Chereads / Angin Si Mawar Putih: Tudung Kesialan / Chapter 2 - BAB 1 - Pertemuan

Chapter 2 - BAB 1 - Pertemuan

Bagian 1 - Saat Terbangun di Pagi Hari

• 10 Telu 680 Danindra - Kediaman Bangsawan Catura Kota Maja

Bangunan besar berhalaman lumayan luas dengan warna putih menyilaukan mata yang memandangnya. Kediaman Bangsawan Catura ini dihuni oleh beberapa orang. Tentu saja sang kepala keluarga selaku pemilik rumah, kemudian belahan jiwanya, seorang gadis remaja dan tiga orang pelayan. Sinar Dewa yang perlahan merayap masuk ke dalam kamar ialah pertanda kalau salah seorang pelayan akan datang dan mengetuk pintu.

*Tok tok tok

"Nona Laksha, sudah pagi, mohon untuk segera bangun. Hari ini anda harus berangkat ke Kota Aryasetya, bukan?"

Gemulai tangan menari dalam balutan selimut tebal, enggan untuk keluar dari zona nyaman itu. Lagi dan lagi, hari yang terus berulang diawali dengan membuka mata di pagi hari. Mengapa hidup terlalu monoton seperti ini....

Sekali lagi si pelayan mengetuk rada garang dibuatnya jengkel. Itu sudah biasa terjadi, Nona "Tukang Tidur" ini selalu sulit soal bangun di pagi hari. "Segeralah bangun atau anda tidak akan mendapatkan jatah sarapan".

*Sling!!

*Sruek

"Hahaha... Pagi yang cerah sekali bukan, Lise!?" Dengan cepat ia terbangun dan melempar jubah tidurnya sembari menatap penuh semangat keluar jendela.Ia bergegas keluar kamar tidurnya menuju kamar mandi untuk sekadar membunuh kuman-kuman yang bisa membuat orang menjadi malas dan membuat wajah nampak lesu tak berenergi. Segera setelahnya ia berganti seragam putih-putih yang dijahit oleh Lise secara spesial hanya untuk hari ini. Bukan, seharusnya itu dipakai besok saat menghadiri ujian masuk akademi. Mungkin karena ia tak sabaran, maka dari itu ia kenakan hari ini juga. "Lise, tidakkah ini terlalu pendek untukku?"

"Tidak Nona, itu sudah pas. Saya telah mencocokkan dengan seragam aslinya bulan lalu."

"Ntah mengapa aku sedikit merasa malu..." Mukanya menunduk dengan rona merah di pipinya.

Seragam putih-putih itu memiliki desain tiruan milik Akademi Dasar yang masih berada dalam satu kota. Untuk beberapa alasan Lise harus menjahitkan seragam tersebut untuk dipakai oleh Laksha. Padahal ia bukanlah lulusan dari Akademi Dasar tersebut.Ruang makan yang berada di lantai satu mengharuskannya untuk menuruni lima puluh anak tangga diujung rumah. Terlihat di sana sudah duduk bersahaja ala bangsawan, dua orang pemilik rumah atau yang dalam kurun waktu tiga tahun ini ia panggil dengan sebutan Ayah dan Ibu.

"Laksha, kau terlambat lima menit" Seorang wanita berparas cantik mengeluh telah dibuat lama menunggu kedatangan putri semata wayangnya. "Maaf, Ibu, Lise tadi terlambat untuk membangunkanku" Alasan khas orang pemalas mulai keluar dari lisannya.

"Sudah berulangkali kau seperti ini. Lise, aku ijinkan kau untuk mendobrak pintu kamarnya jikalau Laksha masih saja sulit untuk dibangunkan"

"Dimengerti, Nyonya" Meski Lise mengangguk, ia menyadari kalau kemungkinan besar Laksha tidak akan berada di rumah selama tiga tahun mendatang. Itu adalah perintah yang sia-sia di matanya.

Merasa tersudutkan, Laksha hanya bisa terdiam dan menyantap sarapannya saja. Sepotong roti dengan telur mata sapi di atasnya sebenarnya tidaklah cukup untuk memenuhi mesin penggiling tukang makan itu. Meski sudah dibuatkan sup daging domba pun juga masih kurang. Anehnya, tubuh anak satu itu tak melebar seperti orang kebanyakan yang terlalu banyak makan. Suasana yang sederhana menyejukkan pagi yang sedikit berawan. "Bagaimana dengan kondisi tubuhmu? Ayah harap tidak mendengar kabar kalau kau gagal dalam ujian hanya karena kondisimu yang tiba-tiba memburuk" Kekhawatiran sang Ayah ini tentu saja beralasan. Bukan karena kondisi tubuh yang lemah dan sering sakit-sakitan, melainkan justru karena terlalu sering berlatih hingga lupa waktu yang membuatnya juga lupa akan hobi makannya dan berakhir terkapar di atas kasur. "Tak perlu khawatir, Ayah. Aku sudah mengistirahatkan tubuhku seharian kemarin"

"Baguslah kalau begitu"

Mereka bertiga melanjutkan makan cantiknya. Nampaknya Sang Ayah masih belum tenang jika hanya bertanya segitu saja. Ia terus melanjutkan perbincangan mengenai akademi yang akan dimasuki oleh Laksha. Ia bercerita bahwa di akademi itu berisi para Sakti yang kuat. Selain itu, status bangsawan juga menjadi perhatian serius untuk menentukan siapa yang berkuasa dan bagaimana cara harus bersikap. Sembari terus mengoceh tak jelas, Laksha akhirnya mengabaikannya dan menikmati sarapan.Lise yang kembali ke lantai dua untuk mengambil tas bawaan Laksha saat mereka bertiga sarapan sudah kembali. Satu, dua, tiga tas yang akan dibawa oleh Laksha menuju kota sebelah. Mungkin terlihat berlebihan karena hanya tujuh hari saja ia akan tinggal sementara di sana. Ayahnya, Tuan Catura sudah menyewa kamar di penginapan yang sedekat mungkin dengan akademi untuk mempermudah Laksha yang buta arah.

*Ngiik ngiik ngiiik

"Nona Laksha, kereta kuda yang akan mengantarkan anda sudah tiba"Pelayan lelaki yang sedang sibuk menyapu halaman depan itu masuk ke ruang makan.

Laksha yang telah menyelesaikan sarapannya beranjak dari kursinya menuju pintu depan. Soal piring kotor, barang bawaan, tentu saja itu sudah tugas pelayan. Tak perlu repot-repot tuk mengotori tangan seperti itu. Kepergiannya diiringi oleh seisi penghuni rumah. Tak terkecuali Asuki.

*Auwk auwk!

"Ahhh...!! Asuki!!"

Anjing yang mirip dengan serigala berbulu hitam dan dikombinasikan dengan warna putih berlari menghampiri Laksha. Khas dari seekor anjing rumahan, menjilati pipi merah Laksha yang kedinginan karena suhunya yang rendah, padahal sudah memasuki musim semi. "Yoshi yosh... Aku pergi dulu ya, Asuki. Kau jangan nakal, ya... dan juga kalau Lise memberimu makan kau harus memakannya, oke!?"

"Auwk!"

Memang berat, selama tiga tahun ini Laksha tak pernah sekali pun pergi ke luar kota sendirian. Sebagai orang tua sudah normalnya mengkhawatirkan anaknya di luar sana. Terlebih berada di kota yang banyak Sakti di sana. "Kalau begitu, Ayah, Ibu dan semuanya... Doakan aku lulus ujian besok" Hanya satu kalimat itu yang terucap dari mulutnya sebelum akhirnya menaiki kereta kuda yang beratap dan berdinding kayu. Ruang kecil tertutup yang berada tepat di belakang Pak Kusir. Tali telah dilecutkan, kuda yang mulai berjalan perlahan menjauhkan jarak pandang antara mata hijaunya dengan rumah putihnya.Meski tak terlihat jelas, nampak aliran sungai kecil keluar dari bola matanya. Lambaian tangan mereka terlihat jelas saat Laksha mencoba tuk mengintip melalui jendela kaca kereta kencana. Satu langkah roda keluar dari halaman indahnya. Banyak rumah pertanda banyak pula penghuni kotanya. Mereka melintasi satu persatu kediaman berbagai bangsawan dan berbagai kelas bangsawan yang tertata rapi di kanan dan kiri jalan. "Akhirnya... Setelah sekian lama... Aku akan bisa mewujudkan impianku untuk menjadi Sakti yang hebat, dan... Mengungkap tabir "Obong Wengi" itu".

Dengan mata perlahan sayu di saat melihat pepohonan melintas di sebelahnya. Ia menatap keluar, matanya seperti akan tenggelam dalam lautan biru langit. "Benar juga, sudah lima tahun berlalu... dan tiga tahun semenjak hari itu... ya" Masih teringat dengan jelas dalam memori yang sudah usang namun tak kunjung tenggelam di palung samudera. Malam setelah dua tahun "Dia" membawanya dan mengajarinya banyak macam teknik bertahan hidup dan sedikit beladiri, sebelum akhirnya ia pergi dan tak pernah kembali lagi.

***

Malam itu ia berkata akan pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Sungguh ungkapan yang tak normal karena sudah waktunya untuk beristirahat dan menyantap makan malam namun masih ingin mencari sesuatu yang bisa untuk menerangi dan menghangatkan diri. Memang benar persediaan kayu bakar sudah habis, tapi bukannya suatu yang dilarang untuk mencarinya esok hari. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang dindingnya terbuat dari deretan bambu dengan atap penyangga dari kayu yang diselimuti oleh serabut jerami. Hanya ada satu kamar, dapur, tungku untuk memasak dan meja bundar dengan dua kursi yang menemaninya.

"Guru... Kapan makanannya matang?" Sesosok anak kecil berusaha memalak seseorang yang sedang disibukkan oleh panci dengan uapnya yang memenuhi ruangan.

"Kau ini tidak sabaran sekali, ya. Dasar gadis tukang makan!" Tangannya terangkat mencicip sesendok sup yang sudah mulai menua. Waktu itu Laksha tertawa kecil setelah ia mengatakannya, dan ia mengacak-acak rambutnya.

