POV Devan
"Mbak udah khawatir kalo yang dibilang Mama itu bener, ternyata bukan kista, cuma perubahan hormon saja," ujar Mbak Ana sambil menyetir.
"syukurlah Mbak," jawabku sambil menoleh padanya sebentar.
"eh tadi yang duduk di samping kamu itu, cewek yang ketemu di cafe itu kan?" Mbak Ana melayangkan tatapan penuh selidiknya.
"iya," jawabku singkat.
"wah kebetulan banget kalian ketemu lagi ya... trus tadi ngobrol apa saja?" Mbak Ana tersenyum padaku.
Apa yang harus kuceritakan?
Tentang kisah hidupnya yang keras itu?
Atau...
Tentang kesedihannya saat ini?
Menurutku, tak ada yang perlu kubagikan pada Mbak Ana, Mira pun mungkin akan berpikiran yang sama denganku tentang itu.
"kok diam saja Dev?" Mbak Ana menoleh padaku sesaat.
"gak ada," jawabku sambil melirik jendela, menarik diri dalam lamunan panjang, hingga menuju rumah kami.
***
POV Mira
Di ruangan kelas tiga rawat inap ini aku masih mencoba memejamkan mata, membuat diri terlelap dalam keheningan ini, tapi aku tak bisa melakukannya.
Waktu terus berlalu, saat ini jarum jam itu telah bertengger di angka 11 malam.
Aku melihat ke bawah, melihat sahabat terbaikku yang tertidur nyenyak di kasur lipat, meleseh di lantai yang dingin.
Maafkan aku Lisa...
Aku hanya membuatmu repot selama ini.
Bahkan sekarang, kamu harus bersamaku dan mengecewakan keluargamu yang menunggu di kampung.
Aku menatap langit-langit yang bercat putih polos.
Menerawang, mengingat kembali pahit getirnya hidupku.
Jauh dari nasib malangku, aku patutnya bersyukur.
Masih bisa hidup hingga saat ini.
Masih bisa mencicipi pendidikan yang layak.
Masih bisa menikmati indahnya dunia.
Dan... masih memiliki orang yang menyayangiku.
Tapi...
Mengapa mataku justru berkaca-kaca begini?
Apa yang kusedihkan lagi?
Aku mengusap air mataku yang baru saja mengalir.
Tuhan...
Aku bersyukur dengan apa yang kumiliki...
Hanya saja...
Aku begitu kesepian saat ini...
Air mataku kembali jatuh.
Ku pejamkan mata.
Ku coba menguatkan hatiku.
Tapi... semakin kucoba, aku hanya semakin terluka.
Aku terisak dalam diam.
Menangis tanpa suara.
***
POV Devan
Apa yang salah denganku sejak tadi?
Beberapa kali aku keliru dalam mengetikkan nama tamu resort ke dalam data.
Mengapa aku kehilangan fokus seperti ini?
Ah... ini sudah siang, dua jam lagi adalah jadwal operasi Mira.
Akankah dia baik-baik saja?
Tunggu...!
Apakah gadis itu yang mengganggu pikiranku sejak tadi?
Apa yang terjadi denganku?
Suara derap langkah sepatu terdengar mendekat padaku, aku segera menoleh ke samping.
"Devan, Papa nanti mau mengunjungi resort kita yang ada di Pantai Karang Putih, Papa sudah bicara sama Mamamu, kalau kamu tertarik untuk kerja di sana, Papa akan segera mengurusnya," Papa Dedi berdiri tegap di sampingku dengan wajah ramah.
Bisnis Papa tiriku ini berkembang pesat beberapa tahun terakhir ini, dia mengelola dua resort dengan omset yang menjanjikan, resort yang berada di kota ini lebih kecil dibandingkan dengan resort di pantai itu, jadi itu berarti aku mendapatkan peningkatan karir jika menerima tawarannya.
Selain itu, Papa Dedi dan Mama juga tinggal di kota itu, dekat dengan resort. Hal yang sangat kurindukan berada di sana, yaitu melihat Mama setiap hari.
"bagaimana Devan? Kamu ingin pindah ke sana?" tanya Papa Dedi dengan wajah serius.
"tinggal bersama kalian?" tanyaku.
"iya, kenapa tidak? Lagi pula di sana suhunya hangat, kamu akan jarang sakit," ujar Papa Dedi sambil bersedekap.
Sakit?
Ya, aku memang mudah sakit.
