Bagian 1 Kedok
• 11 Telu 680 Danindra - Penginapan
Pagi-pagi sekali sudah terdengar suara berisik dari luar kamar. Biang keladinya adalah Si Wanita Resepsionis yang berkeliling sembari mendentumkan lonceng mengitari penginapan. Tak ayal boneka yang masih mendapatkan sedikit kesadaran terbangun dan berjalan ke luar kamar menuju kamar mandi. Begitu pula Laksha yang terbangun mengharuskan baginya untuk segera menampakkan batang hidungnya atau wanita itu akan memarahinya.
"Ngga di rumah ngga di penginapan sama saja! Selalu saja ada orang yang mengganggu tidurku. Selain itu aku ini masih lelah karena kejadian kemarin".
Piyama biru yang ia kenakan saat tidur sama dengan warna langit siang. Ia bersandar pada pagar kayu setinggi satu meter yang berada di depan kamarnya, hanya berdiam memandangi penghuni kamar lain yang berjalan dengan mata setengah-setengah. Tak ada bedanya dengan kejadian semalam saat harus mengantri untuk mendapatkan jatah makan malam. Laksha lagi-lagi menunggu agar yang lain selesai terlebih dahulu agar ia bisa menyegarkan diri dengan nyaman dan tenang tanpa terburu-buru. Kamar mandi yang dimaksud di sini adalah kamar mandi umum, maka dari itu letaknya tidak berada di dalam kamar. Daripada kamar mandi mungkin lebih pantas disebut dengan pemandian umum. Terdapat kolam besar di dalamnya dan sebelum masuk ke dalam kolam tersebut diharuskan bagi sesiapa saja untuk membersihkan badannya terlebih dahulu. Jadi kurang lebih fungsi dari kolam tersebut hanya untuk relaksasi saja karena menggunakan air hangat. Tidak diwajibkan untuk berendam di kolam setelah membersihkan diri, bagi mereka yang sudah selesai mandi ada juga yang langsung berganti pakaian dan tidak ikut berendam. Laksha masuk dalam kategori yang langsung berganti pakaian setelah mandi, ia merasa kurang puas apabila di pagi hari yang segar malah menghangat badan yang justru akan melemaskan tubuh dan mengurangi semangat pagi.
Saat Laksha memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, ia mendapati berbagai bentuk tubuh yang berbeda. Ada yang bertubuh ramping dan ada juga yang tubuhnya berotot, meski tidak sampai bertubuh kekar. Seperti yang sudah diketahui bahwasannya kamar mandi ialah tempatnya bagi orang membuka segala hal yang tidak pernah diperlihatkan kepada orang lain. Beberapa dari mereka ada yang sudah akrab karena sepertinya sudah saling kenal sejak lama dan ada juga yang baru bertemu di penginapan sudah saling cakap satu sama lain dengan membentuk sebuah kelompok sendiri. Mereka terlihat santai sekali saat berendam di kolam, tak Nampak wajah ketegangan di antara mereka. Padahal mereka semua akan saling menjadi musuh saat seleksi nanti. Ia meragukan kalau keakraban ini akan berakhir nanti sore setelah seleksi tahap pertama selesai, terlebih saat tahap kedua tengah berlangsung.
"Hei hei, bagaimana menurut kalian soal mereka yang bertarung semalam?" Salah satu gadis yang sedang berendam bertanya pada kelompok percakapan.
"Ahh itu ya, menurutku mereka tidaklah sebanding denganku, kecuali si gadis bertopeng yang menyerang sendirian". Balas gadis di sampingnya.
Mereka berlima nampaknya sedang asyik menggunjingkan mereka yang bertarung semalam. Siapa lagi kalau bukan Laksha, Si Lakon, dan dua bawahannya nona bangsawan. Setelah kalimat pembuka tersebut, percakapan terus dilanjutkan. Laksha yang sedang duduk menyirami tubuhnya diam-diam tanpa disengaja mendengarkan perbincangan mereka. Gadis lainnya menambahkan kalau hanya satu lawan satu rasanya terbilang sangat mudah untuk mengalahkan duo cecunguk milik nona bangsawan. Tetapi, mereka semua satu suara jika membicarakan soal Lakon misterius yang berhasil mengalahakannya sendirian tanpa bantuan dari Laksha. Salah satu dari mereka ada yang berharap bisa bertanding melawan Si Lakon saat seleksi tahap kedua nantinya. Dengan santai Laksha mengguyur badannya, ia dibuat sedikit terkejut mendengar percakapan yang menjurus padanya dibahas.
"Lalu bagaimana dengan Lakon satunya?"
"Aa, maksudmu yang kawan setim yang hanya berdiam diri kemarin?"
"Betul betul, dia!"
"Entahlah, tapi yang perlu diingat adalah dia juga seorang Lakon, meski tidak ikut andil semalam, kita jangan sampai meremehkannya juga. Siapa yang meremehkan lawannya, dia yang kalah".
Tak sadar dengan kalimat terakhir yang baru saja ia ucapkan, tindakan mereka dari tadi yang berulangkali meremehkan bawahan si nona bangsawan apakah tidak terhitung juga? Bisa ditebak mereka berlima tidak akan lulus seleksi jika nasib yang menimpa mereka sama dengan kalimat yang barusan salah satu dari mereka ucapkan. Setelah perbincangan sampah selesai, Laksha pun juga ikut mengakhiri acara mandinya saat itu juga. Segera memakai piyama birunya lagi dan kembali ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap untuk sarapan di ruang makan nanti.
"Kenapa semua bangsawan itu bodoh?" Laksha bergumam saat pulang ke kamarnya.
Tak ada yang perlu dirisaukan menghadapi orang seperti mereka, cukup dengan menunjukkan kekuatanmu maka mereka akan terdiam. Semua seperti itu, kecuali orang-orang yang keras kepala dan tidak sadar diri.
"Sarapannya sudah siap sarapannya sudah siap" Panggilan alam telah tiba.
Penghuni kamar berbondong-bondong melakukan hal yang sama dengan semalam. Berpikir tidak akan kehabisan makanan ternyata itu pikiran yang bodoh. Akan tetapi, disaat yang lain turun ke lantai dasar, Laksha masih berada di dalam kamar. Ia disibukkan dengan masalah pakaiannya yang kotor. Seragam putih-putih yang telah dibuat susah payah oleh Lise sebenarnya digunakan untuk hari ini, tapi karena Laksha yang tidak sabaran untuk mengenakannya kemarin justru berakhir seperti ini. Lusuh dan berdebu adalah nasib seragamnya saat ini. Seragam yang ia bawa ada tiga untuk dikenakan saat masa ujian, yang pertama adalah seragam putih-putih untuk ujian tahap pertama yang berupa ujian tulis, kedua adalah hitam-hitam untuk seleksi tahap kedua berupa duel satu lawan satu, dan terakhir pakaian ala putri bangsawan beserta identitasnya untuk ujian tahap ketiga berupa tes wawancara.
"Bagaimana ini? Apa aku harus memakai seragam hitam-hitam atau yang pakaian bangsawan?
Menilai dari sifat ujian tahap pertama yang berupa ujian tulis saja, akhirnya Laksha memutuskan untuk memakai seragam putih-putih kemarin meski sedikit kotor dan bau keringat. Untuk mengatasinya, ia menyemprotkan pewangi yang lebih banyak dari biasanya dan ditambah memakai jubah untuk menutupi seragam kotornya. Meski ia ragu apakah dengan memakai jubah panjangnya masih diperbolehkan untuk mengikuti ujian atau tidak, tapi mungkin asalkan tetap memakai seragam akademi (Akademi Dasar) itu bukanlah suatu masalah. Daripada memakai seragam hitam-hitam yang dibuat untuk berlatih atau bertarung, apalagi mengenakan pakaian non lembaga.
Setelah masalah soal seragam selesai, ia keluar dari kamar dan bergegas menuju ruang makan. Memang benar kalau seleksinya dibagi menjadi beberapa gelombang, tapi kalau soal perut Tak satupun orang yang akan menduakannya atau mendahulukan mereka yang mendapatkan jadwal tes gelombang pertama yang akan dimulai pagi ini. Tak ingin mengulangi kesalah yang sama untuk kedua kalinya, Laksha ikut terjun dalam kerumunan semut yang sedang mengantri gilirannya mengangkut gula.
Satu persatu orang yang berada di urutan depan mulai berbalik membawa sepiring nasi dan menuju meja makan. Laksha yang masih berdiri di sana menunggu dengan rasa bosan, lapar, dan cemas. Cemas bagaimana kalau orang-orang di sampingnya mencium bau tak sedap darinya. Tatapan risih mulai dirasakannya, tapi tak satupun yang berusaha untuk menutupi hidung mereka, itu menandakan kalau mereka menatap Laksha dengan persoalan yang berbeda. Tak disadari olehnya, telah berdiri seseorang yang menggunakan penutup wajah di samping kirinya memanggil "Hei, kau".
*Eh?
Sosok yang sama dengan orang yang tiba-tiba membantu Laksha untuk mengalahkan dua bawahan Si Nona bangsawan semalam. Ia tampil dengan pakaian biasa, gelombang pertama bukanlah jatahnya untuk terjun ke medan pertempuran. Laksha hanya memandanginya tanpa menjawab sapaannya barusan.
"Hei, apa kau tunawicara?" Ia berusaha membuka pembicaraan.
Laksha yang awalnya diam saja tak mau terlibat dengan masalah lagi pun menyerah dan membalas pertanyaan buruk itu "Ada perlu apa?"
"Kenapa semalam kau tidak ikut menyerang juga?"
Sudah jelas apa alasan Laksha memutuskan untuk tidak ikut bagian dalam penyerangan, itu semua karena gadis tersebut mengacuhkan Laksha yang ingin membahas perihal strategi untuk melakukan penyerangan. Bahkan untuk memutuskan siapa melawan siapa saja ia mengabaikannya. Tentu itu membuat Laksha kesal dan memasrahkan semuanya kepada gadis Lakon tersebut seorang diri. Gadis di sebelahnya itu nampaknya tak mengerti akan hal tersebut. Jadi, Laksha tetap berfokus pada antriannya dengan harapan Si Gadis Lakon menyadari akan kesalahan yang telah ia perbuat.
Detik demi detik terus berjalan sampai giliran Laksha mendapatkan jatah makanan. Gadis tersebut masih saja menatapi Laksha dan mengikutinya sampai ia duduk di meja yang sama saling berhadap-hadapan. Berulangkali ia memanggil dengan kata "Hei", "Kau", bahkan "Lakon" tapi tetap tak dihiraukan oleh Laksha. Makan adalah sebuah nikmat yang luar biasa sama halnya bernapas dan tidur, maka dari itu ia masih tetap fokus untuk menikmati sarapannya. Barulah saat makanannya habis tak tersisa, Laksha akhirnya menanggapi ocehan tidak jelas dari orang yang ada di depannya.
"Apa perlu apa?" Laksha mengulangi pertanyaan yang sama dengan sebelumnya.
