Chereads / Angin Si Mawar Putih: Tudung Kesialan / Chapter 3 - BAB 2 - Perseteruan

Chapter 3 - BAB 2 - Perseteruan

Bagian 1 – Berlari

Emosi yang meledak memunculkan aura berwarna ungu kehitaman di sekeliling Laksha. Ditancapkan kaki kanan pada kulit bumi yang begitu keras tak bercelah. Mengayunkan bagian kiri ke depan menancap berganti guna membantu tubuh menciptakan sebuah ledakan yang besar sebagai awalan berlari. Setelah ledakan tercipta, giliran tangan mendayung udara membawa tubuh semakin seimbang dan melaju dengan nyaman. Jalanan yang tak begitu lebar dengan bangunan-bangunan tinggi terbangun sangat membantunya untuk mengatur angin di sekitar. Berjalan melintas terhempas sekilas angin mendorong dari belakang, benar-benar kombinasi ledakan yang luar biasa. Bentuk labirin memang sangat menyulitkannya dengan kecepatan seperti itu, tapi ia tak khawatir akan hal tersebut. Tinggal melompat dan menabrakkan diri ke tembok dengan kedua kaki mengepir sebagai pegas dilanjut melompat ke dinding sebelah sampai berada di jalan yang panjang dan lurus. Kalaupun tidak ada, maka akan terus berlanjut seperti itu. Berpindah-pindah dari dinding satu ke dinding lainnya seperti bajing meloncat di pepohonan.

Di belakangnya ada seorang gadis pendek bertudung cokelat sedang berlari ikut mengejar pencuri sialan. Sampai sekarang Laksha tak tahu siapa dia, tapi yang pasti mereka memiliki benda dan tujuan yang sama. Mengambil kembali dompet mereka yang telah dicuri oleh seseorang yang datang tiba-tiba dari belakang gadis itu. Saat itu terjadi Laksha sedang memejamkan mata sebentar, tak disangka akan terjadi seperti ini. Semua salah gadis itu yang tak kunjung memberitahu kalau dia sudah membuntuti Laksha sejak ia memutuskan untuk mencarinya demi mengembalikan dompetnya. Laksha yang seharusnya sedang enak-enakan tidur di ranjang malah berakhir sial seperti ini.

"Hei, apakah kau tidak bisa berlari lebih cepat lagi?"

Pencuri itu semakin berada jauh di depan hingga tak terlihat lagi punggungnya. Meskipun Laksha sudah melakukan salah satu teknik andalannya, tapi itu semua tak berarti jika dia harus menunggu Gadis Bertudung. Laksha tak mau terus seperti ini, terpaksa meninggalkannya adalah jalan yang terbaik agar dirinya bisa segera mengejar pelaku dan menangkapnya. Semakin Laksha menguatkan daya ledak lompatan bajing bagai peluru energi yang terpelatuk melesat dari wadahnya.

*Wuusshhh !!

"Tu-tunggu!"

Pandangan Laksha semakin menyempit dan tak jelas kanan dan kirinya. itu karena laju yang cepat membuat bangunan nampak seperti garis vertikal yang buram. Beberapa orang yang berada di bawah terkejut melihat sesuatu yang bergerak cepat melintas di atas kepala mereka. Sangat disayangkan tak satupun dari mereka yang menghentikan si pencuri itu. Yah, mungkin karena mereka tak tahu kalau seseorang yang baru saja melewati mereka adalah seorang pencuri. Saat Laksha mulai berhasil melihat punggungnya, langsung ia spontan berteriak "Pencuri! Pencuri! Dia orang yang berbaju hitam sedang berlari tergupuh itu adalah seorang pencuri!"

Meski sudah begitu, anehnya orang-orang hanya melihati saja tanpa ada yang menghentikannya. Tidakkah mereka terlalu takut? Atau memang mereka terlambat menyadarinya? Laksha ingin menggunakan kekuatannya, tapi tak bisa itu dilakukan karena ia sedang berada di jalanan sempit. Ditambah lagi nanti bisa mengenai orang-orang yang berada di bawahnya. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang berusaha menghalangi jalan Si Pencuri. Awalnya ia berencana mau berbelok ke kanan, tapi itu dihalangi oleh seorang ibu pemberani yang berdiri tepat di jalur pelaku.

"Terimakasih!" Akhirnya ia berbelok ke kiri dan... Dewi Fortuna sedang berada dipihak Laksha. Apa yang ada setelah berbelok ke arah kiri adalah jalan kesombongan. Akibat berubahnya haluan dari kanan ke kiri membuat jarak di antara mereka hanya beberapa meter saja. Di seberang jalan utama ada jalan labirin lagi, tak mau Laksha dia melarikan diri, dengan cepat ia menggunakan kekuatannya untuk menyerang Si Pencuri.

"Rantai Angin!"

Desisan udara berubah menjadi angin yang berputar memadat membentuk rantai yang langsung melecut ke arah kaki Si Pencuri hingga berhasil melilitnya dan ia pun jatuh tersungkur dibuatnya. "Tertangkap, kau!"

"Haha" Dengan senyuman kecil tiba-tiba tubuh Si Pencuri melebur menjadi bayangan hitam.

"Pengganti Bayang?!"

Laksha yang berdiri di tengah jalan utama menganga dan langsung melihat keadaan sekitar. Setiap bangunan dan keramaian orang tak lepas dari matanya. Hebat sekali pencuri itu bisa membuat bayangan dirinya ditengah Laksha sedang mengejarnya. Apakah ia sangat profesional hingga bisa melakukannya sampai mata Laksha tak dapat melihatnya? Giginya menggertak memikirkan kelalaian tersebut.Gadis Bertudung kemudian keluar dari goa setelah beberapa saat kemudian. Napas yang terengah-engah dan waktu yang terbatas membuatnya berteriak sebisa mungkin. "Di belakangmu!"

*Eh?

Spontan Laksha langsung berbalik ke belakang. Apa yang seharusnya tiada terlihat jelas di depan matanya, ia tepat ada di hadapan Laksha. Mengarahkan tangan kanannya pada Laksha, ia berusaha untuk mencekiknya. "Kau, bagaimana bisa?" Mencari segala cara untuk menghindarinya, Laksha melompat ke belakang begitu saja. Namun, seketika kakinya merasa sakit dan tidak bisa bergerak, seolah ada yang menahan salah satu kakinya untuk melompat. Laksha mengarahkan pandangannya ke bawah dan melihat dua ekor ular hitam yang terbuat dari bayangan sedang melilit dan menggigit kedua kakinya. Keadaan menjadi semakin runyam, jika ia tidak serius untuk mengalahkannya, maka Laksha pasti akan terbunuh oleh tangan kanan Si Pencuri.

Posisi mereka berada di tengah jalan, orang-orang lainnya tentu saja berada di pinggiran jalan beserta Gadis Bertudung yang baru saja keluar. Kejadian yang begitu cepat tidak akan membuat yang lain sanggup untuk membantunya menghadapi situasi darurat itu. Tangan kanannya yang awalnya merekah seolah ingin mencekik berubah merapat antar jarinya dengan begitu cepat ingin menusuk leher Laksha. Sudah tidak ada pilihan lain lagi....

"Angin Bumi, Meledaklah!"

*Bumm!!

Udara yang tenang bergemuruh ketika garis-garis berwarna abu-abu mulai terbentuk, berkumpul, berputar, dan meledak. Kumpulan energi tersebut tercipta dari tenaga dalam Laksha yang berkumpul di depan perutnya. Sontak karena ledakan yang bisa menulikan indera pendengaran selama beberapa detik itu membuat orang-orang di sekitar menutupi telinga mereka. Begitu kuat ledakan gelombang energi tersebut hingga menghempaskan Si Pencuri ke seberang jalan, tepatnya tubuhnya mencium dinding bata merah.Dinding bangunan tersebut sampai retak bahkan beberapa bata sudah hancur berjatuhan. Tubuhnya terjatuh tak lama kemudian, ia tak sadarkan diri setelah menerima serangan balik dari Laksha. Dalam mata terpejam dan darah segar keluar dari telinganya pertanda bahwa gendang telinga orang itu pecah. Orang-orang yang tadinya hanya melihat kejadian sekilas mulai mengerumuni mereka. Berbagai pertanyaan singkat terlontar dari mereka, seperti apa yang barusan terjadi, siapa dia, mengapa kau melakukan hal tersebut padanya dll. Laksha yang masih terdiam dengan kepala menunduk tak berkomentar apa pun terkait pertanyaan yang dilayangkan padanya.