Tapi bukan itu masalah utamaku.
Bagiku yang mengalami cedera sumsum tulang belakang dari T4-8, batuk adalah hal yang sulit untuk dilakukan, jadi... terkena flu yang bagi orang normal hanyalah penyakit biasa, itu tak berlaku bagiku, aku harus menahan sakit dan sesak yang teramat sangat di paru-paruku, dan rumah sakit adalah penyelamat hidupku untuk itu. Semenjak menjadi cacat ini, aku dan rumah sakit rasanya tak mungkin lagi untuk dipisahkan.
"akan aku pikirkan lagi." Aku mengalihkan pandanganku pada monitor di depanku.
Mungkin memang benar, aku akan jarang sakit di sana.
Tapi... aku tak ingin ketegangan seperti waktu itu terulang kembali.
Ketika bencana itu menghampiriku tanpa permisi.
Ketika hidupku berubah untuk banyak hal.
Ketika goncangan berat terjadi di keluarga kami.
Papa Dedi dan Mama sempat bersitegang karena diriku yang membutuhkan banyak biaya pengobatan saat itu.
Aku tak ingin melihat Mama kembali menangis karenaku.
Aku hanya ingin melihat ia tersenyum.
Tersenyum seperti saat Almarhum Papa masih bersama kami dulu.
"pikirkanlah dulu, Papa sayang Mamamu, Mamamu sayang padamu, Papa tak ingin Mamamu kecewa dan sedih." Papa Dedi menepuk-nepuk dengan pelan pundakku.
Mungkin pada awalnya, sulit untuk mengerti mengapa Papa Dedi begitu dingin padaku dan kedua saudaraku, tapi semakin waktu terus bergulir, jawaban pun akhirnya kuketahui, Almarhum Papa adalah orang yang dibenci Papa Dedi saat dulu, mereka memiliki masa lalu yang sulit, ada kecemburuan yang tak berujung di hati Papa Dedi.
Keadaan semakin memburuk ketika mendapati wajahku yang sangat mirip dengan Almarhum Papa.
Tapi aku terus berusaha untuk berpikiran dewasa, memahami bagaimana sulitnya bila di posisi dia, dengan kenyataan ini.
"ini sudah jam istirahat, ayo kita makan siang," ajak Papa Dedi seperti biasa, ia selalu berbasa-basi, berusaha membuat percakapan kami tak begitu kaku.
"iya, sebentar lagi Dimas jemput ke sini," jawabku seperti biasa pula.
"kenapa hari ini kita tidak makan berdua saja di luar." Ia tiba-tiba tersenyum padaku.
Aku dan Papa Dedi tak pernah menghabiskan waktu berdua untuk makan siang selama ini, ada angin apa ia mengatakan hal itu padaku?
"aku susah makan di luar," jawabku singkat sambil mematikan monitor komputer.
"kita cari tempat yang akses untuk kamu," balas Papa Dedi.
Aku meliriknya seketika.
Ini sungguh tak biasa, mendengarnya bersikukuh untuk mengajakku pergi bersama.
"Papa tau, selama ini kita menjaga jarak, tapi... Papa pikir itu bukan pilihan yang bijaksana." Papa Dedi mengambil sebuah kursi yang tak jauh dari mejaku, ia duduk di sana, berhadapan denganku.
Aku tak memberikan jawaban apapun, hanya menatap matanya, berusaha mencari tahu maksud lain dari sikapnya ini.
"mungkin kita perlu memulai sesuatu yang lebih baik," lanjut Papa Dedi dengan tatapan tanpa putus padaku.
Aku tak tahu harus berkata apa, saat ini aku tak memiliki harapan apapun tentang hubungan kami, tak terbersit di hatiku untuk mendapatkan hal yang lebih dari ini, aku cukup puas dengan yang kami jalani sejauh ini.
"Papa Dedi, aku minta izin keluar agak lama nanti, aku mau ke rumah sakit." tiba-tiba saja aku terpikirkan alasan ini untuk mengelak dari ajakannya.
"kamu sakit?" Papa Dedi tampak sedikit khawatir.
"gak, tapi ada teman yang lagi sakit di sana," ujarku datar.
"biar Papa yang antar kamu ke sana, rumah sakit mana?" tanya Papa Dedi yang baru saja bangkit.
Haruskah aku menolak sikap baiknya ini?
Tapi mengapa aku harus menolaknya?
Mungkin saja niatnya tulus saat ini.
