Hari ini setelah mengakhiri pelajaran, aku memanggil Diva Owen dan memintanya untuk menemuiku sepulang sekolah. Wajahnya tidak menunjukan reaksi apapun tapi aku tahu, ia pasti mengerti mengapa aku memanggilnya. Aku tidak ingin terlalu ikut campur dalam kehidupan anak muridku, tapi aku juga tidak bisa membiarkannya begitu saja. Sebagai seorang guru aku merasa perlu untuk membimbing dan membantu muridku meskipun itu diluar dari mata pelajaranku.
Saat aku kembali ke ruang staff pengajar, beberapa guru yang tengah bersiap untuk berangkat mengajar ke kelas masing-masing tersenyum ke arahku. Saat aku sampai di mejaku dan meletakan barang-barangku, di ruangan itu hanya tinggal aku dan guru matematika kelas satu, Josh Stevenson. Dia juga baru selesai mengajar sepertiku dan tidak ada jadwal mengajar lagi setelah ini.
"Hey, kudengar besok kamu mengambil cuti?" Tanya pria yang usianya tidak jauh dariku itu sambil membuka sekaleng kopi dan meminumnya.
Aku mengangguk, "Mr. Robert akan menggantikanku selama satu hari, aku akan menemani istriku menemui dokter untuk memeriksakan kandungannya."
Ia mengangguk, "Kudoakan semoga semuanya berjalan lancar. Sudah tahu jenis kelaminnya?"
Aku menggeleng, "Ah, belum... Lebih baik kalau jadi kejutan saja kan?" Aku tersenyum.
Setelah itu kami berdua terdiam. Josh duduk sambil meminum kopinya dan memeriksa catatan muridnya sedangkan aku terdiam sambil memikirkan bagaimana aku harus memulai percakapan dengan Diva Owen nanti.
"Ah, anu..."
Josh menghentikan gerakannya dan menatap ke arahku, "Ya?"
"Err, itu," aku tidak tahu apakah bertanya pada guru lain adalah tindakan yang tepat atau tidak, "soal Owen..."
"Owen? Diva Owen? Ada apa dengannya?"
"Apa belakangan ini ada yang aneh dengannya? Maksudku, dari apa yang kamu lihat di kelasmu..."
Josh tampak berpikir sesaat, "Owen adalah murid yang pintar. Setahuku dia tidak memiliki masalah dengan murid lainnya. Dia juga populer di kalangan murid laki-laki."
Aku mengangguk, sejauh ini, itu juga yang aku dengar tentang Diva Owen. Tidak pernah ada rumor negatif tentangnya.
"Kenapa?" Tanya Josh, "Apa dia menimbulkan masalah di kelasmu?"
Aku menggeleng cepat-cepat, "A.. Ah tidak!" Aku buru-buru tertawa untuk menutupi rasa grogiku, "Aku hanya ingin tahu..."
Josh terlihat penasaran tapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Aku baru saja akan meraih koran hari ini yang belum kubaca ketika teleponku berdering.
Aku berjengit saat melihat nama yang tertera di layar.
"Kim?"
"Hey..."
Aku memicingkan mataku saat mendengar suaranya, aku tidak terbiasa menerima telepon darinya. Aku harap tidak ada hal buruk yang terjadi.
"Ada apa?" Tanyaku tanpa berbasa-basi. Aku tahu ia tidak mungkin menelponku hanya karena sekadar kangen.
"Ibuku baru saja menelpon," katanya juga tanpa basa-basi, suaranya tidak terdengar ketus seperti biasanya dan aku bersyukur karenanya sebab aku tidak ingin pembicaraan ini berakhir dengan sebuah pertengkaran yang tidak perlu, "katanya, ia ingin agar kita makan malam di rumah besok."
