Aku mengingat betul sejak kapan hubungan persahabatan kami berubah menjadi tidak sehat seperti ini. Kala itu kami masih berumur 12 tahun, baru beberapa bulan setelah kami mengenakan seragam putih-biru.
Yose umur 12 tahun adalah Yose yang nakal, badung dan langganan masuk ke ruang BP. Ia tidak mau bergaul dengan teman-teman sekelasnya, dan lebih memilih bergaul dengan senior-senior yang hobi menyelipkan rokok di dalam saku seragam mereka, Yose juga salah satunya.
Hari-hariku sibuk akibat ulahnya. Membuat surat izin palsu, menjadi loker ketika rokok yang ia bawa hampir terkena razia guru BP, bahkan ditilang polisi karena membawa motor di usia yang belum genap 17 tahun. Semua itu karena Yose.
Lalu malam itu, dua hari setelah hari ulang tahunnya, ia datang ke rumah. Mama dan Papa menitipkanku pada Yose, karena mereka harus menghadiri jamuan makan malam dari salah satu kolega Papa.
"Yos, tidur di sini aja ya, malam ini? Mama sama Papa pasti pulang larut malam. Kamu temenin Lala dulu, nanti Mama bilangin ke Mama Ine."
Aku tidak mencurigai Yose sedikit pun saat itu. Yang aku tahu, ia hanya ingin bercerita tentang pacar pertamanya, namanya Sheila. Ya, dari kami berdua, Yose lah orang pertama yang merasakan indahnya pacaran, dengan senior pula! Memang jagoan sahabatku ini.
"La, gue ada masalah, nih."
"Masalah apaan? Bukannya lo lagi seneng karena udah dapetin Kak Sheila?"
Yose mengekor di belakangku menuju kamar. "Nah, itu masalahnya, La. Karena sekarang temen lo yang ganteng ini udah dapet pacar, dan sialnya lagi cewe itu Sheila!"
"Hah? Sial gimana maksud lo?" Aku mulai penasaran. Hal apa yang sebenarnya membuat sahabatku sampai gusar begini? Bukankah pacaran itu enak? Bawaannya senang terus setiap hari. Iya, kan?
"Sheila itu senior, lebih tua dari gue. Nah—"
"Lo diancam sama salah satu senior, buat mutusin Kak Sheila?" selaku cepat. Insting detektif akibat terlalu banyak membaca novel Lima Sekawan karya Enid Blyton, membuatku tangkas dalam mengambil kesimpulan.
"Bukan, Neng. Lo, sih, motong-motong cerita aja, kebiasaan."
"Lah, terus apa dong? Kan, di novel-novel biasanya begitu. Akan selalu ada seleksi alam untuk menentukan siapa yang paling kuat. Iya, kan?"
Yose meraup mukaku gemas. "Yeh, ini anak sotoy amat. Kebanyakan ngayal ya gini, nih."
"Nih, gue bilangin, masalahnya pacar gue ngajakin ciuman," lanjut Yose dengan wajah memelas.
"Ha? Ci-ciuman?" gagapku dengan mukaku melongo.
"Gimana ya, La? Sheila kan, cantik. Semua orang kenal sama dia. Nah, karena gue lagi dalam proses merintis kepopuleran gue, dia ga boleh tau kalo gue masih—"
"Bau kencur?" potongku sekali lagi, kali ini sambil tertawa meledek.
"Masih kurang ilmu lebih tepatnya," dengusnya bersikeras tidak mau dibilang bau kencur.
"Yose culun, ih," olokku tak mau berhenti.
"Diem napa! Temen lagi susah, bukannya dibantuin, malah diledekin. Bantuin, ya?" desaknya setengah memohon. Pada detik itu, bodohnya aku masih juga tidak menaruh curiga sama sekali pada Yose.
"Ya, kalo bisa pasti gue bantu lah, Yos. Emangnya gue mesti bantu apaan, sih?"
"Belajar kelompok sama gue."
Aku melongo bingung. Untuk anak umur 12 tahun yang belum tahu apa-apa soal hubungan dengan lawan jenis, ucapan Yose barusan sudah keluar jauh dari konteks pembicaraan kami.
"Lemot, deh. Maksudnya, gue mau belajar ciuman dulu sama lo, jadi pas nanti ciuman sama Sheila ga malu-maluin. Ngarti, Neng?"
