Saat itu, Ryan yang panik melihat kedatangan Oka dan Rani disana, kemudian menarik Oka ke halaman belakang dan memarahinya. Sambil menjewer kuping anaknya itu Ryan berkata,
"Dasar anak nakal..!! Kau mau membuat aku dan Mamamu bercerai, hah? Untuk apa membawa Rani kemari?!!" bentak Ryan marah
"Aaa.. Aaaaaa.. Aaaww.. Sakit Pa.." Oka meringis kesakitan
"Ini lepasin dulu.." Oka menarik tangan Papanya itu agar tidak lagi mejewer kupingnya
Sambil mendengus sebal dan mengelus-ngelus kuping yang dijewer tadi,
"Ini semua demi mempercepat proses penyembuhan ingatan Mama. Apa Papa pernah dengar, bahwa kenangan buruk itu dapat menstimulasi otak kita lebih baik dalam hal daya ingat. Banyak teori yang mengatakan bahwa kemampuan otak kita lebih cepat dalam menangkap memori yang berhubungan dengan kesedihan, kekecewaan, trauma, atau kenangan pahit. Itulah kenapa trauma atau kenangan pahit akan selalu tertanam dan teringat sampai kapanpun didalam otak kita ini. Jadi Oka sengaja memancing daya ingat Mama dengan membawa Rani, anak tiri Papa itu. Sebenarnya akan lebih efektif jika membawa Tante Shina langsung kemari, tapi Oka gak mau ngambil risiko. Tante Shina galak, nanti Mama diapa-apain lagi sama dia.."
"Sok tahu kamu.." Ryan menjitak kepala anaknya itu
"Memangnya kamu Professor apa? Sok-sok bawa-bawa teori segala. Asal kamu tahu ya Nak, gak semua teori itu benar dan bisa dipraktekkan. Bagaimana kalau yang terjadi malah sebaliknya. Malah Mamamu semakin parah kondisinya dan akan menjadi lupa semua hal atau akan menjadi lebih stress dan gila. Kamu mau tanggung jawab kalau sampai hal itu terjadi, hah?" ucap Ryan tidak setuju
"Tapi gak ada salahnya dicoba kan Pa. Ada beberapa artikel dan penelitian yang berhasil dengan menggunakan metode ini.." ucap Oka kembali
"Gak.. Nggak.. Nggak.. Papa gak setuju kamu ngelakuin ini ke Mama kamu. Enak aja main coba-coba. Memangnya Mamamu ini alat percobaan apa" ucap Ryan tidak senang
"Tapi Pa.."
"Pokoknya kalau Papa bilang nggak ya nggak.. Ngerti kamu?" bentak Ryan marah
Oka bersungut. Dengan berat hati, dia kemudian menyetujui perkataan Papanya itu.
"Cepat kamu bawa Rani balik lagi ke apartemen. Sebelum Kakek kamu lihat dia.. Bisa gawat nanti urusannya.." ucap Ryan kembali
Dan mereka berdua pun kembali ketempat dimana Rani berada. Namun setibanya disana ternyata Rani sudah tidak ada. Mereka berdua terkejut karena saat itu ternyata Rani sudah masuk ke dalam dan berbicara denganku dan juga Papa.
Keringat dingin mendadak mengucur dari tubuh Ryan saat itu. Kemudian, Ryan dia sambil menarik Oka lebih dekat ke arahnya
"Kau bantu aku untuk menyembunyikan identitas Rani disini. Awas saja.. kalau sampai Kakekmu tahu bahwa Rani itu saudara tirimu, aku tidak akan memberikanmu uang jajan lagi seumur hidup.." bisik Ryan pada anaknya
Oka kemudian mengangguk pelan, menyanggupinya. Walaupun saat itu dirinya juga merasa gugup karena harus berhadapan dengan Kakeknya yang galak.
"Hai Oka.." sapa Papaku pada cucunya
"Jadi Rani ini teman satu sekolahmu ya?" tanya Papaku kembali pada Oka
"Iya Kek. Dia junior Oka. Walaupun sebenarnya usianya lebih tua 1 tahun dari Oka." Oka menjelaskan
Saat itu Ryan, dia terlihat mematung disana. Karna rasa takut dan gugupnya, bahkan untuk duduk saat itu pun tidak berani dilakukannya.
"Ryan, ada apa kau berdiri mematung disana. Cepat duduk sini.." ucap Papaku
Ryan memaksakan tersenyum saat itu. Dia kemudian memilih duduk disamping Oka.
"Rani kau tinggal dimana Sayang?" tanyaku tiba-tiba yang mengagetkan Ryan dan juga Oka.
