POV Devan
Suara rekaman pengajian telah kudengar sejak lima menit yang lalu, sepertinya garin tak gentar untuk tetap datang ke mesjid sebagai juru kunci, meskipun subuh begitu dingin saat ini.
"Maaasss! Mau dibantu?" ketukan pintu terdengar menyatu dengan suara Dimas, adik laki-lakiku.
"gak usah! Tunggu aja di mobil!" teriakku sambil membereskan sarung yang baru saja kulilitkan di pinggang.
Sepertinya sudah beres!
Aku pun berkaca, melihat diri di sebuah cermin besar, yang berada di samping pintu.
Tampaklah raga yang tak sempurna lagi, aku sudah terbiasa melihatnya, sangat terbiasa!
Kudorong kursi rodaku menuju pintu, kuniatkan sholat subuh berjamaahku sejak itu juga.
***
POV Mira
"sholat subuh dulu Mir! Bukannya liatin hape gitu!" teriak Lisa, teman sekamar kosku dengan suara nyaring.
"ish...! iya iya! Ini cuma ngecekin doang kali!" aku pun melempar ponsel setelah melihatnya sekilas.
"lu apa gak bosan baca yang begituan muluk?" Lisa yang baru saja membentangkan sajadahnya, menoleh padaku dengan kening berkerut.
"bosan kenapa coba? Lha wong isinya berbobot semua, gue suka banget sama yang punya web, wawasannya luas," jawabku sambil mengambil mukena yang tergantung di hanger.
"lu suka web-nya atau orangnya? Bahasa lu ambigu tuh!" koreksi Lisa sambil nyengir.
"web-nya lah!" klarifikasi cepat dariku.
Sudah hampir dua tahun ini, aku mengikuti update-an bacaan dari sebuah website yang membahas tentang lifestyle, mungkin karena bahasanya yang lugas, atau isinya yang unik dan menarik, sehingga aku tak pernah bosan untuk terus membacanya.
"oh ya..." goda Lisa yang baru selesai memasang mukenanya.
"napa sih lu sewot aja! Mendingan gue ke mana-mana, dibandingin lu, baca horoskop gak jelas!" balasku pantang kalah.
"eh! Enak aja bilang horoskop gue gak penting!" Lisa pun melotot.
"hehehe, ini jadi gak sholatnya? Siapa yang jadi imam sekarang?" tanyaku mencoba mengalihkan kekesalan Lisa.
"lu emang paling pintar kalo ngeles ya? Lu yang imam sekarang!" perintah Lisa dengan wajah sedikit cemberut.
Subuh yang dingin itu pun kami jalani seperti biasa di kamar kos yang tak seberapa luas ini.
***
"eh... ternyata kecerdasan anak itu diturunin dari Mama-nya lho!" ujarku pada Lisa sambil membaca blog di ponsel.
"masa sih?" tanya Lisa tak percaya.
"iya... kata penelitiannya gini, untuk anak perempuan, itu seimbang, berasal dari kecerdasan Ayah dan Ibunya, tapi kalo untuk anak laki-laki, lebih didominasi sama kecerdasan ibunya aja," jelasku dengan serius.
"hahaha... kasian anak laki-laki lu ntar, Mir, gak cerdas, cuma ala kadarnya aja, persis kayak lu!" ledek lisa spontan.
"eh! Biarpun gue gak cerdas, tapi gini-gini gue rajin membaca, nambah ilmu, gak kayak lu! Udahlah IQ standar, malas juga iya," balasku sambil tertawa.
Lisa segera melemparkan bantal gulingnya padaku sambil tertawa.
Kami adalah dua orang sahabat yang terkadang gila, menertawai diri sendiri agar tak terlalu stres menghadapi pekerjaan yang telah menunggu kami jam delapan nanti.
"Mir, gue kepikiran buat resign dari kantor akhir bulan ini." tiba-tiba Lisa melirikku dengan wajah serius.
"kenapa?" tanyaku yang sedang mengoleskan pelembab ke wajah.
"di sana gaji kecil, tapi kerjaan bejimbun, tiap pulang kerja, gue capek banget!" terang Lisa yang tampak mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"trus, lu mau ngelamar ke mana?" tanyaku sambil menoleh sebentar.
"hmmm mungkin gue mau balik ke kampung aja, tinggal di rumah ortu." Suara Lisa terdengar lesu.
Aku segera mendekati Lisa.