"Apa kau adalah seorang Lakon?" Tanyanya dengan meletakkan sendoknya.
Merasa heran dengan pertanyaan remeh seperti itu, Laksha dengan spontan menjawab "Umn". Tak berhenti sampai di situ, ia nampaknya masih memiliki segudang pertanyaan untuk dijawab oleh Laksha. Rasa-rasanya ia meragukan bahwa Laksha adalah seorang Lakon asli, dengan kata lain ia berpikiran kalau orang yang ada di depannya saat ini adalah Lakon gadungan. Banyak kasus yang terjadi dimana seorang Sakti yang mengaku-ngaku sebagai Lakon hanya bermodalkan memakai topeng saja. Mereka yang gadungan melakukan itu untuk melakukan pemalakan pada rakyat jelata atau pedagang dan/atau pemilik kedai di pasar dengan alasan untuk uang keamanan. Padahal mereka tidaklah lebih dari sekadar berandalan yang ingin mendapatkan uang melimpah dengan usaha melintah. Ternyata hal ini lah yang sedari malam merisaukan pikiran gadis tersebut sampai tidak tidur semalaman. Terlebih ia juga bertanya-tanya siapa Lakon semalam yang muncul entah dari mana tiba-tiba memintanya untuk.
"Kenapa berhenti?"
"Tidak, bukan apa-apa. Lupakan saja"
"Intinya adalah, jika kau adalah seorang Lakon sungguhan seharusnya kau ikut menyerang bersamaku".
"Apa maksudmu?Kau sendiri yang tiba-tiba maju dan menyerang sendirian, 'kan?!"
Gadis tersebut dibuat terkejut dengan jawaban yang dilontarkan oleh Laksha, tapi dengan begitu kecurigaannya terkait dengan Laksha bukanlah seorang Lakon sungguhan semakin kuat. Rasa penasarannya tak kunjung reda, semakin haus ingin menguak identitas asli Laksha.
*Set set set set
Gadis tersebut memperlihatkan sebuah gerakan tangan yang tidak biasa. "Apa kau tahu apa yang baru saja aku tunjukkan padamu ?" Dengan percaya diri Laksha menyahut kalau itu adalah kode rahasia yang digunakan untuk berkomunikasi. Hal seperti itu saja semua Sakti pasti mengetahuinya.
"Ya, kau benar. Semua Sakti pasti tahu, tapi Bagaimana dengan arti dari kode tangan tersebut?"
"Tentu saja hanya La-"
*Ka!!?
"Kena kau!"
Bagian 2 - Berangkat
• 11 Telu 680 Danindra - Rumah Kecil Tama
Pinggiran kota adalah tempat yang cocok untuk ditinggali oleh orang sepertiku, sepi akan hiruk pikuk khas sebuah kota yang ramainya bukan main. Aku tidak suka jika harus tinggal di tengah-tengah kota, maka dari itu aku lebih memilih membeli sebuah rumah kecil di pinggiran, tepatnya di bagian kanan kota di dekat dinding setinggi 10 meter itu. Di rumah kecil ini hanya terdapat dua kamar, ruang makan termasuk dapur, kamar mandi dan ruang tamu, di tempat yang kecil ini aku tidak tinggal sendirian. Ada seorang lagi yang menetap di sini dan seorang lagi yang suka keluar masuk rumah tanpa perlu mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Tamaaaa!!!"
Baru saja aku membicarakannya dan kini ia telah menunjukkan keberadaannya. Memang tidak sedikit orang yang sudah lama mengenalku kemudian memanggilku Tama, akan tetapi hanya ada satu orang saja yang memanggilku dengan huruf ma yang panjang setiap harinya. Vani lah orangnya. Aku yang baru saja membuka mata dan menikmati hari libur tambahanku sudah dikacaukan olehnya.
*Duk duk duk
*Jebrek !
Selalu seperti ini. Pintu kamar yang secara kasar terbuka tanpa mempedulikan orang yang dibalik pintu tersebut sedang melakukan apa. Untung saja aku selalu molor di tiap paginya sehingga tidak ada kejadian pasaran seperti seseorang yang membuka pintu tanpa salam sedangkan si pemilik kamar sedang berganti pakaian. Sudah tiga tahun kami tinggal satu atap dan tak pernah sekalipun peristiwa tersebut terjadi. Ditambah lagi gelagat-gelagat hidung belang yang dimiliki oleh semua lelaki, tapi sayangnya aku tidaklah tertarik dengan hal semacam itu kepada Vani dan satu hal lagi, setiap pagi hingga malam ada seseorang yang tadi aku sebutkan sebagai orang yang bisa keluar masuk rumah ini tanpa izin dari kami. Orang itu adalah tetangga sebelah kami. Beliau bertugas untuk mengawasi kami berdua selama tinggal di sini. Tuan Trika lah yang mengutusnya kemari sesaat Vani memutuskan untuk tinggal denganku. Tentu saja Vani mengetahuinya sejak dulu, tapi ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya dan mengacuhkannya malah.
"Kenapa kamu tidak membangunkanku?"
"Bagaimana mungkin aku bisa membangunkamu sedang aku sendiri tukan molor??"
"Mau bagaimana lagi, hanya kamu seorang yang ada di sini, bukan!? Kamu tahu sendiri kalau semalam suntuk aku harus mengurus beberapa berkas untuk seleksi hari ini". Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, ia pasti mengacuhkannya bahkan tidak menganggapnya ada.
Kejadian pagi ini dimulai karena semalam saat Vani sedang memasak untuk makan malam ada seseorang yang mengetuk pintu depan. Seorang kurir berdiri di sana memberikan paket dengan alamat yang tertulis padanya adalah alamat rumah ini. Penerimanya seharusnya Vani, tapi karena ia sedang sibuk di dapur aku lah yang bertandatangan dan menerimanya. Kurasa itu bukanlah masalah yang besar karena pengirim paket tersebut dari pihak akademi dan kami berdua sama-sama menjadi pengajar di sana. Aku membawa masuk paket yang sepertinya birisi gundukan kertas itu dan membukanya. Begitu banyak kertas soal untuk seleksi tahap pertama nantinya. Terdapat kertas kecil yang berbeda dari lainnya yang berada di dalam paket, di sana tertulis sebuah perintah yang ditujukan kepada Vani untuk memeriksa apakah soal-soal yang tertera sudah benar atau tidak. Itu dilakukan sebagai tahap akhir pengecekan naskah soal yang ada. Hal ini memang terlalu mendadak karena sempat terjadi kesalahan teknis saat pencetakan naskah sehingga contoh soalnya baru bisa tiba malam hari.
Saat makan malam berlangsung aku memberitahukannya soal paket tersebut beserta pesan di kertas kecil tersebut. Tak heran juga bagiku mendengar gerutuan Vani waktu itu yang sudah berniat ingin tidur cantik seusai makan malam. Awalnya ia sempat menyuruhku untuk melakukan pengecekan naskah, tapi tak beberapa lama kemudian ia menarik lagi ucapannya karena sadar betul kalau aku ini bukanlah jenius atau setidaknya pintar seperti dia. Dia adalah orang yang rajin, berusaha bekerja sebaik mungkin adalah mottonya. Bahkan sampai mata naik turun pun ia masih berusaha untuk memegangi kertasnya dan mulutnya masih terus berucap pelan tak bergeming. Mencemaskan Vani adalah keseharianku, ceroboh sudah seperti mendarah daging dari Ibunya. Maka dari itu Ibunya bahkan sampai memintaku untuk menjaganya, begitu pula dengan Ayahnya dengan menugaskan tetangga sebelah.
Mungkin dia pikir aku sudah tidur lelap di kamar, faktanya aku terus terjaga mengawasinya dari meja makan ditemani oleh Pak Bani. Ia baru akan pulang ke rumahnya setelah kami semua tertidur pulas di kamar masing-masing, tapi malam itu berbeda dari biasanya dan sesuai tugasnya dirinya mengawasi Vani semalam bersamaku. Sampai tiba waktunya kepala Vani bersandar di meja dengan mata tertutup, aku mengambil selimut dari kamarnya dan memelukkan ke tubuhnya. Itulah cerita singkat mengapa ia harus terjaga semalaman dan hanya tidur selama tiga jam saja sampai akhirnya ia pun terbangun pagi ini dengan wajah suram. Rambut berantakan, mata berkantung dan bekas liur masih jelas mengecap di pipinya yang tembem.
Bukannya bergegas ke kamar mandi, ia malah mendatangi kamarku hanya untuk merajuk sambil memukuliku dengan bantalnya.
"Kau akan terlambat, loh"
*A-
Ternyata adegan layaknya seorang Ibu yang membangunkan anaknya hanya terjadi sebentar saja. Ia langsung sadar dan berlari menuju kamar mandi yang ada di sebelah dapur. Aku yang sedang bebas kerja selama seminggu kedepan menarik selimut lagi dan memejamkan mata dengan harapan liburan ini akan berlangsung selamanya.
*Belasan menit kemudian
"Tamaa!!! Kau belum membuat sarapan, ya?!"
Demi Dewa Matahari yang telah menunjukkan kejayaannya, aku juga lupa untuk membuatkannya sarapan. "Kau juga tidak membuatkanku bekal makan siang!!" Demi Dewi Kesuburan kumohon sediakanlah makanan di meja makan segera. "Aduuhhh aku langsung berangkat saja! Tama!? Cepat bangun dan segera buatkan sarapan dan taruh di dua kotak makanan yang ada di meja makan! Jangan lupa untuk segera mengirimkannya ke akademi!!"
"Aku berangkat dulu"
*Jebrek!!
Jadi maksudnya sekarang aku harus rela meninggalkan ranjang ini dan menuju dapur untuk memasak sesuatu lalu mandi kemudian berganti pakaian dan pergi mengantarkan bekal kepada Vani di akademi? "Yang benar saja!" Merupakan sebuah keajaiban aku yang masih bisa tiduran seperti ini di hari kerja dan aku masih harus membuang waktuku demi Vani? Di akademi terdapat kantin untuk memenuhi kebutuhan perut para murid, seharusnya hari ini pun mereka juga buka karena adanya seleksi yang dilaksanakan bakal berlangsung sampai sore hari. Dengan begitu ia bisa membeli sarapan di sana dan aku tak perlu repot-repot melakukan apa yang diminta olehnya barusan.
"Sepertinya istriku memasak terlalu banyak, jadi tolong antarkan ini kepada Nona Vani".
*Ha!!?
Terkejut aku dibuatnya. Pak Bani, orang yang ditugaskan untuk mengawasi kami Mengawasi Vani tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarku dengan membawa dua kotak bekal yang biasa kami gunakan. Sepertinya tepat setelah Vani meninggalkan rumah, ia masuk untuk mengambil kotak bekal tersebut lalu membawanya pulang dan mengisinya dengan masakan istrinya yang dikata kebanyakan itu. Orang ini adalah ahlinya soal mengendap-endap ataupun bersembunyi dengan cara menyamarkan hawa keberadaan dengan lingkungan di sekitarnya. Kejadian seperti ini sudah banyak kali kualami selama tinggal di sini.