Aroma yang lezat ini mampu menyeret hidung menuju tepian panci berisi sup kaldu ayam. Begitu menggoda hingga liur tak tertahan mengucur dari mulut kecilnya. Laksha yang benar-benar sudah tak sabar ingin mencicipinya sampai habis berteriak manja padanya untuk segera menyajikan di meja makan. Uap yang keluar dari sup itu begitu mengepul dan menanjak ke udara lepas. Akhirnya saat-saat yang dinanti telah tiba. Sendok sayur itu diambil oleh Si Guru dan ia mengambilkan jatah untuk Laksha di mangkok yang sudah haus akan makanan.Tak perlu menunggu pagi tiba untuk memuaskan cacing yang sudah berjejer di dalam perut "Selamat makan!" Mengatakan hidangan ini buruk adalah dosa besar baginya semasa hidup. Ia selalu membuatkan makanan dengan rasa bangsawan meski bahannya sekelas jelata. Saat kali pertama Laksha memakan masakannya dua tahun lalu, ia langsung jatuh hati pada kelihaiannya dalam memasak. Berulang kali ia meminta untuk diajarkan dan berulangkali pula orang itu dengan senyum manisnya menyedekahkan resep rahasianya setiap memasak, dan resep itu adalah... "Laksha, aku akan pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dulu, kau tetaplah di sini dan habiskan makan malammu, ya!"

"Eh? Mencari kayu bakar? Bukannya besok masih bisa?" Seorang anak kecil mempertanyakan hal yang logis dan beralasan.

Matanya sedikit sayu dan mengeluarkan senyum kecil tak puas "Tak apa, aku akan mencarinya malam ini, aku pergi dulu". Dalam benak Laksha bertanya-tanya mengapa gurunya tersebut tiba-tiba ingin mencari kayu bakar malam-malam begini, tidak seperti biasanya. Ya sudahlah, daripada repot-repot memikirkan apa yang orang dewasa lakukan, Laksha lebih memilih untuk menyelesaikan pertarungannya dengan panasnya sup yang berada di depannya. Itu jauh lebih menarik untuk dilakukan.

Beberapa menit berlalu dan makan malamnya sudah tinggal sesendok lagi. Tubuhnya merasa aneh, seperti ada sesuatu yang ingin keluar dari perut kecilnya. Padahal sore tadi ia tak banyak minum, tapi datangnya hasrat untuk buang air kecil sudah diujung tanduk. Di rumah yang tak pantas disebut rumah ini tidak memiliki toilet pribadi, mereka harus pergi ke bilik kecil buatan si guru yang ada di tepi sungai tak jauh dari sana. Laksha menyalakan lentera yang tergantung di dinding dan dibawanya keluar menerangi jalan setapak di bawah bayangan pepohonan.Suara-suara nyaring terdengar di tempat yang sunyi. Untuk suara serangga yang bernama jangkrik bukanlah masalah karena bisa merubah suasana seram menjadi sedikit ramai, tapi untuk suara burung yang hanya terdengar di malam hari... Burung hantu adalah musuh utama baginya acap kali berkunjung ke toilet pribadi mereka di hilir sungai. Biasanya Laksha akan ditemani oleh gurunya, tapi apa daya ia sekarang sedang menjelajah hutan meninggalkan tuan putri itu sendirian.

"Kau tetaplah disini dan habiskan malammu, ya!" Kalimat itu terngiang di kepalanya saat sudah tiba di tempat tujuan. Mau bagaimana lagi, ini adalah urusan yang tak bisa ditunda esok hari seperti mencari kayu bakar. Jika si guru saja tidak bisa menunda keperluannya, mengapa Laksha tidak? Nampaknya rasa kesal tidak bisa makan malam berdua dengan gurunya membua Laksha tak tenang.

Deru aliran sungai berduet dengan nyanyian jangkrik menutupi suara memalukan air seni yang mengucur dari salah satu organ ekskresi. Laksha berterimakasih pada mereka berdua. Meski sebenarnya itu tak diperlukan karena takkan ada orang yang mendengarnya. Ditutupnya pintu reot dan berjalan pulang. Di tengah perjalanan langkahnya terhenti oleh penampakan jejak binatang yang membekas di tanah. Laksha mencoba menyentuhnya untuk memastikan apakah jejak itu sudah lama atau baru saja terbuat. Bodohnya Laksha waktu itu, saat diamelewatinya tadi tentu saja jejak itu masih belum terekam di tanah. Tanpa disadari suara-suara rerumputan yang saling bergesekan, seekor binatang berbulu hitam muncul dari balik semak belukar. Entah Dewi Bulan yang marah padanya karena menyalakan lentera menyaingi sinarnya, Laksha langsung menjerit dan berlari sekencang mungkin.

"Babi hutaaaaannn!!!" Kejadian munculnya babi hutan seperti itu di malam hari bukanlah hal yang mustahil. Itulah mengapa biasanya si guru yang bertugas untuk mengatasinya. Meski tak jarang pula ia enggan untuk membunuhnya atau sekadar mengusirnya hanya demi menjahili Laksha dan tertawa saat mereka berdua lari bersama dengan pekikan teriakan yang keluar dari mulutnya.

Sudah dua tahun Laksha dilatih oleh gurunya dan sudah berulangkali pula ia bernasib sama dikejar seperti itu, anehnya tak pernah terpikir untuk melawannya dengan kekuatan miliknya. Laksha yang sekarang tentu saja jauh berbeda dengan setelah ia menyaksikan kekejian tujuh roh jahat yang telah membakar desanya. Laksha hanya bisa berlari dan berlari. Untung saja dia ini adalah pengguna kekuatan tipe angin, sehingga ia bisa memanfaatkan angin malam untuk membantu percepatan berlarinya. "Angin Kencana!"

*Wusssss !!

"Aa... Aaaaaaaaaa..."

Karena rasa takut yang sedang menguasai raga, mengendalikan jumlah tenaga dalam yang dikeluarkan saja ia tak bisa. Alhasil Laksha tak bisa membelokkan tubuhnya ke arah jalan setapak yang benar dan malah menerobos masuk ke dalam labirin hutan. Beberapa saat setelah ia menggunakan jurus jitu "Melarikan Diri", Laksha bisa lolos dari kejaran babi hitam jelek itu. Perlahan ia mulai mengurangi kecepatan larinya hingga akhirnya saat berhenti total barulah disadari... "A, Aku tersesat".

"Bagaimana ini?? Apa yang harus aku lakukan?" Seorang anak kecil tetaplah anak kecil. Padahal usia telah menginjak dua belas tahun, tapi semua ini gegara si guru yang terus menerus memperlakukannya seperti anak kecil usia tujuh tahun. Untuk menghadapi permasalahan seperti anakan ayam yang tak tahu arah kandangnya saja Laksha kebingungan. Situasi pada malam hari benar-benar berbeda 180° dibanding saat matahari sedang bertakhta. Gelap dan gelap. Saat itu cahaya rembulan sedang tertutupi arus sungai awan. Ditambah lagi pepohonan di hutan yang tak kalah tingginya dengan rumah bertingkat milik bangsawan. Dengan berhati-hati Laksha menyusuri lautan semak belukar untuk mencari jalan setapak yang dilaluinya tadi.

"Aduh!"

Ternyata bukan Dewi Bulan saja yang marah, pepohonan pun juga tak mau meninggalkan kesempatan untuk menjahilinya. Akar besar nan keras menjalar keluar dari rumahnya. Tak diragukan lagi pohon itu pasti sudah berusia lebih dari seratus tahun, dimana tubuh mungil Laksha mencoba untuk berpelukan pada batangnya yang berdiameter cukup lebar itu. Kesialan yang bertubi melanda. Cahaya harapan yang menyala pada lentera tersebut lenyap begitu saja meninggalkannyadalam duka tak berkesudahan. Laksha yang tipe angin tentu saja tak bisa mengubah tenaga dalamnya untuk menghasilkan percikan api. Sekali pun bisa, itu hanya sebatas untuk meningkatkan suhu tubuh diri sendiri dengan hanya mengeluarkan tenaga dalam murni tanpa ada campur tangan dengan gesekan partikel-partikel kecil di sekelilingnya.

Andaikan saja lampu lagit menyala, mungkin tanpa lentera pun ia masih bisa menelusuri hutan yang menyebalkan itu. Laksha jadi bingung mengapa dulu si guru memutuskan untuk tinggal di dekat sini, padahal sekitar setengah hari perjalanan ke arah selatan ada sebuah desa kecil yang setidaknya mereka bisa ikut mendirikan rumah-rumahan kecil di sana. Mengeluh terus tak akan menghasilkan secangkir hangat susu sapi, Laksha memutuskan untuk tetap berjalan entah kemana ia mengarah. Kunang-kunang yang biasanya berada di langit juga tidak menampakkan hidungnya, lagi-lagi ini semua salah awan.

"Huh..."

"Ja@#&$asi÷×✓%!?"

"∆¶\•ngat[°^™€{£\"

Suara samar-samar tertangkap daun telinga. Abaikan atau telusuri darimana asal suara itu adalah dua pilihan yang membuatnya bimbang. Di satu sisi Laksha ingin segera menemukan jalan setapak dan cepat-cepat pulang, di sisi lain ia juga penasaran asal suara itu darimana dan siapa yang mengeluarkannya. Malam-malam begini, ditengah sesatnya hutan begini, mungkinkah ada orang lain sebodoh si guru yang mencari kayu bakar di malam hari? Rasa penasaran akan kebodohan orang tersebut membuatnya membelokkan kaki menuju sumber suara. Siapa tahu nanti ia bisa menanyakan arah agar bisa keluar dari labirin itu. "Apa-#&)/"!$kita+@_@=¢{¢[✓€?" Semakin mendekat suara yang terdengar semakin jelas. Ada apa di ujung semak ini? Sebelum mencapai puncak penasarannya, terdengar dikit seperti adanya percakapan, dengan begitu bisa dipastikan lebih dari seorang. Laksha sempat berpikir kalau itu adalah suara gurunya yang sedang bergumam, tapi ternyata bukan.

"Dimana dia sekarang?" Seseorang nampaknya sedang melontarkan pertanyaan dengan nada sedikit cemas. Tak pedulikan itu Laksha semakin dekat menerjang.

"Dia sudah berangkat terlebih dahulu ditemani oleh *** menuju desa ***".

Laksha semakin jelas mendengarnya. Berpikir sejenak mengenai desa *** yang sedang dibicarakan itu, kalau tidak salah gurunya pernah bercerita kalau dia pernah tinggal di sana selama beberapa tahun. Api yang sedang berkobar melupakan hasrat untuk bersegera pulang dan tidur di atas kapuk yang dibalut kain bekas. Awan bertiup lebih kencang dari sebelumnya, membuka cahaya lampu tuk menerangi panggung sandiwara. Lima siluet terlihat sedang berkumpul di sana. Semakin terang sinarnya semakin pula terlihat jelas jubah hitam mereka. Wajahnya mereka sembunyikan dibalik topeng putih yang melekat erat di kepala. Masa lalu kelam menyerobot keluar dari kumpulan buku ingatan yang menindihnya. Dengan mata terbelalak tubuhnya bergetar hebat, rasa takut, benci, dendam, dan amarah melebur menjadi satu saat itu juga. "Ro-Roh Jahat!!?"

