"Baiklah.. Karena disini hanya ada kita berdua saja, sekarang katakan apa maumu?" tanya Bu Tomo
Saat itu, Shina terlihat tersenyum sinis mendengar pertanyaan Bu Tomo.
"Apa anda mengira aku masih mengejar Ryan putramu yang tidak bertanggung jawab itu?" tanya Shina menantang
"Hey, kau dengar ya Ibu Tua. Dulu itu aku memang benar-benar bodoh bisa bertemu dan jatuh cinta pada putramu yang brengsek itu.. Ya tapi itu semua mungkin sudah jalan takdir. Dan aku tidak menyesal telah melaluinya, karena kalau tidak.. tidak mungkin aku bisa bertemu dengan Aris suamiku itu.."
"Apa maksudmu mengatai anakku tidak bertanggung jawab?"
"Dan berani sekali kau mengatainya dengan sebutan brengsek? Kau itu yang kurang ajar, telah menjadi parasit dalam kehidupan anakku. Beruntung saat itu aku bisa menyingkirkanmu darinya atau kalau tidak, aku tidak akan tahan mempunyai menantu seorang perempuan murahan dan mata duitan seperti dirimu.." ucap Bu Tomo marah dan tidak terima
Shina begitu kesal mendengar Bu Tomo memakinya dengan sebutan perempuan murahan dan mata duitan.. padahal saat itu dirinya hanya berpura-pura saja.
Shina berupaya menenangkan diri agar tidak terpancing emosi. Sambil menarik nafas, dia pun berkata di dalam hati..
"Tenang Shina.. tenang.. ada Aris disini. Kau tidak ingin membuatnya marah dan membencimu apabila kau berbuat onar dengan nenek sihir ini. Kau harus sabar.. sabar.. sabar.." Shina terlihat mengatur nafasnya saat itu.
Kemudian,
"Karena ini Rumah Sakit dan aku tidak mau membuat suamiku marah, maka kali ini kau kubiarkan.." dan Shina pun berlalu pergi meninggalkan Bu Tomo
Namun, Bu Tomo yang masih merasa kesal dengannya kembali memanggilnya
"Hey tunggu.." ucap Bu Tomo
"Kau harus pergi menjauh dari kehidupan anakku. Cepat pergi tinggalkan apartemen itu. Aku tidak sudi anakku harus tinggal bertetangga dengan perempuan licik sepertimu."
Tanpa menoleh ke belakang, Shina hanya menjawab
"Kau ambil alih dulu gedung itu, baru kemudian kau bisa mengusirku keluar. Selama kau bukan pemilik gedungnya, maka aku akan tetap tinggal disana dan berbuat sesukaku.." jawab Shina santai sambil melambaikan tangannya.
Dia pun kemudian tersenyum sesaat karena telah berhasil membuat Bu Tomo geram. Dia terus berjalan meninggalkan lorong itu dengan perasaan senang.
Ditempat lain, dimana hanya ada aku dan Mas Ryan, di kursi depan kamar inap Aris
"Sayang.. Kenapa kau terlihat murung?" sapa Ryan saat itu
Aku terdiam tidak menjawabnya.
"Apa kau masih mencemaskan Aris? tanyanya kembali, kali ini dengan ekspresi tidak senang.
Jujur saat itu aku merasa kesal padanya. Maksudku, bagaimana bisa dia berpikir aku masih memikirkan Aris. Padahal saat itu perasaanku masih cemburu mengingat dia yang memeluk Shina di lorong tadi.
"Kalau kau memang sangat mengkhawatirkannya masuk saja sana temui dia, biar kau puas.." ucap Ryan kembali ketus karena aku tidak kunjung menjawabnya.
Aku yang kesal mendengar ucapannya kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Namun, saat itu aku berpapasan dengan Shina. Shina terlihat berjalan cuek, tidak menyapaku.. hingga kemudian aku melihat Ryan menyapanya dan mengajaknya untuk berbicara disana.
Aku begitu kesal saat itu. Mas Ryan malah mengajak Shina berbicara dan tidak mengejarku. Tidak mau memikirkannya, aku kemudian pergi ke kantin Rumah Sakit untuk membeli jus karena merasa haus. Dan ketika aku kembali, Mas Ryan dan Shina sudah tidak ada disana.
Aku kemudian masuk ke kamar Aris mencari mereka, tetapi tidak ada. Hanya ada Aris yang sedang tertidur sendirian disana. Aku kembali membuka pintu toilet yang ada dikamar itu, ternyata tidak ada siapapun disana. Ketika aku hendak keluar, tiba-tiba Aris terbangun.
