CHAPTER 5
"Tidak ada jalan yang panjang kalau kamu melangkah ditemani seseorang yang tepat" ~Pribahasa Turki
Hari ini, untuk pertama kalinya aku dan suamiku duduk berhadapan di meja makan. Tidak hanya itu, kami pun melakukannya dua kali, pagi tadi untuk sarapan dan malam ini untuk makan malam. Rasanya sedikit aneh karena biasanya aku selalu makan sendirian. Biasanya aku akan membuat roti lapis selai kacang dan jelly dan membawanya ke dalam kamar atau memesan masakan China di restoran langgananku untuk diantar ke rumah... Terasa sedikit aneh untuk makan bersama dengan seseorang, apalagi kalau orang itu adalah suami yang tidak kamu cintai. Meskipun kalau aku harus jujur, untuk saat ini aku tidak bisa berkata bahwa aku membencinya.
Sebelum kejadian beberapa hari yang lalu aku tidak pernah bermimpi kalau aku dan Ed bisa melakukan gencatan senjata seperti ini. Sebelumnya aku kira aku akan makan malam seorang diri seumur hidup—pikiran yang menyedihkan sekaligus mengerikan.
Makan malam berdua seperti ini ternyata tidak buruk juga—pada dasarnya aku benci makan sendirian. Aku masih belum pandai memasak tapi aku senang karena paling tidak Ed belum protes soal masakanku. Mungkin ia hanya tidak ingin memulai pertengkaran denganku, tapi apapun alasannya, aku sangat menghargainya karena saat ini emosiku sangatlah labil jadi aku sangat mudah terpancing oleh hal sekecil apapun itu.
"Jadi?"
Ed mengangkat tatapannya dari piring berisi pastanya dan menatapku dengan bingung.
"Bagaimana sekolah hari ini?"
Untuk sesaat Ed seperti tidak tahu harus berkata apa. Sepertinya ia terkejut karena aku mencoba membuka pembicaraan dengannya. Bahkan setelah beberapa hari ini ia belum terbiasa dengan aku mencoba berkomunikasi selayaknya pasangan suami istri dengannya. Aku tidak menyalahkannya mengingat selama ini kami tidak pernah saling bicara tanpa melontarkan kata-kata yang saling menyakiti satu sama lain.
Aku buru-buru menambahkan, berusaha agar tidak terdengar malu, meskipun sebenarnya aku benar-benar merasa malu, bagaimana kalau ia menganggapku berusaha terlalu keras? Apa aku terlihat menyedihkan dan terlalu ngotot? "Aku hanya berpikir, suami-istri itu biasanya bicara soal seperti ini di meja makan kan?" tanyaku sambil berpura-pura kembali fokus pada piringku, "Jadi? Bagaimana sekolah?"
Aku mendengar Ed menghela napas, tapi selanjutnya saat ia mengatakan sesuatu ia tidak terdengar kasar atau marah dan aku merasa lega karenanya, "Semuanya seperti biasa..." tiba-tiba ia terdiam, "ah..."
Aku mengangkat wajah dan menatapnya dengan bingung, "'Ah' apa?"
Dahinya berkerut seolah-olah tengah mengingat sesuatu, "Hari ini, seorang muridku menangis."
Aku tertawa, untuk sesaat kami berdua terkejut dengan tawaku, sudah lama aku tidak tertawa saat berada di hadapannya. Aku merasa wajahku bersemu merah. Aku buru-buru tersenyum dan berkata, "Kau membuatnya menangis di kelas? Aku tidak menyangka kalau kamu adalah tipe guru yang galak pada muridnya."
"Bukan begitu," Ed menghela napas, meskipun ada senyum kecil menghiasi sudut bibirnya pertanda bahwa ia tidak tersinggung dengan kata-kataku itu, "ia tidak menangis di jam pelajaranku. Aku, lebih tepatnya, memergokinya menangis..."
Aku mengangkat kedua bahuku, sejujurnya aku tidak begitu tertarik, seorang remaja menangis bukanlah hal besar. Ada banyak hal yang lebih penting dari pada itu, tapi bagi seorang guru seperti Ed sepertinya ini adalah hal yang penting, "Lalu?"
"Saat melihatku ia lari."
Aku memilin spagetiku dengan garpuku, aku mencoba berpikir beberapa saat, mencoba memosisikan diriku sebagai seorang gadis remaja yang menangis sendirian dan dipergoki oleh gurunya, "Mungkin dia dikerjai murid lain? Belakangan ini aku lihat di TV di beberapa sekolah sering terjadi penggencetan pada beberapa siswa..."