"Rumah sakit Emmanuel," jawabku sedikit ragu.
"baiklah, kita makan siang dulu, baru ke sana." Papa Dedi mengangguk padaku, menunggu persetujuanku.
Aku menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya.
Ku tatap matanya lekat-lekat, mencoba meyakinkan hatiku, dan akhirnya aku pun memberikan anggukan padanya.
***
POV Mira
"wah tumben nih mukanya tegang gitu, santai aja Mir... operasinya gak sampe bikin sayatan gede gitu kok." Lisa yang duduk di sampingku menyeringai meledekku.
"siapa yang tegang? Sok tau!" balasku sambil mencoba terkekeh, tapi rasa sakit di perut membuatku harus mengurungkan niat itu.
"trus apa? Lu dari tadi ngelamunin apaan?" Lisa mengambil sebuah jeruk lalu mengupas kulitnya.
"hmmm entahlah... eh itu jeruk gue, kok lu yang makan!" aku menunjuk-nunjuk jeruk sambil tersenyum.
"lu kan lagi puasa, makanya gue yang tolongin ngabisinnya, hehehe." Lisa kembali mengunyah jeruknya.
"ya... ya... abisin sana! Eh... tolong ambilin hp gue! udah full charge-nya gak?" perintahku sambil menunjuk ponselku yang masik tercolok charger.
"sejam lagi mau operasi, masih main hp, mau cari apa di hp?" tanya Lisa sambil menyerahkan ponselku.
"gue mau baca web-nya Mas Devan, siapa tau udah ada yang di-update," jawabku.
"lha... bukannya udah lama dia gak nulis di web itu lagi ya?" tanya Lisa dengan kening berkerut.
"iya... saya udah gak ngurusin web itu lagi." Tiba-tiba saja suara lain terdengar mendekat ke arah kami.
Aku segera menoleh pada asal suara yang sangat kukenal itu, sekedar memastikan jika aku tak salah menebaknya.
"Mas Devan..." ujarku kemudian.
"saya pikir, tambah satu orang di sini, gak akan bikin tempat ini bising." Dia tampak tersenyum kecil padaku.
Aku segera menoleh pada Lisa yang ternyata sudah senyum-senyum sendiri, sontak aku mempelototinya.
"Mas Devan gak lagi sibuk?" tanyaku basa-basi, mencoba untuk tetap tenang, meskipun ada rasa senang yang tak terbendung di hati ini.
"gak, hmmm apa kamu keberatan saya ke sini?" tanyanya dengan wajah curiga.
"bukan gitu... hmmm makasih sudah datang." Akhirnya senyuman yang kutahan sejak tadi terlepaskan juga.
"eh... gue sahabatnya Mira, Lisa!" Lisa tanpa malu segera mendekati Mas Devan sambil mengulurkan tangannya.
"saya Devan, saya... mungkin temannya Mira," ujar Mas Devan ketika menjabat tangan Lisa.
"mungkin teman?" Lisa langsung menoleh padaku.
"kenapa 'mungkin'? Oh... karna saya cuma fans, hmmm..." aku menatap Mas Devan dengan heran, mengapa dia menggunakan sebutan 'mungkin teman' untukku?
"entahlah, atau... kita mulai berteman sekarang?" Mas Devan kembali mengulaskan senyuman kecilnya.
"entahlah." Aku pun membalas senyumannya sambil menggeleng.
Mengapa aku bisa tersenyum seringan ini sekarang?
Padahal masalah yang sedang kualami begitu pelik.
Seakan kedatangan dan senyuman Mas Devan membuat sebagian masalah itu lenyap.
"jangan takut, kamu akan segera sembuh," ujar Mas Devan setelah melirik jam dinding yang terus bergerak maju, menyisakan setengah jam untuk menunggu jadwal operasiku.
"makasih..." aku mengangguk, sebuah anggukan yang memberiku keyakinan akan hari esok, bahwa semua memang akan baik-baik saja untukku.
Aku melihat wajah Mas Devan dalam tatapan yang panjang, membiarkan hatiku perlahan mulai bergetar, seolah merasakan keakraban yang nyatanya belum pernah terjadi di antara kami.
***
POV Devan
Tatapan mata Mira begitu sendu, aku merasakan banyak kesedihan di dalamnya. Andai aku bisa menjelajahi ruang di hatinya, akan kutarik ia keluar dari penderitaannya.
Tapi siapa aku?
Aku bukan siapa-siapanya!
***