"Aku tidak mau. Antarkan saja sendiri ke akademi". Seharusnya rencana tidurku sudah akan berjalan lancar saat Vani berangkat, tapi aku lupa dengan yang satu ini. "Tuan Adyatama, mohon mengertilah". Dia mengatakan itu dengan sedikit membungkukkan badan.
"Baiklah baiklah, aku hanya tinggal mengantarkannya saja, `kan?"
"Ya"
Kalau dia sudah menundukkan kepala seperti itu mana mungkin aku bisa menolaknya. Dia sudah tua, anak pertamanya saja bahkan lebih tua dariku, sedang anak keduanya dua tahun lebih muda dari umurku. Pak Bani juga sudah lama bekerja untuk bangsawan Trika, maka dari itu ia lah yang dipercaya oleh tuan Trika untuk mengawasi Vani. Istrinya juga orang yang baik, tak jarang pula ia memasak lebih untuk diberikan pada kami, seperti yang terjadi hari ini juga. Mereka sudah menganggap Vani sebagai bagian dari keluarga mereka, atau mungkin juga aku yang sudah mengenalnya selama tujuh tahun.
Tanpa banyak kata aku beranjak dari surgaku dan mengambil kotak yang dibawanya itu untuk diantarkan ke akademi.
"Kalau begitu aku-"
"Tunggu dulu!"
Di saat aku sudah memutuskan untuk menuruti permintaannya, apa Pak Bani juga ingin menyia-nyiakan waktu emasku ini? "Apa kau bermaksud pergi dengan pakaian seperti itu?"
"Tentu saja, apakah kerajaan sekarang melarang rakyatnya memakai kaos putih dan celana pendek hitam?" Ia menghela napas sekali dihadapanku, aku heran mengapa dia melakukan itu. Cara berpikir orang dewasa memang begitu rumit untuk dimengerti oleh anak muda sepertiku. Ujung-ujungnya ia memaksaku untuk berganti pakaian yang katanya lebih sopan meski bukan seragam pengajar akademi.
"Kau lupa topengmu". Dia melemparkan topengku yang ada di meja sebelah ranjang.
Topeng. Aku hampir lupa bahwa diriku ini adalah seorang Lakon. Sebenarnya tidak harus setiap saat bagi seorang Lakon memakai topeng, tak ada aturan pasti yang mengharuskannya, ataupun kapan dan dimana seorang Lakon mengenakannya. Hanya saja kebanyakan Lakon selalu menggunakannya di tempat-tempat umum bertujuan agar tidak sembarang orang bisa mengetahui identitasnya melalui tampilan wajah. Padahal menurutku dengan memakai topeng justru menunjukkan kepada umum bahwa aku adalah orang penting atau orang yang memiliki kepentingan rahasia. Hal tersebut malah semakin memperkuat keinginan orang yang memiliki niatan buruk untuk melakukan penyerangan pada mereka para Lakon. Akan tetapi bagi orang Sakti yang terbilang kuat hal tersebut bukanlah sebuah masalah besar.
"Aku pergi dulu"
Jarak yang tidak dekat mengharuskanku untuk naik kereta kuda karena terburu-buru. Meski masih ada banyak waktu sebelum ujian dimulai, tapi para pengajar yang ditugaskan untuk menjadi pengawas ujian diharuskan untuk berangkat lebih awal sebelum para peserta berdatangan. Jika aku sampai sebelum ujian dimulai, masih ada waktu bagi Vani untuk sarapan terlebih dulu. Akan sangat memalukan jika saat peserta sedang fokus mengerjakan soal ujian kemudian terdengar suara rengekan cacing dari perut salah seorang pengawas berparas cantik. Belum lagi aku yang nantinya akan menyaksikan rengekan penuh amarah dari wajahnya jika itu sampai terjadi.
"Murid baru, ya… Aku jadi penasaran apa yang sedang dia lakukan sekarang".
Berusaha untuk melupakan kenangan masa lalu tapi sebaliknya, semakin kuat rasa untuk melupakan semakin kuat pula ingatan yang sudi untuk lenyap dari memori. Maka cara terbaik adalah dengan tidak berusaha melupakan apapun dan menyibukkan diri dengan melakukan sebuah aktivitas rutin, kalau sudah begitu sebuah ingatan pasti akan pergi dengan sendirinya dan tak pernah kembali lagi.
Hari-hari untuk bersantai bagi para pekerja dan pelajar telah usai. Mereka mulai menjalani rutinitas seperti biasanya. Kota Aryasetya yang terkenal ini mulai hidup kembali setelah sekian minggu tertidur.
Bagian 3 – Putus Asa
• 11 Telu 680 Danindra - Penginapan
Situasi yang terasa tegang membuat kulit mengeras dan bulu kuduk berdiri. Setetes keringat mulai mengucur di pagi yang sejuk tanpa melakukan aktivitas yang berat. Di sana sedang duduk dua orang Lakon saling berseberangan. Topeng saling beradu tatap dengan topeng di depannya, tak ada salah satu dari mereka yang bergerak sedikitpun. Dikala penghuni yang lain sibuk dengan sarapannya, dua orang itu masih saja terkunci dalam hening. Sampai-sampai beberapa penghuni lainnya sempat memperhatikan kelakukan mereka berdua. Lakon dengan lengkungan garis di topengnya sedang menunggu respon dari Lakon dengan tiga goresan di topengnya pasca dirinya menuduh bahwa Laksha adalah Lakon jadi-jadian. Tuduhan tersebut diperkuat dengan ketidaktahuan Laksha soal arti dari kode tangan yang dilakukan oleh gadis Lakon tersebut saat pertarungan semalam, yang kemudian dicontohkan ulang saat akhirnya Laksha sudi untuk berbincang dengannya.
"Sial, bagaimana ini? Kedokku pasti akan segera terbongkar kalau seperti ini terus". Harap-harap cemas dengan situasi yang menimpanya, Laksha masih terus mencari cara supaya terbebas dari jeratan tersebut.
"Anu…"
*Wha!!
Dewi Keberuntungan sepertinya masih memihak kepada Laksha, dikala mereka berdua fokus tatap menatap, tiba-tiba sudah berdiri seseorang di samping meja dengan membawa piring yang isinya masih utuh belum tersentuh. Ia mengenakan tudung yang biasa dipakai untuk menutupi wajahnya. Sontak kehadiran sosok aneh tersebut mengagetkan mereka berdua.Raiya Ayara Rhea. Gadis itu merupakan sepupu dari salah satu pengurus penginapan, si wanita resepsionis. Sosoknya yang pemalu mengharuskannya memakai tudung satu-satunya itu kemanapun ia pergi dan dimanapun ia berada. Tak tahu lagi jika sedang membersihkan diri. Laksha yang memanggilnya dengan julukan gadis kikuk ini sudah berulangkali membawa Laksha larut dalam masalah. Baik itu insiden pencurian dengan berujung diiterogasi di kantor penjaga kota maupun insiden semalam. Malam setelah makan malam di kedai, Laksha sudah bertekad agar tidak lagi berurusan dengan gadis itu lagi. Tapi sepertinya itu adalah hal yang mustahil, karena pagi ini ia tanpa diundang menghampiri Laksha yang sedang dalam kondisi hampir melarikan diri.
"Bolehkah a-aku duduk di sini?" Meski sempat tersenyum semalam, nampaknya bicaranya yang kikuk masih belum hilang.
Berhubung memang masih kosong kosong, tentu saja ia bisa duduk sesukanya di sana. Terlihat nasi pecel yang menjadi menu sarapannya pagi ini. Sudah menjadi menu favorit rakyat di kerajaan ini dengan sarapan nasi pecel. Laksha tidak merasa heran dengan menu yang dipilihnya karena ia tahu kalau Si Gadis Bertudung itu bukanlah seorang bangsawan yang seharusnya memilih menu makanan yang sedikit berkelas, padahal makanan yang disediakan tidak perlu membayar lagi karena sudah diakomodasikan beserta biaya sewa kamar saat awal pemesanan.Adanya kesempatan dalam kesempitan membuat Laksha berpikiran untuk melarikan diri dengan menyudahi makannya "Kalau begitu, aku sudah selesai makann-"
"Mau pergi kemana kau?!"
*E!!
Kesigapan gadis Lakon tersebut benar-benar patut diperhitungkan. Tidak bisa diremehkan, namanya juga seorang Lakon. Merasa kalau memang makannya sudah selesai, Laksha melanjutkan langkahnya untuk mengembalikan piring.
"Mau melarikan diri?"
Rhea yang tidak tahu apa-apa merasa bingung dengan apa yang sedang terjadi. Ia masih memilih untuk diam karena kekikukannya dalam mencampuri suatu urusan. Meski begitu bisa dilihat dari cara makannya yang sudah mulai tidak tenang, ia penasaran dengan apa yang sudah terjadi saat ia belum bergabung.
"Ya, apa yang kau katakan? Aku sudah selesai makan jadi aku harus mengembalikan piring ini, bukan?" Laksha adalah ahlinya jika soal melarikan diri, bukan soal kegesitannya dalam berlari saja, tapi juga pandai dalam membuat seribu satu alasan.
"He Benarkah?"
"Apa yang kau katakan? Tentu saja itu benar. Mana mungkin aku berbohong, bukan? "
"He…"
Berhenti menanggapi gadis Lakon, Laksha tetap bersikukuh memberanikan diri untuk berjalan tegap.
"Tunggu!!"
*Brek!!
Suara khas gebrakan sebuah tangan ke meja yang tak bersalah. Suara itu dibuat oleh Rhea yang ternyata sudah tidak tahan dengan apa yang terjadi. Gebrakan tersebut membuat banyak pasang mata meliriknya dengan terkejut.
"Apa yang sedang kalian lakukan?? Kelakuan kalian mengganggu orang yang sedang makan saja!" Teriakan yang baru saja terjadi tidak pernah didengar oleh para penghuni penginapan, bahkan Laksha saja hanya pernah diberi perkataan sebal saat mengajaknya keluar untuk makan malam. Kali ini lebih parah lagi, sebuah teriakan keluar dari mulut kikuk itu.
"Kamu, berhentilah bertanya tentang hal yang tidak jelas!! Laksha, kembalilah duduk dan habiskan makananmu!!" Kalimat perintah yang terlontar layaknya seorang ibu yang sedang memarahi anaknya yang tidak menghabiskan makanannya.
Setelah melakukan sebuah pertunjukan yang belum pernah terjadi itu, gadis tersebut kemudian tersadar dan mukanya langsung memerah. Gadis Lakon di seberangnya menjadi diam tak bertanya lagi dan Laksha yang kembali duduk untuk benar-benar menghabiskan makanannya. Perasaan tegang Laksha soal kedoknya yang hampir saja terbongkar memang telah hilang, tapi rasa takut yang baru muncul terkait singa betina yang duduk sebelahnya itu. Akan tetapi ia tetap bersyukur atas tindakan asal-asalan Rhea yang akhirnya melepaskan jeratan Si Gadis Lakon.Tak ada percakapan sama sekali setelah teriakan terjadi. Sendok demi sendok bergiliran keluar masuk mulut pemakainya. Dengan begitu makanan yang telah disajikan oleh juru masak telah berhasil dilahap habis tak tersisa.