"Ada keributan apa ini?" Dua orang beseragam biru laut berteriak setelah lari dari kejauhan karena melihat kerumunan itu.

Tak nampak begitu terkejut, salah satu dari mereka langsung bertanya ulah siapa atas kejadian yang baru saja terjadi. Tentunya kerumunan itu langsung menunjukkan jari telunjuknya dan mengarahkannya pada Laksha. Setelah mengetahui siapa yang harus bertanggungjawab, orang yang sama meminta tolong kepada beberapa orang yang ada untuk membawa Si Pencuri menuju posko kesehatan kota. Mereka segera membopongnya dan membawanya pergi.

"Kau, ikutlah denganku". Dengan suara yang tegas ia mengatakannya sambil membalikkan badan dan mulai berjalan.Laksha sadar betul kemanakah orang itu akan membawanya, orang-orang mungkin saja merasa ketakutan jika mengalami hal seperti itu. Namun,tidak dengannya. Laksha yang memang merasa "Aku yang memang tidaklah bersalah" tanpa rasa takut ikut berjalan di belakang orang tersebut. Ya, jelas sekali kalau dia adalah seorang penjaga kota yang sedang berpatroli dan Laksha tentu saja akan dibawa ke kantor penjaga kota untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Mengapa harus menjadi runyam seperti ini....

"Anu!! Sa-sayya juga harus ik-ikut". Teriakan culun keluar dari seorang Gadis Bertudung.

"Gadis kecil, apa maksudmu?" Penjaga itu menanggapi dengan serius.

"Anuu... Itu... Ja-jadi-"

"Gadis ini juga ikut terlibat atas kejadian barusan. Hal yang wajar kalau ia juga harus dibawa ke kantor, bukan!?"

Penjaga itu berpikir sejenak apakah yang Laksha katakan itu benar atau tidak. Lantas ia juga meminta Si Gadis Bertudung ikut bersamanya ke kantor penjaga kota.Berhubung jaraknya yang lumayan jauh, penjaga itu menghampiri seseorang yang baru saja menurunkan barang bawaanya dari kudanya. Ia tidak sendiri, dua orang lainnya berada di belakangnya yang juga baru saja selesai menurunkan barang. Penjaga itu berbincang tanpa terdengar suaranya. Tapi yang jelas, ia mengeluarkan beberapa koin perak dari sakunya.

"Oi, kemarilah! Kita akan ke kantor penjaga dengan menunggang kuda".

"Sudah kuduga".

Adanya sanggurdi memudahkan Laksha untuk menaiki kuda cokelat tersebut. Laksha berada di kuda yang sama dengan Si Penjaga, sedangkan Gadis Kikuk itu ada di kuda satunya yang ditunggangi pemiliknya. Waktu berjalan kuda berjalan, menuju kantor Penjaga Kota Aryasetya.

*Wanita resepsionis mengetukkan jemarinya bergantian di mejanya menunggu seseorang yang tak kunjung pulang. "Lama sekali".

Kurang lebih selama sepuluh menit mereka berada di punggung kuda, akhirnya tiba juga di tempat tujuan. Kantor Penjaga Kota Aryasetya yang berlokasi di wilayah kanan jalan utama. Setelah mereka menjajakkan kaki ke wilayah yang menakutkan bagi sebagian orang, pemilik kuda tadi kembali ke teman-temannya dengan mengendalikan seekor kuda tak berawak memakai tangan kirinya memegang tali kekang.

Mereka bertiga masuk ke dalam kantor mengikuti kemana Si Penjaga itu berjalan. Laksha menjumpai seorang penjaga yang bertugas di bagian depan sebagai penerima tamu atau orang yang datang. Terus berjalan semakin ke dalam dijumpai dua penjaga yang sedang asyik berbincang mesra, sepertinya salah satu dari mereka yang bertugas untuk menerima laporan dan satunya bertugas menulis laporan. Seharusnya jika mereka bersalah, maka di tempat dua penjaga berbincang itu tadi adalah tujuan mengapa Laksha dan Gadis Bertudung dibawa ke sana. Namun, kenyataannya mereka masih terus masuk ke dalam hingga ia berhenti di sebuah tempat. Ada seorang penjaga di sana yang bertugas untuk membuka, mengunci, dan menjaga ruangan tersebut. Ruang yang dituju adalah ruang interogasi.

"Masuklah, kau gadis satunya tetaplah berada di luar".

Dengan memberanikan diri Laksha masuk ke dalam ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya lentera di atas meja. Pintu bergeser menutup membiarkan mereka berdua-duaan di dalam. Laksha rasa tak kan ada hal aneh yang akan terjadi melihat penjaga itu mungkin sudah menikah bahkan sudah beranak. Mana mungkin ia berani menyentuh gadis seperti Laksha.

Ada dua kursi yang saling berseberangan dengan meja sebagai pemisahnya. Masing-masing dari mereka menduduki kursi yang kosong. Laksha duduk di kursi yang letaknya paling jauh dari pintu masuk. Berpikiran ia akan melarikan diri adalah hal yang konyol.

"Baiklah, kalau begitu kita mulai. Aku hanya akan memberikanmu satu perintah dan satu pertanyaan. Pertama, ceritakan semua yang kau ketahui soal kejadian di jalan utama tadi!"

Tidak mau berlama-lama dan berbelit, Laksha langsung menceritakan semuanya tanpa karangan sedikitpun. Tentang siapa dia, apa alasannya datang ke kota ini, apa yang membuatnya berjalan menelusuri labirin kota hingga akhirnya bertemu Si Gadis Bertudung dan akhirnya berujung pada aksi pencurian dan kejar-kejaran hingga berakhir dengan tertangkapnya Si Pelaku. Mudahnya, di sini Laksha dan Gadis Bertudung itu adalah korban, sedangakan orang yang dia lumpuhkan itu adalah Si Pencuri. Selesai.

"Kau bercerita begitu rinci, tak ada kata yang terbata, mata yang lirak-lirik, dan napas yang berat. Aku percaya dengan ceritamu. Kemudian satu lagi pertanyaan dariku... Mengapa kau menggunakan topeng?" Pertanyaan yang tidak terduga, tidak ada hubungannya dengan kasus ini, dan tentu saja pertanyaan tabu untuk dipertanyakan kepada pemakai topeng. "Apa yang anda inginkan dari saya?Pertanyaan anda sangat tidak ada hubungannya dengan kasus ini. Saya tidak akan menjawabnya apalagi sampai harus membuka topeng ini". Tanpa rasa takut Laksha mengatakannya dengan tegas.

Penjaga itu menepati perkataannya, ia hanya memberikan satu perintah dan satu pertanyaan. Ia tidak mempermasalahkan jawaban yang Laksha lontarkan barusan. "Keluarlah, suruh gadis satunya untuk masuk" adalah kalimat yang ia ucapkan di luar interogasi. Dengan senang hati Laksha keluar dan meminta Si Gadis Bertudung untuk masuk berikutnya.Tak butuh waktu lama seperti Laksha, penjaga itu keluar diikuti oleh Gadis Bertudung di belakangnya. Masih dengan wajah tegasnya, ia menatap Laksha dengan serius dan "Kalian berdua boleh pergi, pencuri itu aku lah yang akan mengurusnya. Kalian berdua ada ujian masuk yang harus diikuti, bukan? Lebih baik setelah ini kalian segera pulang dan beristirahat. Aku akan mengantarkan kalian keluar".

Sesuai dugaan Laksha, mereka berdua akan dibebaskan. Yah, tentu saja itu akan terjadi dan memang seharusnya begitu karena mereka memang tidak melakukan kesalahan apapun. Mereka berdua berpisah dengannya dan sedikit membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Tak lupa juga dengan ucapan terimakasih sebagai penutupnya.

Segala urusan telah usai, Laksha memutuskan untuk mencari seorang kusir untuk dipekerjakannya membawa Laksha pulang ke penginapan. Laksha sudah dibuat letih begitu masih harus pulang dengan jalan kaki? Yang benar saja. Meski ia adalah orang yang gemar latihan diam-diam di malam hari, bukan berarti Laksha dengan suka rela menguras tenaganya di siang hari. Laksha terus berjalan dan terus mencari.

"Anu..." Suara lirih terdengar, tapi ia tidak menghiraukan dan terus berjalan.

"Anu.." Laksha tidak menghiraukannya

"Anu.." Laksha terus berjalan

"Anu!!"

"Berisik sekali tahu!! Bisa kah kau diam!? Atau bisakah kau enyah dari hadapanku??" Katanya dengan kesal.

