Beberapa hari telah berlalu semenjak Mas Ryan pergi ke New York. Aku masih sama seperti dulu, masih menjalankan aktivitas keseharianku sebagai seorang ibu rumah tangga dirumah. Aku jarang pergi keluar karena Mas Ryan tidak mengizinkanku untuk bisa menyetir mobil lagi, jadi aku malas untuk pergi kemana-mana, selain hanya disekitaran apartemen.
Beberapa hari ini, hubunganku dan Mas Ryan berjalan dengan baik. Kali ini dia mau menjawab panggilanku. Bahkan, lebih sering dia yang menghubungiku ketimbang aku yang menghubunginya. Seperti mengabsen, mungkin sehari hampir 3x atau lebih dia menghubungiku.. baik kita melakukan vcall atau hanya sekedar menelpon. Kelihatannya urusannya disana juga berjalan dengan baik dan Papa mertua ku juga sudah jauh lebih baik kesehatannya.
Untuk masalah tetangga sebelahku Aris dan Shina, entahlah.. sudah lama aku tidak melihatnya. Mungkin karena aku yang jarang keluar atau mereka yang seolah tersadar dengan perubahan sikapku, sehingga mereka pun memilih untuk menghindar. Aku tidak tahu bagaimana kabarnya karena kami jarang berpapasan atau bertemu secara langsung.
Kring.. Kriiingg.. Kriiiingg... (suara handphoneku tiba-tiba berdering)
Ternyata itu panggilan dari Papa. Awalnya aku sempat ragu untuk mengangkatnya, tapi aku tetap memilih untuk mengangkatnya juga.
"Lena.." sapa Papa ditelpon
"Ya Pa?.." jawabku
"Ini sudah beberapa hari, kenapa kau tidak pernah datang kesini menemui Papa? Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Papa mertuamu? Kau merawatnya dengan baik kan??" tanya Papa
Dalam hatiku,
"Gawat.. Aku lupa kalau aku pernah bilang sama Papa bahwa aku pergi dan tinggal dirumah Ryan. Duh, bagaimana ini?" pikirku panik
"Hey Lena.." sapa Papa kembali ditelpon yang menyadarkanku
"Ii.. Iya Pa." jawabku ragu-ragu
"Kenapa kau malah diam seperti itu. Aku tanya bagaimana kabarnya Pak Tomo sekarang? Apa sudah ada perkembangan dari sebelumnya??" tanya Papa kembali
"Papa mertua sudah jauh lebih baik Pa.. tetapi tetap saja kondisi fisiknya seperti itu. Dokter masih tidak menyarankannya untuk kembali bekerja seperti dulu lagi. Aktivitas fisiknya kini terbatas karena stroke yang dideritanya.." aku menjelaskan
"Kasihan Pak Tomo. Papa juga gak kebayang gimana kalau seandainya Papa yang ada di kondisinya. Pasti berat sekali baginya meninggalkan semua pekerjaan yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya itu.." ucap Papa bersimpati
"Kau jaga Mertuamu itu baik-baik ya Sayang. Kau ini kan satu-satunya menantu mereka.. sehingga mereka sangat berharap banyak padamu.. Mungkin nanti Papa juga akan kesana untuk menengok Pak Tomo." ucap Papa yang membuatku terkejut
"Gawat.. Bisa bahaya kalau Papa nanti datang kekediaman Pak Pratomo. Mereka semua kan tidak ada disana.. Yang ada nanti malah bikin runyam masalah.." pikirku cemas
Oleh karenanya, aku pun kemudian berkata pada Papa
"Pa.. Papa tidak usah datang kemari untuk menjenguknya. Cukup Lena wakilkan saja Pa. Maksud Lena, Pak Pratomo tidak dalam kondisi fit untuk menerima tamu kunjungan." ucapku berbohong spontan
"Tidak dalam kondisi fit? Loh.. Bukannya tadi kamu bilang sudah agak mendingan, Sayang?" tanya Papa heran
"Bu.. Bukan Pa. Bukan seperti itu.. Maksud Lena.. hmm.. kondisi Papa baik, hanya saja beliau masih merasa risih dan malu jika harus menerima tamu kunjungan dalam kondisinya itu." aku mencoba mencari alasan agar Papa tidak sampai datang berkunjung kesana.
Dan sepertinya ucapanku yang terakhir tadi berhasil meyakinkan Papa. Meskipun disatu sisi aku merasa tidak enak karena telah membohonginya, tetapi itu lebih baik daripada Papa mengetahui keadaan yang sebenarnya kan.