Padahal belum pasti apa yang dilihatnya, mereka yang berada di balik semak itu adalah mereka yang telah menyalakan api neraka di malam tahun baru. Tetapi, mengapa tubuh Laksha berguncang kuat sampai tak bisa digerakkan? Kepalanya serasa berat sekali, berharap tanpa kepala itu lebih baik. Badannya serasa membatu, berharap tanpa badan itu jauh lebih baik. Bagaimanapun Laksha ingin sekali menyerang mereka. Membalaskan dendam banyak jiwa yang terenggut hanya dalam satu api satu malam. Terus menerus memerintahkan tangan itu untuk menyerang namun tak bisa. Jangankan menyerang, mengeluarkan tenaga dalam saja ia tak bisa. Seolah tubuhnya mengerti kalau sampai mereka mengetahui keberadaan Laksha karena merasakan tenaga dalamnya, ia akan mati di sana tanpa diketahui oleh siapa pun selain mereka sang pembunuh.

"Keputusan yang tepat, kalau begitu kita segera ke sana!" Salah satu roh jahat itu memberikan komando kepada empat roh jahat lainnya.

Bersamaan dengan gugurnya daun terhempas angin malam, mereka menghilang dari pandangan begitu saja. Lenyap tanpa jejak. Lenyap tanpa sempat Laksha melawan mereka. Lenyap tanpa sempat ia bertanya arah untuk keluar dari hutan itu. Hilangnya mereka mampu mencairkan tubuh yang membatu itu. Tak sampai satu detik setelah Laksha menyadarinya... Ia berteriak sekencang mungkin juga berlari sekencang mungkin. Adu kencang terjadi antara mulut dengan kaki. Sudah tak peduli lagi kemana arah yang dituju, asalkan ia bisa berlari sejauh mungkin dari tempat terkutuk tadi.

Malam yang seharusnya sunyi dan menenangkan berbalik menjadi malam yang menegangkan, sama halnya seperti malam tahun baru dua tahun yang lalu. Lari... Melarikan diri adalah satu-satunya hal yang ia bisa. Lari dari gudang penyekapan, lari dari desanya, lari dari babi hutan, dan sekarang lari dari kenyataan bahwa betapa lemahnya gadis kecil itu. Tidak seperti gurunya yang bisa melakukan apa saja karena keberaniannya, Laksha ini tidak lain hanyalah seorang anak perempuan yang masih ingin dimanja dan tentunya ingin dilindungi oleh orang dewasa. Seperti yang gurunya lakukan selama kurun waktu dua tahun, tapi nahasnya si guru sedang tidak ada di sampingnya kala Laksha dalam kondisi yang memalukan dan pilu itu. Tak dihitung berapa jejak kaki yang sudah ia tancapkan pada tanah, Laksha berhasil kembali ke jalan setapak sebelum ia menjelajahi hutan belantara. Rasa tenang sedikit meredam rasa takut akut yang mendekapi tubuhnya. Berusaha mendinginkan kepala, ia melihat jejak kaki babi hutan yang mengejarnya. Penyebab dari malapetaka yang menimpa. Laksha mengikuti jalan sempit itu dan berhasil pulang sampai di rumah.

Laksha segera membuka pintu dengan harapan gurunya sudah pulang duduk di meja makan menyantap makan malamnya dan percaya dengan semua yang dilihatnya akan diceritakan. Tak disangka setelah pintu terbuka... Sang Guru sudah lenyap dari rumah, satu-satunya tempat untuk mereka kembali pulang.

***

"Nona, kita sudah memasuki kota Aryasetya". Suara dengan nada sedikit keras dari luar terdengar hingga membangunkannya dari tidur yang lelap. Selama kurang lebih satu jam nampaknya Laksha tertidur. Melewati pemandangan luar yang tak pernah ia lihat sebelumnya memang sangat disayangkan, tapi melewatkan udara sejuk di pagi untuk tidur kembali itu jauh sangat disayangkan. Orang bilang kalau tidur di pagi hari tidaklah baik bagi kesehatan, tapi rupanyaLaksha masih mengantuk, terlebih fakta bahwa ia yang seorang tukang tidur.

Untuk bisa sampai ke Kota Aryasetya sebenarnya tidaklah jauh. Hanya melewati dua desa setelah keluar dari Kota Maja dan dilanjut melintasi wilayah perbukitan. Di sinilah waktu terkuras banyak untuk bisa tiba di kota yang dituju. Jalan yang panjang dan berliku harus dilalui mau tidak mau suka atau tidak suka, dan nampaknya selama kereta kuda ini melintasi perbukitan, Laksha tertidur.

Pak Kusir itu berkata kalau mereka sudah tiba di kota, faktanya mereka masih baru akan memasuki gerbang kota. Terdapat kebijakan di tiap kota yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Ardiya ini, atau mungkin semua kerajaan juga memberlakukan sistem yang sama. Tiap kota pasti di batasi oleh dinding yang terbuat dari campuran batu dan tanah. Tingginya mencapai sepuluh meter mengelilingi kotanya. Lebih tepatnya melindungi kota dari bencana alam seperti banjir dari luar dindinng, badai, maupun tanah longsor kalau itu memungkinkan. Itu semua karena letak geografis Kota Aryasetya ini dikelilingi oleh perbukitan dan dekat dengan laut barat. Adanya dinding setinggi itu lebih efektif daripada beberapa kota lainnya yang ada di dataran rendah.

Otoritas kota menugaskan beberapa orang untuk berjaga dan memeriksa setiap orang dan barang bawaannya yang akan masuk ke dalam kota. Mereka pun juga tak luput dari pemeriksaan tersebut, meski harus menunggu belasan menit untuk mengantre. "Perlihatkan lembar identitasmu!"Suara tegas salah satu petugas terdengar sedikit gagah namun rada sombong, seolah-olah dialah penguasa kota yang sudah banyak manusia keluar masuk dan mendapat izin darinya. Pak Kusir memberikan lembaran berupa identitas juga daftar angkutannya kepada petugas. Tak lupa juga Laksha menunjukkan sebuah benda yang melingkar di lehernya sebagai lambang bahwa dirinya merupakan kaum bangsawan kelas keempat, Catura.

Di Kerajaan Ardiya ini terdapat tujuh kelas bangsawan yang dihormati. Mulai dari kelas terendah hingga tertinggi, masing-masing memiliki identitas yang berbeda. Berhubung Laksha yang merupakan bangsawan kelas keempat, maka kalung adalah perwujudan yang mewakili identitasnya. Kalung bangsawan dengan kalung emas lainnya memiliki warna dan bentuk yang berbeda. Kalung khas bangsawan kelas keempat ini berwarna perak dengan butiran-butiran kecil yang saling merekat satu sama lain membentuk tali dengan membawa simbol burung merpati. Cukup dengan memperlihatkan simbol tersebut pada siapa pun di kerajaan ini pasti akan segera menyadari bangsawan kelas berapa pemakainya. Hal mudah tak perlu repot-repot menjawab berbagai macam jejalan pertanyaan. Sebagai gantinya, mereka telah menuliskan data diri dan alasan atau keperluan apa memasuki kota dan daftar barang bawaan yang telah diberikan kepada petugas.

"Baiklah, silahkan masuk". Akhirnya... Kata yang sudah lama dinanti keluar darinya. Gerbang setinggi delapan meter itu terbuka. Roda berjalan ditarik oleh tenaga kuda memasuki tempat penuh misteri. Laksha beralih duduk di samping Pak Kusir yang sedang bekerja, mengendarai kuda supaya baik jalannya. Tepat setelah gerbang, terdapat jalan lebar yang lurus sejauh mata memandang. Diujung jalan dapat dijumpai daratan yang sedikit lebih tinggi dengan bangunan berlumuran susu yang berdiri megah bertakhta. Pusat dari otoritas kerajaan di Kota Aryasetya.

Berbeda dengan jalanan di Ibu Kota Auriga, dari peta yang pernah ia lihat, jalanan di ibu kota dibuat berliku-liku sedangkan yang satu ini jalan utamanya justru dibuat lurus. Dibuat berliku dengan tujuan untuk memperlama dan mempersulit apabila ibu kota sedang diserang oleh tentara lawan sewaktu-waktu. Lantas apa gerangan kota yang satu ini tidak demikian ? Pak Kusir dengan cepat menjawab gumamannya. Ia menjelaskan jika yang bertanya adalah anak kecil, maka mereka orang dewasa akan menjawab bahwa jalan lurus ini dibuat agar kalian tidak tersesat, atau mungkin jikalau sedang tersesat, kalian tinggal bertanya dimana jalan utama berada, dengan begitu masalah akan teratasi. Tapi sebaliknya, jika yang bertanya adalah orang dewasa... Tapi rasanya mustahil bagi orang dewasa bertanya hal semudah ini. Jika dilihat dari sisi baiknya, kota ini seperti memberikan rasa sopan dan santun kepada pengunjung dengan langsung memperlihatkan dirinya (Istana Kota). Tapi jika dilihat dari sisi buruknya, maka orang yang telah melewati gerbang pasti akan sedikit merasa kesal karena mereka telah diremehkan. Jalan utama ini adalah bentuk kesombongan Kota Aryasetya dalam menyambut musuh apabila berhasil menembus garis pertahanan terdepan. Jalan utama yang sedemikian lurus ini juga dengan tujuan lain supaya perhatian mereka terfokus pada istana dan mengesampingkan rumah-rumah warga yang ada di sisi kanan dan kiri jalan.

Ia menambahkan lagi agar aku tidak pergi jalan-jalan sendirian memasuki pemukiman warga, karena di samping jalan sombong ini adalah labirin kota yang akan menyesatkan pendatang baru. Jalan kecil yang dibuat berliku dengan rumah bagai dinding penghalangnya, jika diperhatikan dengan baik, tak kan pernah kita jumpai rumah hanya dengan satu lantai. Setidaknya dua sampai tiga lantai untuk menghalangi pandangan mereka yang sudah masuk ke dalam labirin tak berujung itu.

"Tak perlu khawatir, karena aku bukanlah tipe orang yang suka berkeliaran". timpalku.

Bagian 2 - Pulang Pagi

• 10 Telu 680 Danindra - Akademi Aryasetya Kerajaan Ardiya Bagian Barat

*Teng tong teng tong

Bulatan besi berwarna emas yang ada di menara bergerak memantul dan menghasilkan suara yang khas. Pertanda baik maupun buruk. Sebagai tanda pembelajaran dimulai, istirahat siang, dan pembelajaran selesai.

"Perhatian semuanya!"