"Anda mau pergi kemana?"

"Neraka. Tentu saja pulang ke penginapan! Sudahlah berhenti menggangguku dan pergilah dariku!"

Selalu dibuat kesal atas kekikukannya, Laksha semakin mempercepat langkahku dan berusaha sejauh mungkin lari darinya. Setelah Laksha meluapkan kemarahannya barusan, sudah tidak ada suara-suara yang membuat telinganya risih. Laksha berpikir dia sudah tidak membuntutiLaksha lagi, tapi itu salah besar. Saat ia menoleh sedikit ke samping dan melirikkan matanya ke kanan, ia masih berjalan di belakangnya dengan kecepatan yang membuatnya tidak akan menyalip, menyanding, maupun tertinggal.

Kabar yang ditunggu datang, Laksha melihat ada seorang kusir yang sedang berjaga di atas kereta kudanya. Laksha segera menghampirinya dan memintanya untuk mengantarnya ke penginapan... "Penginapan... Aku tidak tahu namanya!!!"

"Anu..."

"Kau ini kenapa, sih?"

"Bi-bisakah aku ju-ju-juga ikut dengan anda?"

Tentu saja Laksha menolak permintaan tersebut. Ia menanyakan berapa koin yang harus dirinya keluarkan dari dompet. "Eh? Dompet, dompet, dompet..." Berapakali Laksha meraba sakunya, tetap tak ditemukan dompetnya. "Aku lupa mengambilnya dari Si Pencuri!!" Kenapa takdir begitu kejam kepadanya?

"Ini do-dompet anda."

*Eh?

Laksha tidak percaya dengan apa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri. Ditangan kanannya ada sebuah benda yang telah dicuri dan lupa mengambilnya kembali. Bagaimana bisa, dia masih sempat-sempatnya membawakannya untuk Laksha? Meski hati tak dapat menerima, tapi tubuh bergerak sendiri untuk mengambilnya.

*Wush (Dia menarik tangannya)

*Wu wu wus wush wsuh wushh (Berulangkali ketika Laksha berusaha mengambilnya ia menjauhkan tangannya dariLaksha)

Apa mau Gadis Bertudung itu!? Dia membawakannya untuk Laksha, bukan? Lantas mengapa ketika Laksha berusaha mengambilnya ia justru menjauhkannya? Sudah terik begini masih saja belum puas baginya untuk memanaskan emosi Laksha.

"Saya-a a-akan mengembalikan-nya jika a-anda mem-memberikan saya tumpangan. Sela-ain itu saya juga tahu n-nama penginapan-nnya."

Kalau bukan dalam kondisi terdesak, jelas Laksha tidak akan menerima persyaratan yang ia ajukan dan lebih memilih untuk melawannya. Gadis itu tahu nama penginapannya dan ia juga berkuasa atas dompetLaksha saat itu. Laksha tidak mau energinya terkuras lagi untuk hal konyol seperti itu. Laksha rasaia harus menurunkan egonya agar bisa cepat pulang dan tidur di ranjang. "Terserah apa maumu". Dengan begitu pasrah Laksha naik ke kereta kuda dan membiarkannya yang membayar dengan menggunakan uang yang ada dalam dompet Laksha. Roda berputar, mereka kembali ke tempat awal mula kejadian ini, begitu juga dompetnya.

Setibanya di penginapan, mereka di cegat oleh Wanita Resepsionis di pintu masuk. Bisa ditebak dari ekspresinya, sepertinya ia akan mencecar kami dengan begitu banyak pertanyaan. Tentu saja karena kami sudah pergi selama lebih dari dua jam tanpa tahu seluk beluk kota. Laksha heran mengapa mereka berdua dimarahi olehnya, padahal Laksha bukan siapa-siapanya.

"Kenapa kau juga memarahiku? Aku tidak butuh-"

"Apa yang kau katakan!!? Aku lah yang juga bertugas untuk mengurus penginapan ini ! Jika kalian tersesat dan tak kembali lantas tidak bisa ikut ujian besok, apa yang harus aku katakan pada keluarga kalian!!? Aku akan di cap sebagai pengurus yang lalai karena membiarkan orang baru keluar sendirian di kota ini".

Laksha tak menyangka wanita itu akan semarah dan sepeduli itu padanya, meski hanya sebatas tugasnya sebagai pengurus penginapan tentunya. Sedang untuk Si Gadis Bertudung... Rupanya ia diminta oleh Si Wanita Resepsionis untuk membeli makan siang di dekat penginapan, karena tak kunjung kembali maka dari itu ia merasa cemas dan berujung dengan memarahinya.

"Kalian? Tadi Si Penjaga usai menginterogasi juga mengatakan 'kalian'?"

"Aa, kau tidak tahu, ya. Rhea adalah sepupuku, ia menginap di sini karena akan mengikuti ujian masuk akademi besok". Wanita itu mengatakan dengan menenteng kedua tangannya di pinggul.

*Eh?

"Maaf ji-jika saya terlambat mem-memperkenalkan diri. Nama saya Raiya Ayara Rhea, seperti yang sudah di-dikatakan Kak Layla kalau saya ju-juga menginap di sini u-untuk mengikuti seleksi akademi besok".

Laksha terkejut mendengar perkataanya saat itu, sangat tidak menyangka kalau ia juga ikut mendaftar di akademi, itu berarti ia adalah saingannya juga. Setelah ceramah dan perkenalannya itu Laksha langsung menuju kamar dan langsung tertidur. Saat itu langit sudah mulai gelap, petang telah tiba. Ibu-ibu di rumah pasti sibuk memasak untuk makan malam nanti. Sekarang Laksha sedang tidak di rumah, tidak akan ada hidangan yang tersedia buatan Lise. Untung saja di penginapan ini juga terdapat ruang makan juga di lantai bawah, memang sudah sepantasnya kalau harga sewanya lumayan mahal karena menyediakan makan tiga kali sehari. Mungkin Laksha akan keluar beberapa menit lagi, tidak... puluhan menit lagi. Mereka berdua tiba di penginapan menjelang sore, jadi Laksha sudah tertidur lebih dari satu dua jam. Namun itu masih belum cukup baginya.

*Tok tok tok

"Nona Laksha, sudah waktunya untuk makan malam. Bersegeralah untuk menuju ruang makan di lantai satu".

Dalam kondisi masih terpejam, Laksha bisa sedikit mendengar suara ketukan pintu dan suara seorang wanita. Gaya gravitasi ranjang begitu kuat, ia tak sanggup atau mungkin tak rela jika harus meninggalkannya walau sebentar saja.

*Tok tok tok

*Ehhmm....!!!

Jungirbalik di atas ranjang dengan menyumpal wajahnya dengan menggunakan bantal dipeluknya erat berguling-guling ke kanan dan ke kiri "Ya ya aku sudah bangun... Huh!" Bisa dipastikan kalau hanya ada satu orang yang berani mengganggu kenyamanan orang lain di penginapan, dia tidak lain adalah Si Wanita Resepsionis yang juga sekaligussebagai pengurus penginapan, Layla. Dengan berat hati dan penuh maaf Laksha harus meninggalkan ranjangnya demi mengisi bahan bakar yang sudah lama habis. Selamat tinggal, ranjang. Saat ia keluar kamar, banyak juga para penghuni kamar lainnya berhamburan di luar. Tinggi badannya tak jauh beda dan wajahnya terlihat masih muda semua sama sepertiLaksha. Ia teringat dengan ucapan Layla siang tadi kalau kamar-kamar di penginapan itu semuanya sudah penuh dipesan oleh peserta ujian masuk akademi nantinya. Itulah sebabnya mereka dan Laksha terlihat seumuran.

Ruang makan ada di lantai dasar terletak di bagian paling belakang penginapan. Laksha belok ke kanan setelah keluar dari kamar dan melewati tangga yang tak biasanya dinaiki. Ruang makannya memang tidak terlalu luas, tapi setidaknya mungkin masih bisa untuk menampung semua penghuni kamar jika masing-masing tiap kamar hanya berjumlah satu orang saja. Kerumunan yang sudah banyak yang mengantre untuk mengambil makanan yang jumlahnyasemakin bertambah. Laksha yang tak mau paling akhir dan takut kehabisan makanan (meski itu tidak mungkin) lebih memilih untuk mengantre dan mendapatkan tempat duduk lebih awal. Rasanya canggung apabila ketika makan duduk bersebelahan dengan orang yang tidak saling kenal. Maka dari itu setidaknya Laksha harus mendapatkan meja dan kursi kosong terlebih dahulu sehingga tak perlu repot-repot bertanya "Apakah kursi ini kosong? Bolehkah aku duduk di sini? Bisakah kita makan bersama di sini?" dll. Akan tetapi, semua tak berjalan sesuai dengan rencananya.

