Ketika Papa mencoba menghubungi Ryan, handphonenya tidak aktif. Meskipun begitu, Papa terus berusaha menghubunginya.. akan tetapi, hasilnya tetap sama, hanya operator yang menjawab dan mengatakan telponnya sedang tidak aktif dan sedang berada diluar jangkauan. Akhirnya, Papa pun memutuskan untuk menghubungiku.
"Halo Lena.." sapa Papa
"Iya Pa.." jawabku
"Kau dimana sekarang? Apa Ryan sedang bersama denganmu?" tanya Papa
Aku pun mendadak panik. Bagaimana ini, Mas Ryan kan masih belum kembali dari New York. Apa yang harus ku katakan pada Papa untuk menjawab pertanyaan itu, pikirku bingung.
"Lena..?" Papa kembali menyadarkanku
"Ahh Ryan.. Dia sekarang.." aku yang belum menyelesaikan kalimatku itu mendadak dipotong oleh Papa
"Berkali-kali Papa telpon handphonenya tapi tidak aktif. Papa ingin menanyakan sesuatu padanya terkait Pak Asep.. Oh iya, Nak. Pada waktu Papa di Rumah Sakit, apa Pak Asep pernah datang untuk menemui Papa waktu itu?" tanya Papa kembali yang membuatku terkejut
"Bagaimana Papa bisa tahu mengenai Pak Asep sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Ya Tuhan.. Aku tidak ingin Papa mengetahui kebenarannya bahwa musuhnya itu bekerja sebagai asisten pribadi besannya. Entah apa yang akan dilakukan Papa nanti.."
"Lena..?" sahut Papa kembali ditelpon karena aku tidak kunjung menjawab satu pun dari pertanyaannya itu.
Tiba-tiba saja aku merasa mual. Rasanya ingin muntah saat itu juga. Papa yang mendengarku pun kembali bertanya
"Lena.. Sayang.. kau tidak apa-apa, Nak?" tanya Papa cemas ketika mendengar suaraku yang ingin muntah itu.
Aku terus saja merasa mual dan tidak enak sambil mengeluarkan suara-suara itu.. kemudian
"Pa.. nanti Lena hubungi Papa lagi." jawabku singkat kemudian aku pun segera berlari ke kamar mandi saat itu juga
Dikamar mandi, aku sedikit merasa lega karena dengan rasa mualku ini, setidaknya bisa sedikit mengalihkan perhatian Papa untuk terus menggali dan mencari informasi mengenai Ryan, Pak Asep, dan juga Zuriawan.
Sesaat setelah aku bisa mengendalikan rasa mualku, aku pun bergegas pergi keluar untuk menemui Aris disebelah. Saat itu, Shina yang membukakan pintu
"Hai Shina. Selamat Pagi.." sapaku tersenyum
"Bisa tolong panggilkan Aris kemari, ada sesuatu penting yang ingin kubicarakan dengannya sekarang.."
"Aris??" respon Shina tidak senang sambil mengernyitkan keningnya
"Dia sudah berangkat ke kantor dari beberapa menit yang lalu. Kalau ada hal penting yang ingin kau sampaikan padanya, sampaikan saja padaku. Nanti aku yang akan menyampaikan padanya.." jawab Shina
Saat itu aku tahu, Shina.. dia tidak mengizinkanku untuk menemui Aris. Maksudku yang benar saja.. ini baru jam6 lewat, masa dia sudah berangkat ke kantor.. pikirku heran. Namun, karena ini sangat mendesak, akhirnya aku pun menyampaikan keinginanku itu padanya.
"Sebenarnya ini masalah mengenai Papaku. Aku minta tolong padamu, beritahu Aris.. jika Papa nanti menghubunginya, tidak usah menjawab panggilannya. Atau jika Papa nanti menanyakan mengenai Pak Asep, jawab saja tidak tahu untuk setiap pertanyaannya.. Aku mohon Shina. Tolong sampaikan itu pada Aris ya. Aku tidak mau terjadi salah paham.. terlebih Ryan juga masih belum kembali kesini.."
"Memangnya Ryan kemana?" tanya Shina
"Ryan saat ini berada di New York, Papanya sakit sehingga untuk sementara dia menggantikan posisinya disana.. Sampai Ryan kembali dan menjelaskan semuanya, bilang pada Aris untuk tidak menemui Papa dan berusaha menghindar darinya.. Ku mohon tolong sampaikan padanya ya Shina." aku memohon pada Shina
"Baiklah, nanti akan kusampaikan.." balas Shina
"Terima kasih.." balasku sambil tersenyum
Namun, ketika aku hendak pergi, aku kembali berbalik dan berkata padanya.
"Maaf, kalau untuk beberapa hari belakangan ini.. aku terkesan sombong, cuek, dan tidak peduli pada kalian.. Aku hanya berusaha menepati janjiku pada Ryan untuk menjaga jarak dengan Aris.. Jadi, sebisa mungkin aku mengurangi intensitas kita untuk saling bertemu atau menyapa.. Aku harap kau mengerti." ucapku pada Shina
"Tentu saja.. Aku setuju dengan Ryan. Memang seharusnya seperti itu kan. Kalian harus menjaga jarak dan saling menjaga perasaan pasangan kalian masing-masing.. Apalagi Ryan itu orangnya cemburuan dan sangat posesif.. Maksudku, aku hanya tidak mau dia salah paham lagi pada Aris nanti atau memukulnya.."
