Chapter 5 - Epilog

Keramaian menyambut deklarasi kemenangan atas keberhasilannya dalam mengalahkan ratusan peserta ujian lainnya. Keramaian pula yang menyamarkan deruan air mata ratusan peserta ujian yang tidak akan nampak kembali hingga satu kali perputaran bumi pada matahari. Keramaian jua yang acuh dengan kobaran api yang membara membakar desa itu. Keramaian menghanyutkan segala apa yang terbawa di dalamnya.

Kembali dengan jaya atau hanya nama. Menusuk batin yang begitu rapuh berjilid-jilid. Adakah seseorang yang menunggu akan kedatanganmu? Adakah yang berkenan mengutuhkan kembali kaca pelindung linanganmu itu? Inilah dunia. Lembut kala kau memanjakannya, dan begitu keras dan kasar kala kau tak sanggup memuaskannya. Terimalah derita tersebut. Kehidupan suka menyombongkan diri atas penyiksaan yang berulang terjadi.

Lembaran usang bernoda terbuang seiring putaran roda yang terbawa aliran tapal kuda. Dibendung pepohonan yang tumbuh subur merakyat di gundukan tanah. Ia telah kembali tiba ingin melompati dinding setinggi dua puluh kaki. Menghuni persinggahan yang baru bersama puluhan mantan lawannya. Tak menengok sapa berjalan lurus menuju tempat yang telah dijanjikan. Berdiri di sana seorang gadis bertudung cokelat memandang keluar dunia melalui jendela tua yang menyinari wajahnya penuh kehangatan cahaya. Membasuh luka yang selama ini telah dipendamnya. Berbalik punggung dan dadanya saling bertukar tempat. "Selamat Datang", semalu tudung serekat topeng, tak saling tatap namun percaya, bahwa sosok yang ada di hadapannya adalah angin pembawa badai tak berujung.