Bagian 2 - Kabar Burung

• 10 Telu 680 Danindra - Kediaman Bangsawan Catura

Suasana yang hening menyelimuti ruang makan. Lise yang sudah menghidangkan makan malam beranjak ke dapur. Sang kekasih telah mendahului suaminya untuk mengambil nasi dan lauk pauknya. Tanpa mempedulikan suaminya ia memulai sendokan pertama, mengunyah dengan lembut dan perlahan untuk belasan detik. Tanpa mempedulikan suaminya ia melanjutkan sendokan kedua, mengunyah dengan lembut dan perlahan. Pada sendokan ketiga....

"Istriku, kenapa kau bisa setenang ini? Anak semata wayang kita, Laksha sekarang tidak ada di sini, tahu?? Dia berada di dunia luar, yang begitu dingin, gelap, dan liar,aaaa!!! Bagaimana kalau dia dimakan oleh hewan buas atau buaya malam? Apakah dia sudah makan malam ini?? Yoshh, kalau begitu aku akan per-"

*Trlek! (suara sendok dan garpu menghantam piring)

"Bisakah kau tenang, Suamiku?"

"Bagaimana mungkin aku bisa tenaaaanggg!! Justru kau yang aneh! Kau sama sekali tidak mengkhawatirkan Laksha, iya 'kan??!"

"Apa menurutmu makanan yang ada di depanmu itu hanya pajangan? Tidakkah kau kasihan kepada Lise yang sudah susah payah memasakkannya untuk kita? Apakah kau pikir perilakumu barusan itu sopan saat sedang di ruang makan? Apakah kekhawatiran tak bergunamu itu mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik? Diamlah dan cepatlah makan!!!"

*Hiks hiks

Setelah mendapatkan kalimat yang tajam tersebut, sang suami akhirnya terdiam dan mulai mengambil nasi dengan sesenggukan. Kasih sayangnya pada putrinya memang luar biasa besarnya, kabar burung pun tak sanggup menenangkannya pasca putrinya, Laksha pergi ke Kota Aryasetya sejak tadi pagi.

***

•Tiga jam yang lalu

Siang t'lah berganti sore. Matahari yang sudah berada di wilayah barat mulai mewarnai langit dengan warna kekuningan. Sekarang yang bertepatan dengan hari libur membuatnya tidak banyak kegiatan yang harus dilakukan. Sudah tujuh jam Laksha tidak ada di rumah, jika perjalanannya lancar sudah seharusnya burung milik keluarga Catura tiba membawa kabar.

"Hm? Akhirnya"

Setelah selama tujuh jam berada di teras lantai dua, akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba. Burung pembawa pesan, terlihat dari kejauhan terbang menuju kediaman Catura. Merpati putih yang terbang dari penginapan di Kota Aryasetya menuju kediaman Catura di kota Maja. Burung tersebut datang tepat waktu, menandakan baik perjalanan yang di tempuh oleh Laksha dan merpati ini tidak mendapat hambatan. Pada kaki kiri merpati terdapat silinder kecil berwana hitam sebagai wadah secarik kertas yang isinya bertuliskan "Nona Laksha telah tiba dengan selamat, dengan begini tugas saya telah selesai". Sebuah kalimat yang padat dan jelas, memang seharusnya seperti itu dalam penggunaan pengiriman pesan melalui burung pembawa pesan.

***

Lautan yang tenang bukan berarti tiada arus kuat di dasarnya. Nyonya Catura bukan berarti tidak mencemaskan putrinya tersebut, tapi merasa cemas yang berlebihan itu tidaklah baik. Selain itu yang sedang dibicarakan adalah Laksha, perempuan kuat yang tiap malam selalu latihan sendiri secara diam-diam di pinggiran hutan. Tidak ada yang perlu dicemaskan kalau begitu jika soal dia kuat atau tidak. Tapi kalau soal bersosialisasi... Ia sedikit cemas akan hal tersebut.

"Benar, 'kan!? Kalau begitu aku akan ke sana sekarang juga".

*Buk!!

"Tenang dan habiskan makananmu!"

• Kediaman Bangsawan Catura - Teras Lantai 2

Malam yang indah dengan ditemani kekasih hidupnya, duduk berdua bersama menikmati seduhan kopi dan menyaksikan rembulan menari di atas awan. Angin malam menusuk daging hingga ke tulang.

"Istriku, apa kau percaya dengan perkataan pemuda itu?"

"Maksudmu?"

"Soal kalau mengirim Laksha ke akademi, apakah itu jauh lebih baik baginya, atau justru akan berakibat buruk nantinya. Keinginannya berbeda dengan permintaan pemuda yang tiga tahun lalu datang kemari, bukan!?"

"Ah, yang kau katakan memang ada benarnya. Tapi menurutku, keputusan ini jauh lebih baik daripada permintaan pemuda itu. Memang sudah seharusnya seorang murid dipersatukan kembali dengan gurunya, kita yang bukan siapa-siapa tidak berhak ikut mengambil keputusan untuk merebut Laksha darinya".

Dalam suasana penuh keheningan yang lebih hening dari sebelumnya, kesedihan yang tak bisa terbendung lagi akhirnya keluar dari matanya. "Maafkan aku, Suamiku. Aku telah gagal sebagai istrimu karena tidak bisa memberikanmu keturunan. Maafkan aku!" Air mata yang keluar dari seorang wanita berumur empat puluh tahun membuat hati seorang suami dipaksa menjadi setebal baja untuk menenangkan dan menghibur istrinya yang sedang diliput kesedihan. Bagi mereka yang tidak memiliki keturunan, kedatangan Laksha tiga tahun yang lalu merupakan sebuah keajaiban yang diberikan oleh sang purnama pada mereka. Masih terlalu cepat dirasa jika berlarut dalam kesedihan sekarang,

"Satu minggu lagi Laksha akan pulang, saat itulah kita akan tahu, apakah kita akan bersuka cita karena ketidaklolosan Laksha, atau berduka atas kelolosan Laksha yang menjadi murid di akademi itu". Meski hanya orang tua angkat, sudah seyogyanya mereka melakukan yang terbaik demi anak angkat mereka. Dengan begitu, malam kesedihan itu ditutup oleh Sang Istri yang bersin karena kedinginan dan Sang Suami yang mengajaknya untuk menghangatkan badan di perapian.

Bagian 3 - Makan Malam

Laksha hanya bisa duduk di pojokan menunggu semua selesai mengantre. Bagaimana tidak, rencana awalnya adalah ia akan ikut mengantri supaya bisa memilih dimana dirinya akan menghabiskan makan malam dengan tenang. Akan tetapi yang terjadi adalah mereka saling serobot antrian, tak ada dari mereka yang mau mengantre. Meski kelihatannya ada beberapa orang yang hanya berdiam diri tanpa piring di tangannya. Sudah pastilah ia seorang bangsawan yang menunggu pesuruhnya keluar dari kerumunan orang kelaparan itu dengan sepiring makanan. Padahal kalau diperhatikan baik-baik, rata-rata dari mereka merupakan tujuh bangsawan kelas atas. Itu bisa dilihat dari benda-benda yang merupakan simbol tiap kelas dan mereka kenakan sekarang.

Dimulai dari yang terbawah, bangsawan kelas ketujuh, Sapta. Disimbolkan dengan pisau kecil yang selalu mereka bawa kemana-mana, terkadang ditaruh di paha bagian kanan maupun diselipkan di ikat pinggang mereka. Selanjutnya adalah bangsawan kelas keenam, Satra. Disimbolkan dengan cincin. Berbeda dengan cincin kawin yang dipasang di jari manis, untuk cincin sebagai identitas bangsawan dilingkarkan di jari tengah. Kemudian ada bangsawan kelas kelima, Panca. Disimbolkan dengan gelang, ada yang memakainya di tangan dan beberapa orang saat situasi tertentu memakainya di kaki juga. Diatasnya merupakan bangsawan kelas keempat, Catura. Disimbolkan dengan kalung, seperti Laksha yang memakai kalung sekarang ini. Masuk ke jajaran bangsawan kelas elit, dimulai dari bangsawan kelas ketiga, Trika. Disimbolkan dengan kacamata, ada yang kacamata dua lensa maupun yang satu lensa. Bangsawan kelas kedua, Dwita. Disimbolkan dengan anting. Bagi yang belum menikah cukup memakai satu anting saja di salah satu sisi. Terakhir yang menduduki puncak tertinggi, bangsawan kelas pertama, Ekava. Disimbolkan dengan hiasan rambut, seperti ikat kepala maupun bando.