Ditengah libur akhir semester, murid-murid terpaksa diminta keluar dari kandang mereka untuk datang ke akademi hari ini. Itu karena ada pengumuman penting yang harus disampaikan. Semuanya berkumpul di arena berlatih yang terpisah dari akademi namun masih dalam satu area. Lapangan yang hijau berseri tertutupi oleh sekian banyak murid berseragam hitam yang sedang berbaris di sana. Pada bagian terdepan terpisah dari barisannya berdiri beberapa murid yang merupakan ketua kelas dari tiap-tiap kelas yang ada. Mereka menghadap ke arah podium yang ada di depan mereka. Belasan wajah orang dewasa menghiasi panggung, terutama yang paling depan di ujung podium. Meski sudah beruban nampaknya ia masih segar dan enerjik. Dialah Kepala Akademi ini. Sedangkan belasan orang yang berjejer di paling belakang panggung adalah pengajar di akademi. Tidak semua pengajar yang berstatus aktif hadir dalam acara, hanya mereka yang masih berumur di bawah empat puluh tahun yang hadir. Inilah yang mungkin dinamakan dengan "Mereka yang tua adalah Dewa", liburan kami harus dikorbankan untuk menghadiri acara yang hanya berjalan tak sampai berjam-jam tentunya. Di antara belasan pengajar yang hadir, aku adalah salah satunya. Berdiri paling pojok kiri agar dianggap bukanlah sosok penting dalam akademi, atau mungkin aku ini memang keberadaan yang sangatlah tidak penting di sini.

Terdapat keunikan yang membedakan seragam yang dikenakan oleh murid dan pengajarnya. Seragam murid dimana bajunya hanya sepanjang tangan tanpa dilapisi apapun, sedangkan seragam pengajar dilapisi oleh jubah yang panjangnya sampai betis. Mungkin desainer seragam ini ingin agar kami terlihat lebih keren dari muridnya. Selain itu, terdapat juga perbedaan lainnya antar sesama pengajar. Bukan masalah kekuatan atau kelas bangsawan atau gelar yang dimilikinya, melainkan ada beberapa pengajar yang menutupi wajahnya menggunakan topeng. Untuk yang hadir di sini ada tiga orang termasuk aku yang memakainya, sedangkan untuk yang tidak hadir ada tujuh orang pemakai. Tiap topeng yang dikenakan berbeda tampilan dan warnanya; ada yang putih, ungu, dan hitam. Aku sendiri mengenakan yang berwarna putih, untuk tampilannya topeng ini tak meniru bentuk hewan seperti yang kebanyakan orang pakai, hanya saja ada sedikit coretan-coretan yang menghiasinya.

"Ehem! Maaf kalau harus menganggu waktu berlibur kalian, terdapat perubahan jadwal yang harus kami sampaikan". Kepala Akademi menjelaskan bahwa jadwal liburan yang seharusnya berakhir tiga hari lagi, menjadi satu minggu lagi. Perubahan jadwal ini disebabkan oleh jumlah murid yang mendaftar ke akademi membeludak. Beliau mengatakan kalau jumlah pendaffar tahun ini bertambah sekitar 50% dari tahun lalu. Data tahun lalu menunjukkan pendaftarnya berjumlah kurang lebih tiga ratus murid, padahal yang diterima tiap tahunnya tidaklah berubah yakni seratus murid saja. Sedangkan tahun ini akademi harus menghadapi empat ratus lima puluh pendaftar, tentu jadwal yang sudah ditentukan jauh sebelum liburan semester menjadi berantakan dan terpaksa harus memperpanjang waktu ujian masuk.

***

• 7 Telu 680 Danindra - Ruang Pengajar Akademi Aryasetya

"Pagi yang menyebalkan". Apa yang baru saja kuucapkan mewakili dua puluh pengajar yang hadir pada rapat darurat ini. Kemarin, kami mendapatkan surat dari akademi untuk menghadiri pertemuan yang katanya super duper genting, tapi apa yang terjadi sekarang....

Terpancar jelas wajah suram semua pengajar baik yang muda maupun tua. Tak satu pun dari mereka yang rela datang kemari jika bukan karena kata wajib yang diperbesar dan dipertebal penulisannya dalam kalimat terakhir yang tertulis pada surat tersebut. "Kepala Akademi yang akan secara langsung memimpin rapat hari ini". Begitulah kata Wakil Kepala Akademi. Meskipun begitu, "Dimana Kepala Akademi sekarang!?" Kesabaranku yang sudah diujung tombak memicu kalimat tersebut terlontar dari mulut ini. Menurut jadwal yang tertera pada surat, rapat seharusnya dimulai pada pukul sembilan pagi. Sekarang sudah pukul sepuluh dan Kepala Akademi tak kunjung tiba. Tentu saja itu membuat Wakil Kepala sendiri juga harus menahan amarah agar tidak memicu pengajar yang lain untuk pulang.

Kursi cokelat itu seharusnya sudah diduduki oleh seseorang setidaknya sejam yang lalu, tapi sampai sekarang masih kosong menunggu tuannya datang tuk menghangatkannya.

*Jeglek!

"Ternyata kalian semua sudah datang, ya". Tanpa rasa dosa sedikitpun ia membuka pintu dengan senyuman yang menaikkan tensi darah seketika.

"Oi, Pak Tua... Apa kau tahu apa yang telah kau perbuat?" Lava panas berusaha ke luar dari gunung yang sudah tak kuasa menahan emosinya.

"Eh? Mengapa tatapan kalian begitu dingin padaku?" Bahkan orang tua sekalipun paham dengan hawa nafsu ingin membunuh seseorang ini.Dengan santainya ia duduk manis di kursi kebanggaannya tanpa permisi pada kami yang telah lama menunggu kehadiran dirinya di ruang rapat. Aku memintanya untuk melihat jam sebagai isyarat akan keterlambatannya yang melebih batas normal. "Jam Sepuluh? Memang kenapa?"

Suara jarum jam sampai terdengar karena kesunyian menakutkan yang datang tiba-tiba. Aku adalah orang pertama yang memicu ujaran pembunuhan untuknya. "Adakah dari kalian yang ingin menonjoknya?" Salah satu pengajar lelaki ikut serta mendukung pertanyaan sekaligus deklarasi peperangan yang mungkin bisa menghancurkan akademi dalam kedipan mata. "Ah, kalau begitu bagaimana kalau kita keroyok sekalian?" Jawaban pertanyaan yang sungguh-sungguh cerdas. "Kita bakar saja mungkin lebih efisien".

"Eh.. ehhhh??" Setelah pembantaian dilakukan, rapat akhirnya dapat berjalan meski harus terlambat tiga puluh menit setelah kedatangan Kepala Akademi ke ruangan.

***

Huh... Seperti yang sudah aku jelaskan tadi kalau liburan ini akan berakhir tiga hari lagi, tapi bertambah menjadi seminggu lagi. Bagi murid-murid ini merupakan kabar gembira yang datang dari langit, tapi bagi kami segenap pengajar merupakan kabar terburuk yang tidak pernah terjadi sepanjang aku mengajar di akademi. Jadwal barunya yaitu besok akan dilakukan tes tulis. Tes tulis dibagi menjadi tiga gelombang, yaitu pagi, siang, dan sore. Kemudian satu hari sisanya digunakan oleh pengajar untuk mengoreksi dan menilai skor yang didapatkan oleh pendaftar sembari para pegawai akademi mempersiapkan arena yang akan digunakan untuk ujian tahap kedua, yaitu pertandingan. Hari ketiga adalah pertandingan satu lawan satu. Ujian tahap kedua ini tidak akan dibagi menjadi beberapa gelombang seperti pada tahap pertama, ujian akan dilakukan mulai fajar di langit timur sampai di langit barat dengan satu kali istirahat siang. Kemudian sehari lagi untuk menentukan skor yang diperoleh dari hasil bertanding. Terakhir pada hari kelima akan diadakan tes wawancara secara personal yang dilakukan oleh tiga pengajar yang dipimpin langsung oleh Kepala Akademi nantinya. Seperti sebelumnya, sehari berikutnya digunakan untuk menilai pendaftar. Saat semua rangkaian tes telah dilalui, hari ketujuh adalah hari penentuan dimana seratus nama peserta yang lolos akan diumumkan melalui selembaran yang akan dipampang pada papan kayu di halaman depan akademi. "Inilah yang terjadi kalau kuota pendaftar tidak dibatasi". Keluh salah seorang pengajar wanita.

Setelah Kepala Akademi selesai berpidato dan mengumumkan rencana perubahan jadwal, murid-murid diperbolehkan untuk balik kanan dan kembali ke rumah masing-masing untuk melanjutkan liburan mereka. Sorak-sorai murid benar-benar sangat menjengkelkan sekali. "Ahh... Andaikan saja aku yang menjadi murid". Dengan begini pertemuan dadakan hari ini telah usai. Murid-murid yang berhamburan terlihat seperti kerumunan semut yang telah menghabiskan menu utama mereka. Tak ketinggalan pula pengajar akademi yang dengan tubuh sedikit bungkuk dengan wajah kusam berjalan meninggalkan panggung. "Hei, Nak Tama!" Kepala Akademi memanggilku. Aku tidak tahu ada perihal apa yang ingin dia bahas denganku, aku tetap mengacuhkannya dan berjalan lurus dengan tekad baja ingin segera keluar dari arena dan jalan-jalan di kota. "Tunggu woi dasar bocah!" Nampaknya ia terpicu atas sikapku yang acuh.

"Aku ada kabar bagus untukmu". Dengan senyum licik penuh kelicikan yang selicik-liciknya licik, kalimat tersebut mampu memberhentikan langkah bulat penuh semangat jiwa mudaku. "Jadi, apa kabar bagusnya?" Dia berbisik padaku dan meminta agar merahasiakannya dari semuanya, ini perlakuan khusus untukku. "Kau tak perlu datang saat ujian masuk nanti, tugasmu akan digantikan oleh pengajar lain yang hadir saat itu. Aku yang akan bertanggungjawab nantinya, oke!?" Aku tak tahu maksud dibalik ucapannya itu, tapi yang jelas aku tahu dia pasti merencanakan sesuatu di belakangku hingga dia terkesan menjauhkanku secara halus dari ujian masuk untuk murid baru yang akan dimulai besok. Aku juga heran mengapa hal baik seperti ini tidak ia sampaikan seusai rapat dadakan yang lalu, tapi itu semua sudah tak penting lagi bagiku, itu sudah bukan urusanku lagi. Waktunya untuk bersenang-senang di liburanku yang bertambah sampai satu minggu ke depan ini.

Bagian 3 – Penginapan

Bagian selatan jalan utama terdapat sebuah penginapan dengan tinggi empat lantai. Ayahnya telah memesankan kamar untuknya jauh-jauh hari karena dikhawatirkan akan penuh sebab besok akan diadakan ujian masuk akademi ternama yang menjadi kebanggaan kota ini, bahkan raja pun pernah berkunjung ke akademi tersebut. Laksha diturunkan tepat di depan penginapan berwarna cokelat kehitaman yang melumuri dinding kayunya. Dibantu oleh Pak Kusir yang membawakan dua tas bawaannya, mereka masuk ke dalam penginapan menuju tempat resepsionis.

