Pelajaran pertama sudah berjalan selama 30 menit lamanya, Quina bisa memahami pelajaran Matematika yang diajarkan oleh wali kelasnya dengan mudah dan santai, hingga terdengar suara ketukan di pintu kelas dan muncullah Alvin dari balik pintu itu.
"Maaf Bu saya sedikit terlambat", Alvin langsung masuk dengan santainya.
Quina melirik Alvin kemudian dengan cepat mengalihkan pandangannya ke Bu Friska yang terlihat sedang menatap ke arah Alvin.
'Mampus dah tuh orang, pasti Bu Friska sebentar lagi akan marah', Quina tersenyum tipis.
Bu Friska yang sedang berdiri, langsung memegang bahu Alvin yang lewat di sampingnya, "Tidak apa-apa, tapi kamu jangan kapok ya kalau ibu minta tolong lagi"
"Tentu saja, lagipula itu sudah menjadi tugas ketua kelas", Alvin kembali berjalan setelah mengatakan itu.
Quina sedikit tersentak kaget saat melihat kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspektasinya.
'Kok nggak kena marah sih! Dan apa itu, dia ketua kelas?!... ya ampun', Quina terus mengulang perkataan itu di dalam hatinya.
Alvin yang baru saja duduk, langsung mengambil tasnya dan mempersiapkan buku pelajarannya.
"Halo, Alvin. Namaku Quina, salam kenal ya!", Ucap Quina berusaha akrab dengan ketua kelasnya.
Tak ada satu patah katapun yang keluar dari mulut Alvin, ia langsung fokus mencatat apa yang ada di papan tulis.
'Aku di kacangin!!', Jiwa Quina meronta-ronta karena malu.
Pelajaran terus berlanjut tanpa ada obrolan yang terjadi diantara Quina dan Alvin.
Bel istirahat akhirnya berbunyi, para murid langsung berhamburan keluar kelas, termasuk Alvin yang berjalan sambil memegang beberapa buku tebal di tangannya.
"Alvin! Tolong kesini sebentar", panggil Bu Friska yang masih duduk di meja guru.
Alvin yang baru saja sampai di depan pintu kelas langsung berputar arah dan menghampiri wali kelasnya itu.
"Ada apa Bu? Apa ibu mau memberi saya tugas atau semacamnya? Dengan senang hati akan saya terima"
"Ah, tidak. Tidak. Ibu hanya ingin kamu menemani Quina berkeliling sekolah, karena ini adalah hari pertamanya"
Quina yang baru saja kembali dari kantin langsung tersedak minumannya dan membuatnya terbatuk-batuk.
Alvin mengangguk, "oh itu. Tapi saya harus mengembalikan buku-buku ini ke perpustakaan dulu, Bu"
'Tolakan yang bagus kutu! Lagian aku tidak memerlukan bantuan dari orang seper-', ucapan dalam hati Quina dipotong oleh Bu Friska.
"Tenang saja, buku-buku itu serahkan saja pada ibu, lagipula ibu juga akan kesana setelah ini"
"Ibu yakin?"
Bu Friska langsung mengangguk. Tanpa memberi aba-aba, Alvin langsung menyerahkan tumpukan buku-buku ke tangan Bu Friska. Saat menerima itu Bu Friska sedikit terbungkuk kedepan karena beban yang ia terima sangat berat.
'Murid beasiswa ternyata memang beda', Ucap Bu Friska sambil berjalan keluar ruangan.
Disisi lain, Alvin sudah berhasil membawa Quina keluar kelas. Tapi ia tak tau harus mulai berkeliling darimana, karena selama ini ia hanya menetap di kelas ataupun ke perpustakaan saat waktu istirahat.
"Bagaimana kalau kita mulai dari hal yang dasar, seperti ruangan-ruangan penting", Usul Quina.
"Baiklah, ayo"
Quina membiarkan Alvin berjalan lebih dahulu, karena saat ini Alvin merupakan pemandunya.
Baru berjalan beberapa langkah, Alvin langsung menghentikan langkahnya dan melihat ke arah Quina. Quina sedikit bingung saat melihat ruangan apa yang ada di depannya.
"Oke, kita sampai di ruangan pertama dan yang paling penting, ruangan ini terdapat di semua lantai gedung sekolah ini, dan kalau kau ingin olahraga pun bisa, karena ada ruangan seperti ini di lantai 5 gedung"
"Anu,,,", Quina masih kebingungan.
'Memang benar sih kalau ia menganggap ruangan ini adalah ruangan paling dasar, tapi kenapa dia harus menjelaskannya! Dan lagi, apa gunanya ke toilet yang ada di lantai 5 kalau ingin olahraga!?', Gerutu Quina dalam hati.
"Apa kamu sudah paham? Baiklah kita ke ruangan selanjutnya"
Quina mengangguk dengan wajah yang di sembunyikan.
Mereka kembali melanjutkan kegiatan pengenalan lingkungan sekolah itu, dengan mengunjungi tempat seperti gedung olahraga, gedung kolam renang, perpustakaan, museum mini, zona pramuka, dan lain-lain.
Selagi terus menjelaskan sambil berjalan, Alvin sesekali membuka buku bacaannya,
"Itu yang disana adalah tempat penghijauan, berguna untuk melestarikan tanaman sekaligus tempat perkebunan milik sekolah", Alvin menunjuk ke tempat yang dipenuhi dengan warna hijau yang menyejukkan.
"Wah, hijaun-"
Quina menabrak Alvin yang tiba-tiba berhenti berjalan.
'Sampai kapan aku bisa menahan semua ini....', keluh Quina.
"Maaf", ucap Quina sambil memegang hidungnya yang sedikit sakit.