Ed menggeleng, "Di sekolah tempatku mengajar tidak ada hal seperti itu. Lagi pula, Owen adalah murid yang pandai dan setahuku ia tidak pernah bermasalah dengan siapa pun. Ia memang tergolong pendiam, tapi aku tidak merasa bahwa ia memiliki musuh di sekolah."
"Kalau begitu itu pasti masalah keluarga," kataku menyimpulkan, "bukan urusanmu kan? Masalah keluarga tiap-tiap murid kan bukan tanggung jawab guru."
"Entahlah..." Ed tersenyum lemah, "Entah mengapa aku sedikit khawatir."
Aku tidak pernah dan tidak akan pernah mengatakannya langsung, namun di saat-saat seperti ini aku selalu merasa bahwa Ed adalah seseorang yang sangat berdedikasi pada pekerjaannya—dan meskipun aku enggan mengakuinya tapi itu adalah hal yang mengagumkan. Mungkin semua itu karena Ed memliki hati yang lembut, meskipun mungkin ia sendiri tidak menyadarinya. Sejak dulu aku tahu bahwa ia selalu saja mudah tersentuh oleh hal-hal kecil.
Dulu Ed sering sekali melakukan hal-hal berbahaya untuk menolongku dan teman-temannya. Pernah sekali ia harus jatuh dari pohon karena berusaha menyelamatkan kucing peliharaan teman kami. Akibatnya ia harus mengalami patah tulang dan dirawat selama sebulan. Aku yakin bahkan saat ini pun ia masih belum berubah.
Malam itu aku bermimpi tentang masa kecil kami. Saat itu aku dan Ed masih berusia sekitar tujuh tahun dan kami masih cukup akrab. Saat itu kedua orangtuaku mengajak Ed pergi bersama keluarga kami ke kebun binatang. Aku bermimpi bagaimana kami berdua menangis saat orangtuaku mengajak pulang. Saat itu, kami berdua berjanji suatu hari saat kami sudah lebih dewasa kami akan pergi berdua ke kebun binatang tanpa orangtuaku sehingga kami bisa bersenang-senang lebih lama.
Saat terbangun dari tidurku pagi itu aku merasa sedikit penasaran kalau-kalau Ed masih mengingat janji yang kami buat hari itu. Tentu saja aku tidak terlalu berharap karena sudah lima belas tahun lebih berlalu sejak hari itu. Aku bahkan tidak ingat soal janji itu kalau tidak karena mimpi itu.
Pagi itu setelah Ed berangkat ke sekolah, aku menerima telepon dari ibuku. Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga sehingga ia memiliki banyak waktu luang sepertiku. Kadang-kadang ia akan datang berkunjung untuk minum teh dan makan kue denganku atau menelpon untuk berbincang-bincang seperti saat ini.
"Bagaimana kondisi kandunganmu?"
"Besok aku dan Ed akan menemui dokter untuk check-up rutin," aku menjelaskan pada ibuku, "tapi sejauh ini aku tidak merasa ada yang aneh. Kadang-kadang aku masih merasa mual tapi selebihnya aku merasa sehat."
"Ed akan menemanimu ke dokter? Bagaimana dengan pekerjaannya?"
"Dia cuti," kataku sambil menghela napas, aku berjalan ke arah dapur dan mengambil sekotak susu dingin dari dalam lemari pendingin, "padahal sebenarnya itu tidak perlu."
"Apa maksudmu 'tidak perlu'!" tegur ibuku, "tentu saja ia ingin menemanimu ke dokter. Ini soal kesehatan anak dan istrinya, tentu saja ia akan merasa cemas."
Aku memutar bola mataku. Aku menjepit gagang telepon tanpa kabelku dengan pundak dan pipiku sambil menuangkan susu ke dalam gelas. Aku tidak pernah suka susu sebelum hamil. Tapi entah mengapa belakangan ini aku bisa menghabiskan dua liter susu dalam sehari. Menurut ibuku, aku beruntung karena paling tidak susu mengandung nutrisi yang baik untuk kandunganku.
"Jadi, kapan kalian akan mampir ke rumah?"
Aku meminum susuku sambil berjalan ke arah sofa di depan televisi. Sebelah tanganku memegang gelas sementara yang satu lagi memegang gagang telepon, "Entahlah... Memangnya kenapa?"
Ibuku menghela napas, "Sejak menikah kalian belum pernah sekalipun datang berkunjung ke rumah. Aku dan ayahmu sedikit cemas, kalian terlihat tidak begitu akur menjelang pernikahan kalian."
Aku duduk di atas sofa berwarna merah marun itu dengan hati-hati agar tidak menumpahkan susu yang kupegang, "Tenang saja. Kami baik-baik saja."