"Kalau dia berani melakukan itu kembali pada Aris, aku tidak akan segan-segan untuk melaporkannya. Kau tidak mau kan suamimu itu masuk penjara dan menjadi seorang kriminal? Jadi, ikuti saja keinginan suamimu itu.. Jangan sekali-kali terlihat bersama atau mengobrol dengan Aris, mengerti??" Shina memperingatkanku
"Tentu saja.." jawabku sambil tersenyum canggung
Saat itu aku tidak mengira akan mendengar respon seperti itu dari Shina. Ternyata dia sama seperti Mas Ryan, sangat cemburuan.. Yang benar saja, masa dia mau melaporkan Mas Ryan ke polisi.. Apa perlu sampai sejauh itu, pikirku heran.. Dan aku pun kemudian kembali masuk ke dalam unitku.
Di apartemen Aris dan Shina
"Tadi siapa yang mengebel?" tanya Aris
"Tidak ada. Hanya orang nyasar yang menanyakan tentang alamat seseorang.. Sudahlah, itu tidak penting.." jawab Shina sambil merangkul tangan Aris dan kembali mengajaknya ke meja makan
"Wah.. Aku tidak tahu kalau kau juga bisa membuat tumisan sayur seperti ini." ucap Shina takjub. Kemudian dia mencicipinya
"Ini enak sekali Aris.."
"Udang goreng tepung ini juga.. Benar-benar crispy seperti masakan direstoran. Kau ternyata pandai memasak juga ya.." ucap Shina senang sambil memandang Aris
"Aku pikir bisa memasak itu baik. Selain bisa memenuhi kebutuhan seleramu sendiri, juga bisa berguna saat kau berkeluarga.. contohnya seperti sekarang ini.." Aris menjawab
Saat itu, tiba-tiba Aris teringat akan masa lalunya denganku. Alasan dia sebenarnya ingin pandai memasak adalah karena aku. Dia ingat, saat itu ketika anniversary 1 tahun hubungan kami, di apartemennya, aku sudah menyiapkan semua makanan seperti nasi goreng, telur dadar, dan juga salad. Namun, ternyata rasa masakanku itu sangat-sangat kacau sekali. Aris yang tidak ingin membuatku kecewa.. tetap berusaha menghabiskan semua makanannya, walaupun itu tidak enak. Saat itu, aku sedih karena sebagai seorang wanita aku tidak bisa memasak dengan baik. Kemudian, untuk menghiburku.. Aris mengatakan, "Tidak apa-apa jika kau tidak bisa memasak.. karena aku yang akan memasak untukmu setiap hari nanti jika kita menikah."
Dan semenjak saat itu, Aris selalu berusaha untuk belajar memasak sebagai bekal untuk menjadi calon suamiku kelak di masa depan. Saat itu, nasi goreng dan bubur buatannya merupakan yang terenak dan menjadi salah satu dari makanan favoritku.
"Kalau begitu aku tidak hanya beruntung mendapatkan suami seorang perjaka.. ternyata dia juga mempunyai bakat terpendam sebagai seorang koki handal.." puji Shina pada Aris yang kemudian menyadarkan Aris dari lamunannya.
Namun, saat itu Rani
"Perjaka itu apa Mi?" tanyanya penasaran
Tentu saja Aris yang mendengar Rani menanyakan itu pada Shina menjadi malu. Saat itu dia terlihat gugup sambil kemudian mengambil segelas air dan langsung meminumnya.
Selesai sarapan bersama, tak lama kemudian Aris berangkat ke kantor. Shina terlihat mengantarkannya sampai pintu depan unit mereka. Saat itu, aku juga kebetulan ingin keluar. Aku terkejut melihat Aris ada disana.. ternyata dia baru akan berangkat ke kantor.. Shina berbohong padaku, pikirku kesal.
Shina yang terkejut melihatku keluar kemudian,
"Kau.. sudah tidak ada barangmu lagi yang tertinggal kan. Jangan sampai bolak balik lagi nanti.." ucap Shina gugup pada Aris sambil sesaat dia berusaha menatapku
Aris terlihat bingung saat itu. Kemudian Shina pun berjinjit dan mengecup singkat bibir Aris, sambil memeluknya kemudian dia berkata
"Kau hati-hati.. Hubungi aku ketika kau akan kembali dari kantor nanti" ucap Shina mesra pada Aris
Aris kemudian membalas memeluknya. Sambil tersenyum mengangguk menjawab pertanyaan Shina, dia terlihat mengusap-usap rambut Shina sambil berkata,
"Kalau begitu aku pergi dulu. Kau juga hati-hati.." ucap Aris masih tersenyum
Aris kemudian berbalik dan akhirnya dia pun menyadari keberadaanku disana. Dia tampak agak sedikit terkejut waktu itu. Sesaat ketika mata kami saling bertatapan, Aris kemudian dengan cepat memalingkan wajahnya dan terlihat pergi berlalu menuju ke arah lift, tanpa tersenyum sedikit pun atau bahkan sekedar menyapaku.
Aku yang merasa tidak nyaman dengan kondisi itu, kemudian memilih untuk masuk kembali ke dalam unitku (tidak jadi pergi keluar).
Sementara Aris, dalam perjalanan menuju kantornya, dia tiba-tiba terkejut mendapat panggilan telepon dari Papaku.