Chapter 13 - Panen

Pukul 3 pagi, adalah saat di mana ayam belum berkokok. Beberapa orang mungkin sudah bangun untuk memulai aktifitas kembali, atau bahkan baru akan tidur setelah begadang, namun Nuansa dan kedua orangtuanya baru akan memulai aktifitas mereka pada pukul 6 pagi dan bangun pada pukul setengah enam.

Ya, begitulah semuanya berjalan setiap hari, tapi tampaknya tidak untuk hari ini. Nuansa terbangun karena suara ketukan pintu rumahnya. Seorang tamu telah menanti untuk dibukakan pintu oleh siapapun yang berada di dalam.

Nuansa pun terbangun dalam keadaan yang sangat berantakan. Rambutnya kusut, air liurnya masih menempel di pipi kanannya dan disertai dengan aroma mulut khas orang baru bangun tidur. Ia tidak merapikan dirinya lebih dulu, karena ia belum sepenuhnya sadar.

Siapa yang bertamu jam segini? Hanya itu yang terlintas di pikirannya sekarang.

Dengan mata yang setengah tertutup dan kepala yang terkadang tidak tegak, Nuansa membuka pintu dan mendapati Neptunus yang tersenyum lebar menunjukkan gigi putih sebening kristalnya.

Sontak saja Nuansa kaget dengan apa yang dilihatnya barusan, ia berteriak kecil dan mengeluarkan bau mulutnya ke arah wajah Neptunus, yang tentu saja membuat Neptunus menutup kedua matanya karena bau tersebut.

Usai berteriak, Nuansa kembali masuk dan menutup pintunya. Ia pergi ke kamar mandi yang terletak di luar rumahnya untuk mencuci muka dan sikat gigi. Ia merapikan dirinya, lalu kembali membuka pintu dan tetap mendapati Neptunus dengan senyum lebarnya yang justru terlihat menyeramkan.

"Apa yang kau lakukan dirumahku pada jam segini?!" tanya Nuansa, namun Neptunus tidak menjawab dan malah mematung dengan senyumnya yang terlihat mengerikan.

"Ok ... Aku butuh anak indigo sekarang," ucap Nuansa setelah tidak mendapatkan jawaban dari Neptunus. Ia sedikit merasa takut dan risih dengan sikap Neptunus.

"Hei! Aku sedang menahan napas! Berbicara akan membuang sia-sia stok napasku." Neptunus akhirnya buka suara dengan suara yang tertahan.

"Kenapa kau-? Oh, astaga, aku sudah menyikat gigiku sekarang."

"Benarkah?"

"Haaaaaa." Nuansa dengan sengaja memberikan Neptunus bau mulutnya yang sekarang menyegarkan karena pasta giginya.

"Kau tidak perlu melakukan itu juga, sebenarnya," ujar Neptunus sembari kembali bernapas.

"Kau terlambat tiga detik untuk mengatakannya. Sekarang, katakan padaku, apa yang kau lakukan di sini pada pukul tiga pagi?! Dan bagaimana bisa kau tahu letak rumahku?"

"Humph, mudah saja. Aku ini akan calon anak seorang Detektif."

"Aku sedang serius, Neptunus."

"Aku pun serius, di mana letak guyonanku?"

Nuansa lantas melihat keluar dan melihat beberapa tetangganya sudah keluar dari rumah mereka, dan ia langsung paham bagaimana Neptunus bisa mengetahui letak rumahnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Nuansa kepada Neptunus sekali lagi.

"Kau sudah menanyakan hal itu sebanyak tiga kali dalam tiga menit, sekali lagi kau bertanya seperti itu, akan ku kurangi gajimu," ancam Neptunus.

"Itulah kenapa jawaban diperlukan setelah pertanyaan! Jawab saja aku!"

"Hei, ini masih jam tiga pagi, turunkan nada bicaramu, kau bisa membangunkan semua orang di Bumi nanti."

"Di Amerika ini masih sore."

"Iyakah?"

Nuansa terdiam. "Apa kau benar-benar orang kaya?"

"Nuansa, ada apa ini, kenapa kau berisik sekali?" tanya Durah yang keluar bersama Arfan secara bersamaan seraya mengkucek-kucek kedua mata mereka.

Neptunus lalu tersenyum melihat mereka berdua. "Halo, Bibi, Paman," sapanya.

***

Sekarang adalah pukul 7 pagi. Arfan dan Neptunus menjadi sangat akrab sekarang, mereka berbincang sampai lupa dunia. Keduanya terlihat baru selesai mandi, Neptunus bahkan hanya menggunakan kaos oblong dan celana pendek di rumah Nuansa.

Tak lama kemudian, Durah dan Nuansa datang menyajikan makanan dan teh.

"Ayo, ayo, silakan di habiskan," ucap Durah.

"Mmmm, dari baunya saja sudah sangat enak, berbeda sekali dengan bau mulut Nuansa tadi pagi," ujar Neptunus.

"Hah?" Durah tampak bingung.

"Engh, ini apa namanya, Bibi? Bisa tolong diperjelaskan satu-persatu?" Neptunus mengalihkan pembicaraan.