"Ada yang bisa dibantu nona?" Perempuan dewasa yang terlihat masih muda tapi tidak seperti ibu-ibu berdiri di balik meja menyambut mereka dengan hangat dan penuh senyuman. Bajunya simpel sekali, hanya mengenakan baju berkerah lengan panjang dan rok sepanjang betis. "Kami sudah memesan sebuah kamar beberapa hari yang lalu, bisakah anda mengantarkan kami?" Wanita itu tak langsung mengiyakan permintaan Laksha yang begitu mendadak barusan, tetapi bukan berarti permintaannya ditolak mentah-mentah tanpa sebab. Setelah ia menanyakannya, wanita itu membalas dengan permintaan juga. Ia meminta selembar nota yang telah diberikan oleh pihak penginapan jika memang benar telah melakukan pemesanan.

"Eh? Nota? Nota apa?" Laksha yang sedang kebingungan sama sekali tak memahami maksud dari perkataan wanita tersebut. Ayahnya yang memerintahkan salah satu pelayan mereka untuk memesankannya dan Laksha juga tidak diberitahu apapun mengenai notanya. Mungkinkah Joko lupa memberikannya kepada Tuan Catura? Ataukah ayahnya yang lupa memberikannya pada Laksha? Atau jangan-jangan mereka salah penginapan? Parahnya lagi, bagaimana jika Joko ternyata tidak memesankan kamar di sana? Saat Laksha sibuk tercengang dengan segala pertanyaan yang memenuhi kepalanya, tangan berbaju hitam tiba-tiba menjulur dari samping kiri menuju meja resepsionis. "Ini Nyonya".

Ketercengangan Laksha meningkat drastis, tapi kekhawatirannya sedikit menurun bersamaan dengan emosi yang sedikit naik. "Jadi... Kau yang bawa, ya. Pak Kusir!!? He..." Dengan menurunkan kelopak mata ia mengatakannya dengan nada yang datar. 1001 dikurangi 1000 dia beralasan kalau Tuan Cautra sendirilah yang telah memberikan nota tersebut padanya setelah ia menaikkan tas-tas itu ke dalam kereta. Tentu saja Laksha tak melihatnya karena ia sedang menginjakkan kakinya satu persatu ke dalam kereta, sedangkan mereka berada di belakangnya waktu itu. Laksha dapat menduga kalau ayahnya melakukannya karena ia menganggap kalau dirinya adalah seorang anak yang teledor. "Bukankah begitu, Pak Ku-u-sir!!?" Merasa kepalanya sedang diincar dengan tatapan es, ia justru membuang muka sambil bersiul tanda bahwa apa yang Laksha pikirkan itu tidaklah salah. Ia merasa semakin kesal dibuatnya. Tak berapa lama setelah wanita yang bertugas di bagian resepsionis itu melakukan pengecekan nota, ia berkata kalau nota yang diberikan itu asli dan rupanya dia sendiri yang bertanda tangan sebagai bentuk kesepakatan antara kedua belah pihak. Setelah itu, dia keluar dari posisi awal berdirinya dan mengantarkan mereka berdua ke tempat tujuan.

Penginapan itu berbentuk persegi panjang dengan bagian tengahnya adalah halaman, bisa terlihat beberapa jemuran sedang berkibar terkena angin siang. Posisi meja resepsionis tadi terletak tepat beberapa meter setelah pintu masuk. Di sebelah kanan dan kiri pintu masuk digunakan sebagai ruang tamu penginapan karena disediakan kursi panjang dengan pengantinnya. Baik di sebelah kanan maupun kiri terdapat tangga yang menghubungkan antara lantai dasar dengan tiga lantai di atasnya. Wanita resepsionis itu mengantarkan mereka menuju anak tangga melalui jalur sebelah kanan.

"Ada di lantai berapa kamarku?" Sembari terus menginjakkan kaki ke lantai berbahan kayu, ia mengatakan kalau kamar Laksha berada di lantai tiga. Syukurlah bukan yang teratas batinnya, karena akan sangat melelahkan jika harus naik turun tangga sebanyak itu. Tangga pertama yang terletak di pojokan ruang tamu selesai dinaiki, selanjutnya menuju tangga kedua di lantai dua yang langsung terhubung dari lantai dasar menuju lantai ketiga dan keempat. Seminggu Laksha akan sementara tinggal di sana, meski begitu, dirinya merasa harus mengetahui jauh lebih banyak tentang rincian mengenai penginapan itu. Sudah tugasnya sebagai pegawai di penginapan untuk menjelaskannya sesuai dengan permintaan tamu. Dengan cepat menanggapi rasa keingintahuan Laksha barusan, ia mengambil keputusan untuk mulai mendongeng. Selain bentuk bangunan yang sudah diketahui, ia mengawali dongeng sejak awal mula penginapan ini berdiri. Tak enak hati menyelanya, Laksha membiarkan wanita resepsionis bercerita terus. Hitung-hitung sebagai penghilang rasa bosan selama perjalanan singkat itu.

Terdapat tujuh puluh kamar yang disewakan oleh sang pemilik dimana salah satunya nanti akan menjadi markas rahasia Laksha.Wanita itu juga bercerita terkait dengan adanya ujian masuk akademi, penginapan ini sudah penuh oleh para pendaftarnya. Ia turut lega karena Laksha yang sudah memesan kamar jauh-jauh hari sebelumnya. Tuan Catura memilih penginapan yang setidaknya cukup layak untuk ditinggali oleh kaum bangsawan sepertinya. K-343 adalah kode kamarnya. Tertulis pada papan nomor yang ditempel di atas pintu kamar. Menggunakan kunci dua gigi wanita itu membukakan pintu untuk mereka. Menimbang harga sewa yang lumayan mahal, ruang yang akan ia tempati juga cukup luas. Wanita itu mengatakan kalau ukuran ruangan ini 4×5 meter. Kamar ini difasilitasi sebuah almari dua pintu di bagian kanan kamar, ranjang besar yang empuk di bagian kiri kamar, dan sepasang meja dan kursi di samping ranjang menghadap ke jendela. Semua kamar memiliki fasilitas yang sama, karena harga sewanya pun juga sama semua. Kamarnya terlihat bersih karena sudah ada pelayan yang bertugas sesuai tugasnya. Itulah kamar Laksha. "Kalau begitu Nona, ini kunci kamarnya. Apabila ada yang perlu ditanyakan atau meminta bantuan, silahkan menuju bagian pelayanan yang ada di lantai dasar tadi. Saya mohon undur diri". Wanita itu kembali ke tempat kerjanya meninggalkan mereka berdua.

Pak Kusir yang dirasa kalau tugasnya telah selesai mengarah ke jendela kamar dan membukanya. "Fiiuit" Ia bersiul ala tentara yang memanggil burung pembawa pesan. Tiba-tiba seekor titisan malaikat yang ada di bumi datang menghampiri. Tak disangka ternyata orang itu benar-benar sedang memanggil burung merpati putih. Kepakan sayapnya mengejutkan Laksha yang terlajur mendekat ke jendela. Ia terheran karena merpati itu tidak datang dari langit, melainkan dari bumi. "Sejak kapan kau membawa merpati ini?" Tanya Laksha penuh kebingungan. "Sejak awal, burung ini sudah berada di atas kereta. Tentu saja anda tidak melihatnya". Balasnya dengan wajah mengejek. Burung itu bertengger di tangan kiri Pak Kusir yang sedang merogoh saku kanan celananya. Darinya keluar secarik kertas putih dan menaruhnya ke dalam wadah silinder kecil yang sudah terikat di kaki kiri merpati. Tak perlu ditanya pada orang menyebalkan itu, pastilah dalam secarik kertas itu tertulis laporan kalau Laksha sudah tiba di penginapan dengan selamat, atau ia yang telah menyelesaikan tugasnya dengan lancar. Ketika pesan sudah terbawa, ia menerbangkan merpati itu dan si burung terbang ke langit kemudian. Merasa tugasnya telah usai, ia berpamitan pada Laksha dan segera pergi. "Tugas saya sudah selesai, saya undur diri. Semoga anda diberi keberhasilan". Laksha menyaksikan kepergiannya dari pintu masuk penginapan. Keretanya memutar balik menuju gerbang perbatasan. Perlahan menjauh hingga tak terlihat ekornya lagi.

"Huh... Sekarang enaknya ngapain? Tidur atau... Jalan-jalan?" Itu adalah kesempatan besar baginya untuk bebas berkeliaran di luar tanpa adanya Lise yang selalu mendampinginya kemanapun ia pergi. Namun, saat kaki kanan dengan langkah tegap maju jalan, bayangan Pak Kusir seketika menghantui pikirannya. "Jangan pergi jalan-jalan sendirian memasuki pemukiman warga, karena di samping jalan sombong ini adalah labirin kota yang akan menyesatkan pendatang baru". Badai datang menerjang membuatnya melakukan salah satu gerakan baris berbaris yang sangat disukai oleh siapa pun itu, BALIK KANAN GRAK!!

"Kembali ke kamar saja kalau gitu terus tidurrr...." Saat Laksha baru saja mendapat dua langkah berjalan kembali sembari meregangkan kedua tangannya ke atas, seorang gadis yang sedikit lebih pendek menabraknya. Sepertinya ia sedang tergesa-gesa... Bahkan Laksha yang jelas-jelas berdiri di sana pun ia terobos begitu saja. Laksha terjatuh bukan karena lemah, tapi ketidaksiapannya membuat dirinya terdorong ke belakang dengan daging kenyal di bawah pinggul itu mencium lantai terlebih dahulu. Gadis yang menabrak itu tentu saja masih tetap berdiri kokoh di hadapan Laksha. "Ma-maafkan saya, maafkan saya, saya sung-sung-guh minta maaf!! A-apakah anda baik-baik saja? A-a-pakah anda terluka?"

