"Kalau kamu ingin membaca tentang cinta dan pernikahan, kamu harus membeli dua buku yang berbeda" ~Alan King
Hari ini, untuk pertama kalinya aku dan istriku duduk berhadapan di meja makan dan menghabiskan sarapan kami tanpa saling melotot satu sama lain. Meskipun kami tidak banyak bicara—nyaris sama sekali tidak bertatap mata—tapi paling tidak kami tidak saling berteriak pagi ini. Kalau kamu bertanya padaku, ini adalah sebuah kemajuan yang cukup pesat dalam hubungan rumah tangga kami sejak awal kami menikah lebih dari dua bulan yang lalu. Maksudku, baru kemarin pagi kami masih saling berteriak sekuat tenaga satu sama lain dan berusaha menahan diri untuk tidak saling mencekik tapi pagi ini kami bisa mencoba untuk lebih menerima keberadaan satu sama lain.
Rupanya, setelah makan malam di restoran keluarga semalam, kami berdua berhasil mencapai kesepakatan tidak tertulis untuk saling berdamai. Meski pun semalam tidak banyak yang kami bicarakan—masih sangat canggung bagi kami untuk bersikap akrab satu sama lain—tapi sepertinya kami memiliki tujuan yang sama kali ini, kami ingin mencoba untuk memperbaiki pernikahan ini. Meskipun tidak satu pun dari kami mengatakannya terang-terangan tapi aku tahu bahwa kami menginginkan hal yang sama.
Aku percaya, kami bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan pernikahan kami. Kami memang tidak saling mencintai, tapi bukan berarti kami tidak bisa berteman bukan? Bagaimana pun, sebelum kejadian ini pun sebenarnya kami berteman cukup baik. Aku masih ingat bagaimana dulu kami sering menghabiskan waktu bersama. Sampai kemudian kami menjauh di usia remaja, kami sebelumnya selalu menghabiskan waktu bersama. Kim memang menyebalkan dan egois, butuh kesabaran untuk menghadapinya dan harus menebalkan kuping untuk menghadapi kata-kata pedas yang selalu dilontarkannya, tapi aku tahu bahwa Kim pada dasarnya adalah gadis yang baik. Buktinya, ia pun sadar bahwa kami harus melakukan sesuatu terhadap pernikahan kami yang masih seumur jagung ini. Bahwa kami harus sama-sama berusaha menyelamatkan kapal kami sebelum karam.
Aku merasa senang, karena paling tidak suasana di rumah sudah lebih baik dari sebelumnya. Sesekali aku memang harus menahan diri mendengar celetukannya yang lumayan menyakitkan. Tapi kupikir, sebagai seorang laki-laki aku harus bisa lebih menahan diri. Wanita hamil dan ledakan hormonnya bukanlah musuh yang ringan, lebih baik mengalah. Lagi pula, Kim tidak bermaksud jahat. Kim selalu mengatakan apa yang ada di pikirannya, terkadang ia tidak sadar bahwa kata-katanya itu menyakitkan, namun aku tahu ia sama sekali tidak memiliki niat buruk. Di samping itu, Kim tengah mengandung. Hormonnya akan mengacaukan emosinya dan aku tidak akan menang melawan wanita hamil yang dikuasai oleh hormonnya yang menggila. Aku tahu bahwa kehamilan ini tidak mudah bagi Kim. Ia belum berpengalaman dan sebelumnya ia tidak pernah mengira bahwa ia akan hamil secepat ini. Aku ingin membantunya melewati masa-masa kehamilannya dengan selamat.
Percakapan di meja makan pagi ini pun mampu membuatku merasa lebih baik. Itu kali kedua kami bisa berbicara baik-baik tanpa saling memaki setelah makan malam sebelumnya. Kali ini terasa lebih natural dan ringan. Setiap kali mengingat bagaimana Kim berusaha keras untuk mencari topik pembicaraan saat sarapan tadi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
"Sir, Mr. Edward! Sir!"
Saat aku tersadar dari lamunanku, anak-anak muridku tengah mentertawakanku. Wajahku segera berubah merah ketika tersadar bahwa sedari tadi aku melamun di tengah jam pelajaranku. Murid-muridku menyorakiku yang merah padam karena kelalaian yang kulakukan. Aku tahu aku salah, melamun di saat sedang mengajar bukanlah hal yang bisa dibanggakan. Aku tidak mau membayangkan wajah seperti apa yang kutunjukan pada anak-anak muridku tadi saat terhanyut dalam lamunanku. Sangat memalukan...
"Anda melamun ya?"