"Ohh begitu.. Yasudah. Sampaikan saja salam Papa padanya ya nanti. Beritahukan bahwa Papa berharap yang terbaik untuk kesehatannya." ucap Papa
"Iya Pa. Nanti Lena sampaikan" jawabku
"Oh iya Lena, ada kemungkinan besok Papa akan kembali bekerja. Kondisi Papa kan sudah agak mendingan. Dan Papa juga sudah cukup merasa bosan dirumah, terlebih lagi tidak ada kamu juga disini.. Jadi Papa memutuskan untuk kembali kerja saja besok."
"Apa??" responku terkejut
"Kenapa kau terkejut seperti itu. Lagipula ini juga sudah lebih dari seminggu kan Sayang. Papa merasa bosan sekali dirumah tanpa melakukan kegiatan apapun.."
"Tapi kan Pa.." aku berupaya membujuk Papa
"Tidak ada tapi-tapian. Pokoknya besok Papa masuk kantor." ucap Papa menegaskan
"Pak Asep kan masih belum kembali Pa.." aku masih berupaya mencari alasan agar Papa tidak pergi ke kantor.
"Kau pikir hanya Pak Asep saja yang bisa diandalkan menjadi supir? Kan masih ada Pak Ali.. Dia bisa membantuku untuk sementara, selama Pak Asep masih belum kembali dari kampungnya." Papa menjawab
"Oh iya, ngomong-ngomong mobil Papa dimana. Kamu kembalikan kemari ya nanti. Gak enak gak ada mobil, Papa jadi gak bisa jalan kemana-mana.." ucap Papa kembali yang kali ini membuatku shock berat dan ketakutan
"Yang benar saja.. Bagaimana kalau Papa sampai tahu mobilnya itu sudah kubuat hancur dan sekarang sedang ditangani oleh pihak asuransi di bengkel.. Apa yang harus ku lakukan untuk menjawab pertanyaan Papa yang seperti ini??" ucapku bingung dalam hati.
Belum sempat aku membalas, kemudian Papa kembali berkata
"Nanti malam atau paling lama besok sebelum jam6 pagi, kau antar mobilnya kerumah ya Sayang.. Kalau begitu Papa tutup telponnya. Sekali lagi sampaikan salam Papa untuk Pa Tomo, Bu Tomo, dan juga Ryan disana ya?"
"Iya Pa. jawabku
"Sampai jumpa Sayang. Jaga kesehatanmu ya!" ucap Papa berpamitan
"Iya, Papa juga ya disana. Jaga kesehatan Papa." Dan kemudian Papa pun menutup teleponnya.
Saat itu, aku kemudian langsung menghubungi Ryan.
"Mas.." sapaku ketika telepon mulai terhubung
"Ya Sayang kenapa?" tanya Ryan
"Mas, gak lagi sibuk kan?" aku berusaha memastikan kondisinya terlebih dahulu, sebelum dia ku ajak ngobrol panjang lebar
"Iya. Nggak kok. Aku kan selalu ada waktu senggang buat kamu Sayang.. Lagian, apa sih yang aku gak bisa lakuin buat istriku yang paling cantik didunia.." jawab Ryan tiba-tiba menggoda
Tanpa merespon candaannya, aku langsung menceritakan semua kejadiannya. Aku bilang bahwa Papa tadi menelponku dan meminta agar mobilnya itu dikembalikan segera malam ini atau besok pagi.. karena besok akan dibawa kekantor olehnya.
Aku panik saat itu. Ryan yang mendengar semua kepanikanku kemudian berusaha untuk menenangkanku.
"Tenang Sayang.. tenang.. Kamu jangan panik seperti itu. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya." ucap Ryan menenangkanku
"Bagaimana aku bisa tenang Mas? Mas kan tahu bagaimana kondisi mobil Papa saat ini. Bagaimana kalau sampai Papa tahu kalau aku sempat kecelakaan menggunakan mobilnya itu. Papa pasti marah besar.. Bahkan, tidak hanya marah padaku saja, tapi pasti kamu akan kena imbasnya juga Mas.. Jadi kita harus bagaimana?? Apa yang harus kita perbuat sekarang?" tanyaku kembali panik
"Kalau kita bilang mobilnya sekarang sedang di bengkel, bagaimana Sayang? Kamu bilang ke Papa bahwa mobilnya tiba-tiba mogok tadi dan bermasalah, kemudian langsung kamu bawa ke bengkel hari ini." Ryan menyarankan
"Tapi.. Bagaimana kalau tiba-tiba Papa ingin langsung melihat dan memastikan kerusakan mobilnya sendiri di bengkel. Kalau ketahuan kita berbohong maka Papa akan semakin marah Mas.."