"mau kerja apa lu di sana? Kan mending di sini, Lis..." ujarku tak percaya.
Kami telah bersama semenjak kuliah dulu, sudah lima tahun berlalu.
Selesai kuliah, kami yang berasal dari tempat yang sama, sebuah desa yang cukup terpencil dan sedikit terisolasi, memutuskan untuk tetap tinggal di kota ini, mencari kerja dan kehidupan yang lebih baik di sini.
"sore kemaren, Emak gue nelfon, dia bilang kalo ada laki-laki yang nanyain gue, anak dari keluarga berada, di telfon, Emak gue kayaknya seneng banget, dan berharap gue setuju untuk dijodohin sama dia." Lisa bercerita dengan senyuman tipis yang terlihat pahit bagiku.
"tapi lu kan punya Arif di sini." Aku menggelengkan kepala.
Arif adalah pacar Lisa, mereka telah jadian sejak Lisa masih kuliah.
"hmmm iya Mir, cuma... gue gak mau bikin ortu gue kecewa, lagian Arif sampe sekarang masih gak jelas kerjanya, dia juga gak pernah bahas pernikahan sama gue." Lisa membuang nafasnya dengan kasar.
Aku menatap Lisa lekat-lekat, pikiranku menerawang, jauh melihat masa depanku yang masih abu-abu, mungkinkah aku akan berakhir seperti Lisa juga nantinya?
***
Suasana di kantor selalu sama seperti sebelumnya, aku dan seorang rekanku, berada di front office, melayani nasabah yang menyetorkan cicilan kredit motornya, mengurus beberapa administrasi nasabah baru, dan administrasi untuk penyerahan STNK bagi yang telah lunas.
Membosankan? Iya, sangat membosankan!
Tapi ini adalah pekerjaan terbaik yang bisa kuperoleh dengan gelar Diploma tigaku sejauh ini.
"Mira... sistem untuk payment-nya baru ya? Kamu ngerti gak?" tanya rekan kerjaku yang lebih tua dua tahun dariku itu.
"ngerti Mbak, buka dulu bagian yang ininya Mbak, habis itu baru klik tanda centangnya." Aku pun segera mengajarkan pengetahuan baruku padanya.
"ah.... gitu ternyata, makasih ya Mira..." ia pun tersenyum padaku.
"sama-sama Mbak.." aku pun membalas senyumannya.
"oh ya, Mira sekarang jomblo kan? Mau gak, Mbak kenalin sama adek sepupu Mbak." Wajahnya tampak berbinar seketika.
Jomblo?
Iya, aku jomblo sudah hampir tujuh bulan ini.
Awalnya aku tak menyangka akan putus dengan pacarku itu, karena kami tak memiliki masalah apapun saat itu.
Tapi setelah sebuah percakapan di atas mobil, semuanya pun berubah.
"ah... Mbak ada-ada aja." Aku mencoba mengelak dari pembicaraan itu, untuk sekarang, aku tak ingin memiliki hubungan dengan siapun, masih ada rasa kecewa di hatiku.
"eh... aku ini serius lho... nanti aku tanyain sama adek sepupu aku itu ya..." dia pun nyengir seketika.
Ah... aku tak suka dengan keadaan seperti ini!
***
"baru hari Senin, tapi wajahnya udah ditekuk gitu, hehehe." Suara seseorang yang kukenal datang dari arah belakang.
"wajah siapa yang ditekuk? Ini gue lagi baca tau!" aku menunjukkan ponselku pada Rika, rekan kerja yang sudah kuanggap teman, kami sangat dekat.
"ah... pasti dari website itu lagi ya?" tanya Rika sok tahu.
"gak lah, web itu cuma update satu biji doang sehari, udah gue baca tadi pagi, ini gue lagi baca we-nya Tribun." Aku kembali menyeruput mie yang berada di dalam mangkok baksoku.
"ooohh kirain... eh lu ngebakso ya? Gue juga deh, Mang!!! Bakso satu ya!!!" teriak Rika pada Mang Jono, pemilik kantin di sebelah kantor kami.
"eh tapi, ini nama yang ngepublis-nya sama dengan web yang biasa gue baca deh, baru nyadar juga nih gue!" ujarku keheranan pada diri sendiri.
"emang siapa sih namanya?" tanya Rika penasaran.
"Devan Dwi Anggara," jawabku tanpa menoleh.
"hmmm berarti dia freelance writer juga tuh!" tebak Rika.