Bagi gadis kuat seperti Laksha yang setiap malam berlatih secara diam-diam tidak akan mungkin terluka apalagi merasa kesakitan jika hanya diseruduk oleh gadis yang tingginya bahkan lebih pendek darinya. Gadis itu mengulurkan tangannya pada Laksha dengan wajah yang setengah tertutup tudung cokelat yang ia kenakan. "Tak perlu cemas. Aku baik-baik saja". Balasku padanya sambil memegang tangan kanannya. Dia berpamitan pada Laksha setelahnya dan pergi meninggalkan penginapan menuju labirin kota yang menyesatkan. Laksha mencoba kembali berjalan menuju kamar, tetapi kakinya tersandung oleh sesuatu. "Eh?" Benda berbentuk setengah lingkaran tergeletak di lantai. Warnanya sama dengan tudung yang gadis itu kenakan. Saat Laksha mengambilnya, terdengar suara khas koin yang saling bertabrakan satu sama lain. Tak perlu membukanya, ia tahu betul meski dilihat dari mana pun benda yang terlantar ini adalah dompet. Tapi dompet milik siapa? "Ah!" Itu pasti milik gadis bertudung itu. Kalau mau coba ditebak, pasti dompetnya terjatuh saat dia menabrak Laksha dari belakang. Tidak salah lagi dompet itu pasti miliknya. "Humm! Humm! Tidak salah lagi". Meski sudah mengetahui kalau itu adalah miliknya, terus apa? Gadis itu nampaknya sedang tergesa-gesa, bagaimana kalau ia pergi keluar untuk membeli sesuatu? Sedang dompetnya sekarang ada pada genggaman Laksha? Peduli sekali dengannya, Laksha putuskan untuk memberikannya pada....

JAM ISTIRAHAT.

"Hmmb... Hmmmmbb...Hmmmmmbbbb!!!"

Tanpa disadari matahari sudah berada pada titik pertengahan bumi. Sudah sewajarnya kalau wanita itu pergi meninggalkan mejanya untuk beristirahat. Waktunya makan siang, ya...Dengan penuh kesadaran diri Laksha melakukan balik kanan lagi dan sekali lagi ia berdiri di depan pintu masuk. Perkataan Pak Kusir terngiang kembali namun diacuhkannya. Masa bodoh kalau pun ia tersesat, cukup bertanya saja pada masyarakat juga selesai. Ngomong-ngomong, cepat juga gadis itu perginya, yang Laksha tahu tadi dia berlari ke arah kiri. Sebelum melakukan langkah tegap maju jalan seperti tadi, Laksha mengambil napas dalam-dalam dan meyakinkan diri kalau ia pasti akan baik-baik saja. Tak terpikirkan sekalipun kalau besok adalah penentu masa depan nantinya. "Yoshh... Maju Jalan!!"

Bagian 4 - Makan Siang

• 10 Telu 680 Danindra - Jalanan Kota Aryasetya

Lelaki yang sedang berjalan dengan perut lapar ini adalah aku. Begitu menyedihkannya di tengah hari di bawah sengatan api dikelilingi orang-orang yang berlalulalang di jalanan yang tidak terlalu lebar maupun sempit ini. Kalau aku mengukurnya mungkin lebar jalan ini mencapai tujuh langkah kaki orang dewasa. Jauh lebih kecil dibanding jalan utama yang selebar lima belas langkah. Aku masih mengenakan seragam pengajar akademi karena baru saja pulang dari pertemuan yang sangat menyebalkan itu, tapi mungkin itu tidak sepenuhnya benar, karena dengan datangnya aku ke sana Pak Tua sialan itu memberikanku jatah libur yang lebih panjang daripada pengajar yang lainnya. Kalau saat hari pelaksanaan mereka tahu kalau aku mendapatkan tambahan hari libur, mungkin mereka akan mengobrak-abrik ruang Kepala Akademi. Aku tak bisa menahan tawa jika itu sampai terjadi.

*Kruukkk~~

"Sial, aku sampai lupa kalau perutku kehabisan bahan bakar".

Lonceng telah berbunyi. Aku harus segera mencari tempat yang cocok untuk mengisi perut. Seperti biasa, baik perkampungan maupun pasar, jalanan yang terletak di sisi kanan dan kiri jalan utama memang cukup menyesatkan. Tak jarang kujumpai anak kecil yang sedang berdiri sendirian menangis meneriaki ibunya yang entah dimana. Tak jarang pula orang dewasa yang baru kali pertama berkunjung ke kota ini sampai dipaksa bertanya ke sana kemari hanya untuk menanyakan pertanyaan yang sama. "Dimanakah jalan utamanya?"

Di kota Aryasetya ini terdapat beberapa pasar. Pertama ada yang namanya Pasar Kanan. Dinamakan begitu karena terletak di bagian kanan jalan utama, kedua ada Pasar Kiri dengan alasan penamaan yang sama, kemudian ada Pasar Pembuka yang ada di dekat gerbang masuk kota, dan terakhir ada Pasar Pusat yang ada di dekat Istana Kota. Pasar Kanan dan Kiri memiliki wilayah yang tak jauh sama luasnya, sedangkan Pasar Pembuka sedikit lebih kecil dari keduanya, dan Pasar Pusat jauh lebih kecil lagi karena dikhususkan untuk kaum elit yang ingin berbelanja tanpa harus dikerumuni oleh rakyat jelata dan kumuhnya lokasi.Aku sekarang berada di Pasar Kiri, letaknya sedikit jauh dari akademi. Berselancar di sini lebih baik daripada harus berjalan lebih jauh lagi menuju Pasar Kanan. Kalau ditanya mengapa tidak ke Pasar Pusat saja yang lokasinya lebih bersih dan sepi, aku akan menjawab kalau aku bukanlah seorang bangsawan. Aku bukanlah seorang elit. Meski berbekal seragam pengajar dari akademi kebanggaan kota sebenarnya bisa berbelanja atau sekadar duduk menyesap teh di sana, tapi memang benar aku tetap tidak cocok berada di sana jika digolongkan dalam strata elit.

Dari kejauhan, jauh dibelakangku ada seeorang yang berlari dengan desahan napas menuju ke arahku. Berteriak memanggil namaku. Pinggulnya bergoyang ke kanan dan ke kiri, dadanya ke atas dan ke bawah. Ia memakai pakaian yang sama denganku. Perempuan itu bernama....

"Tamaaa! Tunggu aku!!"

Padahal aku sudah berhenti berjalan di saat aku menyadari akan keberadaannya sebelumnya. Di hadapanku ia menundukkan badannya dengan tangan memegangi masing-masing lututnya. Napas akan jauh semakin berat saat seseorang berhenti bergerak setelah melakukan aktivitas yang melelahkan.

"Vani, kau ini lama sekali".Lavani Kaneishia Trika, itulah nama perempuan yang sedang menggembungkan pipi tembemnya karena merasa kesal. Memang sebuah fakta kalau diriku meninggalkannya sewaktu ia berada di dalam toilet umum. Vani berkata akan sebentar saja, tapi ternyata itu adalah dusta selain wanita akan segera selesai dalam bersemolek.

"Mau bagaimana lagi, aku ini 'kan perempuan!" Ujarnya saat menatap wajahku penuh semangat.

"Memangnya ukuran kantung kemih perempuan itu lebih besar daripada laki-laki?"

Tak bisa menjawab pertanyaanku, ia langsung mengalihkan pembicaraan dengan mengatakan "Huwaahh!! Buah itu kelihatannya enak!", "Whoaa!! Gelang itu indah sekali!" Bagaimana aku harus menyebutnya... Perempuan bodoh? Bego? Atau polos? Entah kata apa yang pantas disematkan padanya, yang jelas aku sendiri masih bingung mengapa dia selalu mengikutiku selama ini.

***

• 20 Loro 677 Danindra - Kediaman Bangsawan Trika

Seminggu setelah insiden ***, aku memutuskan untuk tinggal di sebuah penginapan di Kota Kuta. Siang menjadi malam, putih menjadi hitam, cahaya menjadi bayang, tak tahu lagi betapa tidak bergunanya diriku. Tak sanggup menghentikan tragedi "Obong Wengi", tak sanggup menghentikan insiden ***, bahkan kumenelantarkan "Dia". Hidup sudah tiada arti lagi bagiku. Mati adalah jalan terbaik untuk menebus dosa-dosa yang t'lah kuperbuat.

Aku mengambil sebilah pisau dapur yang tajam. Kupegang erat tanpa keraguan kala itu. Mengarah tepat pada titik dimana nadi bersemayam. Dalam pemejaman mata kumengayunkannya.

*Tek!

"Apa kau tahu apa yang sedang kau lakukan sekarang, Tama!?" Sebuah tangan tua menggenggam erat pergelangan tanganku dimana ujung pisau sudah berhasil meneteskan setetes darah yang mengalir dari lapisan daging. Begitu kuat ayunan tanganku, begitu kuat pula genggamannya. Padahal tanganku jauh lebih muda darinya, tapi mengapa... "Kenapa kau menghentikanku?"

"Bukan aku yang menghentikan tanganmu, tapi kau sendiri yang berhenti setelah setetes darah mengucur". Dengan nada datar ia mengucapkannya

"Dasar pembohong! Aku sudah membulatkan tekad untuk- "

"Menghentikan denyut jantungmu? Kalau begitu jawab pertanyaanku. Kalau kau sudah membulatkan tekad, kalau memang bukan kau sendiri yang berhenti menusuk lehermu, lalu mengapa tetesan kesengsaraan akan kehidupan itu keluar seolah berteriak kalau "Aku masih ingin hidup"?"

"Jawab pertanyaanku! Tama!!!"

***

Bayangan malam itu terkadang datang untuk meminta pertanggungjawaban atas keputusan yang aku buat. Setelah aksi bunuh diriku gagal, ia memintaku untuk bekerja di sebuah akademi, Akademi Aryasetya Kerajaan Ardiya Bagian Barat. Mungkin dia mengira kalau aku menjadi seorang pengajar akan memperbaiki mental yang sudah jatuh di kedalaman laut yang tak tergapai cahaya matahari dan bulan. Namun, nampaknya itu semua hanyalah menguras deburan ombak di lautan.

Awalnya aku mengira jikalau berada di suatu tempat yang tak satu pun mengenaliku, aku bisa sedikit bebas tanpa harus menyembunyikan penderitaan hidup di balik tulang rusukku. Namun, lagi-lagi itu hanyalah ekspektasiku. Pada kenyataannya, saat aku kali pertama datang ke akademi dan masuk ke ruang pengajar, ada seorang perempuan yang sangat aku kenal dengan baik melebihi yang lain. Vani... Dia ada di sana waktu itu dan langsung memelukku saat aku baru saja membuka pintu. Mungkin pupus sudah harapannya untuk memperbaikiku saat ia memperkerjakan sosok yang selalu bersamaku semenjak aku masih berusia tujuh tahun. Jika memang dia ingin aku memulai lembaran baru, seharusnya dia tak menjadikan Vani sebagai pengajar juga, atau sebaliknya akulah yang seharusnya tidak berada di sana.Huh... Sudah tiga tahun berlalu, tak ada yang berubah pada diriku. Masih tetap dalam keadaan berdiri di tepi jurang tak berdasar.

*Kruukk~

Untuk kedua kalinya dan kuberharap untuk terakhir kalinya pula perut ini mengeluh. Vani juga sudah berada di sampingku sekarang, saatnya untuk mencari makan siang.