Terlihat Ryan dan Oka saling melirik. Mereka berdua takut Rani akan menceritakan semuanya padaku. Terlebih lagi Oka, dia sangat tahu bahwa sifat Rani itu sangat polos. Bahkan untuk berbohong saja tidak bisa mulus dilakukannya. Kemudian dengan segera, sebelum Rani menjawab pertanyaanku itu, Ryan dan Oka
"Dia tetangga kita Ma.." jawab Oka
"Iya benar tetanggaan.. maksudnya itu kita sama-sama tinggal di Royal juga, tapi beda unit. Benar kan Rani?" ucap Ryan menambahkan sambil melirik Rani sesaat dan memberikan kode padanya agar tidak mengatakan hal apapun
"Ohhh.." responku saat itu
Kemudian Ryan kembali membisikkan sesuatu pada Oka. Dia menyuruh Oka untuk membawa Papaku keluar dari percakapan disini. Dia pun menyuruh Oka untuk mengajak Kakeknya itu bermain catur. Dan tentu saja Papa langsung menyetujuinya, karena Papaku itu sangat menyukai permainan catur. Bahkan dulu semasa mudanya Papa pernah menjuarai catur tingkat nasional dengan posisi juara kedua.
Sementara itu aku, Ryan, dan Rani.. tiba-tiba saja Ryan berkata
"Sayang, aku akan mengantarkan Rani pulang dulu ke apartemen. Kasihan dia kalau harus menunggu Oka selesai bermain catur dengan Papa. Nanti kemaleman.."
"Kamu ngapain minta ijinnya sama aku. Kan Oka yang membawanya, jadi lebih baik kamu ijin sama dia aja.." jawabku
Kemudian Ryan, dia terlihat mengajak Rani pergi. Akan tetapi, saat itu tiba-tiba terlintas sesuatu diingatanku. Sepertinya hal ini pernah terjadi sebelumnya, seperti deja vu. Ryan yang pergi bersama dengan Rani itu.. waktu itu dia juga mengantarkannya kan tapi bukan kembali ke apartemen..
Kepingan-kepingan memori tiba-tiba berputar samar di otakku, hingga tanpa sadar aku bergumam
"Rumah Sakit.. Aris terluka.." ucapku tiba-tiba yang membuat Ryan menghentikan langkahnya dan langsung menoleh ke arahku
Ryan menyadari kondisiku yang seperti sedang pusing sambil memegang kepalaku.
"Sayang kamu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir sambil mendekatiku
"Rumah Sakit.. Aris.. tertusuk.. Blue Ocean.. Rani.." aku masih menggumamkan kata-kata itu
Hingga kesadaranku pun pulih dan aku langsung menanyakan
"Apa kau anaknya Aris?" tanyaku pada Rani yang membuat Ryan terkejut
"Tante sudah ingat aku?" ucap Rani senang sambil mendekat ke arahku
"Benar. Aku anaknya Ayah Aris. Syukurlah.. akhirnya ingatan Tante Lena sudah pulih kembali." ucap Rani tersenyum
"Sayang, benar kau sudah mengingatnya kembali??" ucap Ryan senang
"Tapi ada apa dengan Aris dan Rumah Sakit?" tanyaku kembali bingung
"Ayah? Rumah Sakit??" ucap Rani mengulang
"Ohh.. Mungkin pada saat kita pertama kali bertemu Tante. Waktu itu terjadi insiden pada Ayah. Ayah tertusuk dibagian perutnya menggunakan pisau karena menolong seseorang dari penjahat. Lalu Om Ryan mengantarkan Rani ke Rumah Sakit menemui Ayah disana. Benar kan Om?"
Ryan kemudian mengangguk menjawabnya.
"Aris tertusuk? Apa orang yang ditolongnya itu aku??" tanyaku kembali.
Lalu, tiba-tiba saja air mataku keluar saat itu. Perasaan bersalah pada Aris mendadak muncul. Ryan yang melihatnya kemudian berusaha menenangkanku.
"Tidak Sayang.. Semuanya sudah berlalu. Kamu kan juga sudah nyumbangin darah kamu sama Aris. Sudah ya.. Tidak usah dipikirkan lagi.." ucap Ryan sambil memeluk dan mengusap-usap punggungku
Saat itu Rani melihat sepertinya Ayah kandungnya Ryan sangat mencintai istrinya.. sehingga tidak mungkin baginya untuk kembali lagi berhubungan dengan Maminya Shina. Entah mengapa dia merasa lega. Jadi Ayah (Aris) dan Maminya dapat terus bersama selamanya, tanpa ada gangguan dari Ryan.
Kemudian Ryan mengantarkanku ke kamar dan menyuruhku tidur, serta tidak lagi memikirkan mengenai hal-hal yang kuingat tadi. Setelah itu, dia kemudian mengantarkan Rani pulang kembali ke apartemennya.
Sementara aku, saat itu aku jadi tidak bisa tertidur memikirkan semuanya. Rasanya seperti ada yang mengganjal dipikiranku. Aku ingin menemukan kembali seluruh ingatanku yang hilang itu. Lalu, aku pun kemudian bangun dan mulai berpikir untuk menemukan petunjuk melalui handphoneku.
Jujur yang membuatku masih penasaran disini adalah kenapa aku malah berakhir dan menikah dengan orang lain (Ryan) dan bukan Aris. Apa yang sebenarnya terjadi disini. Dan mengapa aku dan Aris, kami sama-sama bisa tinggal diapartemen yang sama.
Untuk mencari tahu semua jawabannya, maka aku pun diam-diam pergi keruang kerja Papa untuk menemukan handphoneku itu. Pasti ada suatu petunjuk disana yang dapat menjawab semua keganjalan ini.