Selepas sarapan Laksha segera kembali ke kamar untuk mengambil tas dan bersiap untuk berangkat. Dalam ujian tahap pertama yang berupa ujian tulis ia mendapat gelombang pertama yang akan dilangsungkan pagi ini. Tak ada pikiran soal apa yang terjadi barusan di ruang makan, ia hanya menatap lurus ke depan. Jalan panjang akan ditempuh olehnya jika berhasil lolos seleksi dan menjadi murid di Akademi Aryasetya. Berlari adalah keahlian yang ia gunakan menuju akademi. Ia memang tidak tahu dimana lokasi pastinya, tapi dengan bertanya kepada penduduk sekitar jalan pasti akan terbuka lebar. "Malu bertanya sesat di jalan" adalah pribahasa yang tepat dalam menghadapi situasi seperti itu.
Jalan utama sangatlah lebar dibanding dengan jalan yang ada di perkampungan. Laksha menggunakan kesempatan itu untuk lebih memacu kecepatan larinya. Namun, hal yang tak diduga menimpanya
*Gredek gredek gredek
Dari sebuah jalan perkampungan di kanan jalan, keluarlah kereta kuda yang tengah menyebrang. "Minggiiiirrr!!"
Bukanlah sebuah masalah kereta kuda yang tengah menyebrang, tapi Laksha yang berlari terlalu kencang tidak bisa mengerem kakinya hingga berakhir nahas dengan menabrak kereta kuda tersebut. Kereta tersebut sampai oleng ke kanan dan terjatuh. Saking cepatnya dan kejadian yang terasa sekilas, sampai-sampai kuda penariknyapun tidak diberi waktu untuk berteriak. Orang-orang yang awalnya berjalan dengan tenang menjadi panik dan segera menghampiri kecelakaan tersebut. Pak Kusir yang berada di depan selamat dengan luka lecet saja di beberapa bagian tubuh, itu karena Laksha menabrak bagian tengah tepat penumpang berada di dalamnya.
"Aa!! Aku sedang mengantarkan seorang pemuda!"
Mendengar kalimat barusan membuat salah satu warga segera membuka pintu ruangan kecil tempat penumpang duduk. Orang yang membukanya terkejut dan berkata kalau tidak ada siapapun di dalamnya. Pak Kusir itu tentunya menyangkal pernyataan barusan dan memastikannya sendiri.
"Hilang!"
Laksha yang telah menabrak terpental beberapa meter dari tempat kejadian. Salah seorang pedangang lekas membawanya ke tepian, ia tidak sadarkan diri. Pedagang yang menolongnya mencoba untuk menyadarkannya dengan memberikan wewangian yang menyengat dan menekankan jempol dan jari telunjuknya ke sela antara jempol dan jari telunjuknya Laksha. Hal itu dilakukan karena dipercaya dapat segera menyadarkan orang yang pingsan. Ternyata cara tersebut memang benar-benar manjur, Laksha kemudian tersadar setelahnya. Ia langsung memegangi kepalanya yang mungkin terasa pusing atau sakit pasca menabrak kereta kuda. Orang yang berada di sampingnya berusaha menanyai apakah ia baik-baik saja atau tidak.Terlepas dari itu, warga yang merasa telah dibohongi merasa tidak empati lagi kepada Pak Kusir. Tidak ditemukan seorang pemuda yang dikata penumpangnya itu berada di dalam kereta kuda saat tabrakan terjadi.
"Apa yang sedang kalian perdebatkan? Bisakah kalian membantuku untuk mendirikannya?" Seorang pemuda bertopeng berjalan mendekat ke kereta kuda.
"Aa, itu dia orangnya! Apa kau baik-baik saja tuan?" Pak Kusir itu mengarahkan telunjuknya kepadaku dengan ekspresi terkejut.Aku dengan santai mengangguk mengisyaratkan kalau aku baik-baik saja. Tidak ada luka sedikitpun yang kuterima dari insiden barusan. Itu bisa terjadi karena tepat sebelum gadis itu menabrak keretanya, aku sudah lebih dahulu melompat keluar dengan menjebol atap kereta yang hanya terbuat dari kayu. Tidak akan sempat bagiku jika harus keluar melalui pintu yang telah disediakan di samping tempatku duduk. Percaya dengan apa yang aku sampaikan, warga mulai membantu untuk mendirikan keretanya lagi.
"Ngomong-omong, dimana orang yang menabrak keretanya?" Seseorang menunjuk ke arah sebuah toko kelontong. Aku menghampirinya untuk meminta pertanggungjawaban atas perbuatannya yang sembarangan berlari dengan kecepatan angin di jalan utama. Aku melihatnya memakai jubah cokelat tua dan sebuah topeng melekat menutupi wajahnya. "Jadi, dia adalah seorang Lakon, pantas saja".
Meski begitu, hanya karena dia seorang Lakon tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran sepihak. Dia bersalah, maka dia harus bertanggungjawab. "Hei, gadis muda" Berjalan mendekat dan kami saling bertatap.
.
.
.
.
Aku dan dia sama-sama terdiam untuk sejenak, sebelum akhirnya aku memberikan dua pilihan padanya. Pilihan pertama adalah meminta dia segera mengganti rugi dan masalah akan selesai, pilihan kedua adalah membawanya ke kantor penjaga kota. Aku memang tidak bisa melihat wajahnya yang tertutup, tapi aku bisa merasakan auranya memancarkan warna ketakutan dan rasa bersalah sedang menyelimutinya. Sudah beberapa detik berlalu namun ia tak kunjung memberikan jawaban. Seketika aku meilhatnya memakai seragam akademi yang bukan berasal dari kota ini, aku menanyakan untuk apa murid dari akademi lain berada di kota ini. Untuk pertanyaan ini dia baru menjawabnya.
"Saya datang ke kota ini untuk mengikuti ujian masuk Akademi Aryasetya". Jawabnya dengan nada putus asa.
Aku memperhatikan mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, dia adalah salah satu pendaftar ujian di akademi. Mengetahui hal itu aku menyarankan padanya untuk segera mengganti rugi atas kerusakan kereta kuda yang rusak. "Apa, kau punya uang yang cukup?"
"Saya hanya membawa sedikit uang, sisanya saya tinggal di penginapan". Dia masih menjawab dengan menundukkan kepalanya.
Merasa iba dengan seorang gadis yang jauh-jauh datang kemari untuk mengikuti ujian masuk akademi, untuk sementara aku yang mengganti rugi atas kerusakannya. Pak Kusir itu untungnya orang yang baik dengan menuruti pilihanku agar tidak memperpanjang masalah ini ke kantor penjaga kota. Setelah menerima ganti rugi, ia menitipkan kereta kudanya karena kudanya stres akibat kejadian tadi. Selanjutnya aku meminta alamat penginapan gadis ini agar uangku bisa kembali lagi tentunya. Untuk saat ini urusanku telah selesai, aku harus segera ke akademi dan mengantarkan bekal ini pada Vani. Masalah selesai, warga mulai kembali ke aktivitas mereka.
Posisiku sekarang sudah dekat dengan akademi, kurasa tak perlu lagi untuk naik kereta kuda lagi. Kalau begitu aku jalan kaki saja lewat jalan perkampungan bagian kiri. Tiga langkah kaki yang sudah berjalan mendadak berhenti melihat gadis itu masih saja duduk termenung di sana. Mungkinkah semangatnya sudah hilang bersamaan dengan terpentalnya ia tadi? Bahunya sedikit membungkuk, sepertinya ia benar-benar merasa putus asa. Aku mengajaknya untuk ikut bersamaku ke akademi, melalui jalan perkampungan akan jauh lebih menghemat waktu daripada melewati jalan utama. Selain itu, duduk termangu di situ tidak akan membuat hutangnya padaku lunas. "Berdirilah! Apa kau jauh-jauh datang kemari hanya untuk menjadi pengemis di pinggir jalan?!"
*Huh!?
Tubuhnya bergetar sebentar saat aku mengatakannya barusan, apakah dia akan marah karena aku mengejeknya seperti itu, atau dia akan tetap muram dan memilih untuk batal mengikuti ujian dan kembali ke penginapannya? Syukurlah, ternyata ia justru kembali bersemangat setelah mendapat ejekan dariku. "Saya ikut dengan anda. Tolong antarkan saya!" Aura ketakutan dan penyesalan berubah menjadi semangat yang menggebu gebu dari dalam jiwanya.
"Bagaimana dengan lukamu?" Melihatnya seperti itu sama seperti melihat murid sendiri yang terluka.
"Sudah lebih baik". Dia menjawab dengan suara yang lugas.
"Apa kau sanggup untuk berlari secepat tadi?"
"Sepertinya bisa"
"Kalau begitu, lakukan sekali lagi dan ikuti aku!" Aku mendahuluinya dengan berlari dalam bayangan bangunan yang ada di kanan dan kiriku.
Bagian 4 Terempas
• 11 Telu 680 Danindra Akademi Aryasetya
Banyak sekali para pendaftar yang sudah berdatangan. Beberapa pengajar yang sudah selesai rapat mulai melakukan tugas mereka selaku panita pelaksana ujian masuk akademi. Ada yang berjaga di depan sebagai penerima peserta, ada juga yang bertugas untuk memberikan arahan kepada peserta mengenai ruang ujian, dan sisanya masih berada di ruang pengajar mempersiapkan lembaran soal ujian. Aku dan gadis itu berhasil datang sebelum ujian dilaksanakan.
"Kalau begitu, sampai bertemu nanti malam".
"Terimakasih banyak atas bantuannya. Saya berhutang budi pada anda".
Kami berpisah di pintu masuk akademi, aku meminta tolong kepada salah satu pengajar untuk memberikannya arahan terkait ruang ujiannya. Sesuai tujuan utamaku berkunjung kemari disaat menikmati hari liburku yang tenang, aku langsung menuju ruang pengajar untuk mengantarkan bekal yang kubawa ini untuk Vani.
*Jegrek
"Taammmaaaaa!!" Mak Lampir memasang wajah yang mengerikan.Dia sendiri yang menuyuruhku untuk membawakan dua kotak bekal ini dan tidak ada batasan waktu kapan aku harus mengantarkannya. Mengalah bukan berarti salah, aku meminta maaf karena datang sedikit lama karena ada kecelakaan tadi.
"Apa?? Kecelakaan???"
*Uhm!
"Siapa?"
"Orang yang sedang berdiri di depanmu ini"
.
.
.
.
*Ehhh???
Dengan kecepatan kilat Vani meraba-raba tubuhku mencari bagian yang lecet atau memar. Meski kemudian aku berkata kalau tidak ada luka sama sekali, ia tetap saja tak menggubrisku dan itu sedikit mengganggu. Puas mendapati tubuhku yang bebas luka, ia masih sempatnya menjahiliku dengan berteriak kalau dia sedang digoda olehku.