"Tama, kau mau makan apa?"Biasanya kalau di akademi saat jam makan siang seperti ini, aku selalu makan bekal makan siang buatan Vani. Berhubung tadi pagi kami bangun kesiangan, jadi Vani tidak sempat membuatkan bekal untuk kami berdua. Yah, selain itu rencananya setelah pulang dari akademi kami langsung pulang ke rumah, tapi karena mood-ku yang membaik karena berita bagus dari Kepala Akademi, aku memutuskan untuk jalan-jalan di kota saja. Kupikir akan pergi sendirian, tau-taunya Si Vani ikutan juga.

"Apa saja, lah. Asalkan enak dimakan".Setelah aku melontarkan kalimat sejuta umat, ia meletakkan jari telunjuk ke bibirnya dan mulai menampakkan ekspresi sedang berpikir. "Kalau begitu... Ke sini!" Tanpa aba-aba tangan kananku ditarik olehnya dan kakiku dipaksa untuk berlari mengikuti dari belakang. Aku tidak tahu mengapa, dia terlihat senang hari ini. Padahal aku sudah meninggalkannya tadi.

Jalan yang berliku, dinding bata dan kayu menjulang, orang-orang yang berlalulalang sedang meramaikan Pasar Kanan. Kami sudah tinggal di kota ini selama tiga tahun, itu membuat Vani hapal betul jalan penuh kesesatan di kota ini. "Huh... Aku benci harus mengatakannya, tapi... ini tidak buruk juga".Sambil berlari ia menoleh ke belakang "Hmm? Apa kau mengatakan sesuatu?"

"Tidak, hanya perasaanmu saja".

Sedikit berkeringat mungkin bisa membuat makanan dan minuman terasa lebih menggoda lagi. Setidaknya aku mencoba untuk berpikir positif padanya. Selama tiga belas tahun aku bersamanya. Aku merasa dia adalah cahaya yang mengarahkan kemana bayangku harus berjalan. Itulah yang kurasakan.Tak lama kemudian kami sampai di tempat tujuan. Tempat untuk makan yang aku inginkan dan ia pilihkan. Sebuah rumah makan kecil yang berada di sudut pasar. Daripada kusebut rumah makan, mungkin lebih pantas jika hanya disebut sebagai kedai. Berbeda dengan rumah makan lainnya yang tempatnya luas dan banyak pelanggan, di kedai ini hanya terdapat beberapa kursi dan meja yang diletakkan di pinggiran jalan.

"Permisi"

Di bagian depan atas kedai terdapat spanduk bertuliskan kedai mie. Aku bingung mengapa ia membawaku ke tempat seperti ini. Bukannya aku tidak suka dengan tempatnya, melainkan mengapa siang bolong begini harus makan mie yang cenderung panas? Seharusnya ia tahu kalau lidahku ini adalah lidah kucing. Baru saja aku merasa tersanjung padanya, tapi sekarang... "Tama? Duduklah di sana, aku yang akan memesan". Vani menghampiri pemilik kedai yang sedang duduk melihat kedatangan kami berdua. Pria berjenggot pendek itu menyambut kedatangan kami dengan mengucap "Selamat datang, mau pesan apa, Nona?"

Tanpa keraguan dalam dirinya, Vani memesan dua mangkok mie kuah spesial. Aku tidak melihat Vani membaca menu makanan yang ada, tapi dia begitu percaya diri saat memesan. Apa mungkin dia sudah pernah makan di kedai ini? Kalau dipikir-pikir lagi, jika dia tidak pernah datang ke sini, sangatlah mustahil baginya untuk menyeretku kemari.Pria itu mulai bekerja setelah mendapat pesanan. Vani kemudian duduk di depan berhadapan denganku. "Hei, Tama. Bukankah ini mirip dengan kencan?" Dengan senyuman mematikan dia melontarkan pertanyaan yang sangat tidak masuk akal bagiku.

"Kencan? Kita hanya makan berdua seperti biasanya, hanya saja tidak di rumah".

"Maka dari itulah, bukankah makan berdua di luar terlihat seperti kencan?" Ia semakin melebarkan senyumannya.

Kalau aku mengatakan hal yang negatif, mungkin aku akan membuatnya sedih dan parahnya dia akan marah. Akan jauh lebih parah lagi kalau dia enggan untuk membuat makan malam nantinya. Berhubung mood-ku sedang dalam kondisi baik dan nampaknya dia merasa senang hari ini, aku akan mengiyakan saja semua ucapan yang keluar dari mulutnya.Selama menunggu pemilik kedai meracik anak-anaknya, Vani membetulkan poninya terus menerus. Menurutku sudah tidak ada yang aneh dari poni yang disisir ke kiri itu, tapi ia seperti khawatir kalau poninya berantakan. Rambut bagian kanannya ditarik lurus ke belakang berpangku pada bahu kiri. Sedikit bergelombang di ujung, tapi terlihat anggun dengan warna pirangnya.

"Maaf sudah menunggu lama".

Tiba juga penghasil energi tenaga dalam kami. Semangkuk mie yang ditujukan untukku mengeluarkan aroma yang menyengat, sampai-sampai liur mengalir dari mulut. Jika dilihat dari luar, mie yang disajikan nampak tidak ada bedanya dengan yang dijual oleh rumah makan lainnya. Lantas mengapa Vani membawaku ke sini hanya untuk memakan mie membuatku penasaran.

"Silahkan dinikmati". Pria itu kembali ke pangkalannya dengan nampan kosong. Dia sukses menyajikan hidangannya dengan baik. Mungkinkah dia bersikap sempurna seperti itu karena dia tahu kalau kami adalah pengajar dari akademi? Lagipula mana mungkin kedai butut di pojokan pasar memiliki orang baik dan sopan seperti pria itu. Aku sangat meragukan sikapnya pada kami. Aku melepaskan topeng yang aku kenakan setiap keluar rumah. Topeng putih yang selalu menemaniku selama tiga tahun belakangan ini.

"Yah, selamat makan".

Kepulan uap panas melayang dari mangkuk. Lidah kucing ini tentunya tidaklah sanggup jika harus melahapnya mentah-mentah tanpa ditiup terlebih dulu.

*Sllrrrpp!

"Enak! Enak sekali!"

Aku tidak menyangka, bagaimana mungkin mie yang dibuat dan dijual di pinggiran pasar bisa selezat ini. Pantas sekali Vani mengajak makan di kedai ini. Rasa kepedulianku atas makan siang yang berupa mie langsung lenyap tertelan bersamaan dengan kuah yang sedikit asin memenuhi mulutku. Nafsu makanku semakin bertambah saat berulangkali sendok berisi mie kutelan.

Duduk di seberangku, Vani tidak segera memakan hidangannya. Ia menatapku dengan wajah yang menghangatkan sejak aku berkata "enak" tadi. Perasaan malu menyerang diriku yang sempat berpikiran buruk tentang memakan mie di bawah terik panas ini. Aku hanya bisa tersipu malu dengan menundukkan kepalaku dan melanjutkan meniup sesendok mie. "Karena aku sudah merasa puas dengan melihat wajahmu yang memerah, aku akan mulai makan sekarang". Begitulah ucapnya dengan tersenyum seperti seorang ibu yang puas melihat anaknya senang dengan masakannya.

Aku melanjutkan makanku dengan tenang sekarang. Giliran dia yang merasa kegirangan karena telah menyantap hidangan yang luar biasa lezatnya. Sedikit sekali orang di sekitar sini, mungkin karena letaknya yang dipojokan. Itu membuat kami bisa makan dengan tenang.

"Hei, Tama, apa kau mau kapan-kapan aku buatkan mie seperti ini untukmu?" Pertanyaan tak masuk akal lagi-lagi menyudutkanku. "Terserah kau saja".

"Uhm!! Kalau begitu aku akan buatkan untukmu di lain waktu".

Demi Dewi Kecantikan, mengapa kau menciptakan wanita sepertinya? Dari tadi dia terus menerus melayangkan senyuman itu padaku. Memang bukan kali ini saja, bahkan setiap hari, setiap waktu dia selalu tersenyum seperti itu. Baik saat berjumpa orang tak dikenal, orang lain yang dikenalnya, dan terlebih padaku. Sudah sangat lama kami bersama, seharusnya aku sudah terbiasa dengan sikapnya itu. Tak tahu mengapa khusus hari ini serasa ada yang berbeda dari biasanya.Dengan begini, kami menikmati makan siang bersama, berdua, beratapkan langit yang sedikit berawan memayungi kami, dan sepatah kata tak sengaja terucap dari mulutku. "Terimakasih"

Tapi tak lama kemudian....

"Tama... Tadi sebelum kau ke keluar dari lapangan, kau sempat berbicara sebentar 'kan dengan Paman!? Apa yang kalian bicarakan?"

Sudah kuduga cepat atau lambat ia bakal membahas hal tersebut. Apa jangan-jangan dia sudah tahu sejak awal tentang pembicaraan kami? Mungkinkah dia dari tadi senyam senyum karena ingin aku mengungkapkan rahasia terbesarku tahun ini? Itu tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Tapi... Meski penampilan Vani kadang terlihat seperti wanita polos yang tak tahu apa-apa, bukan berarti aku melupakan sisi Vani yang satunya, bukan?

"Ahaha... Ti-tidak ada apa-apa, Kepala Akademi hanya sedikit mengkhawatirkanku karena... Kau tahu 'kan, tadi badanku terasa lemas karena hanya sarapan selapis roti dengan telur saja? Hump hump ia hanya mencemaskanku saja".

"Ne~ Tama... Apa kau ingin tidak ada makan malam untukmu?" Tatapan senyum yang hangat berubah menjadi senyuman yang menusuk.Sepertinya dia tahu kalau aku menyembunyikan sesuatu. Gawat, jika aku terus mengelak, maka jatah makan malamku...

"Ya, aku menyembunyikan sesuatu darimu..."

"Hee… Apa itu? Coba katakan pada kakakmu ini". Senyum yang menudutkan itu semakin mendekat ke wajahku.

Kasih tau gak, ya... Kasih tau gak, ya... Tapi makan malamku jadi taruhannya! Tiada rasa sakit yang lebih menyakitkan daripada tidak menyantap makanan buatannya! Eh... Hmm...!!!

"Hah... Kepala Akademi memintaku untuk tidak hadir selama ujian masuk murid baru besok". Aku harap dia puas dengan jawabanku ini. Sejujurnya, aku sendiri juga tidak tahu alasan mengapa ia memintaku begitu.

"Ehh... Jadi begitu..."

"Kalau begitu, mulai besok selama satu minggu ke depan kau yang harus membuat sarapan dan bekal untukku, ya!"

*Hah ???