"gitu ya?" aku akhirnya menoleh pada Rika yang wajahnya memerah karena kepanasan.
"iya!" Rika menyeka keringat di keningnya.
Sebagai bagian dari marketing, Rika lebih banyak berada di luar ruangan, panas-panasan di luar sepertinya bukan lagi pantangan untuknya, bahkan aku hampir selalu melihatnya seperti ini, bermandikan keringat.
"gue penasaran deh kayak apa orangnya, coba lu cari di IG, Mir!" Rika menuangkan air dari galon ke sebuah gelas kosong.
"astaga! Kok gue gak pernah kepikiran sebelum ini ya? Hehehe keren juga ide lu Ka!" aku mengedipkan mata pada Rika.
Beberapa menit berlalu...
"gimana Mir? Ketemu?" Rika yang sedang mengaduk-aduk baksonya dengan kecap tampak melirik ponselku.
"ada sih, tapi gak ada foto orangnya, cuma foto-foto pemandangan dan tempat-tempat doang, hmmm kayaknya orangnya tertutup deh." Aku mengendikkan bahu.
"hmmm bisa jadi sih, eh ntar sore kita main ke Mall yuk, biarpun gak beli apa-apa, tapi bisa cuci mata, hehehe," ajak Rika.
"boleh deh, hehehe iya sih, dari pada bengong di kos." Aku pun mengangguk setuju.
***
Banyak hal yang bisa dilihat di Mall ini, ya... untuk saat ini, semua itu hanya bisa kami lihat-lihat saja.
Bagi kami, tak pernah ada uang yang bisa kami belanjakan di sini, gaji yang kuterima setiap tanggal 10, hanya cukup untuk membayar sewa kos, listrik, air, dan keperluan hidupku untuk sebulan ke depan, adapun sisanya, harus kusimpan untuk keadaan darurat, begitulah penderitaan anak rantau yang tak punya keluarga di kota ini.
"capek gue, Mir... kita duduk di dalam yuk..." Rika menunjuk sebuah cafe yang berada paling pojok di lantai dua Mall ini.
"kita mau beli apa? Mahal gak?" tanyaku sambil berjalan mendekat ke sana.
"eh liat Mir, ada diskon untuk ice cream yang itu, berlaku dari sore sampe malam, hehehe kebetulan banget kita sorean ke sini ya," ujar Rika.
"ah... mantap nih." Aku dan Rika melangkah dengan semangat menuju cafe itu.
***
"lu ngapain?" tanya Rika yang mulai mencolek ice cream rainbow-nya itu.
"foto dulu dong, biar bisa mejeng di IG, hehehe." Aku mengamati hasil jepretanku yang terbaru, hmmm not bad.
"ice cream diskonan pun difoto-in, ada-ada aja lu Mir." Rika menggeleng-geleng sambil tersenyum.
"biarin!" aku menjulurkan lidah, lalu mulai mencoleh ice cream yang sedikit meleleh itu.
Sambil menyantap ice cream, aku terus mengamati postingan di instagaram.
Lalu...
Tiba-tiba aku melihat insta story dari akun Devan Dwi Anggara, hmmm apa isinya kira-kira ya?
Aku segera membukanya.
Tampaklah sebuah ice cream yang sama persis dengan yang sedang kami makan.
"Ka!!! Coba liat ini!!!" aku segera menunjukkan ponselku pada Rika yang sedang sibuk bermain game di ponselnya.
"itu kan foto lu tadi," ujar Rika cuek dan kembali memainkan game-nya.
"ish...!!! ini tu fotonya Devan, yang punya web itu!" klarifikasiku.
"hah!!! Jadi dia di sini sekarang dong???" Rika mendongak seketika dan segera celingak-celinguk melihat sekitar.
"iya!!! Astaga!!! Kok bisa kebetulan gitu ya?" aku kembali mengamati foto itu.
"eh, coba lu liat ini Ka... ini nomor mejanya gak?" aku menunjuk angka 8 yang berada di dekat foto ice cream itu.
"iya! Bener! Kita di nomor empat, sana lima, berarti... meja yang itu Mir!!!" Rika menunjuk sebuah meja yang berisikan tiga orang, dua orang dewasa, laki-laki dan perempuan, serta seorang anak kecil. Meja itu tak terlalu jauh dari kami.
"wih... kesempatan langka ini Mir, kapan lagi coba, lu bisa ketemu sama orang yang tulisannya sering lu baca itu! samperin sana gih!" Rika mendorong-dorong lenganku.
