Sebuah pagi yang cerah di mansion keluarga Siera. Seperti biasanya, Quina saat ini sedang bersiap untuk berangkat menuju sekolahnya.
Tetapi ada sesuatu yang terus menghantui pikiran Quina dari kemarin. Ya, tepatnya kejadian pada sore hari itu, ia khawatir kalau Alvin akan membocorkan jati dirinya yang asli kepada semua orang.
'Gzz!! Bagaimana jika si kutu itu menyebarluaskan jati diriku yang sebenarnya!', Ucap Quina dalam hati.
Sopir yang merasakan hawa kebencian dari kursi belakang langsung memastikan keadaan Quina.
"N-nona... bolehkah kita berangkat sekarang?", Tanya pak sopir dengan nada direndahkan.
"Hm!", Quina mengangguk.
Tanpa pikir panjang, pak sopir langsung menjalankan mobil mewah yang hanya ada beberapa unit saja di Indonesia.
Karena jalanan di pagi hari ini cukup macet, Quina harus menempuh lama perjalanan hingga 30 menit. Biarpun ia hampir telat Quina tetap terlihat sibuk sendiri dengan pikirannya.
Quina terlihat berfikir sangat serius sambil menggigit bibir atasnya, 'Kalau aku langsung menghampiri dan mengancamnya di depan orang-orang, jelas itu akan membuat image-ku menjadi buruk. Tapi kalau rencana yang satu ini pasti akan berhasil!'
Quina langsung turun dari mobilnya dengan senyuman yang merekah. Seperti biasanya, ia langsung di kelilingi orang-orang yang mengaguminya. Bagi orang-orang yang mengaguminya, senyuman Quina adalah senyuman yang dimiliki oleh dewi.
'Entah apa yang dilakukan orang-orang gila ini, tapi yang jelas mereka menghalangi pengelihatanku', Itulah kata yang tercetak jelas dalam pikiran Quina.
Melihat ada sedikit celah, Quina langsung mempercepat langkah kakinya agar tidak telat sampai di kelas.
Saat sampai di kelas, Quina berhenti di depan pintu dan melihat sekeliling kelas, namun ia terlihat kebingungan.
"Can i help you, sis?", ucap seseorang dari belakang.
Reflek Quina langsung melihat ke arah belakangnya, "Eh! Ya. Tentu saja, oh ya! Pakai bahasa Indonesia saja tidak apa-apa kok"
"Kelihatannya kamu lagi cari seseorang daritadi, sebenarnya siapa yang kamu cari", ucap orang itu dengan wajah dan muka yang datar.
"A-aku sedang mencari si kut- eh bukan, maksudku Alvin",
'Hampir saja....', Quina mengusap-usap dadanya.
"Oh ketua kelas, biasanya dia berada di perpustakaan kalau dia tidak ada di kelas", ucapnya sambil menunjuk ke arah perpustakaan yang berada di pojok lorong kelas.
"Kalau begitu sudah dulu, aku duluan masuk kelas", lanjutnya dengan santai sambil berjalan masuk kelas.
'Kurasa dia orang yang tidak banyak bicara dan dapat di andalkan', pikir Quina sambil melihat ke arah siswi tadi.
"Eh, sebentar. Kalau boleh, bisakah kamu memberi tahu namamu", panggil Quina.
Orang yang di panggil langsung menghentikan langkahnya dan menatap balik Quina dengan tangan yang di acungkan pendek.
Quina langsung menganggukkan kepalanya dengan antusias saat mendapat respon seperti itu.
"Aulia Karina, panggil saja Aul", ucapnya santai.
Setelah memperkenalkan dirinya, orang yang bernama Aulia itu langsung berbalik badan kembali dan berjalan menuju tempat duduknya.
'Wah-wah, tidak kusangka ada orang tipe *kuudere* di negara ini', Ucap Quina dalam hati dengan wajah yang sedikit terkejut.
"Oh iya!", Quina langsung terlihat panik.
Dengan tergesa-gesa ia masuk kelas dan menaruh tasnya begitu saja, ia mengambil handphone dari sakunya dan mengaktifkan layarnya.
"Masih ada waktu 10 menit sebelum pelajaran dimulai, kalau dia kubiarkan berkeliaran begitu saja pasti akan sangat bahaya...."
Setelah keluar dari kelas, ia mempercepat langkah kakinya. Dari arah yang ia tuju, sepertinya Quina ingin menghampiri Alvin yang sedang berada di perpustakaan.
Quina menghentikan langkahnya di dekat kaca jendela perpustakaan, ia melihat ke arah dalam ruangan perpustakaan melalui kaca-kaca itu.
"Dimana si kutu itu, katanya dia ada disini. Tapi kenapa hanya ada orang cupu berkacamata dan penjaga perpus saja?", Quina memutar bola matanya.
Bel masuk kelas berbunyi. Mengenyampingkan pencariannya terhadap Alvin, Quina langsung kembali ke kelasnya.
©©©
Sampai bel panjang yang menandakan waktu istirahat berbunyi, Alvin tidak juga menunjukkan batang hidungnya di kelas.
"Kemana sebenarnya si kutu itu. Masa tasnya saja yang ikut pelajaran daritadi", gumam Quina.
Quina masih terus mencari Alvin karena ia sangat takut kalau jati dirinya yang asli disebarluaskan oleh Alvin. Saat ini Quina sedang duduk di kursi yang disediakan di taman kecil sekolah.
