Aku begitu terkejut mendengar Ryan berkata seperti itu. Dengan refleks, akhirnya aku mematikan panggilanku pada Aris.
"Kalau kamu ada pertanyaan yang mau kamu tanyain mengenai ingatanmu itu, kamu kan bisa tanya langsung ke aku. Tidak perlu menghubungi Aris segala. Aku tidak suka.." ucap Ryan dingin sambil mendekat ke arahku
Ryan kemudian duduk disampingku sambil menatapku dengan pandangan tajamnya itu.. dia membuatku gugup dan merasa tertekan.
Untuk menghilangkan keteganganku, aku pun memilih berdiri dan menghindar. Saat itu aku ingin mencari Oka untuk mengembalikan handphonenya. Namun tangan Ryan kembali menahanku.
"Kamu mau menghindar.. Kenapa? Apa pertanyaan yang mau kamu tanyakan ke Aris itu begitu sensitif dan rahasia sehingga membuatku yang berstatus sebagai suamimu ini tidak berhak untuk tahu?" saat itu Ryan terlihat benar-benar kecewa
Jujur, aku merasa sedikit tersindir mendengarkan perkataannya. Benar juga, aku telah menikah dengannya dan dia berstatus sebagai suamiku sekarang. Bagaimana aku bisa melupakan kenyataan ini, pikirku keluh.
Ryan yang merasa bahwa tidak ada satu pun dari perkataannya yang kurespon kemudian melepaskan tanganku. Dia kemudian berdiri pergi meninggalkanku keluar kamar. Aku benar-benar merasa bersalah saat itu.
"Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus mengejarnya dan meminta maaf?" pikirku bingung
Akhirnya aku pun keluar dan mengejarnya.
"Ryan.. Ryan.. Mas Ryan tunggu.." panggilku
Ryan yang marah, dia terus saja pergi dan tidak mempedulikan panggilanku itu. Ryan berjalan menuruni tangga begitu cepat dan aku pun turut menyusul dibelakangnya. Aku terus menerus memanggilnya, tetapi Ryan dia tetap tidak mau berhenti. Aku kemudian mempercepat langkah kakiku menuruni tangga, hingga tiba-tiba karena kecerobohanku.. aku sempat terpeleset dan akan terjatuh. Saat itu tiba-tiba saja tangan Ryan menahan tubuhku. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa dengan cepat muncul didepanku dan memegang tubuhku agar aku tidak sampai terjatuh, tetapi berkatnya aku benar-benar tertolong. Saat itu aku benar-benar terkejut dibuatnya.
"Aku paling tidak suka dengan rumah bertingkat yang memiliki banyak anak tangga.. itulah mengapa aku lebih memilih tinggal diapartemen yang memiliki fasilitas lift atau elevator. Sebab aku tahu, aku memiliki seorang istri yang sangat ceroboh.." ucap Ryan menyindirku
Setelah mengatakan itu, Ryan kemudian membantuku untuk berdiri dan menuruni tangga secara perlahan. Aku sempat malu dibuatnya. Mukaku memerah. Dan setelah menuruni anak tangga terakhir,
"Maafkan aku Ryan.. Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikan sesuatu darimu. Aku hanya tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang akan kutanyakan nanti.. Aku benar-benar minta maaf.."
Setelah mengucapkan permintaan maafku pada Ryan, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang berat di kepalaku. Aku merasa pusing.. hingga membuatku sampai kehilangan kesadaran.
Beberapa saat setelah aku tersadar, aku senang.. Ryan, ternyata dia ada disampingku.
"Sayang.. Kamu sudah sadar?" ucap Ryan merasa lega
"Apa kamu baik-baik saja? Kepalamu masih sakit??" tanyanya khawatir
Saat aku memperhatikan sekitar, ternyata ada Papa dan juga Oka disana. Mereka semua terlihat khawatir.
"Sayang..??" tanya Ryan kembali padaku
"Sudah Ryan, jangan dipaksakan.. Mungkin saja ingatannya masih belum pulih. Kau tidak usah menanyakan apa-apa lagi padanya? Lihatlah.. dia terlihat bingung.." ucap Papa
Ingatanku belum pulih..? Apa maksudnya perkataan Papa? Apa sebelumnya aku sempat mengalami amnesia.. pikirku.
Kemudian Ryan,
"Lena, apa kau baik-baik saja? Ini aku Ryan suamimu Sayang.. Lena, aku mohon jawab aku.."
Saat itu entah kenapa aku tiba-tiba ingin tertawa. Aku tidak percaya, Ryan dia memanggilku dengan sebutan nama saja. Sepertinya tebakanku benar bahwa aku sempat mengalami amnesia, hingga tiba-tiba aku pun kemudian terpikirkan sebuah ide untuk mengerjainya.
"Aku dimana? Kau siapa.. Suamiku??" ucapku berakting, pura-pura bingung
"Sayang.." ucap Ryan lirih, memelas.. Dirinya kecewa karna ternyata ingatanku itu belum kembali pulih.
"Maafkan aku tapi aku tidak mengenalmu. Tadi kau bilang namamu Ryan kan? Apa benar kau adalah suamiku??" tanyaku kembali yang membuatnya tidak senang
Tanpa menjawab pertanyaanku, Ryan kemudian berkata pada Papa
"Pa, sepertinya kita harus memanggil Dokter Rivan kemari.. Kondisi Lena sudah semakin parah." ucap Ryan panik
"Papa..? Papaa.." aku memanggil Papa
Papa terlihat senang saat itu karena mengira aku masih mengingatnya. Hingga akhirnya Papa memelukku sambil menangis haru.