*Krrruukkk
Mesin penggiling sudah benar-benar pada batasnya. Mau tidak mau ia harus berhenti menggodaku dan segera menghabiskan bekal sarapan ini sebelum ujiannya dimulai. Vani mengajak ke tempat kesukaanku di akademi untuk meluangkan waktu berdua, tapi aku menolaknya. Dia sudah dikejar oleh waktu, tak ada alasan yang dibenarkan jika dia sampai terlambat bertugas nantinya, yang ada dia akan kena semprot dan aku pasti akan terkena imbasnya. Pada akhirnya, kami duduk santai di kursi masing-masing di ruang pengajar untuk memuaskan nafsu duniawi.
*Teng tong teng tong
Bunyi tanda ujian dimulai telah bergema di penjuru akademi. Untunglah Vani berhasil menghabiskan sarapannya sebelum lonceng bergoyang. Ia segera mengambil lembaran bagiannya dan berlari menuju ruang ujian yang telah ditentukan. Tugasku di sini telah usai, waktunya untuk kembali ke tempatku yang seharusnya. Tidur dan bersantai di rumah tanpa ada gangguan dari siapapun.
• Ruang Ujian
Salah satu ruangan yang digunakan untuk ujian tahap pertama sudah penuh oleh peserta di tiap kursinya. Peserta ujian yang berada di kelas yang akan dijaga oleh Vani sudah dipastikan hadir seluruhnya. Masing-masing kelas diisi oleh dua puluh peserta saja agar pengawas ujian seperti Vani tidak akan kesulitan untuk memantau peserta saat ujian sedang berlangsung. Ketika Vani memasuki ruangan mereka mendadak terdiam dan memandang lurus ke depan.
"Saya pengawas ruangan ini. Nama saya Lavani Kaneishia Trika, mohon kerjasamanya". Dia tersenyum bukan ditujukan pada peserta ujian, melainkan ia masih terbayang-bayang dengan kesempatan dimana kami bisa makan berdua disaksikan oleh pengajar yang lain.
Lembaran soal mulai dibagikan satu persatu dari sisi kanan dekat dengan pintu masuk. Peserta menerimanya dengan mempersiapkan nyali terlebih dulu sebelum memutarbalikkan lembaran soal. Tatapan serius penuh ambisi hingga menelan ludah pun terasa berat. Sampai ketika lembaran terakhir selesai dibagikan, dentingan lonceng mengguncang jiwa raga dan pikiran peserta yang bersemangat dengan pensil di tangan kanan dan lembar soal di tangan kiri.
"Ujian tahap pertama, dimulai!"
Ketegangan di antara peserta hanya berjarak satu meter dengan lainnya. Mereka fokus mengerjakan mempertaruhkan hidup-mati, harga diri dan waktu yang telah mereka habiskan demi mencapai tahap ini. Bukan sembarang orang bisa mendaftar di akademi ini, bukan masalah materi atau kekuatan, melainkan kepercayaan diri seseorang yang sudah diuji sebelum pendaftaran dilakukan. Bukti bahwa akademi ini benar-benar ketat dalam melakukan seleksi menghasilkan para murid baru yang berkualitas, bukan kaleng-kaleng. Itulah mengapa mereka yang merasa dirinya bodoh, lemah, dan pesimis memilih untuk lari sebelum berperang. Hal itulah yang menjadikan tiap seleksi dilaksanakan dijadikan sebagai tolak ukur kualitas murid-murid yang ada di wilayah Kerajaan Ardiya ini. Sekaligus sebagai tontonan rakyat ketika ujian tahap kedua dilaksanakan.
Beberapa menit berlalu semenjak lonceng menggelorakan suara jiwa yang membara. Goresan-goresan pensil memenuhi lembar jawaban. Tangan kanan peserta menari di atas panggung putih meleak-leok dengan anggun. Satu persatu huruf ditulis, bergabung menjadi kata-kata dan terbentuklah kalimat yang padu. Gambaran masa depan akan belajar di akademi menjadi penyemangat individu dalam pengerjaannya. Vani yang bertugas sebagai pengawas ujian mulai berkeliling dari depan ke belakang melalui jalur kanan dan diakhiri melalui jalur kiri. Sesekali ia berhenti dan duduk di kursinya sendiri.
Pada lembar soal terdapat salah satu soal yang memiliki jawaban amat mendasar. Tertera di soal nomor pembuka bertuliskan "Apakah Tenaga Dalam itu?". Sebuah pertanyaan pasaran dengan jawaban pasaran akan tertuang pada lembar jawaban, tapi bukan itu yang dicari oleh akademi. Mencoba tuk mencari murid dengan pola pikir yang berbeda bisa menambah atau merubah persepsi seseorang mengenai salah satu keajaiban dunia yang diberikan oleh alam kepada umat manusia. Terdapat variasi jawaban yang pada intinya sama, sekali lagi bukan itu yang dicari. Tentunya semua pihak pasti mengetahui tentang pengertian dasar persoalan tersebut. Mereka pasti akan menganggap remeh akannya dan justru itulah yang akan menjadi jawaban penentu tiap peserta dalam mendapatkan poin yang maksimal di ujian tahap pertama ini. Terdapat dua puluh lima soal uraian yang harus dikerjakan dan hanya beberapa soal saja yang sebenarnya jika dijawab sesuai yang diinginkan oleh akademi terkait sebuah jawaban baru yang tidak melulu terpaku pada ajaran dasar lah yang akan dengan mudah mendapat poin banyak pada ujian tahap pertama.
"Energi yang dapat digunakan untuk melarikan diri dari kejaran babi hutan dan mengejar jambret di pasar". Sebuah kalimat yang tidak biasa tertulis pada lembar jawaban milik salah satu peserta ujian. Ia memakai topeng dan jubah. Jawabannya tidak berfokus pada teori dasarnya melainkan kepada pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari. Meski di soal lainnya ada yang meminta penjelasan apa saja yang telah dilakukan oleh peserta selama menggunakan tenaga dalamnya, tapi ia tetap pada jawaban pertamanya dan tak berpikiran untuk mengubahnya.
*Teng teng teng
"Waktu pengerjaan selesai!"
Peserta ujian yang telah selesai mengerjakan lebih awal tidak diperkenankan untuk meninggalkan ruang ujian sampai lonceng berikutnya berbunyi dengan harapan mereka bisa memeriksa jawabannya berulangkali apakah ada yang dirasa salah atau tidak. Lembar soal beserta jawabannya dibalik dan diletakkan di mejanya masing-masing. Peserta keluar ruangan secara bergiliran, ada yang berada di lorong membahas tentang ujian barusan dan ada juga yang langsung pulang karena tak satupun yang dikenalnya untuk sekadar berbagi kelu kesah saat ujian. Laksha adalah salah satu dari mereka yang langsung pulang.
Vani yang menjadi pengawas mengambil satu persatu lembar soal dan jawaban peserta. Gelombang kedua baru akan dimulai sekitar dua jam lagi. Dalam rentang waktu tersebut para pengawas menggunakannya untuk mengoreksi jawaban peserta. Mereka melakukannya di ruang pengajar. Wakil Kepala Akademi mengawasi langsung saat pengoreksian dilakukan untuk menghindari adanya kecurangan yang dilakukan oleh pengawas agar tidak membenarkan jawaban yang salah supaya peserta mendapat poin yang tinggi.
•Penginapan
Bulan siang kini telah bergulir di atas kepala. Pasca menyelesaikan misi tahap pertama pada gelombang satu sukses dilaksanakan, dengan riangnya ia kembali ke penginapan serasa tanpa beban di dipundaknya. Dijumpai tak sedikit muda-mudi berseragam lengkap berjalan menuju satu arah yang sama, ada yang sendiri ada juga yang berempat kaki. 'pun begitu Laksha tak begitu terpaku pada kesendiriannya dengan terus melangkah acuh. Dua pintu kayu ternganga mempersilahkan sesiapa masuk ke dalamnya, seorang pemuda dengan topeng yang tak asing duduk di ruang tamu penginapan. Seolah memaksa lupa, ia memilih untuk mengambil tangga lain yang tidak biasa Laksha lewati. Itu karena aku bisa memergokinya saat ia lewat tanpa suara.
"Oi, gadis bertopeng!" Jika dia kira rencana murahan seperti itu bekerja untukku, aku akan melepas topeng ini dan menunjukkan wajahku pada rakyat.
Berhenti membeku menyadari dirinya telah tertangkap basah hendak menghindari penagih hutang. Mengusap-usap kepala belakang dengan tawa yang setengah jadi membuat alasan seolah ia tak tahu keberadaanku yang sudah sejak tadi duduk santai di sini. Hanya kami berdua yang ada di beranda penginapan berhadap-hadapan selama beberapa detik sebelum Laksha memutuskan untuk benar-benar pergi ke kamarnya mengambil kepingan emas untukku. Tangan putihnya terlihat saat menyerahkan sekantong kecil berisikan emas padaku. "Dia mungkin putri orang tajir, atau bahkan seorang bangsawan". Dengan begini urusan hutang piutang beres, tak ada lagi alasan aku harus berlama-lama berada di sini.Berjejer tegak kaki menopang tubuh beranjak pergi meninggalkan persinggahan musafir. Terik yang menggila melepuhkan jiwa muda yang biasa orang seumuranku miliki. Selagi aku baru saja mendapat uangku kembali, mungkin lebih afdol kalau pulang naik kereta kuda saja. Meski akan menguras kantong kecil ini, itu lebih baik daripada menguras tenagaku.
"A-anuu..." Seorang gadis muncul dari tangga.Mengenakan tudung kesukaannya, turun dari tangga sebelah kiri penginapan dengan seragam layaknya orang akan berangkat ke akademi. Tapi sebenarnya dia juga peserta seleksi masuk Akademi Aryasetya sama seperti Laksha. Perlahan menuruni tangga bak putri raja, satu per satu kaki menurun anggun, tangan kiri yang memegang kayu pembatas, pandangannya yang tertunduk penuh kemaluan memancarkan aura yang tak biasa disandang oleh kalangan rakyat biasa.
Gelombang satu selesai, gelombang dua pun datang. Rhea dengan gilirannya setelah ini rupanya sudah bersiap menuju akademi. Saling sapa dan lewat begitu saja tanpa obrolan panjang. Waktu yang tak bisa memanjang namun bisa memendek memaksanya harus bergegas. Aku sedikit meragukan apakah ia sanggup untuk meluluskan diri atau menggugurkan diri nantinya. Hasil ujian akan keluar satu minggu lagi, masih menyisakan banyak waktu untuk mendebarkan jantung para peserta.
Terlintas gambaran gadis resek yang hampir menguak sosok dibalik topeng Laksha tadi pagi saat sarapan. "Mungkinkah dia kebagian gelombang dua? Atau tiga?" Gadis itu tidak menampakkan wujudnya bahkan sampai Rhea pulang dan gadis-gadis lain dengan jatah sore mulai berlari. Bisa jadi ia berbohong soal keikutsertaannya, bisa jadi pula ia berangkat mengendap-endap seperti tikus yang menelusuri celah-celah rumah untuk dimasuki. Gadis itu serius menerapkan keteguhan hati sebagai seorang Lakon.