Banyak dari mereka yang menyewa kamar di sini, tapi mengapa perilaku mereka seperti rakyat jelata yang berebut sembako saja. Tidak ada gunanya Laksha memikirkan mereka, lebih baik ia membayangkan makanan masuk ke dalam mulut. Siapa tahu 'kan bisa mengganjal sedikit rasa laparnya. Jumlah antrean semakin berkurang, dari enam puluhan orang yang mengantre (karena dikurangi bangsawan elit) sekarang sudah bisa dihitung jari. Laksha mulai berdiri dan mulai mengantri. Tempat duduknya memang sudah ramai, tapi setidaknya masih ada yang tersisa untuknya.

"Selanjutnya" Kurang tiga orang lagi

"Selanjutnya" Kurang dua orang lagi

"Selanjutnya" Tersisa satu orang lagi dan akhirnya....

"Maaf, makanannya sudah habis".

*Kaa!!

"Anu... Kira-kira berapa lama lagi makanannya akan tersedia?"

"Kurang lebih tiga puluh menit lagi".

Penginapan macam apa itu? Laksha berpikir dengan harga sewa yang mahal akan membuat semua penghuninya mendapat pelayanan yang terbaik. Tetapi kehabisan makanan yang sudah masak disaat seperti ini adalah kesalahan yang teramat fatal.

"Aku ingin pulang".

Cacing yang sudah menggeduk-gedukkan gendang di dalam perut sejak tadi sungguh memperparah keadaan saja. Tiga puluh menit bukanlah waktu yang sebentar, mungkin lebih baik kalau Laksha pergi membeli makan di luar. Dengan begitu Laksha akan mencari Si Wanita Resepsionis dan bertanya padanya rumah makan atau kedai terdekat. Laksha sudah memantapkan niatnya untuk segera pergi dari ruang makan, tapi saat melewati kerumunan orang yang sedang asyik dengan makan malamnya. Namun, sepertinya ada seseorang yang sedang mendapatkan masalah.

"Apa maumu Gadis Kampung?" Seorang gadis seusianya melemparkan pertanyaan dengan nada seperti mengusir.

Gadis yang harus menjawab pertanyaan tersebut hanya bisa tertunduk dengan cara bicaranya yang kikuk. "Bukankah itu si... Siapa, ya namanya. Ah, Si Gadis Kikuk !" Lagi-lagi Laksha bertemu dengannya, lebih baik dirinya segera pergi dan tidak berurusan dengannya lagi.

"Anu... S-saya tadi su-su-"

"Ha?? Kau bilang apa??"

"Saya yang sudah du-du-"

"Hei, apa kau tidak bisa bicara? Jika ada masalah cepat katakan saja! Nona kami sedang menikmati makan malamnya, tahu!"

Tak tahu mengapa, langkah kaki Laksha yang semula bergerak cepat ingin meninggalkan ruang makan semakin berat dan melambat. Mendengar suara kikuk itu benar-benar membuat telinganya gatal ingin meneriakinya.

"Saya yang terlebih dahulu duduk di sini." Si Gadis Bertudung akhirnya bisa mengatakannya meski dengan suara yang masih sama pelannya.

Membalas peryataan yang diucapkan Si Gadis Bertudung, gadis satunya yang tadinya tidak ikut bicara mendadak nimbrung dalam kekacauan malam. "Apa yang kau katakan? Jika kau duluan yang duduk di sini, kami seharusnya melihatmu berada di sini saat kami datang, selain itu mana mungkin kami mau duduk di tempat orang kampungan sepertimu!"

Mendengar hentakan sekaligus bentuk intimidasi tersebut Si Gadis Bertudung menyahut kalau beberapa saat yang lalu setelah mendapatkan tempat duduk, ia pergi ke toilet sebentar untuk buang air kecil. Rupanya sahutan kecil itu tak ada artinya di telinga pesuruh bangsawan elit itu. Mereka dengan kasarnya sampai melemparkan makanan yang ada pada piring ke tubuh Gadis Bertudung.. Pujaan yang mereka bela masih saja asyik dengan makan malamnya, kali ini ia sibuk dengan secangkir tehnya.

"Sudahlah pergi dari sini! Jangan kau tampakkan wajahmu pada kami!"

Begitu pasrahnya, begitu besar pula emosinya terluap melalui linangan air mata. Mereka tak melihatnya karena tertutup oleh tudung miliknya, tapi tidak dengan Laksha. Dengan penuh ketabahan hati, bukan. Dengan penuh rasa tak ingin berurusan dengan kaum bangsawan, ia membalikkan badan dan berniat untuk menyerah. "Oi, apa yang kau lakukan dasar Gadis Kikuk". Meski ia sudah menyapanya, Gadis Bertudung hanya tertunduk hening. Padahal tadi siang ia begitu berisik sekali di hadapan Laksha, tapi apa yang ia lihat saat itu....

"Oi, Gadis Kikuk aku tanya apa yang sedang kau lakukan sekarang!!"

Seluruh ruangan mendadak sunyi, tak ada alasan lain selain mereka yang menghentikan gertakan gigi dan lebih memilih untuk melihat darimana asal suara teriakan barusan. Laksha terus berjalan mendekati Si Gadis Bertudung.

"Cih, Lakon"

*Nb : Lakon adalah sebutan untuk orang yang memakai topeng

"Aku pikir kau ini hanya bisu saja, ternyata kau juga tuli. Maaf kalau begitu atas teriakanku barusan".

Si Gadis Bertudung masih berdiri mematung. Salah satu di antara dua gadis pesuruh kaum elit menanggapi teriakan Laksha barusan dengan sebuah pertanyaan. "Siapa kau? Apa maumu?"

Tentu saja Lakhsa mengacuhkan pertanyaan tidak bermutu itu dan matanya masih terpaku dengan Gadis Bertudung itu.

"Oi, aku mewakili Nona *** jawabla-"

Sebelum ia menyelesaikan ocehannya, Laksha menyelanya terlebih dulu "Diamlah gadis bodoh, aku tidak memiliki urusan denganmu". Nampaknya selaannya barusan sedikit menaikkan emosi mereka. "Apa maksudmu gadis bodoh? Berani-berananinya kau-"

"Oi, Nona Bangsawan kelas dua yang di sana. Apa kau tidak pernah melatih anjingmu untuk diam saat orang lain sedang makan? Itu sangat mengganggu sekali. Akan lebih baik lagi kalau seekor anjing tidak dimasukkan ke ruang makan dimana manusia bersantap ria". Bodohnya dirinya, Laksha tak tahu mengapa kalimat tersebut keluar dari mulutnya begitu saja.

Ucapan Laksha barusan membuat dua gadis pesuruh itu semakin naik pitam. Ia sampai mau menyerang Laksha dengan kekuatan mereka, sebelum akhirnya Nona Bangsawan itu bertindak untuk menghentikan mereka berdua. Cukup dengan kata "Hentikan", dua orang yang tak tahu diri itu membatalkan serangan mereka. Laksha harap ia adalah bangsawan yang baik, tapi rasanya itu tidak mungkin.

"Nona Lakon, melihat dari kalung yang anda kenakan, anda adalah bangsawan kelas keempat. Apa yang sebenarnya ingin kau katakan pada kami?" Tanyanya dengan santai tanpa beranjak dari tempat duduknya.

"Huh..."

"Asal anda tahu saja, fakta bahwa piringnya yang berada di meja anda membuktikan gadis ini sudah duduk di sana terlebih dahulu sebelum akhirnya ia pergi ke toilet. Meski begitu, dua bawahan anda enggan untuk menerima kebenarannya hingga menyebabkan kekacauan ini. Parahnya lagi, hal yang saya sangat sayangkan dari kejadian ini adalah sikap anda sebagai orang yang sudah pastinya mengetahui akan kebenaran cerita gadis ini, namun anda sama sekali tidak ada niatan untuk menghentikan kelakuan buruk bawahan anda".

Panjang kali lebar Laksha menjelaskan apa yang ada di pikirannya. Tak bisa jika ia terus menahannya agar tidak keluar, dirinya takut jika nantinya ini hanya akan menjadi beban baginya.