Murid-muridku kembali menggodaku, bukan hal pertama bagi mereka untuk menggodaku. Semenjak aku mulai mengajar di sekolah ini sebagai guru tambahan tahun lalu, murid-muridku tampak tidak sungkan untuk meledekku—meskipun mereka sering menggodaku, aku masih menganggapnya dalam batas wajar jadi aku tidak pernah mempermasalahkannya. Mungkin karena usiaku yang tidak terpaut terlalu jauh di atas mereka, mereka lebih menganggapku seperti teman dibandingkan seorang guru. Lima atau enam tahun di atas mereka mungkin masih dianggap terlalu muda.
Aku hanya tertawa serba salah sambil menggaruk bagian belakang telingaku yang sebenarnya tidak gatal. Aku tengah berada di depan kelas pelajaran biologi, menunggui murid-muridku yang sedang sibuk mengerjakan soal latihan yang kuberikan. Seharusnya aku tidak melamun. Aku memberikan contoh yang tidak baik pada mereka.
"Mr. Edward, anda pasti sedang melamun jorok!" celetuk salah seorang murid laki-laki berambut coklat disambut tawa seisi kelas, "Ini kan sedang jam pelajaran!"
"Kangen sama istri, ya?"
Kembali terdengar suara tawa aku hanya bisa tertawa malu.
"Mentang-mentang pengantin baru!"
Aku hanya tersenyum, tentu saja yang mereka ketahui hanyalah kabar mengenai pernikahanku, mereka tidak tahu mengenai alasan dibalik pernikahanku. Aku harap mereka tidak akan tahu karena itu akan menjadi contoh yang buruk bagi mereka.
"Jangan berisik! Kembali kerjakan tugas kalian!"
Murid-muridku masih tertawa namun perlahan-lahan mereka kembali sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Aku menatap seluruh penjuru kelas hingga kemudian tatapan mataku bertemu dengan salah seorang murid perempuan berambut hitam dan berwajah oriental yang dengan wajah tanpa ekspresi menatapku.
Aku tersenyum padanya. Tapi ia tidak balas tersenyum. Aku tidak bisa mengartikan tatapan matanya. Mata kami bertemu selama beberapa detik sebelum kemudian ia menunduk dan kembali mengerjakan tugasnya seolah tidak terjadi apa-apa.
Aneh...
Jam makan siang kuhabiskan di ruang guru, memeriksa buku catatan para murid yang ada di mejaku. Makan siangku kali ini adalah sandwich tuna yang tadi kubeli sebelum berangkat di depan stasiun dan sekaleng kopi susu.
Mataku tertumpu pada salah satu buku catatan milik muridku yang ada di meja di hadapanku. Nama yang tertulis di buku itu adalah Diva Owen. Tiba-tiba aku teringat kejadian di kelas tadi.
Diva Owen...
Diva adalah salah satu murid terpandai di angkatannya. Catatan prestasinya di atas rata-rata dan sikapnya sering dipuji para guru. Aku tidak begitu tahu soal latar belakang keluarganya, tapi sepertinya ia bukanlah siswa bermasalah. Aku sedikit penasaran, mengapa ia menatapku seperti itu tadi? Mungkin aku terlalu berlebihan mengartikannya tapi aku merasa sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikannya padaku. Instingku sebagai seorang guru mengatakan bahwa aku harus berusaha menjangkaunya. Mungkin ia memiliki masalah yang dirahasiakannya dan ia tidak tahu harus bercerita pada siapa. Mungkin tatapan matanya saat itu adalah tanda permintaan tolong agar aku bisa menyelamatkannya...
Aku menggelengkan kepalaku dan menghela napas panjang, mungkin aku terlalu berlebihan mengartikannya.
"Mr. Edward!"
Aku menoleh dan tersenyum pada rekan sesama guru yang berdiri di dekat mejaku, tangannya memegang kotak bekal makan siang. Rambut merahnya tertata rapi dan senyum lebarnya memamerkan deretan giginya yang rata dan terawat.
"Mr. Josh..."
"Lagi-lagi makan siang roti dan kopi?" tanya guru Matematika yang usianya tidak terpaut jauh dariku itu.
Aku tertawa sambil mengangguk, "Aku suka roti."
Josh Stevenson mendengus. Ia menarik kursi di sebelahku dan duduk tanpa kupersilahkan. Ia meletakan kotak bekalnya di atas meja.
"Pengantin baru sepertimu, seharusnya istrimu menyiapkan bekal untukmu..." ia membuka kotak bekalnya dan tersenyum bangga saat melihat isi kotak bekal yang disiapkan oleh istrinya itu, "Ah, istriku membuatkan terlalu banyak untukku, mau?"