Mereka yang telah usai mengikuti tes berganti pakaian dan saling membaur satu sama lain di luar kamar. Bersandar pada pembatas kayu tawa-tawa kecil bertukar pengalaman apa yang baru saja mereka lalui. Beberapa penghuni lain ada yang memilih menghabiskan sore dengan menjelajah labirin kota bak mencari harta karun di sebuah goa terpencil. Sudah satu hari setengah Laksha berdiri di sana tak satupun gadis yang mendekatinya. Tak satupun. "Anu..." Tak satupun ada yang mendekat padanya. "Anu!"
"Berisik, tahu!" Gadis itu mendapat semprotan mentah dari gadis yang sedang berharap pada langit untuk bersenang-senang namun tak ada yang mengajaknya. Ada Rhea di sana yang bersiap selama puluhan menit hanya untuk berkata "Anu". Begitulah Laksha, kadang ia perhatian padanya kadang juga tidak. Menganggap bahwa Rhea adalah sebuah eksistensi yang tidak pernah ada di dunia. Dalam kurun waktu yang lama, lama sekali, Rhea hanya berdiri di sana memandang kaki Laksha. Satu menit serasa satu jam. Semut yang mencari gula, ia tak lagi bisa menahan rasa risih yang menyerbak dari kulit dinginnya.
"Apa maumu, Gadis Kikuk?" Laksha menoleh dengan mata setengah mati. Seolah menguji keberanian Rhea untuk buka mulut menghadapi sang penguasa angin yang menatap mukanya. Bukan suatu bentuk kesopanan ketika berbicara tapi tak saling pandang, Laksha bukanlah majikan atau atasannya, tak ada alasan jika ia harus terus menerus bersikap seperti bawahan yang berhormat. Semakin malu semakin menurun tudung yang menutupinya. Sedikit namun terasa banyak hal yang telah mereka berdua lalui baik kemarin maupun hari ini. Tidak etis lagi jika Rhea memperlakukannya seperti itu, meski kurasa Laksha tidak akan banyak protes melihat situasi hatinya yang sedang berombang ambing. Lelah menunggu balasan yang tak kunjung tiba, ia menghadapkan kembali pandangannya ke langit jingga.
"Apa-aakah kau ma-ma-mau berkeli-ling kota bersamaku?" Ciri khas jeleknya masih belum hilang, tapi itu melambangkan betapa kuatnya keinginannya untuk mengajak Laksha jalan keluar. Mata Laksha tersengat mendengar ajakan yang demikian frontal, bisa disaksikan kini giliran Laksha yang dibuat gundah olehnya. Iya 'kah tidak, setuju 'kah menolak, yang pasti pilihan yang akan ia tentukan menjadi keputusan penting terkait nasib malangnya yang begitu akut melebur bersama jeruk. Awan berlalu mengacuhkan dirinya, dua burung sedang asik bermesraan di atas genting, mereka menikmati hidup yang singkat di sore hari. "Terserahmu". Keluar sudah, jawaban pasrah namun penuh hasrat dari mukanya yang malu-malu kucing. Rhea mengangkat wajahnya tanpa dketahui olehnya dan menampakkan mata yang sedang berbinar, tersenyum lalu kembali menundukkannya. Sekali lagi sebuah hubungan benang merah mulai terjahit lagi, seutas-seuntai saling berimpitan tak membuat celah sedikitpun diantara mereka.
• 14 Telu 680 Danindra - Akademi Aryasetya
Ujian tahap kedua dilaksanakan di arena milik akademi yang terletak tepat di sebelahnya. Melingkar membungkus orang-orang yang mulai berdatangan duduk di tribun penonton. Untuk ujian tahap kedua ini tidak ada yang namanya gelombang-gelombangan. Semuanya campur menjadi satu di bangku peserta menunggu giliran mereka untuk unjuk gigi di hadapan penonton. Kebanyakan dari mereka adalah wali murid yang menyaksikan langsung putra dan putrinya beraksi demi memperebutkan kursi di akademi yang terpandang ini. Sebelum ujian dimulai, pihak akademi meminta peserta untuk apel terlebih dulu dengan Kepala Akademi sebagai pembicara dan sekaligus ia yang akan menyatakan ujian tahap kedua ini dimulai.
Tidak sedikit juga murid-murid akademi yang sedang menganggur ikut membaur sebagai penonton. Tentunya mereka tidak memakai seragam akademi, itu sebabnya banyak yang tidak menyadarinya. Mengamati antusiasme dan potensi yang akan peserta tampilkan mengeluarkan hasrat keingintahuan mereka yang haus akan ilmu dan teknik bertarung. Selain itu hadir juga tujuh orang perwakilan murid akademi yang menyandang julukan Pujangga Barat. Kemungkinan mereka ditugaskan oleh kepala atau wakil kepala untuk ikut serta memberikan nilai pada peserta ujian. Sayangnya, aku tidak ikut serta di dalamnya. Bermalas-malasan di rumah sudah menjadi tugasku yang ditawarkan langsung oleh Kepala Akademi beberapa waktu yang lalu.
Apel dimulai, lembaran bagan diberikan kepada para peserta. 450 peserta yang ada dibagi menjadi 9 kelompok A-I. Laksha kebagian kelompok B, Rhea berada di kelompok D, gadis Lakon masuk ke dalam kelompok C, dan gadis bangsawan itu masuk ke kelompok A. Mereka saling beda kelompok, apakah tangan Dewa bertindak? Dengan sistem pembagian kelompok seperti ini, mereka tidak akan bisa saling bertemu nantinya. Tidak akan ada cerita mereka akan saling adu tenaga dalam maupun adu jotos. Beruntunglah mereka. Setelah apel selesai mereka bersegera untuk berkumpul dengan kelompok masing-masing. Belasan orang yang akan bertanding dipersilahkan duduk di bangku peserta yang ada di bawah tribun, sedang sisanya ikut bercampuraduk di tribun penonton.
Pertandingan pertama dimulai dari kelompok A dan kelompok B. Untuk mempersingkat waktu ujian, arena yang digunakan dibagi menjadi dua. Ujian ini bukan soal siapa yang menang dan memiliki nafsu membunuh paling tinggi, melainkan dinilai dari teknik bertarung sederhana yang digunakan selama pertandingan. Itulah sebabnya tidak perlu menggunakan arena secara penuh demi pertarungan penghabisan. 10 orang dari kelompok A dan 10 orang dari kelompok B, akan ada 5 pertandingan yang akan berlangsung untuk 3 menit ke depan. Ya, 3 menit! Hanya 3 menit waktu yang disediakan oleh akademi. Mungkin ini terdengar remeh, tapi sekali lagi pihak akademi tidak peduli siapa pemenangnya di tiap kelompok, melainkan poin yang didapat dari teknik yang digunakan peserta. Satu hal lagi, ini bukan pertandingan antar kelompok. Maksudnya, anggota kelompok A hanya akan melawan sesama anggota kelompok A sesuai bagan yang telah dibuat. Jadi bukan pertandingan antara anggota kelompok A melawan anggota kelompok B. Inilah mengapa tadi aku mengatakan kalau mereka berempat tidak akan pernah bertemu dan bertanding.
Pertandingan pertama pun sudah berlangsung. Empat peserta saling adu kekuatan tenaga dalam mereka. Cahaya melawan listrik dan tanah melawan angin. Berbagai serangan diluncurkan ke masing-masing lawan. Jaring listrik, tombak tanah terlempar sana sini. Pengguna kekuatan cahaya hanya bisa bertahan dengan terus menghindar. Sedang untuk pengguna angin juga enggan untuk takluk di tangan tanah yang selalu diinjak-injak oleh manusia. Masing-masing dari mereka tahu bagaimana cara untuk memberikan perlawanan pada musuh yang ada di depannya. "Tidak ada kawan dalam arena" adalah kalimat yang selalu digunakan dalam situasi seperti ini. Tidak peduli seerat apa jalinan pertemanan seseorang, tapi saat beradu di arena, mereka adalah musuh. Pertandingan pertama untuk kelompok A dimenangkan oleh pengguna kekuatan listrik, sedang untuk kelompok B diraih oleh pengguna angin. Sekali kutegaskan kembali bahwa penilaian pada ujian tahap kedua ini berdasar pada penggunaan teknik, bukan siapa yang menang dan yang kalah.
Pertandingan selanjutnya berjalan dengan lancar. Soal cedera sudah biasa, tapi tidak sampai menimbulkan luka berat, karena beberapa hari setelah ini akan diadakan ujian tahap ketiga berupa wawancara yang harus dihadiri tiap peserta dan tidak boleh diwakilkan.
Tiba sudah giliran Si Gadis Bangsawan yang sempat berkonflik dengan Rhea dan Laksha. Lawannya adalah perempuan pengguna kekuatan listrik. Dari awal sudah bisa ditebak bahwa posisi gadis tersebut sangat diuntungkan. Asal ia berhasil membuat tubuh lawannya bermandikan air, maka tidak akan sulit lagi baginya untuk mengakhiri pertandingan. Itulah tujuan yang gadis tersebut pikirkan. Kini mereka telah bersiap saling berhadapan di arena. "Pertandingan dimulai!"
Serangan pertama diluncurkan oleh pengguna listrik terlebih dulu. "Panah Sagitarius" Sebiji anak anak panah melesat dari busurnya dengan kecepatan tinggi mengarah ke gadis bangsawan tersebut. Bukan hanya kecepatan lesatan anak panahnya saja yang membuat penonton ternganga tak bisa mengikutinya, tapi juga gerakan tubuh gadis tersebut juga tidak kalah cepat. Tepat setelah huruf "i" terucap dari mulut wasit, ia dengan sigap membuat busur dari listrik beserta anak panahnya begitu saja. Hanya segelintir orang saja yang sanggup melihat pergerakannya dengan jelas.
Sayangnya, serangan pembuka itu mampu dihindari oleh gadis bangsawan. Hampir sekali listrik yang padat tersebut mengenai jantungnya. Andaikan ia terlambat menghindar sepersekian detik saja, pastilah tubuhnya telah tergeletak di arena. Gadis listrik itu benar-benar berniat ingin menyiderai lawannya, bahkan mungkin berniat untuk menghabisi si gadis bangsawan dengan sekali serang. Sungguh keterlaluan sekali padahal dalam peraturan yang berlaku tidak diperkenankan untuk saling bunuh-membunuh. Gadis bangsawan hanya mengerenyitkan matanya dan segera memberikan perlawanan. "Kurungan Gelembung!" Bermunculan butiran-butiran air dengan cepat mengumpul dan melingkar membentuk seperti bola air yang setinggi dua meter. Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, ia berniat untuk mengunci pergerakannya agar lawannya enggan untuk menggunakan listriknya lagi. Namun, apa dikata serangannya yang lamban dengan mudahnya dihindari oleh gadis listrik. Sebelum kurungan air terbentuk dengan sempurna, terdapat celah di bagian atas dan ia melompat keluar melaluinya.