"Kalau begitu saya mohon maaf atas keributan yang telah disebabkan oleh dua bawahanku". Sekalipun dia meminta maaf, tapi tatapannya seperti merendahkan Laksha dan Gadis Bertudung.

"Berani-beraninya kau sampai membuat Nona *** meminta maaf, akan kuberi kau pelajaran!" Salah satu gadis bawahannya yang berambut hitam panjang berusaha melakukan perlawanan.

"Asal kau tahu saja, gadis ini merupakan sepupu dari sang pemilik penginapan. Jika sang pemilik tahu akan kejadian ini, sudah pasti kau akan diusir dari sini. Tentu saja nona pujaanmu itu akan mendapat imbasnya atas tindakan bodoh kalian". Terdiam sudah dua gadis menyebalkan itu setelah mengetahui bahwa gadis yang ia jadikan bahan ejekan adalah sepupu dari Si Pemilik penginapan (meski itu hanya karanganku belaka). Setidaknya itu bisa meredam pertikaian konyol ini.

"Yang benar saja!! Cengkraman Tanah!" Tanah yang seharusnya tertidur tiba-tiba terbangun membentuk tangan seukuran orang dewasa dan memegangi kaki Laksha.

"Sekarang!"

"Cengkraman Bayang!" Serangan dadakan dari mereka berdua membuat Laksha tersudut. Kakinya terkunci, kedua tangannya terlalu sibuk memegangi leher yang tercekik.

"Oh, iya. Bagaimana kalau begini saja... Aku tahu semua orang yang ada di sini sekarang adalah pendaftar ujian masuk Akademi Aryasetya, bukan? Bagaimana kalau kita selesaikan sekarang, pertarungan antara mereka bertiga!?" Nona Bangsawan mencoba bernegosiasi.

"Kkk... Apa makkk-sudd-mmu??" Dalam posisi berdiri Laksha menahan rasa sakit

"Jika mereka berdua bisa mengalahkanmu, maka mereka akan tetap tinggal di sini selama pelaksanaan ujian berlangsung. Jika mereka berdua yang kalah, maka mereka akan angkat kaki setelah pertarungannya selesai".

Gadis-gadis lain yang menyaksikan saling bergumam bahwa peraturan dan pertaruhannya tidaklah adil. Laksha dan Gadis Bertudung tidaklah salah, lantas apa alasan bagi mereka untuk menerima pertarungan tersebut? Hari yang menyebalkan.

"Krr... Ba-a-aiklah aku meneri-imanya". Tidak ada pilihan lain selain menerimanya. Kalah ataupun menang pun bukan masalah, karena bukan Laksha yang sejatinya dipertaruhkan di sini, tapi mereka berdua. Dia menjadikan bawahannya sendiri sebagai tumbal dan bahan bertaruh.

Bayangan hitam yang mencekik Laksha telah hilang dan tanah pun sudah kembali tidur. Sekarang ia dihadapkan pada situasi yang rumit. Satu lawan dua, dilihat dari manapun mereka nampak kompak, mungkin sudah lama mereka melatih kombinasi serangan. Sedang Laksha hanya seorang diri. Si Gadis Bertudung masih dalam kondisi yang tidak memungkinkan baginya untuk bertarung. Tidak ada pilihan lain lagi, ia harus maju sendirian.

"Izinkan aku untuk ikut berpartisipasi juga, Nona Lakon".

Mata orang-orang dengan seketika langsung melirik ke arah seorang gadis yang berjalan dari ruang makan menghampiri Laksha. Gadis ini sedikit berbeda dari lainnya. Ya, dia juga memakai topeng sama seperti Laksha. Dia juga seorang Lakon. Pakaiannya ketat berwarna hitam, hampir tidak terlihat dikala ia menjauh dari ruang makan menuju halaman tengah tempat Laksha berdiri.

Kini ia berada di depan Laksha dan mengatakan perkataan yang sama. Laksha memang tidak mengenalnya, tapi sebuah keberuntungan jika ia benar-benar mau membantunya. Laksha sendiri juga tak tahu apakah ada tujuan khusus atau tidak, tapi kalau ia boleh berpendapat, mungkin karena mereka adalah sesama Lakon yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Ardiya. Maka dari itu ia bersedia membantunya dengan sukarela.

"Terimakasih"

"Katakan itu jika kita berhasil memenangkan pertarungan ini".

Laksha tidak memperkenalkan diri, begitu juga dirinya. Itu memang sudah biasa terjadi di kalangan Lakon. Justru hal yang tidak baik jika memberikan informasi meski hanya sekadar nama pada orang yang tidak dikenalnya.

"Aduh, bagaimana ini? Lawan kita adalah dua orang Lakon. Apa kita bisa memenangkannya?" Gadis berkekuatan tanah mulai goyah imannya.

"Tak perlu khawatir, asalkan kita benar-benar bertarung dengan serius, setidaknya kita pasti bisa mengimbangi mereka". Gadis bayangan berusaha meyakinkan Si Lemah Iman.

Yang berlaku sebagai wasitnya adalah majikan mereka berdua, tapi Laksha tak mempermasalahkannya karena bukan mereka berenam saja yang ada di sana, melainkan puluhan gadis lainnya juga mulai serius menyimak pertarungan dadakan tersebut. Nona Bangsawan yang sedari tadi tetap berada di tempat duduknya akhirnya beranjak dan masuk ke tengah halaman.

"Kalau begitu, pertarungan antara dua Lakon dengan dua bawahanku. Dimulai!".

.

.

.

.

Tak ada satupun baik tim Lakon maupun mereka yang bergerak sedikit pun. Tak ada yang berani melakukan serangan pembuka. Nampaknya mereka terlalu was-was dengan tim Lakon. Dalam sebuah pertarungan, jika lawanmu dirasa lebih kuat dari dirimu, maka yang harus kau lakukan adalah diam, mengamati pergerakan lawan, dan membuat sebuah keputusan untuk bertindak. Semuanya benar-benar sedang mengamati pergerakan lawannya masing-masing. "Hei, kau ingin melawan siapa?"

"Dua-duanya"

Mungkinkah kawan bertarung Laksha begitu kuat hingga ia percaya diri sanggup untuk mengalahkan dua orang itu? "Apa yang kau katakan, akan lebih mudah jika membagi tugas, bukan?"

"Tapi bagiku mereka berdua adalah lawan yang mudah". Ia mengatakannya dengan penuh percaya diri.

Fakta bahwa dia adalah seorang Lakon memang harus diakui, tapi kalau soal kekuatannya, Laksha belum tahu pasti apakah ia benar-benar orang yang kuat dan penting maka dari itu ia memakai topeng yang menutup wajahnya, atau...

"Aku maju"

"Eh?? Tunggu!"

Dia maju semaunya tanpa mengatur strategi terlebih dulu, sekalipun mereka tidak saling kenal, setidaknya mengatur strategi adalah hal dasar dalam sebuah penyerangan. Laksha sudah menduga sebelumnya, ternyata benar dia adalah bangsawan kelas ketujuh. Serangan pertama yang ia lancarkan menggunakan alat bantu pisau, akan tetapi ada yang berbeda dari pisau biasanya. Pisaunya memancarkan warnanya sendiri, oranye kemerahan. Jangan bilang kalau ia memanaskan pisau tersebut. Bukankah itu akan terasa panas dan bisa membakar tangan?

Ia mengayunkan kedua pisau di tangannya dengan cepat dan lihai. Lawan yang berusaha ia hadapi... Dua-duanya. Nampaknya ia benar-benar berniat untuk melawannya sendirian saja. Lantas untuk apa Laksha ada di sana berdiri sendiri di bawah langit malam? Tapi sepertinya ia ini memang sosok yang kuat. Buktinya mereka berdua dibuat harus menghindar tanpa sempat menggunakan kekuatannya. Si pengguna tanah harus menyentuh tanah terlebih dahulu untuk membangunkannya, jadi selama ia dibuat sibuk maka tidak akan sempat tuk menggunakan jurusnya. Hanya si pengguna bayangan saja yang dapat menyerang, itu pun ia harus dibuat repot karena lawan mereka sangatlah aktif dan gesit dalam berpindah-pindah tempat.

"Gagak Pemburu!" Keluar dua ekor burung gagak dari bayangannya mengejar sekutu Laksha.

Lakon satu itu menunjukkan 3k-nya (kecepatan, kelentukan, dan keseimbangan) yang sangat bagus. Laksha tidak heran lagi mengingat bangsawan kelas ketujuh dijuluki dengan Aryandra. Kemungkinan besar sejak kecil ia sudah mendapatkan banyak pelatihan untuk dipersiapkan menjadi seorang prajurit. Begitu gesit pergerakannya sampai bola mata terpaku melihatnya.