"Bagaimana kalau kalian berdua makan malam bersama kami besok? Sekalian menginap!" Tiba-tiba saja ibuku terdengar bersemangat, "besok Ed mengambil cuti seharian kan?"
"Tapi hari Sabtu dia harus kembali mengajar. Ed mengajar kelas tambahan persiapan ujian kelulusan.." gumamku sambil memandang gelas kosong di tanganku dengan dahi berkerut, aku tahu seperti apa ibuku. Kalau sekali ia sudah bersikeras maka tidak ada gunanya mendebatnya.
"Jarak dari rumah ke tempatnya bekerja kan tidak jauh. Sudahlah, pokoknya kalau kamu tidak mau memberitahu Ed, aku sendiri yang akan menghubunginya."
Benar kan? Ibuku sangat keras kepala.
"Kenapa tiba-tiba?" tanyaku akhirnya mengalah.
Ibuku terdengar senang karena ia tahu aku sudah menyerah, "Tidak ada apa-apa, hanya saja semalam ibu bermimpi tentang masa kecil kalian... Tiba-tiba saja jadi kangen..." Ibuku tertawa, "Sudah dulu ya, ibu harus mengantar paket salah alamat ke tetangga sebelah. Jaga diri dan segera hubungi rumah kalau ada apa-apa."
Aku menarik napas panjang saat ibuku akhirnya memutus percakapan kami. Lagi-lagi ibuku berhasil memutuskan sepihak. Dulu ibuku jugalah salah satu alasan mengapa aku menerima lamaran Ed. Entah mengapa ibuku sangat menyukai Ed. Sejak dulu, saat kami masih kecil ibuku selalu berkata bahwa aku akan menjadi istri Ed suatu saat nanti. Bahkan saat aku mulai berkencan dengan Daniel, ibuku masih sering berkata seolah-olah ia lebih setuju kalau aku berpacaran dengan Ed meskipun saat itu bisa dibilang aku dan Ed tidak pernah lagi bertemu.
Aku merebahkan diriku di atas sofa dan meluruskan kakiku. Kehamilanku belum terlalu besar tapi aku mudah merasa lelah. Saat ini jam masih menunjukan pukul sebelas dan aku sudah merasa sangat lelah. Aku harus makan sesuatu untuk makan siang tapi entah mengapa rasanya aku sangat mengantuk. Masih ada beberapa jam sebelum jam makan siang. Tidak ada salahnya tidur siang sebentar.
Tidak butuh waktu lama buatku untuk tertidur pulas di sofa di depan televisi. Dan aku bermimpi tentang Daniel.
Konon katanya, kalau kalian bermimpi tentang seseorang, ada dua alasan. Pertama kalian merindukan orang tersebut, atau orang tersebut yang tengah merindukan kalian. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku bermimpi tentang mantan kekasihku itu, aku bahkan tidak bisa mengingat dengan jelas seperti apa mimpiku saat itu. tapi saat aku terbangun sore itu, aku tersadar akan dua hal saat mengecek layar telepon genggamku untuk melihat jam berapa saat itu.
Pertama, aku hanya memiliki waktu sedikit untuk menyiapkan makan malam.
Kedua, aku menerima sebuah email dari Daniel Reeves.
Tentu saja hal yang terakhir itu membuatku melupakan hal yang pertama. Aku sedikit gemetar saat memutuskan untuk membaca email itu. Setelah beberapa bulan, ini pertama kalinya Daniel mengirimiku sebuah email. Mungkinkah ia sudah memaafkanku?
Isi email itu sangat singkat namun cukup untuk membuatku merasa lemas.
"Aku ingin mengembalikan beberapa barangmu yang tertinggal di tempatku. Kapan bisa bertemu?"
Bertemu dengan mantan pacar... Sepertinya itu bukan ide yang bagus.
Aku telah memutuskan untuk mencoba mempertahankan hubunganku dengan Ed. Hal seperti ini... Mungkin sebaiknya aku tidak perlu membalas email darinya. Ah, atau mungkin aku hanya perlu membalasnya dan mengatakan aku tidak bisa bertemu dengannya.
Aku harus tegas.
Semua ini sudah berakhir di antara aku dan Daniel.
Aku...
Tiba-tiba aku teringat akan mimpi yang kulihat saat aku tidur siang tadi. Samar-samar aku teringat apa yang terjadi di mimpiku...
Akhirnya kuputuskan untuk membalas emailnya.
Semoga saja apa yang kulakukan tidak salah.
"Hari Minggu jam 2 di kafe depan stasiun. Bagaimana?"