"Hei, hei, kau tahu? Hari ini ada yang baru lho dari mantan ketua OSIS kita", ucap seorang siswi yang sedang berjalan di dekat Quina.
"Oh! Maksudmu kacamatanya ya?!", Sahut orang yang ia ajak bicara.
"Ya benar! Dia kelihatan imut sekali ya dengan kacamata itu~ Andai saja dia mau jadi pacarku"
"Haha, ngayal kamu, ih"
Quina mengernyitkan dahinya, 'kacamata?... oh!'
Quina langsung beranjak dari kursi taman itu dan berlari kecil ke arah perpustakaan yang letaknya cukup jauh dari taman sekolah. Beberapa meter sebelum sampai perpustakaan, Quina berbelok ke toilet wanita.
"Huh, Untung saja aku membawa dua benda ini", Ucap Quina dengan kedua tangannya yang sedang memegang baseball cap dan masker.
Tanpa pikir panjang Quina mengikat rambutnya dan memakai topi baseball yang ia bawa, dan sebagai sentuhan akhir ia memakai masker yang ia bawa untuk menutupi bagian mulut dan hidungnya.
Setelah ia merasa cukup dengan perubahan terhadap penampilannya, Quina langsung keluar dari toilet itu.
Saat keluar, Quina terlihat sedikit hati-hati dan menengok kanan kiri untuk memastikan tidak ada yang mengenalinya.
'Syukurlah sekolah ini adalah akademi internasional, jadi cukup banyak juga murid dengan warna rambut yang sama denganku'
Quina menarik bagian depan topinya dan melanjutkan langkah kakinya menuju perpustakaan untuk mencari Alvin.
Tetapi, saat Quina membuka pintu perpustakaan, langkah kaki Quina terhenti dan tanpa sadar ia menggigit bibir atasnya hingga berdarah.
'Sial!'
Saat ini Quina merasa kalau Dewi keberuntungan saat ini benar-benar tidak berada di pihaknya, karena saat ini Alvin terlihat sedang berbicara dengan wali kelas mereka yaitu Bu Friska.
Quina menyandarkan tubuhnya di pintu Perpustakaan dan melepaskan semua alat penyamarannya. Saat ini ia benar-benar merasa frustasi, karena di hari kedua sekolahnya, sifat aslinya akan segera tersebar luas dan kemungkinan di keluarkan dari sekolahpun cukup besar.
'Apa yang harus aku katakan pada ayah',
itulah yang terlintas dalam pikirannya, karena dikeluarkan dari sekolah dapat mencoreng nama baik keluarga secara tidak langsung.
Beberapa meter dari hadapan Quina, terlihat sepertinya Alvin dan Bu Friska sudah selesai berbicara karena Bu Friska saat ini sedang berjalan menuju pintu keluar perpustakaan.
"Eh Quina? Ada apa? Apa kamu sakit?", Ucap Bu Friska saat melihat Quina dengan wajah yang cukup pucat.
"Tidak usah berbuat baik kepada murid yang ingin kau keluarkan", ucap Quina dengan nada yang kecil.
"Apa kau mengatakan sesuatu?"
Quina hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan dari wali kelasnya.
Bu Friska mengayun-ayunkan tangannya, Alvin yang merasa dipanggil pun langsung menghampirinya.
"Alvin bisa tolong antarkan Quina ke UKS? Kelihatannya dia sedang sakit", Ucap Bu Friska dengan wajah khawatir.
"Oh, boleh saja. Kebetulan aku sedang kosong saat ini", balas Alvin yang setuju.
"Ayo ikuti aku"
Alvin langsung berjalan, Quina yang sudah tidak bisa memikirkan apa-apa lagi hanya bisa mengikuti langkah kaki Alvin.
'Apakah dia benar-benar membocorkan rahasia ku itu pada guru tadi?...'
'Tapi kalau iya, kenapa guru itu malah mencemaskanku dan tidak risih sama sekali terhadapku kalau dia memang benar-benar tau sifat asliku?.'
Quina mengeratkan kepalan tangannya dan terlihat seperti mengumpulkan keberanian sambil terus memerhatikan keadaan di sekitar.
Tanpa pikir panjang Quina langsung mendorong Alvin ke tembok lorong sekolah, Alvin membelalakkan matanya.
Quina memepetkan tubuh Alvin ke tembok dan ia menekan leher Alvin dengan pergelangan tangan kanannya.
"Apa maksudmu i... ni", Ucap Alvin dengan nada yang berat karena ia sulit untuk bernafas.
"Seharusnya itu kalimatku! Apa maksudmu dengan membocorkannya pada wali kelas kita!!?", Quina menambahkan tekanan pada leher Alvin.
"Apanya?!... A-aku tidak mengerti apa yang kau katakan!", Balas Alvin sambil berusaha melepaskan tangan Quina yang berada di lehernya.
"Hoo? Tidak mau jujur rupanya?! Kalau begitu lebih baik ku buat kau menderita!!!"
Quina mengangkat kepalan tangan kirinya dan mengarahkannya ke wajah Alvin.
"Alvin!!!"
Suara seseorang yang terdengar nyaring di lorong itu membuat Quina dan Alvin langsung melihat ke arah asal suara itu.
Wajah Quina lebih pucat dari sebelumnya, keringat dingin mengalir deras. Raut wajah Quina saat ini bagaikan orang yang melihat bencana besar di hadapannya.