*Srett !!

Pisau kirinya berhasil mengenai bahu kanan si pengguna tanah. Tak hanya itu saja, karena terkejut pergerakannya semakin melamban dan kesempatan emas tersebut tidak disia-siakan oleh teman sesaat Laksha untuk melumpuhkannya. Ia mengiris betis kiri lawannya. Kurasa itu masih bisa ditolerir dibanding dengan menusuk perut terlebih sampai membunuhnya untuk sebuah pertarungan konyol ini.

Si pengguna tanah sudah tak bisa berkutik lagi, hanya berusaha bangkit dari jatuhnya diri namun tak bisa. Tersisa satu lagi, yaitu si pengguna bayang. Dalam pertarungan ini, si pengguna bayangan sangatlah diuntungkan, berbeda jauh dengan temannya yang bernasib buruk, bukan karena masalah siang atau malamnya, melainkan karena melawan orang yang tidak tepat. Dari hasil barusan dapat diketahui bahwa kelemahannya adalah pertarungan jarak dekat.Seperti yang dikatakan gadis bangsawan kelas kedua tadi, bahwa semua yang ada di sana saat itu adalah calon peserta ujian. Kebocoran informasi sedikitpun terlebih berupa kelemahan pesaing yang bisa saja nantinya akan mereka lawan saat ujian nanti cukuplah membantu.

Mereka berada di atas angin sekarang. Laksha yang awalnya ingin maju untuk mengalahkan salah satu dari mereka kini lebih memilih untuk duduk dan bermain kerikil. Bagaimana tidak, kawannya yang dengan sukarela melawan mereka berdua sekaligus. Dari tadi ia berlarian ke sana kemari, melompat sana dan sini, mengayunkan kedua pisaunya tanpa henti.

"Gadis ini... Ninja?"

Tak lama setelah Laksha usai bermain boi-boian, ia berhasil mengalahkannya dengan telapak tangan kirinya mengucurkan jus tomat. Benar atau tidak, kawannya itu sepertinya memang bukanlah orang yang jahat.

"Sampai di situ!" Pertarungan usai, kemenangan ada pada Laksha.

"Sesuai apa yang kami pertaruhkan, dua bawahanku akan angkat kaki dari penginapan ini".

Wajah mereka tampak lesu penuh kekesalan. Mendapatkan kekalahan meski sudah bertarung dua lawan satu itu adalah penghinaan yang menusuk bagi seorang Sakti juga bawahan seorang bangsawan. Mereka kembali ke kamar tanpa dibantu oleh yang lain, hanya saling bopong satu sama lain. Kemudian para penonton kembali ke makanan mereka masing-masing dan ada juga yang sudah selesai dan kembali ke kamar.Kawan Laksha yang juga bukan seorang kawan langsung pergi meninggalkan halaman meninggalkannya dan Si Gadis Bertudung. Laksha dalam kebingungan sekarang, apa yang harus dilakukan. Si Gadis Bertudung juga masih belum kembali seperti sedia kala. Huh...

*Krrruukkk

"Aa~"

Apalah Laksha ini. Setelah menunggu lama demi sesuap nasi tapi di PHP, kemudian masuk ke dalam situasi yang merepotkan lagi, dan ia lupa kalau perutnya masih belum terisi. Malam masih belum terlalu larut, mungkin berjalan-jalan ke luar bukanlah hal yang buruk. Sialnya, Laksha lupa akan satu hal lagi, gadis yang masih berdiri di sana juga belum sempat menghabiskan makan malamnya dengan baik. Meski Laksha masih merasa kesal terhadapnya, tapi kalau sudah seperti ini... Entah mengapa Laksha merasa kasihan padanya. Haruskah diajaknya sekalian? Padahal masih bertanya dalam pikir, tapi tubuh sudah bergerak tanpa persetujuan.

"Oi, Gadis Kikuk. Kembalilah ke kamar dan ganti bajumu itu. Setelah itu temani aku keluar mencari makanan".

Ia tetap mengindahkan perkataan Laksha. Terpaksa ia menyeretnya kembali ke kamar dan mengganti bajunya. Meski sudah begitu, Laksha tak sanggup melihat wajahnya yang memancarkan kekosongan.

"Fiuh... Selesai juga. kalau begitu ayo segera keluar".

Bagian 4 - Indahnya Kota

Gelas yang retak tidak akan bisa utuh kembali, itulah yang dikatakan orang-orang. Saat ini, kalimat tersebut Laksha tujukan pada gadis pendek itu. Setelah kejadian di ruang makan tadi, ia terus menerus menundukkan kepalanya tanpa ekspresi dan suara. Rasanya seperti jiwa yang terlepas dari inangnya. Untuk sekadar meringankan beban pikirannya, Laksha menyeretnya keluar untuk menemaninya mencari makan malam. Laksha belum sempat makan malam karena persediaannya yang habis dan Gadis Bertudung itu karena... Sudahlah lebih baik aku berhenti memikirkan kejadian itu dan menghabiskan malam dengan perasaan senang.

"Oi, kau ingin makan apa?"

Dari sini Laksha hanya bisa melihat tudung cokelatnya yang menutupi wajah, satu hal yang pasti adalah dia tidak menyahut. Dalam pencarian harta karun mereka hanya berjalan melintasi jalan utama saja. Tak satupun dari mereka yang tahu soal denah kota, selain itu sekarang sudah malam, akan sangat buruk jika sampai tersesat di kondisi ini. Lampu-lampu menerangi jalanan. Baik lampu yang terpasang di kedai dan pertokoan maupun lampu jalan yang setinggi tiga meter. Berkat terciptanya energi listrik melalui tenaga dalam yang dikumpulkan dalam sebuah wadah yang besar, lampu pun tercipta menggantikan lentera. Listrik ini dialirkan melalui perantara kabel yang terbuat dari tembaga yang dilapisi oleh karet. Meski sudah adanya lampu, tetap masih tidak bisa menyelamatkan seseorang dari kesesatan jalan di perkampungan.

Malam ini ramai dengan orang-orang yang berhamburan di bangunan-bangunan yang tinggi nan kokoh. Mungkin karena hari terakhir libur maka dari itu mereka memilih untuk menghabiskan malam bersama di luar. Anak-anak yang tertawa berlarian bersemangat dengan orang tua mereka. Entah mengapa aku menjadi iri dengan mereka...

"Oi, bukankah sudah saatnya bagimu membuka mulut? Kalau seperti ini terus nanti keburu tutup semua". Dia masih diam membisu.

"Oh, ya. Tadi siang bukankah Si Wanita Resepsionis itu memintamu untuk membeli makan siang, bukan? Bagaimana kalau kita beli di sana saja!?" Masih tidak merespon.

"Oi, Gadis Kikuk!"

.

"Gadis culun!"

.

"Raiya!"

*!!

Badannya sedikit bergetar barusan. Apa mungkin itu karena dia terkejut sebab Laksha berteriak? Atau dia kedinginan? Atau... Laksha akan mencoba untuk menggodanya. "Raiya? " Saat dipanggil dengan nama aslinya dia memalingkan pandangannya ke kiri.

"Raiyaa...?" Sekarang berganti ke kanan saat Laksha berpindah ke kiri.

Laksha terus melakukannya berulangkali hingga akhirnya dia membalas panggilannya "Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan sekarang!!?" Dia nampak marah saat mengatakannya, tapi itu lebih baik daripada tanpa jawaban.

"Apa maksudmu? Dari tadi kau itu seperti boneka yang dipajang di etalase toko, tahu! Hiii... Seram..."

"Kalau kau mau meledekku lebih baik aku pulang saja dan tinggalkan aku sendiri".

"Hee... Yakin? Di tempat seperti ini?"

"Apa yang kau ka-"

"Hee?? Dimana ini? Perasaan beberapa saat yang lalu kita masih di jalan utama!!"

Itulah akibatnya jika melamun terus. Bahkan dia tidak sadar jika beberapa menit yang lalu Laksha memutuskan untuk masuk ke dalam perkampungan. Dia juga tidak menyadari kalau tempatnya berdiri sekarang ini adalah tempat yang sama saat seseorang mencuri dompet mereka.

"A-a-anuu!! Kita harus segera menemukan jalan utamanya!!"

"Aku bisa saja membawamu ke jalan utama, tapi dengan syarat kalau kau akan mengantarkanku ke tempat yang ingin kau tuju tadi siang".