Aku tersenyum dan menggeleng, menolak secara halus.
Josh mengangkat kedua bahunya, tidak tampak tersinggung dengan penolakanku—mungkin ia juga hanya berbasa-basi menawarkannya padaku, "Baiklah kalau begitu."
Wajahnya terlihat senang saat menyantap bekal buatan istrinya itu. Aku hanya menghela napas dan
kembali fokus pada tugasku memeriksa catatan yang dikumpulkan murid-muridku.
Melihat wajah Josh yang terlihat bahagia tiap kali bicara tentang istrinya yang dinikahinya tiga tahun yang lalu itu membuatku tersadar, menikah karena 'ingin' dan menikah karena 'harus' itu adalah dua hal yang berbeda. Ah, tentu saja... Menikah dan cinta adalah dua hal yang berbeda. Aku sudah bisa menerima kenyataan bahwa menikah tidak harus berdasarkan cinta. Ada hal-hal lain yang lebih penting yang harus melandasi pernikahan.
Seperti komitmen.
Aku sadar, aku telah berkomitmen untuk menikah Kim, dan apapun yang terjadi aku harus menjaga komitmen itu. Meskipun tanpa cinta...
Aku mengurut pangkal hidungku dengan jariku, aku merasa pusing tiap kali memikirkannya. Keadaan telah menjadi lebih baik di antara kami berdua tapi bukan berarti kini keadaan sudah menjadi tidak canggung sama sekali. Semalam, sebelum tidur, aku masih berpikir keras. Sampai kapan? Pernikahan itu, seharusnya, hanya sekali seumur hidup kan? Lalu kalau terus begini, apa aku harus menjalani pernikahan tanpa cinta seumur hidup?
Lamunanku terhenti mendengar bel tanda istirahat makan siang usai. Sepertinya aku harus menghentikan kebiasaan melamun ini.
Hari ini aku bertugas piket, yang artinya sepulang sekolah aku bertugas mengecek tiap ruang kelas dan memastikan tidak ada murid yang tinggal di dalam gedung sekolah seusai kegiatan belajar mengajar. Aku bertugas mengunci tiap-tiap ruangan dan memastikan semua jendela telah tertutup.
Jam enam sore, semua murid diharuskan sudah meninggalkan sekolah, terkecuali murid yang masih mengikuti kegiatan klub olahraga dan kesenian. Aku mulai berkeliling dari kelas ke kelas dan berharap bisa segera menyelesaikan tugasku segera agar bisa pulang. Kepalaku sedikit pusing dan aku ingin mandi air panas hari ini.
Pagi tadi aku sudah memberitahu Kim bahwa aku akan pulang sebelum jam makan malam dan agar ia menyiapkan air panas untuk aku mandi. Di luar dugaan, ia tidak terdengar keberatan melakukannya.
Langkahku terhenti di depan salah satu ruang kelas. Seseorang berdiri di depan jendela kelas, membelakangiku. Seorang siswa perempuan berambut panjang. Jantungku nyaris berhenti berdetak, teringat berbagai cerita horor di sekolah yang sering kudengar dari para murid dan rekan-rekan sesama guru. Aku menghela napas lega saat sadar bahwa sosok itu bukanlah sosok hantu melainkan hanya seorang murid.
"Hei, siapa di sana?" sulit untuk mengenali wajahnya karena jendela yang menghadap barat membuat wajahnya tersembunyi sinar matahari yang keemasan, "Ini sudah waktunya semua siswa pulang?"
"Mr. Edward?"
Dahiku berkerut saat menyadari bawa siswa yang tengah menoleh ke arahku itu adalah Diva Owen.
Aku sedikit terkejut saat menyadari bahwa ia tengah menangis. Aku tidak mengerti mengapa ia menangis tapi naluriku sebagai seorang guru mengatakan bahwa aku harus melakukan sesuatu.
"Ada apa, Owen?" buru-buru aku menghampiri muridku itu, sedikit tidak percaya diri bahwa aku bisa menenangkannya, namun aku tetap mendekat ke arahnya.
Aku berhenti beberapa langkah di hadapannya. Anak perempuan yang bertubuh beberapa sentimeter lebih pendek dariku itu menunduk seperti menyembunyikan air matanya. Tangannya terkepal erat di dadanya. Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padanya.
"Owen?"
Ia tidak menyahut.
Aku baru saja akan mendekat ke arahnya ketika ia kemudian berlari melewatiku dan meninggalkan ruangan itu. Aku hanya bisa terdiam dan mengikutinya dengan pandanganku. Dahiku berkerut bingung. Ada apa?
Aku pun memutuskan untuk bicara dengannya besok.