"Lena.." ucapnya memanggilku
Aku kemudian berjalan mendekat ke arahnya.
"Mas Aris.. Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanyaku
"Seperti yang kau lihat. Sudah jauh lebih baik.." jawabnya tersenyum
"Maaf, jadi merepotkan keluargamu. Aku sangat berterima kasih. Aku sudah mendengarnya, kalau Papamu yang mendonorkan darah padaku tadi.."
"Iya, tidak apa-apa Mas.." jawabku
Saat itu aku bingung harus berkata apa lagi padanya. Apa aku bertanya saja padanya kemana Mas Ryan dan Shina pergi, tapi tiba-tiba.. saat itu Aris kembali berkata padaku.
"Lena, maafkan aku sebelumnya. Mengenai gelangmu itu.."
Aku begitu terkejut, Aris tiba-tiba mengungkit masalah gelang.
"Apa boleh jika aku memintanya kembali?" tanya Aris
"Aku tahu memang rasanya memalukan.. meminta kembali barang yang sudah kita beri sebagai hadiah.."
"Iya, tidak apa-apa. Aku tidak keberatan, tapi masalahnya.. gelang itu sudah tidak ada lagi disana Mas. Saat itu gelangnya.."
"Aku tahu. Gelangnya ada padaku sekarang." sambil Aris merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan gelang itu untuk memperlihatkannya padaku
"Saat itu, terjadi salah paham antara aku dan Shina. Kau tahu, waktu aku terkurung dikamarmu itu.. tanpa sengaja aku memasukkan gelang ini kedalam kantongku. Shina kemudian menemukannya. Dia salah mengartikan ini sebagai hadiah pemberianku untuknya.."
"Aku terpaksa berbohong karena dia terlihat senang dan menyukai gelangnya. Bahkan, begitu senangnya dia hingga membuatnya terus memakainya kemanapun dia pergi, tapi.. ketika beberapa saat yang lalu dia mengetahui bahwa gelang itu bukan hadiah dariku, melainkan gelangmu dulu, dia menjadi sangat terpukul.."
"Aku meminta gelang itu kembali darimu untuk menghormati perasaannya. Aku tidak tahu bagaimana perasaan wanita, tapi aku tahu dia sangat cemburu padamu.. Jika aku mengembalikan gelang ini padamu sekarang, dia mengira bahwa aku tetap ingin menjadikan gelang ini sebagai kenangan kita di masa lalu.. dan itu membuatnya terluka.."
"Iya, aku mengerti Mas Aris.." jawabku tiba-tiba memotong
"Terima kasih." balas Aris tersenyum
Dan dia kembali memasukkan gelang itu kesakunya.
Kemudian, saat itu Aris terlihat seperti ingin mengambil botol air minum di samping mejanya. Dia terlihat kesusahan sehingga aku pun terpaksa membantunya mengambil airnya itu.
Aku tahu, Aris.. dia tidak suka minum menggunakan sedotan, sehingga dia kemudian menyingkirkannya lalu mencoba meminum langsung dari botol itu.
Ketika dia akan bangkit dari tempat tidur untuk duduk, aku kemudian membantunya dengan mencoba memapah sedikit tubuhnya. Saat itu, tiba-tiba Ryan dan Shina masuk ke dalam ruangan kami dan melihat semua. Tentu saja mereka terkejut, melihat posisi kami yang saling berdekatan saat itu. Dengan segera, Shina kemudian berlari ke arah kami sambil berkata
"Biar aku saja.." ucap Shina sambil sengaja mendorong tubuhku dengan kuat untuk menyingkir dari sana.
Sementara Ryan, dia terlihat begitu marah dan kesal. Itu terlihat dari sorot matanya ketika menatap aku dan Aris secara bergantian. Tanpa berkata-kata, dia pun kemudian memilih keluar ruangan dengan membanting pintu dengan sangat keras. Kami semua sungguh terkejut dibuatnya.
"Kasar sekali.." ucap Shina kesal melihat tingkah Ryan saat itu
"Apa dia tidak tahu kalau disini ini Rumah Sakit, hah?" ucapnya kembali sambil melirik ke arahku
"Maaf.." balasku karena merasa tidak enak pada mereka berdua. Dan aku pun segera keluar ruangan untuk pergi mengejar Ryan.