"Hah? Apanya? Kau sendiri 'kan yang bilang kalau selama seminggu ke depan kau akan menganggur di rumah!? Aku besok harus berangkat pagi, kau tahu! Aku jelas tidak akan sempat untuk membuat sarapan dan membuat bekal. Lagian bla bla bla..." Inilah sisi Vani satunya yang kumaksud tadi. Terkadang dia seperti gadis remaja usia belasan tahun, terkadang ia seperti wanita dua puluhan, dan terkadang ia seperti ibu-ibu yang cerewetnya minta ampun. Padahal ibunya tidak seperti dia, lantas putri siapa Si Vani ini?

Huh.... "Baiklah, aku mengerti. Aku yang akan melakukannya mulai besok. Tapi ingat, ya hanya selama satu minggu saja!"

"Uhm!! Satu minggu saja itu sudah cukup untuk meringankan pekerjaan rumahku. Terimakasih!" Sifatnya yang bisa berubah 180° ini terkadang membuatku merinding, aku merasa seperti berada di genggaman seekor singa betina saja.

Menatap ke langit putih, aku melepaskan semua rasa penatku. "Kuatkanlah diriku" adalah doa yang kutujukan entah pada siapa. Aku pun melanjutkan makanku yang tidak nyaman sesaat karena ulah Vani barusan.

Bagian 5 - Penguntit dan Pencuri

Berlari mengejar gadis itu adalah tujuan Laksha. Tidaklah lama aku berada di jalan utama karena langsung berbelok menuju perkampungan. Aku benar-benar tidak tahu kemana tujuan gadis itu dan dimana ia sekarang. Laksha hanya bisa terus mencarinya. Jalanan yang ia lewati tergolong sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang lewat dan salah seorang pengrajin sedang mengukir seni di kursi yang ada di depannya. Laksha melihat sekeliling berupa bangunan dengan tiga sampai empat lantai. Benar apa yang dikatakan oleh Pak Kusir itu.Laksha menyempatkan diri untuk berhenti dan bertanya kepada orang yang sedang melintas apakah mereka melihat sosok gadis dengan ciri-ciri mengenakan tudung berwarna cokelat, tinggi badannya sebahunya. Namun, nampaknya tak satupun dari mereka yang melihatnya. Silih kaki berganti ia mulai menyerah, pikiran pesimis mulai memasuki kepala. Tidak mungkin baginya bisa menemukan gadis itu di tempat yang seperti ini. Selain itu, Laksha sendiri juga tidak mengenali wajahnya apalagi namanya. Sungguh merepotkan. Itu semua gegara Si Wanita Resepsionis yang sedang tidak berada di meja kerjanya saat dirinya sedang membutuhkannya.

Terus masuk jauh lebih dalam ke perkampungan, nyatanya Laksha malah menjumpai keramaian yang tak seharusnya ada di dalam perkampungan. Ada banyak kios-kios, toko, dan orang-orang yang berteriak menyebut suatu benda beserta harganya."Ini, 'kan... Pasar?"Laksha terkejut mendapati adanya sebuah pasar yang ada di dalam sebuah perkampungan. Kalau di pinggiran jalan utama mungkin masih bisa dimengerti. Keterjutannya yang masih belum selesai membuat rasa penasaran itu justru semakin bertambah. Layaknya siput berlari, ia mulai ikut melebur dalam padatnya keramaian. Padahal hari sudah siang, tapi pasar itu masih saja ramai akan pembeli.

"Sate sate~"

"Tahu bulat, digoreng, dibuat, satu koin perunggu dapat lima, ueennaak".

"Yang golok yang golok yang golok".

Terdengar gelombang suara yang tertangkap oleh daun telinga dikirim menuju gendang telinga. Suara para pedagang sedang menjajakan barang dagangannya. Kiri-kanan dilihatnya saja, orang-orang berkerumun di depan kios-kios. Ada yang memang sudah berencana untuk membeli sesuatu, ada yang awalnya hanya melihat-lihat berujung pada transaksi, dan ada juga yang hanya berkunjung lantas pergi begitu saja. Pandangannya terpaku pada mereka. "Aa!! Aku hampir lupa dengan tujuanku". Laksha mempercepat langkahnya mencari Gadis Bertudung yang hilang. Sampai akhirnya ia menjumpai gadis bertudung sedang berjalan tidak jauh darinya. Tentu saja Laksha langsung berlari menghampirinya. Laksha pun memanggilnya"Hei, Gadis Bertudung!", ia pun berhenti dan menoleh ke belakang saat Laksha mendekat ke arahnya.

"Ya?"

*Eh?

Saat berpikir sudah menemukannya, ternyata itu salah besar. Gadis yang barusan dipanggil dan sekarang ada dihadapannya bukanlah gadis yang dia cari. "Maaf, saya salah orang". Malu rasanya, ia tak pernah mengalami kejadian seperti itu sebelumnya.Mondar-mandir bolak-balik timur ke barat telah dilakukan, tapi gadis itu tak kunjung ditemukan. "Oh, Dewa... Inikah cobaan?"

"Permisi, Nona".

Suara yang tak dikenal seperti berusaha memanggil Laksha dari belakang, sontak ia berbalik untuk menjawab panggilannya. "Whoaa!! Ketemuu!" Sosok gadis bertudung cokelat sedang berdiri dengan menundukkan pandangannya.

Mendengar jeritan Laksha ia mencondongkan badannya ke belakang, memundurkan kaki kanannya dan kedua tangannya yang mengepal di dada pertanda ia sedang ketakutan. Tubuh Laksha yang lebih tinggi dan jeritan kerasnya jelas akan membuat dia takut atau setidaknya terkejut. Laksha bertanya padanya secara langsung untuk memastikan apakah dia adalah orang yang menabraknya di penginapan atau tidak. Suaranya tidaklah keluar dari mulutnya, sebagai gantinya anggukan kepala ia lakukan untuk sinyal "Iya".

Melanjutkan dari pertanyaan sebelumnya, Laksha bertanya lagi bagaimana gadis itu bisa menemukan dirinya. Wajar saja ia menanyakannya, Laksha yang sejak tadi mencarinya justru nihil hasilnya. "Sa-saya barusan me-melihat anda berjalan ke arah sini".Suaranya begitu pelan sampai Laksha tak mengerti apa yang ia ucapkan. Masih dalam interogasi, Laksha memintanya untuk mempertegas ucapannya itu. Laksha tidak peduli gadis itu takut atau malu atau bagaimana, yang jelas ia merasa kesal atas kegagalannya itu.

"Maafkan sa-saya karena telah me-meng-ngikuti anda sejak dari penginapan!"

*Eh ?

"Tunggu dulu! Apa maksudmu mengikutiku sejak dari penginapan?"

"Seper-perti yang sudah saya katakan".

"Eh, eh, heeeeeeee??!"

Mendengar jawaban tak terduga darinya, Laksha justru semakin dibuat bingung dan kesal. Sejak awal dia dibelakang membuntuti Laksha. Lantas untuk apa Laksha ke sana kemari mencari orang yang sebenarnya ada di belakangnya? Laksha tidak bisa menahan gejolak emosi yang mendidih di kepalanya. "Kalau memang kau membuntutiku, kenapa kau tidak segera memanggilku dari tadi?" Rasa ketidakpuasan itu masih berlanjut.

Ternyata gadis itu menyadari dompetnya telah terjatuh, maka dari itu ia berpikiran untuk segera kembali ke penginapan. Saat itulah ia melihat Laksha yang sedang memegang dompetnya, karena tidak berani menemuinya gadis itu hanya bersembunyi dibalik gundukan tong yang berada di sisi kiri jalan utama. Dari sana ia mengamati Laksha. Melihat Laksha yang mendadak berlari menuju ke arahnya, ia justru semakin membungkukkan bandannya agar tidak terlihat oleh Laksha yang sedang lewat. Ia yang membutuhkan dompetnya memutuskan untuk membuntuti Laksha diam-diam.

Ia sempat berpikiran jika Laksha menggunakan uangnya untuk membeli sesuatu, maka ia berencana akan meneriakinya pencuri. Laksha tak habis pikir dengan apa yang ada di kepala gadis itu. Tentu saja pemikiran seperti itu justru sangat berbahaya dan akan sangat merugikan orang lain. Inilah alasan mengapa Laksha sangat tidak menyukai orang pemalu yang tak bisa apalagi tidak mau mengeluarkan suaranya. Berurusan dengan orang seperti Gadis Bertudung memang sangat merepotkan. Laksha berharap tidak akan pernah berurusan dengannya lagi di lain waktu.

"Anuu... Bisakah anda se-segera-a menge-em-balikan dompetku?"

Gadis itu sungguh sungguh sungguh menyebalkan. Laksha bersegera mengembalikannya daripada harus berlama-lama berurusan dengannya. "Ini ambil saja, jangan pernah muncul di hadapanku lagi". Gadis itu menjulurkan tangan kanannya untuk mengambilnya dari Laksha dan...

*Srek!!

Dengan cepat dompet yang baru saja ada pada tangan kanan Laksha raib begitu saja tanpa ia sempat melihatnya. Wajah mereka berdua terlihat kebingungan, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Satu kata yang ingin gadis itu ucapkan padanya tapi tak kesampaian,

"Ja-Jambreeeeet!!!"

Laksha tidak menduga kalau istilah yang lebih kasar dari kata pencuri bisa keluar dari mulutnya yang sejak tadi serasa enggan untuk bersuara. Dia rupanya tanpa rasa takut berlari untuk mengejarnya, tapi beberapa detik kemudian langkahnya terhenti. Berbalik menatap Laksha "Apa kau tidak ingin mengejarnya?"

*Ha!?

Dengan nada sedikit takut ia menanyakan hal bodoh itu pada Laksha. Untuk apa Laksha harus mengejarnya, pikirku. Laksha sama sekali tidak ada urusan dengan pencuri itu. Lagipula, yang dicuri itu adalah dompetnya dan bukan dompet Laksha. Dia sudah dibuat kesal oleh gadis itu sejak tadi, mana mungkin Laksha masih harus memperlelah tubuhnya dengan menjadi sukarelawan untuknya.

"A-apa yang anda ka-katakan? Apa a-anda tidak mera-rasa kehilangan ses-susuatu?"

*Eh ?

Merespon ucapan gadis itu Laksha merogoh-rogoh saku. "Hilang… Dompetku hilaaaang!!" Tanpa disadari pencuri itu juga ikut mengambil sumber makanannya. Aura akan kemarahan mengelilingi tubuhnya.

"Awas kau pencuri sialaan!!"

Tak perlu basa-basi lagi, dengan segera Laksha berlari sekuat tenaga mengejar pencuri yang sudah tidak sayang akan nyawanya sendiri. Ia sudah salah dalam memilih korbannya. Orang itu pasti tidak akan dihabisi dan tidak diberi ampun oleh Laksha

"Tu-tunggu saya!"

Bersambung