"Oh, tentu. Ini perkedel singkong, kami mengganti kentangnya dengan singkong. Lalu ini getuk, yang ini singkong goreng, ini keripik singkong, ini singkong rebus, ini keripik kulit singkong, dan ini sayur daun singkong," jelas Durah.

"Semua serba singkong, ya. Tidak heran kalau kalian sangat sehat."

"Jangan basa-basi. Kau tahu kalau ayahku sekarang sedang sering-seringnya sakit," sindir Nuansa.

"Hei, jangan sepelekan ayahmu, mungkin dia sedang sakit seperti yang kau katakan, tapi dia masih sangat kuat untuk memanen dan menanam singkong, itu artinya fisiknya tetap kuat."

"Terserah kau saja lah, Neptunus."

"Hmm, bisa kita mulai sarapannya sekarang?" tanya Neptunus.

"Silakan saja, ayo, makan, makan, kau pasti sangat lapar dan lelah sekarang karena sudah mengerjakan 80% pekerjaan ayahnya Nuansa di kebun tadi," kata Durah.

"Baiklah, aku coba perkedelnya dulu."

"Mmm, mmmm, mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm. Aku tidak bisa berkata-kata, ini sangat enak, Bibi. Makanan di hotel bintang lima saja kalah sama perkedel buatan Bibi," lanjut Neptunus.

"Sebenarnya semua itu buatan Nuansa, aku hanya membuat keripiknya, karena dia tidak bisa membuat keripik," ucap Durah.

"Tapi dia mengatakan padaku kalau dia tidak bisa memasak."

"Huh? Dia lebih jago memasak daripada aku, hanya saja karena dia berjualan, dia jadi lupa beberapa cara untuk memasak."

Neptunus lantas menatap Nuansa dengan mulut penuh perkedel. Nuansa memasang wajah tengil untuk Neptunus.

"Maaf karena kami hanya bisa menyajikan masakan yang sesederhana ini, padahal kau sudah datang jauh-jauh ke sini di pagi-pagi buta hanya untuk membantu ayah Nuansa panen singkong dengan sangat cepat, dan hanya ini yang bisa kami berikan untukmu. Semua ini pasti sangat berbeda dengan apa yang biasanya kau makan pada pagi hari, apa lagi tidak ada meja makan di sini, jadi pasti kau tidak terbiasa untuk makan dengan posisi duduk di bawah seperti ini," ujar Durah.

"Ah, tidak apa-apa, Bibi, malahan aku senang karena kalian melayaniku dengan sepenuh hati," kata Neptunus.

"Kami lah yang senang dengan kedatanganmu yang membantuku dengan ketulusanmu, nak. Aku tidak menduga bahwa kau orangnya seperti ini, kau sangat menyenangkan dan tidak manja sebagai orang yang dibesarkan di keluarga kaya, kau memiliki tenaga yang sangat kuat dan sangat pantas untuk mendapatkan istri yang sangat baik. Kau benar-benar baik, terima kasih untuk semuanya," ucap Arfan.

"Santai saja, Paman, ini juga menambah pengalamanku, aku bersyukur karena setidaknya pernah merasakan bagaimana rasanya bertani itu walaupun hanya sekali dalam hidupku," ujar Neptunus. Arfan kemudian hanya mengangguk-angguk.

***

Usai sarapan, keempatnya mengobrol dan membicarakan perihal rencana Neptunus yang akan membawa Nuansa seharian ini bersamanya.

"Jadi, Bibi, Paman, aku meminta izin pada kalian untuk meminjam putri kalian satu harian ini. Dia tidak akan berjualan hari ini, aku akan membawanya ke pesta ulang tahun salah satu temanku malam nanti, dan siang ini ibuku ingin berbicara lebih banyak dengannya, jadi, ya, dia tidak akan berada di rumah sampai malam." Neptunus meminta izin, Arfan dan Durah lantas saling melirik dan terkekeh setelahnya.

"Kau menggajinya untuk itu, kan? Lalu untuk apa kau meminta izin lagi pada kami?" kata Durah.

"Aku kira karena aku orang yang baru kalian kenal, kalian jadi meragukanku."

"Hahaha, tidak, tidak sama sekali, kami percaya padamu."

Neptunus tersenyum mendengar itu. "Jadi, Nuansa sudah memberikan gaji pertamanya pada kalian?" tanyanya.

"Hei! Itu sudah jadi uangku sekarang, jangan terlalu kepo," ujar Nuansa.

"Aku tidak bertanya padamu."

"Tapi ... Argh."

Neptunus lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Ini, Bibi, uang ini, gunakanlah untuk membeli makan siang dan makan malam kalian berdua." Neptunus memberikan uang senilai Rp. 500.000 pada Durah langsung ke tangan ibu Nuansa itu. Durah tentu menolak uang itu.

"Kami masih punya singkong untuk makan siang dan makan malam, nak, kau tidak perlu memberikan uang ini pada kami," ujar Durah.

"Kalau begitu, terima saja, kalau rezeki ditolak, nanti rezeki Bibi bisa seret, loh."

Durah berpikir sesaat, lalu tersenyum dan menerima uang tersebut. "Terima kasih."

Neptunus membalas senyuman itu sembari mengangguk.