"Kamu usahain supaya Papa gak sampe pergi ke bengkel buat lihat mobilnya. Kamu bisa kan pergi kerumah, sekalian kamu minta sama Papa supaya Papa jangan ke kantor dulu.." Ryan menjelaskan
"Aku mau ke rumah Papa untuk ngelakuin itu semua, tapi masalahnya lukaku ini Mas.. Bekas jahitannya masih kelihatan. Okelah.. kalau yang dilengan masih bisa aku tutupin pake baju panjang. Bagaimana dengan luka yang ada dipelipisku ini?"
"Pokoknya Papa jangan sampe tahu kalau aku mengalami luka seperti ini. Bisa gawat urusannya nanti.." ucapku menjelaskan
Ryan terlihat diam ditelpon. Mungkin dia juga kebingungan memikirkan alasan lain yang bisa kugunakan untuk masalah ini. Kemudian aku,
"Mas.." ucapku kembali padanya
"Aku ada ide yang mungkin bisa mengalihkan Papa dari masalah ini. Mungkin Papa juga bisa dengan mudah terbujuk, kalau dia yang melakukannya, tapi.. masalahnya Mas mungkin tidak akan senang dan setuju dengannya." ucapku yang membuat Ryan bingung
"Memangnya ide apa?" tanya Ryan penasaran
"Aris Mas.. Kita perlu bantuan Aris untuk bisa membujuk Papa." jawabku yang kemudian ditolak segera saat itu juga oleh Ryan
"Gak. Aku gak setuju sama ide kamu. Kok Aris.." ucap Ryan tidak senang
"Tapi Mas.. Mungkin Papa akan mendengarkan jika Aris yang membujuknya. Kita tidak punya solusi lain.." aku berusaha memohon
"Tidak. Aku tidak mau.. Memangnya dia pikir dia siapa bisa langsung membujuk Papa dan Papa pun akan langsung setuju sama dia. Aku pokoknya gak setuju sama Aris." Ryan menolak tegas
"Kalau Mas tidak setuju. Makanya pikirkan cara lain.." ucapku mendesaknya
Ryan masih terdiam beberapa saat ditelpon, kemudian aku
"Tidak ada cara lain lagi kan? Jadi aku mohon sama kamu Mas, tolong kali ini setujui ideku itu.
"Tapi Sayang kenapa harus Aris sih.. Kamu kan tahu aku itu tidak suka dengannya. Belum lagi kalau nanti dia dekat-dekat dengan Papa.. Entah apa yang akan dilakukan dia nanti untuk mempengaruhi Papa supaya Papa semakin benci sama aku dan terus membanding-bandingkan aku dengan dia.." Ryan masih tidak terima dengan ideku
"Terus aku harus gimana Mas? Apa Mas mau kalau Papa tahu kejadian yang sebenarnya? Mas mau kalau Papa tahu aku kecelakaan waktu itu karena berusaha mengejarmu ke bandara. Papa bisa lebih marah bahkan benci sama kamu kalau tahu itu semua.. Apa Mas mau seperti itu??" ucapku mendesaknya
"Tapi tetap saja Sayang. Aku tidak mau kalau orang itu Aris. Apa tidak ada ide atau cara lain lagi selain minta tolong padanya? Kenapa harus Aris sih??" Ryan masih berusaha menolak
"Karena Papa sangat percaya padanya. Mas tahu, Papa itu termasuk orang yang sulit untuk menerima atau menganggap orang lain untuk jadi teman dekatnya. Papa itu susah bergaul dengan orang lain, selain untuk urusan bisnis atau kerjaannya. Jadi, Aris itu termasuk beruntung bisa dekat dan mendapat kepercayaan Papa. Bahkan Papa sendiri pernah ingin mengangkatnya sebagai anak dan penerusnya kan?"
"Sudah cukupp..!! Aku gak suka ya, kalau kamu muji-muji Aris seperti itu dihadapanku. Bagiku dia itu munafik. Semua sikap baik dan pasrahnya itu hanyalah kedok untuk mengelabui orang-orang disekitarnya saja agar lebih respek padanya.." ucap Ryan membantah
"Mass.!! Mas gak boleh ngomong seperti itu. Aris itu.."
"Lihat..Barusan aku ngomong apa ke kamu. Kamu masih berani muji-muji dia..? Apa karena dia dulu itu mantanmu.. atau karena kamu masih ada rasa sama dia, hah??!" ucap Ryan mendadak Emosi
"Mas..!! Kok kamu jadi marah-marah seperti ini sih. Aku kan tadi ngomong baik-baik sama kamu.."
"Baik-baik? Kamu aja terus-terus muji-muji Aris. Aris.. Ariis.. dan Ariiis.. Selalu kamu muji-muji dia.." ucap Ryan kesal, marah, dan membentak
"Yaudah.. terserah Mas saja kalau gitu" balasku dingin kemudian langsung aku memilih untuk menutup telponnya.