"Lena Sayang.. Kau masih mengingatku Nak?" ucap Papa mengeratkan pelukannya padaku
"Maafkan Lena Pa. Lena tidak bermaksud membohongi Papa. Lena hanya ingin mengerjai Ryan saja saat ini.." ucapku dalam hati ketika Papa memelukku
"Kalau aku Ma.. Apa Mama bisa mengingatku?" tanya Oka cemas
"Kau.. Kau Oka kan. Kau anakku. Putraku satu-satunya Octavian Adi Putra.." jawabku yang membuat Oka merasa senang
Saat itu Ryan, aku bisa membaca ekspresi kekecewaan dari wajahnya. Mungkin dia berpikir, kenapa aku tidak bisa mengingat dirinya. Kenapa hanya dirinya saja yang tidak bisa ku ingat. Sungguh.. membayangkan dia berkata seperti itu dalam benaknya membuatku benar-benar ingin tertawa.
"Pa.. Izinin Ryan membawa Lena untuk menemui dokter Rivan di Rumah Sakit sekarang. Lena tidak mungkin terus menerus tidak mengingat Ryan Pa, Ryan suaminya sendiri.." ucap Ryan memohon pada Papa
"Tidak. Aku tidak mengijinkannya.. Kalau mau, kau bawa saja dokter itu kemari. Jangan keluar dan membawa Lena pergi, aku masih belum mempercayaimu.." ucap Papa dingin
"Tapi Pa, dokter Rivan itu dokter psikiater terbaik di sini. Jadwalnya penuh sampai 2 bulan ke depan dan dia hanya bertugas di Rumah Sakit X. Ryan mohon Pa.. Izinin Ryan membawa Lena berobat pada dokter Rivan ya? Setelah itu apapun yang Papa minta akan Ryan penuhi."
"Apapun??" tanya Papa memastikan
"Iya Pa. Apapun.." jawab Ryan tanpa berpikir panjang
Saat itu tiba-tiba Papa mendekatkan dirinya pada Ryan sambil kemudian berisik padanya.
"Kalau begitu aku ingin kau menepati janjimu nanti padaku. Setelah Lena kembali pulih ingatannya, kau harus segera berpisah dengannya.. Kau ingat kan Ryan apa yang aku ucapkan di Rumah Sakit waktu itu padamu. Aku tidak ingin dan tidak mau lagi mempercayakan Lena putriku padamu. Jadi kau ceraikan saja dia. Aku tidak mau membuat hidupnya terus menerus menderita bahkan sampai sakit dan hilang ingatan seperti ini hanya karna dia mempunyai suami sepertimu.."
Ryan, dia benar-benar terkejut mendengarkan permintaan Papa mertuanya itu. Dirinya terus terdiam dan mematung. Ada ekspresi tidak senang dan kecewa. Dirinya merasa menyesal. Kalau bukan karena kemarahannya yang membuatnya pergi meninggalkanku, tidak mungkin aku sampai terluka, keguguran, bahkan sampai mengalami amnesia seperti ini.
"Bagaimana, apa kau mau melakukannya? Kalau kau setuju, maka aku akan membiarkan Lena pergi denganmu menemui dokter Rivan di Rumah Sakit.. tentunya dengan pengawasanku dan juga Oka.." ucap Papa kembali
Tanpa menjawab pertanyaan Papa, Ryan akhirnya memilih keluar kamar dan meninggalkan kami semua disana. Ekspresinya dingin dan membuatku bertanya-tanya, apa yang dibisikkan oleh Papa tadi padanya. Permintaan apalagi yang diinginkan oleh Papa yang membuatnya menunjukkan ekspresi dinginnya itu. Aku jadi menyesal telah mengerjainya seperti itu. Maafkan aku Mas Ryan.. ucapku dalam hati sambil memandang kepergiannya.
Ditempat lain di apartemen Aris, Shina sudah terlihat kembali disana. Saat itu dirinya membawakan beberapa buah dan bubur untuk Aris karena dia tahu suaminya itu sedang sakit.
Setelah meletakkan semua plastik belanjaannya didapur, Shina terlihat memasuki kamar Aris. Saat itu Aris terlihat masih tertidur. Shina kemudian memegang keningnya untuk mengukur suhu tubuhnya, apakah masih panas.
"Sepertinya demamnya sudah agak berkurang.." ucapnya senang
Shina kemudian ke dapur dan dia menyiapkan semua buah yang dibawanya tadi dan bubur untuk dihidangkan pada Aris. Ketika akan membangunkannya, Shina terkejut.. karena tiba-tiba saja Aris dia keluar dari kamarnya.
"Kau sudah bangun?" tanya Shina
Aris mengangguk pelan.
"Apa kau membutuhkan sesuatu Aris? Minuman atau teh hangat??" Shina menawarkan kembali
Namun Aris tidak menjawabnya dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Saat itu Shina, dia tiba-tiba merasakan pusing dan tidak enak pada tubuhnya.. hingga kemudian dia pun mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi Aris dan berkata padanya,
"Aris.. apa kau masih lama? Aku juga ingin menggunakan toiletnya.."
"Aris jawablah.. Aku benar-benar harus menggunakan toiletnya sekarang juga..!!" ucap Shina kembali sambil menaikkan intonasi suaranya