Aku menghela napas, ibu mertuaku adalah seseorang yang sudah kukenal sejak kecil. Sifatnya yang keras kepala dan bertekad kuat tidak berbeda jauh dengan Kim, mustahil untuk menolak keinginannya lagipula aku tidak merasa ada yang salah dengan mengunjungi kedua orang tua Kim yang kini telah menjadi orang tuaku juga, "kenapa tidak? Kita sudah lama tidak berkunjung kan?"
"Masalahnya," gumam Kim, "Ibuku juga ingin agar kita menginap di sana."
Aku tidak melihat ada yang salah dengan hal itu.
"Kenapa tidak?"
Di luar dugaanku, Kim terdengar terkejut, "kau setuju?"
"Tentu saja..."
Saat ia bicara kemudian ia terdengar senang, entah mengapa aku ikut merasa senang mendengar nada suaranya yang riang, "syukurlah! Aku akan menelpon ke rumah kalau begitu. Ah ya, kau akan pulang sebelum jam makan malam kan?"
Aku melihat jam tanganku, aku tidak ada jadwal piket hari ini. Berbicara dengan Diva Owen tidak akan memakan waktu lama...
"Ya aku akan pulang tepat waktu, ingin titip sesuatu?"
"Ah tidak, kalau begitu aku akan siap-siap!" Kim terdengar ceria, aku tidak bisa menahan agar senyumku tidak mengembang, sudah lama kami tidak berbicara dengan suasana seperti ini, "baiklah kita makan tempura udang malam ini!"
"Kedengaran enak," kataku masih sambil tersenyum.
Ia tertawa, "baiklah, sampai sumpa!"
"Sampai jumpa..."
Aku mencoba untuk tidak memedulikan tatapan Josh yang seolah menggodaku. Aku tahu ia akan menggodaku soal pasangan pengantin baru ini lagi jadi aku memilih untuk menghindar, meskipun dalam hati aku tidak memersoalkan godaannya kali ini. Suasana hatiku menjadi lebih baik setelah telepon dari Kim. Aku pun tidak sabar menantikan makan malam kami kali ini.
Untuk beberapa saat aku melupakan masalah Diva Owen. Saat ini, untuk pertama kalinya aku merasa bahwa menikah ternyata tidak terlalu buruk juga.
.
Saat bel tanda pulang sekolah berbunyi, dalam sekejap gedung sekolah yang tadinya sunyi menjadi gaduh. Para murid dengan penuh semangat membereskan peralatan tulis mereka dan bersiap untuk pulang atau melanjutkan kegiatan klub yang mereka ikuti. Perlahan ruang-ruang kelas mulai kosong ditinggalkan penghuninya.
Sebagian besar guru yang tidak memiliki jadwal piket dan bukan merupakan pembimbing klub pub bersiap pulang. Aku sendiri, meskipun tidak memiliki jadwal piket hari ini, masih berada di ruang guru. Aku merapikan perlengkapanku dan mengunci laci mejaku.
Aku berpamitan pada para guru yang masih bertahan di ruang guru dan menuju ruang lab biologi tempat aku meminta Diva Owen menemuiku sepulang sekolah.
Aku sedikit terkejut saat melihat gadis itu sudah berada di sana sebelum aku.
Wajahnya tidak menunjukan ekspresi apapun. Ia melihat ke arahku sekilas sebelum kembali menunduk, menghindari tatapanku.
Aku menghela nafas. Ini pertama kalinya bagiku memanggil seorang murid untuk menemuiku seusai jam pelajaran.
"Owen," kataku sambil mencoba tersenyum, "terima kasih sudah datang."
Ia hanya mengangguk.
Aku mempersilahkannya untuk duduk di salah satu kursi sementara aku duduk di meja guru yang ada di hadapannya.
"Kamu tahu alasanku memanggilmu kan?"
Ia mengangguk lagi.
Aku menghela nafas lalu tersenyum, aku tidak ingin menakuti muridku itu, "lalu? Apa ada masalah? Kalau ini masalah di sekolah, kamu bisa cerita padaku. Aku akan sebisa mungkin membantumu..."
