Saat itu Ryan, hatinya begitu gelisah setelah dia menerima panggilan itu dari sekertarisnya. Dirinya masih merasakan perasaan kecewa yang begitu mendalam padaku. Emosinya begitu memuncak.. begitu mendengar seseorang menyebut-nyebut tentang diriku. Dia merasa benci, terkhianati, hingga saat itu dirinya menghentikan mobil yang dikendarainya secara tiba-tiba dan terlihat memukul stirnya itu dengan perasaan marah sambil berteriak kesal.
Kenapa bisa aku melakukan semua ini padanya, pikirnya tak percaya. Setelah apa yang dilakukannya selama ini, bagaimana bisa aku membagi perasaan cintaku padanya dengan Aris. Berarti selama ini.. selama menjalani pernikahan dengan Ryan selama lebih dari 15 tahun, aku hanya menjalaninya dengan keadaan terpaksa.. tidak mencintainya dengan tulus, pikir Ryan kesal saat itu. Mendadak air mata turun dari sela-sela matanya, pertanda perasaan sedih dan kecewa yang begitu mendalam karena merasa telah dibohongi dan terkhianati olehku.
Saat itu tiba-tiba handphone-nya kembali berdering. Ternyata panggilan tersebut dari Aris, seseorang yang dianggap sebagai musuh terbesarnya atau rival abadinya itu. Aku yakin kalau Aris ada muncul dihadapannya saat ini, mungkin Ryan bisa menjadi gelap mata bahkan bisa langsung membunuhnya saat itu juga. Ryan begitu marah dan kesal padanya hingga kemudian dia membanting ponselnya itu di dalam mobil agar tidak berbunyi lagi.
Sementara di Rumah Sakit, Aris.. dia terlihat kebingungan saat itu. Ryan tiba-tiba mereject panggilannya. Dan ketika dia mencoba menelpon Ryan kembali, panggilannya langsung mati. Seolah Ryan telah memblokir nomornya itu.
Aris terlihat cemas menunggu. Dia terlihat jalan mondar-mandir sambil memperhatikan handphonenya.
"Pak Aris.." sapa Pak Wawan tiba-tiba
"Apa Bapak masih belum bisa menghubungi Pak Ryan?" tanyanya kembali
Aris kemudian mengangguk pelan menjawabnya. Rasa-rasanya, bahkan dirinya ingin menjawab pertanyaan Pak Wawan tersebut dengan berkata,
"Jangankan menjawab panggilanku. Bahkan aku sekarang sama sekali tidak bisa menghubungi dia. Dia telah memblokir nomorku sepertinya.." pikir Aris dalam lamunannya
"Pak.." ucap Pak Wawan kembali
"Sebenarnya saya ada janji temu dengan costumer hari ini. Dia mau datang lihat unit apartemen yang mau dijual. Kalau seandainya bapak saya tinggal, gak apa-apa? Saya mohon maaf sekali sebelumnya Pak Aris.." ucap Pak Wawan merasa bersalah
"Iya Pak. Tidak apa-apa.." jawab Aris
"Kalau begitu, saya langsung pamit ya Pak. Oh iya, ini handphonenya Bu Lena saya titip dengan Bapak ya.." sambil Pak Wawan memberikan handphoneku pada Aris
"Saya doakan semoga Bu Lena baik-baik saja dan tidak stress akibat kejadian ini.." ucap Pak Wawan
"Iya Pak. Aamiiin.. Terima kasih atas bantuan Bapak sebelumnya. Nanti akan saya kabarkan pada Ryan, kalau Bapak yang sempat membantu Bu Lena dan membawanya ke Rumah Sakit.."
"Ahh.. Gak usah Pak. Jangan terlalu sungkan.. Memang manusia itu kan diciptakan harus saling membantu.. Saya gak merasa kerepotan sama sekali kok.." jawab Pak Wawan
"Kalau begitu saya pamit Pak.." dan Pak Wawan kemudian meninggalkan Aris sendirian disana.
Saat itu Aris, dia terlihat memandang layar ponselku itu. Ada sedikit perasaan mencekit dihatinya saat itu.. melihat gambar background wallpapperku yang memampang foto Ryan disana.
Ketika dia ingin mencoba melihat isi ponselku, ternyata terkunci. Saat itu Aris tiba-tiba terpikirkan untuk menghubungi Ryan sekali lagi dengan menggunakan ponselku. Dia kemudian mencoba memasukkan kata sandi pada handphoneku saat itu. Pertama dia mencoba, tanggal lahirku.. tidak bisa. Kemudian dia mengingat bahwa aku juga menyukai angka 7, kemudian dia memencet 7777 dan seketika itu kuncinya pun langsung terbuka. Aris lalu tersenyum.
"Lena.. ternyata dari dulu sampai sekarang, dirimu itu tidak berubah ya.." pikir Aris saat itu
Kemudian Aris pun langsung menghubungi Ryan menggunakan ponselku. Saat itu telponnya terhubung, namun Ryan tidak mau menjawabnya. Berkali-kali Aris mencoba, tetapi tetap Ryan tidak mau menjawab panggilannya itu.
