Chereads / Cerpen Kehidupan / Chapter 27 - Nasihat (Bagian 1)

Chapter 27 - Nasihat (Bagian 1)

"Lengkap semuanya?!"

Sekali lagi aku mengamati seisi meja. Dua piring nasi goreng terletak rapi di sisi kiri, diikuti dua gelas air warna orange, dan sepiring besar kerupuk putih. Seharusnya sudah lengkap.

"Oh iya," sentakku, teringat tiba-tiba. "Kau lupa timun, Bagas!"

 Bagas menyeru balik dari dalam rumah. "Ok."

Makan nasi goreng tanpa timun rasanya kurang sedap. Setelah melahap nasi panas kering yang sudah dicampur aneka bumbu, lalapan timun sebagai penutup akan memberi sensasi adem ayem. Kesejukan cairan serta tekstur lembutnya bakal melegakan tenggorokan. Memikirkannya saja hampir membuat air liurku menetes.

"Timun dan sambal belacan datang."

"Kau ada belacan?"

Bambang meletakkan sepiring timun dan belacan ke atas meja sambil mengerut. "Kau tidak makan belacan?"

"Justru aku sangat suka," kataku riang. "Kau memang yang terbaik, Bagas!"

"Di mana lagi kau punya teman baik sepertiku."

"Bolehlah kubantu gratis meminta nomor telepon cewek berikutnya," balasku, membentuk seulas senyum. "Gimana hasilnya dengan Nasya?"

Bagas menggeleng kepala. Dia mengoper sepiring nasi goreng kepadaku sebelum mengambil punyanya dan mulai menjatahkan lauk pauk ke piring kami masing-masing. Tangan besarnya begitu cekatan.

"Hasilnya nihil," Bambang membuka pembicaraan. "Dia balas pesanku amat lambat. Lama-lama menghilang."

"Gimana caramu berpesan dengannya?"

"Seperti biasa. Kau tahulah."

Aku memasukkan sepotong timun ke dalam mulutku. Mengunyah pelan sembari mengangguk setuju kalau Bagas sudah melakukan bagiannya. Mencoba lebih baik daripada tidak sama sekali atau menyesal kemudian. Topik ini sudah usai.

 Kualihkan pandanganku dari makan siangku ke taman kepunyaan keluarga Bagas. Kami sedang duduk beralaskan keramik dalam naungan atap kayu teras rumah Bagas menghadap ke gerbang pintu yang sepanjang jalannya ditapaki berbatuan alam. Sekeliling berbatuan itu ditumbuhi rerumputan. Merambat ke segala sisi taman tersebut ditumbuhi berbagai jenis tanaman bunga, buah, maupun pepohonan rindang. Sungguh bernuansa alam. Rasanya aku bisa berlama-lama di sini.

"Mamamu hobi berkebun?"

"Kedua orang tuaku," Bagas menjawab sambil mengunyah. "Aku sih masa bodoh."

"Kudengar adik perempuanmu juga?"

"Dia sehobi sama mamaku. Mereka yang rata-rata menanam tanaman bunga."

Aku menggaruk dagu. "Berarti ayahku suka tanaman buah?"

"Yup. Aku juga ikut membantu."

Mataku melototi lelaki berbadan besar di sampingku. "Katamu masa bodoh?"

"Karena buah-buahnya enak."

Bambang tergelak hebat lalu terbatuk-batuk. Buru-buru kuberikan air jeruk yang langsung diminum Bagas perlahan hingga keadaannya lebih tenang. Gara-gara makan sambil bicara, nyaris saja dia pindah alam.

"Hei, Bagas!"

Kami berdua langsung mencari sumber suara. Ke arah gerbang pintu di mana seorang bapak tua renta dalam balutan pakaian sehari-hari sedang melototi kami.

"Ada apa, Pak Gito?"

"Kalau makan jangan bicara, apalagi tertawa!"

Bagas memiringkan kepalanya ke samping. "Kenapa tidak boleh?"

"Astaga, apa orang tuamu tidak mengajarimu?"

Pak tua itu hanya menggeleng kepala tanda tidak percaya. 

"Kau nyaris mati, bukan? Jangan kau ulangi perbuatanmu itu lagi."

"Baik, Pak. Terima kasih atas nasihatnya."

Pak tua tersebut berbalik pergi. Berjalan pelan langkah demi langkah dengan kaki pincang sebelah kanan, mungkin hasil faktor usia. Bagaimanapun apa yang dikatakannya benar. Memang sebaiknya makan itu jangan bicara dan dinikmati saja. 

Usahakan ketika makan itu jangan berbicara apalagi tertawa