"lu apaan sih? Gue kan gak kenal dia, masa nyamperin gitu aja, malu gue dong..." tolakku.
"ish...! bego!!! Emang lu gak penasaran apa? Kesempatan itu gak datang dua kali, Mir! Udah pergi sana!" Rika kembali mendorongku.
"tapi Ka..." terputus.
"pake muka badak aja! Udah sana!!!" potong Rika.
Hah...
Aku menarik nafas panjang.
Lalu membuangnya.
Sebenarnya aku memang sudah lama penasaran dengan orang di balik web itu, mungkinkah orangnya seperti yang selama ini aku bayangkan?
Seseorang yang keren, sekeren tulisannya?
Aku menata hati, berusaha memanipulasi rasa canggungku.
Perlahan aku mendekat ke meja nomor 8 itu.
Hanya ada satu pria di sana, mungkinkah orang yang sedang menunduk itu yang akan menjawab rasa penasaran di hatiku ini?
"maaf..." kataku ketika telah sampai di depan meja itu.
Seketika ketiga orang yang duduk di sana mendongak padaku.
Pria yang tadinya menunduk itu, akhirnya memperlihatkan rupanya sekarang, ia memiliki garis wajah persegi panjang, dengan alis tebal yang berbingkai kacamata.
"apa ini Mas Devin Dwi Anggara?" tanyaku agak ragu tapi tetap nekat.
Sontak wanita yang duduk di sana, menoleh terkejut kepada pria tadi.
"iya, itu saya... kamu siapa?" tanya pria itu dengan suara berat namun terdengar halus.
Seketika senyumanku melengkung cerah.
Rasa penasaran yang sejak lama terpendam, akhirnya terbebaskan saat ini, dan... realita pun tak meleset dari ekspektasiku, ia memang keren!
"saya Mira, fans nya Mas di website, saya selalu ngikutin update-an Mas setiap pagi, saya follow akun IG-nya Mas juga..." jelasku begitu antusias.
"ah... ada yang punya penggemar nih..." wanita itu menggoda pria yang bernama Devan itu, dengan tatapan aneh.
"oh... Mira ya... sering komen-komen juga ya?" tebak Devan seketika.
"iya....!!! bener banget Mas... jadi Mas baca komen saya juga ya?" aku semakin suka dengan orang ini.
"kalo ada waktu, saya baca semua komennya," ujar Devan kalem. Dia kembali mengatupkan bibirnya yang seolah-olah terlihat sedang tersenyum tipis, padahal mungkin tidak.
"eh... ayo silahkan duduk..." tawar wanita itu ramah padaku.
"iya... makasih Mbak..." aku tersenyum padanya dan kemudian duduk di kursi itu.
"tapi kok sehari cuma satu aja sih update-nya Mas... padahal masih pengen baca." Rasanya ada banyak hal yang ingin aku katakan padanya.
"oh, hehehe, saya harus bagi waktu Mbak, ada web lain yang saya kelola juga, trus pesanan tulisan juga harus dibuat, jadi gak bisa bikin lebih," jawabnya.
Kita pun mengobrol untuk beberapa saat.
"Van..." wanita itu melirik Devan sambil menunjuk jam tangannya.
"ah... Mira... saya minta maaf ya... kita harus pergi, ada urusan di luar, gak apa apa kita tinggal ya..." ujar Devan kemudian.
"ah iya... saya juga mau balik ke meja, teman saya nungguin di sana." Aku menunjuk mejaku yang berjarak beberapa meja di depan kami.
"oh ya, makasih ya Mira... udah berlangganan di web pribadi saya, kami pergi dulu..." Devan menatapku sesaat lalu tersenyum kecil.
"iya... hati-hati di jalan Mas... Mbak..." aku segara bangkit dan tersenyum pada kedua orang itu.
Anak kecil yang duduk bersama mereka, segera berlari mendekati wanita itu, mungkin itu adalah Mamanya.
Tapi...
Sedetik kemudian, hatiku terasa runtuh seketika!!!
Hal yang tak terduga baru saja kulihat dengan mataku!!!
Ketika Devan menjauh dari meja itu, ketika tak ada lagi pembatas di antara kami.
Aku melihat Devan yang sedang mendorong kursi roda.
Jadi...
seseorang yang tulisannya selama ini kukagumi itu...
Ternyata adalah seorang yang cacat?