Aris yang mulai merasa jengah, kemudian terpikirkan untuk mengirimkan pesan chat pada Ryan. Betapa terkejutnya dia saat itu ketika membaca semua pesan yang telah kukirimkan pada Ryan. Ternyata.. pertengkaran yang terjadi antara diriku dan Ryan karena ada sangkut pautnya dengannya. Gara-gara aku yang meminta maaf padanya dan menarik semua ucapanku itu.. Ryan menjadi marah dan meninggalkanku. Bahkan yang membuatnya begitu terkejut, bahwa Ryan juga sempat mengucapkan kata cerai padaku sehingga membuatku sedih.
Aris.. akhirnya dia menjadi tahu mengenai semua hal. Termasuk Shina yang sempat menamparku dan membuatku menangis. Dirinya sedikit merasa kecewa pada Shina. Meskipun memang Shina berniat ingin membelanya, tetapi tidak seharusnya dia melakukan kekerasan padaku dengan menamparku.. terlebih aku itu sedang hamil. Akan tetapi, yang membuatnya begitu kecewa dan terluka adalah karena semua sumber permasalahan yang terjadi antara diriku dan Ryan adalah karna ulahnya. Aris benar-benar merasa bersalah dan terluka. Dia terus menerus membaca pesanku dan mengulangnya, terutama pada bagian
"Mas Ryan.. aku tidak mencintai Aris, tapi kamu. Perasaan aku ke Aris hanyalah perasaan menyesal dan bersalah karena aku terus menerus melukainya. Bukan perasaan cinta seperti yang kamu maksud itu."
"Aku terus menerus dihantui perasaan bersalah pada Aris sejak dulu, sejak aku memutuskan untuk menikah denganmu.."
"Maaf, kalau kamu merasa aku seolah mengkhianatimu dengan menyimpan rasa bersalahku ini pada Aris sampai sekarang.. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu marah dan cemburu.."
"Rasa bersalah itu kian membesar.. terlebih saat Shina kemarin mengunjungiku di apartemen dan mengatakan bahwa aku telah membuat Aris terluka dan pindah dari apartemennya karena telah mengatakan itu semua padanya."
Dia terus membaca bagian itu untuk membuatnya tersadar, bahwa selama ini ternyata perasaanku itu padanya hanyalah perasaan bersalah saja dan bukan cinta. Aris terlihat menarik nafas panjang, hingga tiba-tiba dokter keluar dari ruangan tersebut dan menemuinya.
"Apa bapak suami dari pasien?" tanya dokter tersebut pada Aris
"Buk.." belum sempat Aris menjawab dokter tersebut kembali berkata
"Istri bapak saat ini kondisinya sangat lemah. Dia terlihat seperti mengalami stress dan depresi. Tekanan darahnya rendah juga kondisi fisiknya lemah.. dia tampak seperti mengalami kelelahan yang cukup hebat.."
"Tapi penyebab bisa terjadinya keguguran bukan karena itu saja tapi karena istri bapak sepertinya sempat jatuh tadi. Ada sedikit memar dan luka di bagian perut sebelah kiri hingga panggul belakangnya.."
"Kalau boleh saya beri saran, sebaiknya Bapak jangan memberitahukan mengenai hal ini dulu padanya sampai kondisinya benar-benar stabil. Karena saya rasa, dengan kondisinya yang sekarang nanti psikisnya akan terganggu. Apalagi dia benar-benar sedang dalam kondisi lemah.."
"Saya sudah menuliskan beberapa resep obat yang mungkin Ibu butuhkan untuk saat ini. Silahkan Bapak mengurus semuanya ke bagian administrasi.." dan dokter tersebut langsung meninggalkan Aris
Setelah mengurus semuanya, Aris kemudian kembali ke ruangan. Dia melihatku sudah tersadar, tapi dia tidak berani masuk. Dia hanya melihat kondisiku yang benar-benar kacau dari balik kaca pintu. Dia terlihat bingung saat itu. Sampai pada saat aku yang mulai tersadar ada orang yang terus menerus menatapku dari balik kaca pintu itu, akhirnya Aris kemudian masuk ke dalam.
"Mas Aris.." ucapku lemah
Aris terlihat tersenyum saat itu.
"Bagaimana kondisimu Lena?" tanyanya padaku
"Bagian bawah perut, panggul, dan selangkanganku sakit sekali Mas.." jawabku
Tiba-tiba aku pun teringat insiden ketika di lobi sebelum aku pingsan, dimana aku sempat mengalami pendarahan banyak.
"Mas Aris, apa bayiku baik-baik saja? Aku tidak mengalami keguguran kan??" tanyaku seketika panik. Dan, entah kenapa saat itu, air mataku tiba-tiba turun dengan sendirinya.. seolah menjawab semua pertanyaanku tadi.
Kring.. Kriiingg.. Kriiiingg.. (suara handphone Aris berbunyi)
Ternyata itu Shina yang menelpon. Sebenarnya saat itu Aris tidak berniat untuk menjawab panggilannya. Akan tetapi, ketika hendak memencet tombol tolak di handphonenya, dia malah menekan tombol jawab.
"Aku menelpon hanya ingin memastikan bahwa kau masih hidup diluar sana, sebab tiba-tiba saja kau pergi seperti itu setelah menerima panggilan telepon. Apa kau baik-baik saja Aris?" tanya Shina
"Lena.." ucap Aris berusaha menjelaskan kondisiku
Shina begitu terkejut. Dia tidak mengira bahwa saat ini Aris sedang bersama denganku.