Ia menggeleng tanpa melihat ke arahku.
Aku berjengit, "lalu?"
Ia menggigit bibir bawahnya dan memasang ekspresi seolah ingin mengatakan sesuatu namun merasa ragu. Aku memutuskan untuk menunggu sampai ia mengatakan sesuatu.
"Sir," ia mengangkat wajahnya perlahan, matanya yang berwarna unik bertemu dengan mataku, "Anda sudah menikah kan?"
"Eh?"
Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya tapi kuputuskan untuk mengangguk menjawab pertanyaannya itu.
"Apa anda bahagia?"
Aku lagi-lagi tidak mengerti harus menjawab apa. Aku menatapnya dengan bingung. Masalah pernikahanku... Ini tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang tengah ia hadapi kan? Aku tidak tahu harus menjawab apa yang jelas aku harus memilih kata-kataku agar terdengar bijak.
Belum sempat aku menjawab, ia menggelengkan kepalanya lagi.
"Kedua orangtuaku... Mereka tidak pernah terlihat bahagia."
Aku terdiam.
Aku mulai mengerti masalah yang dihadapinya.
"Orang tuamu, bertengkar?" Tanyaku hati-hati. Aku tidak tahu apakah seorang guru perlu ikut campur untuk masalah seperti ini atau tidak.
Ia mengangguk.
"Orang tuaku, mereka tetap mempertahankan pernikahan mereka karena aku, mereka menjadikanku alasan untuk tidak bercerai. Tapi setiap hari mereka selalu saja bertengkar," ia menatapku dengan ekspresi wajah yang sulit kuartikan, "mereka mengatakannya demi anak. Padahal, yang menikah itu mereka kan?"
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa.
Mempertahankan sebuah pernikahan demi anak, itu adalah hal yang sedang kulakukan saat ini.
"Aku tidak paham kenapa seseorang harus menikah dengan orang yang tidak dicintainya?" Tanya Diva sambil masih menatapku. Matanya yang indah tampak mulai berkaca-kaca, "bukankah itu hanya akan menyakiti perasaan orang-orang di sekitarnya? Bukankah itu sama saya dengan membohongi perasaan mereka?"
Aku lagi-lagi kehilangan kata-kata.
"Kedua orang tuaku... Mereka bilang mereka tidak berpisah meskipun sudah tidak saling mencintai, karena mereka memikirkanku. Kalau mereka benar-benar memikirkan perasaanku mereka tidak akan bertengkar terus menerus... Aku..." Ia mulai terisak, kali ini isak tangisnya membuat hatiku terasa sakit. Melihat seorang anak menjadi korban keegoisan orang tuanya, aku merasa ikut berdosa, "aku..."
Aku tidak tahu harus berbuat apa saat melihat air mata yang mulai membasahi wajah muridku itu.
Tiba-tiba saja, Diva Owen, murid yang selama ini selalu bersikap dewasa dan dikagumi para guru dan sesama murid menangis terisak-isak di depanku. Untuk pertama kalinya aku melihat sisi lain darinya. Diva Owen yang selama ini selalu terlihat lebih dewasa dibanding murid lainnya terlihat rapuh dan seperti... anak-anak.
Tanpa berpikir panjang aku melingkarkan lenganku di sekeliling tubuh rampingnya dan memeluknya ke arahku.
"Sssh," aku tidak tahu harus berkata apa-apa jadi aku hanya memeluknya sambil menepuk-nepuk bagian belakang kepalanya.
"Orang dewasa itu egois..." Katanya di sela-sela isaknya.
Aku tidak menjawab apa-apa.
Mempertahankan sebuah pernikahan dengan orang yang tidak dicintai demi anak... Aku tidak bisa mengatakannya pada Diva namun aku pun sama saja dengan orang tuanya. Aku merasa bersalah dan munafik.
Dia benar.
Orang dewasa memang egois.