"Hah! Ogah-ogah-ogah! Ga mau! Kan boleh begituan cuma sama suami doang ... atau pacar juga boleh sih, kayaknya. Belajar sama pacar lo aja, gih." Yap, anak polos usia 12 tahun tentu saja akan kelabakan, jika dimintai permintaan tidak masuk akal seperti itu.
"Katanya tadi mau bantuin? Lo ga kasian nanti gue jadi bahan ejekan anak-anak lain, cuma karena ga bisa ciuman? Culun banget, La."
"Gue kan, cuma temen lo Yos. Ga boleh gitu, ah," tolakku. Jelas aku tak ada niat untuk membantunya. "Udah ah, belajar aja sama temen-temen lo yang udah kelas sembilan," sambungku lagi.
Aku berdiri hendak mengambil minuman di dapur. "Lo mau minum ap—"
Belum sempat kuselesaikan kata-kataku, Yose sudah memelukku dari belakang. Kami sudah pernah berpelukan, bahkan sering. Hampir bosan rasanya dipeluk Yose setiap kali ia gemas melihat tingkahku, tapi kenapa pelukannya kali ini terasa berbeda?
"Pelit banget, sih La, sama sahabat sendiri. Gue kemarin udah belajar sama Reza kok, tapi ga mungkin dipraktekin sama dia juga, kan? Mau, ya?" Yose yang jauh lebih tinggi menyandarkan dagunya pada leherku. Deru nafasnya menggelitik telinga yang menimbulkan desiran aneh yang menjalar sampai ke paha.
"Cuma satu kali ini aja tapi, ya?" Akhirnya aku mengalah. Mungkin desiran aneh tadi mampu menghipnotis anak bau kencur seperti kami.
Yose mengangguk, bisa kupastikan wajahnya saat ini pasti sedang memelas.
"Ya udah, terus gue mesti gimana, nih?" Lala umur 12 tahun bertanya dengan polos.
"Reza bilang merem dulu, terus miringin kepala, terus maju." Yose umur 12 tahun pun menjawab tak kalah polosnya. Yang lebih bodohnya lagi, kami berdua mempraktekan ajaran sesat tersebut persis seperti yang Reza instruksikan.
Merem-Miring-Maju.
Alhasil, bibir Yose malah mencium hidungku, sedangkan aku mencium dagunya. Kami berdua sama-sama tertawa, menertawai kebodohan yang kami lakukan kala itu.
"Buka mata aja ya, biar tepat sasaran?" tawarku masih dengan cekikikan.
Lalu tiba-tiba satu tangan Yose meraih pinggang, dan tangan lainnya menyentuh daguku. Merem-Miring ... kemudian saat bibir kami sudah hampir bersentuhan, Yose berujar, "Kayaknya mesti improvisasi ngikutin film nih, La. Caranya Reza ga berhasil ternyata."
Sensasi pertama yang kurasakan ketika bibirnya menyentuh bibirku adalah hangat. Kehangatan itu membuat mata kami otomatis tertutup dengan sendirinya. Sensasi yang sangat aneh namun menyenangkan.
"Gimana?" tanya Yose setelah menarik mundur wajahnya.
"Hangat."
Yose tersenyum bangga. "Itu baru skill pertama, La. Skill kedua lebih sakti."
"Udah, ah. Tadi kan, cuma satu kali perjanjiannya."
Akan tetapi, Yose tidak peduli. Ia kembali meraih pinggangku, agar memangkas jarak di antara kami. Lalu bibirnya mulai bergerak-gerak menelusuri bibirku. "Itu bibir manusia apa patung, La? Digerakin, atuh. Di film bokep yang pernah gue liat, kalo gue hisap bawah, lo hisap atas, gantian gitu."
Aku hanya mengangguk patuh mengikuti arahannya. Padahal sejujurnya, ia sama bodohnya denganku untuk urusan ciuman seperti ini. Alih-alih hisap seperti yang ia bilang, gigi kami malah beradu dengan keras.
Ah, mengingat kebodohan kami saat masih remaja dulu, membuatku jadi senyum-senyum sendiri. Betapa ingin tahunya kami berdua, sampai membuat hubungan kami menjadi aneh seperti sekarang ini.
Akhirnya, sejak ciuman pertama yang berakhir insiden itu, hampir setiap hari Yose mengajakku untuk belajar kelompok. Sampai pada usia kami yang ke-18 tahun, ajakan "Belajar kelompok, yuk, La?" itu berubah menjadi "La, have fun, yuk?"