"Cih!" Lawannya cukup tangguh juga, tidak bisa jika tidak melawannya dengan serius. Waktunya hanya 3 menit, kini sudah berlalu 35 detik. "Pergerakanku cukup lambat, aku tidak bisa mengandalkan kecepatan dalam pertarungan ini". Gadis bangsawan itu mencoba bertaruh dengan pertarungan jarak dekat. Tujuannya masih tetap sama, dan untuk mencapainya dibutuhkan kecepatan yang setidaknya setara dengan lawannya.
Gadis bangsawan itu lantas berlari mendekat dengan pergerakan zig zag. Itu dapat mengantisipasi adanya serangan panahnya. Secara fisik gadis itu memiliki tubuh yang tidak lemah. Semangat juangnya tercermin jelas dari raut wajahnya. Dalam hitungan detik dia sudah berhasil mendekati lawannya. "Aliran listriknya bersumber dari telapak tangannya, kalau begitu..." Gadis bangsawan itu menjalarkan tangannya berusaha menggenggam tangan lawannya. "Bantalan Gelembung!" Bulatan air menyelimuti tangan kiri si gadis listrik. "Dengan begini, satu tangan sudah kuatas-"
"Kena, kau!"
*Eh?
"Lilitan Rantai!" Gadis itu tersenyum jahat. Sebuah rantai bertegangan tinggi muncul dari telapak tangannya dan segera melilit ke tangan kanan Si Gadis Bangsawan. "Aaaaaaaaaaaaa!!!" Percikan listrik berwarna keunguan mencoba mengakar ke udara lepas disertai jeritan ganas yang dililitnya. Tak bisa lepas. Saat tubuh terkena listrik bertegangan tinggi, maka semakin sulit bagi otak untuk mengendalikan syaraf pada tubuh. Sebuah kesalahan besar telah dibuatnya, inilah yang dimaksud dengan resiko. Memilih pertarungan jarak dekat dengan seorang Sakti pengguna listrik adalah kesalahan besar. Gadis bangsawan tersebut pasti tidak mengira kalau tubuh dari lawannya tersebut kebal terhadap listrik.
Ia masuk ke dalam lubang yang telah dibuat lawannya. Serangan pembuka tadi sebenarnya hanyalah uji coba semata untuk memastikan seberapa cepat pergerakan lawannya. Selain itu juga ia menunggu serangan balasan dari panahnya tersebut, sehingga si gadis bangsawan pun terpancing dan melakukan serangan balasan. Pada awalnya, ia tak tahu elemen jenis apa kekuatannya si gadis bangsawan, tapi dengan adanya serangan "Kurungan Gelembung" ia bisa memastikan kalau lawannya adalah pengguna air. Dari situ pula ia menyadari kalau serangan si gadis bangsawan cukuplah lamban, kemudian dia berasumsi kalau si gadis bangsawan pasti memiliki rencana selanjutnya. Dia juga berpikiran seandainya Si Gadis Bangsawan menyadari akan kelemahan dirinya, maka ia akan mengganti cara bertarungnya dan terjadilah serangan jarak dekat. Si Gadis Listrik sudah memikirkan semua perkiraan yang akan terjadi berikutnya, ia sudah bersiap diri. Hingga akhirnya serangan si gadis bangsawan datang dan berhasil dimanfaatkan olehnya untuk melumpuhkan sekujur tubuhnya. "Cukup!" Wasit yang mengawasi jalannya pertandingan memberikan tanda berakhirnya pertandingan ini. Gadis bangsawan sudah terbujur kaku jatuh telungkup di depannya. Dengan begini, pertandingan berakhir, dimana si gadis listrik yang keluar sebagai pemenangnya. Tak lama setelah itu, tim medis datang dari tepian menuju tengah arena untuk mengamankan si gadis bangsawan dan dibawanya ke ruang pemulihan.
Pertandingan terus berlanjut. Matahari yang semakin meninggi diikuti oleh teriakan yang tinggi pula. Satu persatu peserta turun dari tribun penonton menuju tempat duduk peserta sebelum akhirnya mereka saling beradu di arena. Pertandingan yang selang-seling membuat jalannya pertandingan terbagi rata. Sebelum istirahat siang, Rhea lah yang menjadi pertandingan penutupnya. Sejak awal tadi, Rhea duduk di samping Laksha, dan kini ia sudah berdiri di arena. Lawannya adalah seorang lelaki berambut hijau sebahu. Masih belum diketahui jenis kekuatan apa yang lawannya miliki. Jangankan lawannya yang tak pernah berjumpa sekalipun, Laksha sendiri tidak mengetahui jenis kekuatan Rhea, padahal beberapa hari ini mereka sering terlibat dalam masalah, dan tak pernah sekalipun Rhea menampakkan kekuatannya. Dengan adanya pertandingan ini, rasa penasaran akan hal tersebut akan lenyap saat wasit mengeluarkan aba-abanya.
"Mulai!"
Langkah mundur dilakukan oleh Rhea, memasang kuda-kuda seperti orang yang tidak akan maju dan lebih memilih tuk bertahan. Lawannya masih belum memberikan perlawanan, tapi sedikit langkah ke depan dilakukannya perlahan. Beberapa detik berlalu masih belum ada serangan pembuka. Rhea seperti biasa, bukannya memperhatikan gerak-gerik musuh melainkan menundukkan kepalanya, sedang lawannya sejak tadi terus dengan fokus tertinggi menganalisa musuh yang ada di depannya. Setelah dirasa yakin, akhirnya pertandingan yang sebenarnya dimulai. "Retakan Bumi!" Lelaki itu ternyata tidaklah bodoh. Menggunakan serangan jarak jauh untuk mendapatkan data terlebih dulu soal karakteristik lawannya. Hal ini sama persis dengan apa yang dilakukan oleh Si Gadis Listrik yang melawan gadis bangsawan tadi. Dalam pengamatan, ada tiga hal penting yang harus dipahami. Pertama adalah bagaimana ia menghindari serangan, itu yang baru saja lelaki itu ingin ketahui. Kedua adalah bagaimana cara lawannya bertahan, lelaki itu berusaha mendekat setelah Rhea menyingkir beberapa meter dari serangan yang dilancarkan, dan yang ketiga adalah bagaimana pola penyerangan lawannya. Lelaki itu ternyata ahli dalam beladiri. Pukulan-pukulan tak berjeda berusaha disarangkan ke wajah Rhea. Tak disangka Rhea berhasil menghindari semua serangan yang ditujukan padanya. Ia hanya menghindarinya saja, bahkan kedua tangannya pun hanya memegangi tudung yang dikenakannya. Terkejut Laksha melihat kejadian tersebut, dengan santainya Rhea bisa melakukan hal seperti itu.
Data kedua terkait bagaimana seseorang bertahan memang belum didapatkan karena Rhea hanya menghindar saja. Lelaki itu dikejar oleh waktu, bagaimanapun ia berambisi untuk mengalahkan perempuan yang sudah meremehkan kekuatannya hanya dengan menghindar saja tanpa ada satu pukulan yang berhasil mengenainya. Kepala yang dimakan oleh teriknya matahari, kesabaran lelaki itu sudah habis. Tidak ada artinya jika pertandingan berakhir tanpa ada yang kalah tak berkutik. Ia mengambil langkah terakhir dengan menjaga jarak dengan Rhea. Mengambil napas dalam-dalam lalu memukul tanah tak berdosa. Tanah yang semula tertidur mendadak berguncang dan dengan cepatnya tanah yang dipijak Rhea memukul ke atas mementalkan Rhea begitu tinggi sampai keluar arena. Pertandingan berakhir dengan lelaki itu sebagai pemenangnya. Beberapa penonton yang dijatuhi Rhea dengan kesadaran diri membawa Rhea menuju ruang pemulihan. Pertandingan untuk kelompok D ditutup oleh kekalahan Rhea. Seseorang memberikan sinyal bahwa pertandingan akan rehat selama 30 menit untuk istirahat siang. Penonton mulai berhamburan beserta peserta ujian pula. Hari ini adalah hari spesial, banyak orang sudah mengetahui kapan ujian dilaksanakan. Alhasil banyak warung dadakan beralaskan tikar digelar di depan akademi. Meski kantin akademi dibuka, itu tidak akan mencukupi banyaknya orang yang sedang meraung kelaparan.
Bagian 5 - Pulang
• 17 Telu 680 Danindra – Akademi Aryasetya
"Peserta selanjutnya!"
Ujian tahap ketiga sudah berlangsung dua jam lebih. Terdapat tiga ruangan yang digunakan untuk sesi wawancara. Tiap ruangan berisi tiga pengajar akademi yang siap mencecar peserta dengan banyak pertanyaan. Lagi-lagi mereka berempat berada di ruang yang berbeda, kecuali Laksha dan Rhea yang mendapatkan ruang yang sama, hanya waktu saja yang membedakan kapan giliran mereka akan tiba. Sepintas, Laksha teringat dengan sebuah kejadian yang membuatnya harus memasuki ruang interogasi penjaga kota. Sudah seminggu berlalu, tapi rasa kesal menghampiri sesaat. Mereka yang juga sama-sama mennnggu giliran asik berbincang dengan kawan mereka. Ya, mereka tidaklah sendiri, tidak seperti Laksha yang merantau tanpa satupun yang dikenalinya. "Hei, apa yang ditanyakan oleh mereka?" Salah satu dari kawannya baru saja keluar dari ruang interogasi dan langsung diapit kawannya yang menunggu di luar. Tidaklah lama tiap peserta mendekam di ruang tersebut, sekitar satu sampai tiga menitan saja. Itu pertanda kalau pertanyaan yang diberikan mungkin tidak terlalu banyak, satu atau dua pertanyaan sepertinya. Meski begitu jika dihitung secara keseluruhan bisa memakan waktu hingga tujuh jam setengah. Beruntunglah mereka yang memiliki huruf "A" sebagai pembuka nama mereka. Laksha berawalan "L" dan Rhea "R", sudah bisa dipastikan kalau mereka akan mendapatkan giliran setelah istirahat siang. Berbeda dengan ujian tahap kedua sebelumnya yang diacak, sesi wawancara ini diurutkan sesuai huruf pertama pada nama peserta setelah dibagi menjadi tiga bagian. Mereka berdua sampai menyesal datang ke akademi dengan penuh semangat. "Candra Putra Dwika silahkan masuk!". Masih dari huruf "C", masih lama. Laksha kemudian berinisiatif untuk jalan-jalan menelusuri akademi, siapa tahu dia akan lolos ujian... Tidak, tapi dia memang harus lolos ujian.