"Untuk a-apa aku membawamu ke sana!? Lebih baik kita segera pu-"

*Krruuuk!

"Tuh 'kan...Cepat antarkan aku ke sana, berangkat!!!"

Dengan begini tujuan kedua Laksha bisa dibilang sukses. Ia berhasil membuatnya berbicara dan sedikit membuatnya lupa akan kejadian tadi. Malam itu Si Gadis Bertudung rupanya benar-benar membawanya ke kedai yang ingin di tuju tadi siang. Kedai itu hanya menyediakan satu jenis masakan saja, yaitu nasi goreng. Meski begitu kedai tersebut ramai pengunjung, untung saja masih ada kursi dan meja yang belum ditempati. Dia memesan nasi goreng biasa yang tidak pedas, berbeda dengan Laksha yang sangat suka makanan pedas. Mungkinkah kepribadian atau keberanian seseorang bisa dinilai dari suka atau tidaknya akan rasa pedas?? Haha... Tentu saja itu tidak mungkin, tapi suatu hari nanti siapa yang tahu.

Butuh belasan menit bagi si pemilik kedai untuk memasak dua porsi nasi goreng. Selain karena ramai juga karena memang nasi goreng ini bukan makanan siap saji seperti milik Pasukan Sakti Kerajaan.

"Selamat Makan"

Nasi yang digoreng dilumuri oleh saus tomat, dihiasi oleh selada, telur mata sapi dan suwiran ayam goreng luar biasa nikmatnya. Nasi yang masih hangat cocok untuk hawa dingin di malam hari. Inilah mengapa nasi goreng biasanya dijual dan dikonsumsi di waktu malam. Terlebih bagi mereka yang begadang pasti akan menjadikan nasi goreng sebagai makanan pelarian mereka jika mie rebus tidak tersedia. Dikalangan rakyat jelata, nasi goreng dianggap sebagai makanan berkelas. Bahkan tidak jarang dijumpai bangsawan kelas elit sekalipun beberapa kali memakannya, tapi tidak di kedai seperti itu, melainkan meminta juru masak tersendiri untuk menghidangkannya.

Si Gadis Bertudung itu nampak lahap sekali memakannya. Perutnya yang kosong dan tenaga terkuras karena emosi membuatnya tak mempedulikan lagi kalau Laksha juga ada di depannya. Oh, iya. Ia baru sadar kalau gadis itu bukanlah keluarga bangsawan. Tak ada satupun aksesoris yang melekat di badannya sebagai simbol atau suatu identitas kelas bangsawan. Melihatnya selahap dan serasa sebahagia ini, apa jangan-jangan dia... Tentu saja itu tidak mungkin. Pepatah mengatakan kalau "Lauk paling lezat adalah lauk lapar". Mungkin karena itu... Ya, karena itu.

Puas Laksha melihatnya makan, selanjutnya gilirannya untuk fokus menghabiskan makan malamnya. Saat sendok sudah terbalik, mereka berdua pulang ke penginapan. Mereka berpisah di depan meja resepsionis karena kamar dua gadis itu berada di bangunan yang berbeda. Terpisah oleh halaman tengah tempat pertarungan tadi. Setelah melihatnya masuk ke kamar, Laksha juga ikutan masuk lalu berganti baju dan bergegas merebahkan badan di ranjang yang empuk. Sudah tidak ada waktu lagi untuk memikirkan hal lain terlebih untuk belajar. Tubuh beserta pikiran yang lelah menuntutnya untuk segera tidur terlelap.

"Semoga ujian seleksi besok bisa berjalan dengan baik".

Terangnya siang lenyap, gemerlap malam telah sunyi, pementasan tarian bulan telah berakhir, awan telah tergerai menutup, cahaya lampu-lampu kecil dimatikan, dengan begini hari benar-benar telah usai.

Bagian 5 - Laporan

• 10 Telu 680 Denindra - Akademi Aryasetya Kerajaan Ardiya Bagian Barat

Seseorang sedang melihat ke luar jendela memandang rembulan yang tampil di langit. Di dalam sebuah ruangan yang lumayan luas, terdapat satu meja dan kursinya, satu set sofa di tengah ruangan, dan beberapa rak buku menutupi dinding-dinding yang kedinginan. Pria tua dengan ubannya tengah berdiri menanti kekasihnya yang tak kunjung pulang. Awan berlarian, jarum meroda, dan sedaun pada vas bergoyang sekali. Hawa kehadiran seseorang terasa di belakang pria tua itu. Sosok hitam, berjubah hitam, dalam bayang tak tersiram cahaya malam, ada di sana, dan berdiri di sana. Pintu tertutup tak sekalipun terbuka, ia masuk ke dalam ruangan melalui bayangan. Kemungkinan besar setelahnya ia juga akan keluar dari tempat yang sama. Seperti tikus yang hanya tahu satu tempat saja, melalui lubang itu ia masuk, maka dari lubang itu pula ia keluar.

"Apa semuanya berjalan sesuai rencana?" Pria Tua mengajukan pertanyaan.

"Ya" Sosok misterius itu hanya menjawab dengan singkat. Padahal pertanyaan tersebut bisa dikategorikan sebagai perintah untuk memberikan laporan panjang kali lebar.Rupanya bayangan aneh itu baru menambahkan berita yang akan disampaikan beberapa detik setelah kata pertamanya. "Saya menjemputnya pagi tadi di kediamannya, saya bisa melihatnya dengan jelas. Nampaknya ia dirawat dengan baik oleh Tuan Catura, kurasa bukan tanpa alasan "Dia" menitipkannya ke tuan tersebut".

"Bagaimana dengannya setiba di kota?" Pria Tua itu langsung menanggapi pernyataan jubah hitam itu.

"Ya, sesuai rencana. Kami tiba di penginapan tersebut tepat waktu. Memang benar saat saya meninggalkannya ia sedikit mendapat masalah dan harus berurusan dengan penjaga kota, tapi entah bagaimana ia berhasil melaluinya".

"Hanya itu saja?"

"Baru saja di penginapan terjadi sesuatu di luar perkiraan kita. Sempat terjadi pertengkaran bahkan pertarungan yang melibatkan dirinya, tapi semua bisa teratasi saat saya meminta bantuan kepada salah satu Lakon yang kebetulan juga menginap di sana dan akan mengikuti ujian masuk akademi ini. Ia bisa keluar dari situasi tersebut tanpa harus bertarung. Sekian".

Laporan telah usai, urusannya juga selesai, seharusnya ia sudah lenyap ditelan oleh bayangan. Namun itu tak terjadi karena Pak Tua itu masih ingin berlanjut dalam situasi seperti itu. Ia membalikkan badannya menatap bayangan tersebut. "Apa kau yakin dengan semua ini?"

"Ya"

"Apa kau yakin tidak akan menyesalinya?"

"Ya"

"Tapi itu semua bertolak belakang dengan keinginan pribadinya, kau tahu?"

"Ya"

*...

"Kami berenam telah berjanji pada waktu itu. Kemudian rencana ini adalah salah satu cara yang terbaik agar ia tidak semakin remuk dan hancur".

"Tapi masih ada seseorang yang tidak kalian ikut sertakan dalam rencana ini, bukan? "

"Ya. Itu karena ia akan selalu mendukung keputusannya. Merepotkan sekali jika ia tahu soal ini. Tapi, suatu hari nanti kami pasti akan berhasil membujuknya dan ikut serta dalam rencana ini".

"Apapun rencana kalian, aku akan menyetujuinya. Asalkan itu bisa mengembalikan ia seperti semula. Kalian adalah aset kerajaan ini, akan sangat berbahaya jika kalian tidak kunjung bersatu kembali".

"Ya. Kami tahu betul akan hal tersebut. Serahkan semua pada kami berenam. Sekali lagi, kami bertujuh pasti bisa bangkit kembali dan menjalankan misi demi melindungi Kerajaan Ardiya!".

"Jangan kecewakan aku"

Setelah dialog panjang saling sahut menyahut tiada henti, akhirnya bayangan tersebut hilang melebur dalam tertutupnya tirai langit. Besok ujian akan dimulai untuk seminggu ke depan. Pak Tua itu berharap murid yang lolos tahun ini semoga semuanya berbakat dan kuat. Sebagai akademi kebanggaan kerajaan, sudah seharusnya pihak akademi menerima dan meluluskan yang terbaik dari yang terbaik demi kerajaan ini.

"Semoga Dewi Bulan selalu menyinari kegelapan malam"

Bersambung