiap kali aku hamil selalu saja terjadi seperti ini. Seolah Ayah dari anak yang ada dalam kandunganku itu lebih memilih untuk pergi meninggalkanku sendirian dalam kondisiku ini.." ucap Shina sedih
"Aku tidak akan meninggalkanmu.." ucap Aris tiba-tiba ketika dia memasuki kamarnya.
Shina nampak begitu terkejut saat itu. Dengan cepat, dia segera menghapus air matanya agar tidak terlihat oleh Aris.
"Apa aku pernah bilang bahwa aku akan pergi meninggalkanmu sendirian? Terlebih dengan status kita sekarang sebagai suami istri dan juga aku sebagai ayah dari anak yang ada dalam kandunganmu itu.."
Aris, dia kemudian duduk (setengah berjongkok) sambil memandangi perut Shina yang ada dihadapannya.
"Jadi sudah berapa bulan usia Aris junior yang ada didalam sana?" tanyanya kembali yang seketika membuat muka Shina berubah menjadi merah karena malu.