Akademi ini berbentuk persegi panjang dengan bagian tengahnya adalah taman, mirip seperti penginapan yang mereka tinggali saat ini. Sungguh indah rupawan taman tersebut, terlihat sangat terawat dengan baik. Terdapat dua pohon yang menjulang tinggi dengan dahan yang merebak memakan lahan di udara. Bayangannya meneduhkan mereka yang sedang duduk-duduk bahkan ada yang tiduran di bawahnya menikmati udara segar selagi bisa. Taman ini pun tak kalah ramainya dengan kantin yang sudah mulai diserbu peserta. Laksha dan Rhea yang sudah mengisi perutnya disaat yang lain masih sibuk berkerumun di dekat ruangan memilih untuk menyandarkan punggung mereka ke dada kursi yang terbuat dari kayu. "Humm... Ahhhh..." Laksha mengeluarkan beban dari tubuhnya dengan sekali tarikan napas yang dalam. Semakin panas cuaca yang ada, maka semakin segar pula udara yang dihasilkan oleh pepohonan. Dia dengan pasrahnya memejamkan mata tanpa rasa cemas sedikitpun. Istirahat berlangsung selama tiga puluh menit, mungkin tidak ada salahnya membiarkan Laksha tertidur sejenak. Rhea yang berpikiran seperti dengan sukarela menunggunya sampai ia terbangun dengan sendirinya, atau ia yang akan membangunkannya sekiranya istirahat sudah selesai namun ia tak kunjung bangun. Pada saat itu, dunia terasa begtu tentram sekali. Mungkin saja selama beberapa hari ini Laksha sudah tidak memikirkan tujuan hidupnya selama ini. Alasan mengapa ia bersedia untuk menerima keputusan Ayahnya untuk belajar di Akademi Aryasetya.
"Laksha Kara Catura silahkan masuk!" Akhirnya setelah penantian berjam-jam terbayar lunas. Namanya dipanggil untuk ikut serta ke dalam ruang antah barantah. Tak diketahui siapa tiga sosok misterius penjaga ruang tersebut. Singa 'kah? Gagak 'kah? Atau kucing? Semua akan terjawab saat pintu tersebut dibuka.
*Ngeeekk (Pintu terbuka)
Cahaya bersinar terang menghasilkan tiga siluet yang nampak sedang duduk berjejer di depan jendela. Laksha yang mengerenyitkan mata berusaha menghalau sinar Dewa itu masuk membutakan penglihatannya. Berjalan masuk ke dalam ruangan, silauannya mulai meredup. Sedang duduk di sana tiga pengajar akademi yang siap menguji Laksha dengan beberapa pertanyaan. Untuk sesaat ia hanya berdiri terdiam sebelum salah seorang dari mereka memintanya untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Canggung, atau mungkin lebih tepatnya ia khawatir dengan pertanyaan yang akan diajukan. "Apa yang harus kujawab nanti?" Matahari belum tenggelam, namun seekor ayam sudah gelisah dibuatnya. Salah satu pengajar berkacamata yang berada di kiri Laksha memulai dialog ringan dengan memastikan identitas peserta. Nama, usia, tempat tanggal lahir, alamat rumah, nama orang tua, status (bangsawan atau rakyat biasa) bahkan pendidikan yang ditempuh sebelumnya juga tidak luput dari sepaket identitas yang ditanyakan.
"Nama saya adalah Laksha Kara Catura. Saya berusia 15 tahun. Saya lahir pada tanggal 28 Papat 665 Danindra di Kota Maja. Saya tinggal di kediaman bangsawan Catura bersama orang tua dan beberapa pelayan. Pendidikan terakhir saya... Akademi Dasar kota Maja". Tak seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, rupanya ia bisa menjawab dengan lancar.
"Bangsawan Catura?" Pengajar itu mulai melakukan aksinya. Ia membuat segala sesuatu yang mudah menjadi sulit. Memastikan seolah peserta yang ada di depannya bukanlah seorang pendusta. Dia tahu soal Bangsawan Catura yang ahli dalam bidang medis. Persoalan tersebut lanjut ditanyakan pada Laksha, apakah ia ahli di bidang tersebut atau tidak. Jawaban singkat langsung keluar dari mulutnya. Ketidakbisaan seorang bangsawan mempelajari apa yang sudah menjadi keahlian marganya adalah sebuah poin minus baginya. Memang terdengar konyol jika menilai kemampuan seseorang hanya berdasarkan pada keahlian marganya, tapi tradisi tersebut nampaknya masih berlaku hingga sekarang. Pengajar tersebut tidak menindaklanjuti jawaban dari Laksha dan beralih ke pertanyaan selanjutnya, dan inilah yang paling dikhawatirkan oleh Laksha. Pengajar tersebut mempertanyakan perihal akademi dasar dimana Laksha adalah lulusan dari sana. Setiap lulusan dari akademi pasti akan mendapatkan ijazah sebagai tanda kalau orang tersebut telah belajar dan lulus dari akademi tersebut. Orang itu mencurigai kalau ijazah yang sedang dipegangnya itu adalah palsu. Tanpa bertele-tele Laksha langsung membantah kecurigaan pengajar tersebut. "Ijazah yang sedang anda pegang dan anda pertanyakan keabsahannya itu adalah asli". Pengajar itu mengakhiri dialog sampai di situ lekas berganti ke pengajar wanita di kanan Laksha.
Wanita berambut hitam itu sudah terlihat tua, mungkin berkepala empat. Sedikit garis-garis keriput menjadi retakan di wajahnya. Setelah persoalan identitas selesai, kali ini pengajar tersebut mempertanyakan soal kemampuan Laksha. Pengguna kekuatan apa, teknik apa yang dikuasai, dan perkembangan saat berlatih. Bagi seorang Laksha yang tiap malam selalu berlatih tanpa absen, pertanyaan itu sangatlah dengan mudah dijawabnya. Dengan lancar ia menjawab satu persatu persoalannya. "Saya adalah pengguna kekuatan angin. Teknik yang paling saya kuasai adalah melarikan diri. Soal perkembangan latihan saya, memang tidak langsung naik signifikan, hari demi hari saya terus berlatih dan merasa hari ini lebih baik daripada kemarin". Penjelasan yang singkat, padat, jelas, dan positif. Menumbuhkan kembali kepercayaan diri yang sesaat sempat luntur. Wanita itu membalas jawaban Laksha dengan rasa heran "Melarikan diri?" Laksha segera menceritakan sedikit kisah soal dirinya yang sering diburu oleh pelayannya untuk makan siang di rumah. Itulah sebabnya mengapa ia sangat ahli dalam melakukan pelarian. Dibanding dengan jawaban peserta lain, mungkin jawaban yang dilontarkan oleh Laksha adalah jawaban yang paling menyepelekan sesi wawancara ini. Tiap orang pasti akan memberikan jawaban sebagus mungkin seolah dirinya adalah yang terhebat dari peserta lain, tapi sayangnya tidak dengan Laksha yang lebih memilih menjawabnya dengan jujur terkait teknik yang paling dikuasai dan sering digunakannya tersebut. Hanya itu yang ditanyakan olehnya.
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa hari penentuan yang mendebarkan datang begitu saja. Meski kemarin Laksha mampu menjawab pertanyaan dengan baik, mampu memenangkan pertandingan, dan menjawab semua soal di lembar jawaban. Dalam benaknya ia masih ragu mungkinkah semua yang dilalui berjalan begitu mulus tanpa hambatan yang berarti? Akademi sudah ramai akan sekumpulan orang yang penasaran apakah namanya ada pada daftar orang yang selamat atau celaka. Gadis bangsawan juga sudah ikut berkerumun di sana beserta dua bawahannya. Si Gadis Lakon dengan menyamarkan hawa keberadaannya dia diam-diam menyelinap menuju bagian terdepan. Mereka mengerumuni dua buah papan yang terletak di halaman depan akademi. "Oi, namaku tertulis di sana!" "Namaku juga, uhuy!" Berbagai sorakan kemenangan dan jeritan kemalangan campur aduk menjadi satu mewarnai indahnya pagi di bawah langit biru. Segukan tangis para gadis yang tidak lolos menjadi lagu kesedihan yang meratap. Laksha yang mulai ditarik magnet haus akan sebaris nama ikut menyelami lautan manusia. "343... 343... 343... Ah, ketemu". Nomor peserta ujian milik Laksha tertulis dengan jelas di papan pengumuman yang berada di urutan 89. Dari 450 pendaftar, 100 peserta yang lolos, ia berada sedikit di atas dari jumlah peserta yang diterima. Itu sangat bagus, ia berhasil mengalahkan 356 peserta yang juga telah berjuang dengan penuh semangat. Akhirnya, ia bisa pulang membawa kabar gembira. Si Gadis Bangsawan berhasil lolos dan berada di peringkat 90, tanpa diundang Si Gadis Lakon memberitahu pada Laksha yang sedang berdiri di sana bahwa dirinya juga berhasil lolos dengan menduduki peringkat 82, dan sebuah keajaiban Rhea juga berhasil lolos dengan mengambil jatah peringkat 87. Rhea berhasil membuat sebuah kejutan dengan mendapatkan skor yang lebih tinggi dari Laksha dan Si Gadis Bangsawan. Kabar lebih mengejutkan datang dari dua bawahan Si Gadis Bangsawan. Mereka berhasil menduduki kursi nomor 75 untuk si pengguna bayangan dan nomor 79 untuk si pengguna tanah. Sebuah kejutan sebelum awal semester dimulai.
Para mantan peserta ujian masuk Akademi Aryasetya dengan menelan gula dan kopi membubarkan diri tak lama setelah itu. Bagi mereka yang datang jauh-jauh ke kota ini segera kembali ke penginapan mereka dan segera mengemasi barang bawaan mereka. Laksha juga turut melakukan hal yang sama dengan yang lainnya. Setelah berkemas dan akan keluar penginapan, tiba-tiba kereta kuda yang tidak asing di matanya muncul begitu saja. Kereta yang sama dengan yang mengantarkannya satu minggu yang lalu untuk datang ke kota ini, bahkan kusirnya pun juga tidak berubah. "Silahkan masuk Nona Laksha". Dengan penuh sopan santun ia melayani penumpangnya dengan profesional. Meski Laksha sendiri masih kebingungan, tahu darimana kalau hari ini dan pada pukul ini ia akan berkemas untuk pulang. Wanita Resepsionis hanya bisa mengantarkannya sampai di depan penginapan saja. "Anu... Apa Si Gadis Kikuk tidak pulang ke rumahnya?" Aneh, Rhea yang sudah lumayan dekat dengan Laksha tidak menampakkan batang tudungnya yang lusuh itu saat kepergian Laksha. Wanita Resepsionis mengatakan kalau Rhea sejak awal memang sudah berencana tinggal di sini jika ia gagal dalam ujian. Jadi, semua barang-barangnya sudah dibawanya sejak kali pertama datang kemari. "Kalau begitu tolong sampaikan padanya, sampai bertemu di asrama perempuan akademi satu minggu lagi". Tali melecut kuda pun berjalan. Meninggalkan mereka dengan sedikit senyuman adalah hal yang pantas dilakukan. Sebuah misi yang telah diberikan oleh ayahnya padanya telah berhasil diselesaikan dengan baik. "Ayah, Ibu, aku pulang".