"Apa ini bagian terakhir ya? Hmm,oh ya! Masih ada tempat penting yang belum kuberitahu"
Alvin kembali berjalan tanpa menghiraukan permintaan maaf dari Quina. Di sela-sela obrolan mereka, banyak siswa yang menatap dan berbisik-bisik.
"Hei-hei, ketua OSIS dan murid baru ternyata sangat cocok ya?"
"Iya, mereka terlihat serasi sekali"
Quina yang mendengar itu, seketika perutnya menjadi mual karena harus di cocokkan dengan orang yang sudah membuat hari pertama di sekolahnya menjadi hancur.
'Tunggu dulu, apa dia juga menjabat sebagai ketua OSIS?'
"Ketua kelas, apa benar kamu juga menjabat sebagai ketua OSIS?", Tanya Quina.
"Tadinya sih seperti itu, tapi saat aku mendapat juara umum satu akademi, akupun memutuskan untuk berhenti dari OSIS"
Quina terbatuk saat mendengar beberapa kalimat terakhir dari Alvin.
'Sumpah deh, ini orang sebenernya pinter apa bego 'sih!'
Alvin menghadap belakang dan berjalan mundur dengan tatapan mengarah ke Quina.
"Oh ya! Panggil saja aku Alvin", Alvin memutar balik tubuhnya.
Brugh...
Alvin menabrak seorang siswi yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya.
'Pfftt... hahaha, mamam tuh, sok keren 'sih ', Quina tertawa puas dalam hatinya.
Alvin segera bangun dan membantu siswi yang ia tabrak untuk berdiri.
"Maaf, ini salahku karena tidak melihat ke arah yang benar"
"Ti-tidak apa-apa", siswi itu melepaskan pegangan tangan dan berlari meninggalkan Quina dan Alvin.
"Kyaaaa!!!! Aku baru saja bertabrakan dengan ketua OSIS dan lagi, dia memegang tanganku!!", Ucap siswi itu dengan girangnya
"Sepertinya aku salah memilih sekolah"
"Apa kau baru saja mengatakan sesuatu?", Tanya Alvin.
"Eh, tidak-tidak. Oh iya, yang lebih penting, dimana ruangan terakhirnya?", Ucap Quina yang berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Oh, kalau itu kita baru saja sampai..."
"Sebelah sini adalah ruang Tata Usaha", tangan Alvin menunjuk ke ruangan yang berada di sebelah kirinya.
"Dan yang ini adalah ruang Guru", Alvin menunjuk ruangan yang ada di sebelah kanan.
Quina sedikit bingung saat berusaha mencocokkan penjelasan Alvin dan dengan apa yang tertulis di papan diatas ruangan.
"Kau bingung? Jangan dipikirkan, karena itu digunakan untuk menjebak murid yang telat bayar SPP"
"Oh....", Quina ber-oh ria.
Teng teng teng
"Bel selesai istirahat sudah berbunyi, ayo kita kembali, Alvin",
Begitu ia sadar, ternyata Alvin sudah pergi lebih dahulu beberapa detik yang lalu. Quina tidak mau memikirkan tingkah laku Alvin, iapun bergegas menuju kelas untuk kembali belajar.
Tidak ada hal penting selama jam pelajaran berlangsung sampai bel kembali berbunyi, bel itu menandakan bahwa para murid harus segera pulang karena jam pelajaran sudah habis.
***
Saat ini Quina sedang menunggu jemputan nya yang datang sedikit terlambat karena ban mobilnya yang pecah. Suasana di sekolah sendiri sudah lebih sunyi dibandingkan saat siang tadi.
"Hausnya....", Quina memegangi tenggorokannya yang mulai kering.
Ia baru sadar, ternyata ada minimarket di depan sekolahnya, dan memutuskan untuk ke sana dan membeli minuman.
Beberapa menit berlalu, Quina sudah keluar dari minimarket itu dengan sebuah botol minuman kecil berwarna biru muda di tangannya.
Ia meneguk sedikit minuman itu, "ah segarnya, pucari swiit memang pas untukku yang terkena sindrom rasa manis ini"
Quina berjalan untuk kembali ke depan gerbang sekolahnya, namun sesuatu yang janggal terdengar di kupingnya.
"Tolong..."
"Toloooong"
"Siapapun tolong aku"
Quina bergegas menyusuri asal suara itu dan matanya membelalak kaget saat ia melihat seorang siswi adik tingkat dari sekolahnya sedang di cekik dan di angkat cukup tinggi.
"Hei kalian! Hentikan itu!", Ucap Quina dengan lantang.
Kedua penjahat itu langsung menatap tajam ke arah Quina.
"Hoo, rupanya ada Wonderwoman yang ingin menyelamatkan gadis miskin ini"
"Hei bro, kita lepaskan saja yang ini. Sepertinya gadis pirang disana anak orang kaya 'tuh", ucap penjahat berkepala botak plontos.
"Bagus juga ide mu, ayo kita tangkap dan culik dia, lalu meminta tebusan yang besar"
"Hahaha"
Kedua orang itu menatap Quina dengan tatapan bengis dan haus akan harta. Tapi hal itu tidak membuat Quina takut sedikitpun.
Quina merogoh saku bajunya dan mengambil pengikat rambutnya,
"wah-wah, Untung saja sekolah sudah sepi. Baiklah, akan aku ladeni kalian", ucap Quina sambil mengikat rambutnya.
Quina melemparkan tasnya, matanya yang biasanya bulat dan besar seperti boneka Barbie, kini berubah menjadi tajam dan sadis.
Quina menyeringai ke dua penjahat itu, "nah, ayo kita bermain"
See you next chapter ^_^